Aroma roti panggang yang baru saja keluar dari oven, menguar ke sekeliling area dapur yang sangat sederhana dan minimalis. Tak ada barang mewah di sana, seperti perlengkapan masak yang dulu pernah ada. Pun dengan para maid yang dulu sering berseliweran ketika pagi menjelang seperti ini. Sibuk pada tugasnya masing-masing di kediaman Gwen yang dulu.
Itu hampir 5 tahun yang lalu, waktu keluarga Stones masih berjaya di puncak kejayaan. Waktu nama mereka dikenal banyak orang bahkan sampai ke luar benua.
Kini Gwen dan ayahnya telah terbiasa hidup sederhana, tinggal di rumah yang ukurannya bahkan tak seluas kamar mandi mereka kala itu. Semenjak Tuan Jimy—ayahnya Gwen ditipu oleh rekan bisnisnya dan dibuat bangkrut, tak ada lagi mata yang melirik mereka. Tak ada yang tahu, jika mereka dulu adalah orang terpandang di kota London.
Memutuskan untuk pindah ke kota Birmingham, Gwen dan Tuan Jimy memulai semuanya dari nol. Jatuh bangun sudah biasa mereka hadapi selama ini. Sampai dokter memvonis Tuan Jimy sakit kanker paru-paru. Gwen sebagai anak satu-satunya tentu harus membalas kebaikan sang ayah, mengerahkan segala cara untuk bisa bertahan hidup dan memenuhi biaya pengobatan yang tak sedikit.
Hanya ayahnya yang dimiliki di dunia ini. Gwen tak memiliki siapa pun, karena sang ibu sudah tiada 4 tahun yang lalu. Hidup berdua melewati segalanya dengan penuh lika-liku.
"Sudah cukup. Ayah sudah kenyang."
Piring berisi potongan buah apel merah ditolak oleh Tuan Jimy, dan membuat Gwen seketika merengut.
"Kenyang dari mana? Ayah hanya makan roti ini setiap hari. Sayur pun Ayah menolak." Gwen sedikit mengeluh, karena selama sakit sang ayah hanya diperbolehkan makan roti gandum panggang yang dilapisi sedikit madu.
"Itu 'kan memang sudah aturan dokter. Ayah sudah tidak bisa makan-makanan terlalu berat. Kau ingat 'kan?" Tuan Jimmy mengulurkan tangan, mengelus sang puteri yang tak terasa ternyata sudah sangat dewasa.
Dua puluh delapan tahun usia yang sepatutnya sudah cukup bagi Gwen membina rumah tangga dengan seorang pria. Akan tetapi, akibat terlalu sibuk mengurus ayahnya yang sakit-sakitan, puteri semata wayangnya itu nampaknya sudah tidak memedulikan perihal tersebut.
Gwen membawa tangan ayahnya ke genggaman, mengelusnya sayang sambil tersenyum hangat. "Setidaknya, Ayah makanlah buah. Atau paling tidak minum susu. Untuk apa Gwen kerja setiap hari, jika Ayah hanya makan roti. Gwen mau, Ayah bisa sembuh seperti sedia kala."
Hati Tuan Jimy selalu tersentuh apabila mendengar keinginan dan gigihnya Gwen mencari uang demi kesembuhannya. Tak terasa sudut matanya basah dan meneteskan cairan hangat yang luruh ke pipinya. Sisa-sisa ketampanan waktu di usia mudanya dulu, nyaris tidak luntur sampai sekarang, meskipun usianya sudah menginjak 60 tahun.
Gwen mewarisi warna mata sang ayah yang biru dan postur tubuhnya yang menjulang bak menara Eiffel. Sementara wajahnya yang cantik bak dewi menurun dari sang ibu—Luis. Dan warna kulitnya yang begitu putih, seputih salju di musim dingin.
"Ayah."
Gwen paling tidak bisa melihat ayahnya sedih. Dia berdiri, lalu memeluk dan mencium rambut putih sang ayah.
"... Gwen tidak mau kehilangan Ayah. Karena hanya Ayah yang Gwen miliki di dunia ini. Gwen akan berusaha sekuat tenaga untuk membuat Ayah sembuh. Gwen janji, apa pun akan Gwen lakukan demi Ayah."
Sebuah janji dari seorang anak yang teramat menyayangi ayahnya. Berharap keinginannya tersebut didengar dan dikabulkan oleh Tuhan.
"Kau jangan terlalu memikirkan ayahmu. Sudah waktunya kau memikirkan dirimu sendiri. Apa kau tidak mau membina rumah tangga? Seperti mimpi para gadis di luaran sana?"
"Tidak! Gwen tidak mau! Gwen hanya ingin merawat Ayah." Gwen menggeleng mantap, seakan-akan sebuah pernikahan itu adalah suatu hal yang harus dihindari.
Bagaimana dia bisa membina rumah tangga, sedangkan separuh hatinya telah dimiliki lelaki lain?
Lelaki yang pernah singgah, lalu menghilang tanpa jejak. Namun, kini tiba-tiba muncul kembali setelah sekian lama.
***
"Tuan, boleh saya masuk?" Dean mengintip di ambang pintu kamar hotel, yang disewa Nich. Membukanya hanya selebar bahu.
Pandangan Nich seketika teralihkan, menyudahi menatap kaca jendela besar yang menjadi tempat favoritnya selama tinggal beberapa hari di Birmingham.
"Masuklah," sahut Nich sembari menjatuhkan pantatnya pada sofa bed di sudut kamar.
Dia lantas meraih cangkir teh yang belum disentuh sama sekali pada meja bundar di sebelahnya. Menyesap pinggir cangkir seraya melirik Dean yang melangkah masuk lalu berdiri di hadapan.
Dean menunggu dengan sabar sampai Nich selesai menyesap tehnya. Matanya seakan-akan sudah berbicara sebelum mulutnya.
"Ada apa? Apa kau sudah mendapatkan informasi tentang Gwen?" tanya Nich seraya meletakkan cangkir ke meja, kemudian bersedekap.
Tatapan Nich penuh selidik pada Dean yang nampak sudah bersiap menyampaikan informasi yang dia perintahkan semalam. Belum ada 24 jam, tetapi asistennya itu bergerak cepat sesuai keinginannya.
"Ekhm!" Dean berdehem, merangkai kata-kata yang sekiranya tepat. "Begini Tuan, soal perintah yang semalam, saya sudah mendapatkan informasinya. Nona Gwen saat ini tinggal di sebuah rumah terpencil bersama ayahnya."
"Di mana itu?" Nich menaikkan satu alisnya.
"Letaknya tidak jauh dari bar, Tuan. Sekitar empat puluh menit jarak tempuhnya," jelas Dean lagi, sesuai dengan apa yang dia ketahui.
Nich mengangguk, cukup merasa puas dengan informasi yang diberikan Dean. "Baiklah. Setelah ini kita akan kembali ke bar, karena Daniel sudah berjanji akan mempertemukanku lagi dengan Gwen. Belikan aku seikat bunga Mawar merah, dan cari yang terbaik. Paham?" titah Nich.
Dean balik mengangguk. "Segera saya carikan, Tuan."
Asisten yang usianya hampir sama dengan Nich itu pun keluar dari kamar tersebut. Sementara Nich terlihat berbinar binar, menunggu malam datang dan ingin segera bertemu kembali dengan Gwen.
***
Taksi berwarna kuning berhenti tepat di depan sebuah Bar yang sudah tidak asing lagi, seorang penumpang lantas turun setelah membayar nominal yang tertera di kargo.
Gwen melangkah masuk sambil menggosok telapak tangannya yang terasa kaku karena cuaca sangat dingin. Bergegas ke ruang ganti dan bersiap-siap untuk tampil lagi.
Baru saja Gwen hendak masuk lift, Daniel yang baru saja keluar dari ruangannya lebih dulu memanggil.
"Gwen!"
"Ya?"
Gwen menyahut dan menghampiri Daniel yang malam ini terlihat berbeda dari biasanya.
"... Ada apa?" tanya Gwen.
"Masuklah. Ada sesuatu yang ingin kubicarakan padamu." Daniel menggeser tubuhnya dari pintu, memberikan ruang bagi Gwen supaya masuk.
"Apa? Kau ingin bicarakan apa?" Manik Gwen menatap tak sabar ke arah Daniel yang menyandarkan bokongnya di tepi meja kerjanya. Sementara dia sendiri duduk di salah satu sofa.
Sesaat, Daniel menatap Gwen dengan tatapan lain. Perempuan di hadapannya ini memang selalu memukau meskipun tak ada sedikit pun polesan make up di kulit wajahnya yang putih pucat. Rambutnya yang bergelombang dan tergerai bebas, membuat tangan Daniel terasa gatal ingin menyingkapnya ke sisi bahu. Lalu menghujaninya dengan kecupan-kecupan panas yang selalu menjadi fantasinya selama ini.
Ditatap penuh nafsu seperti itu, membuat bola mata Gwen memutar malas. "Daniel? Kenapa kau malah diam? Cepat katakan! Aku sudah terlambat," serunya galak, nyaris berdiri dan hendak beranjak, tetapi Daniel buru-buru mencegahnya.
"Tunggu, Gwen! Jangan pergi dulu! Malam ini kau tidak perlu tampil di lantai satu," kata Daniel.
Kening Gwen mengernyit. "Kenapa? Bukankah ini jadwalku?"
"Nanti biar Clara yang menggantikanmu."
"Clara? lalu aku?" Gwen memicik penuh selidik.
"Kau tampil di VIP lagi." Daniel lantas beranjak lalu berpindah ke balik mejanya. Duduk bersandar di kursi kebesarannya selama ini.
"Lagi? Memang akan ada tamu siapa lagi?"
Perasaan Gwen mendadak tidak enak. Firasatnya seperti mengatakan akan ada hal yang terjadi di VIP. Atau jangan-jangan...
"Kau ingat temanku yang kemarin malam?"
Punggung Gwen seketika menegang, padahal Daniel belum menyebutkan nama temannya. "Si-siapa?" Gwen mendadak diserang kepanikan, sampai tergagap.
Dalam hatinya, Gwen terus berdoa, agar nama yang akan disebutkan Daniel berbeda dengan nama yang semalaman mengganggu tidurnya.
Semoga bukan Nicholas.
"Nich. Pria yang semalam melanggar aturan main. Dan berani menyentuhmu. Sepertinya dia sangat penasaran denganmu. Bahkan berani membayarmu mahal lima kali lipat."
"A-apa?" Sekujur tubuh Gwen rasanya seperti disiram air es satu ember. Dingin dan menggigil.
Kamar tempat menginap Nich dan Gwen sudah tak berbentuk lagi. Di lantai ada beberapa helai kain yang berserak asal serta kelopak mawar merah, setelah semalaman kedua insan yang baru saja mereguk manisnya madu malam pengantin untuk yang ke sekian kali. Nich tidak membiarkan Gwen beristirahat barang sejenak hingga subuh menjelang, terus mengajak istrinya itu berpetualang menikmati panasnya gelora asmara yang kembali memercik. Cinta di hati Gwen kembali bersemi setelah melewati banyak rintangan dan ujian. Tak pernah menyangka bila dia akan kembali jatuh ke dalam pelukan pria ini lagi. Nicholas Kennedy. Satu nama yang selalu tersemat di hatinya dari dulu hingga detik ini. Gwen merasa bila takdirnya memang hidup bersama seorang Nich, karena sejak awal dia mengenal cinta, hanya nama itu yang terpatri di ingatannya. Sebuah kecupan singkat Gwen berikan di bibir Nich yang masih terlelap di sisinya. Senyumnya terukir ketika memandang wajah menawan yang tak pernah berubah itu. Masih sama. Bah
"Sekarang kedua mempelai dipersilakan untuk saling berciuman." Pastor berkepala plontos itu memberikan izin kepada pasangan pengantin yang baru saja meresmikan pernikahannya. Kesempatan tersebut tentu tak disia-siakan oleh Nich yang hari ini merasa sangat bahagia karena telah mewujudkan keinginannya. Menikahi perempuan yang sangat dia cintai di hadapan semua orang terdekat. Satu lengannya terulur ke pinggang, dan tangannya yang lain memegang tengkuk sang istri yang siang ini terlihat sangat cantik dengan balutan gaun pengantin warna putih. "Kau siap, Honey?" bisiknya dengan kerlingan jahil.Gwen tersipu, lalu mengangguk malu-malu. Rona bahagia terpancar dari sepasang manik biru itu, meski pandangannya tertutup kabut kesedihan. Ini memang pernikahan impiannya, tetapi kebahagiaan yang dirasa tidak lengkap tanpa kehadiran sosok ayah tercinta. Walaupun sebagian tamu adalah keluarga. Namun, hati Gwen menginginkan sang ayah yang menjadi saksi di hari spesial ini."Aku mencintaimu, Gwen."
Satu bulan yang dinanti akhirnya pun tiba. Hasil tes DNA yang keluar pada hari ini tentu akan menentukan nasib pernikahan Gwen selanjutnya. Apakah akan bertahan atau berakhir seperti keputusannya semula. Gwen ingat sekali dengan perkataan Nich tempo hari yang akan meresmikan pernikahan mereka di sebuah gereja bila anak Valerie dinyatakan bukanlah darah dagingnya.Pernikahan impian yang selama ini dia inginkan akan diwujudkan oleh Nich. Akan tetapi, Gwen sudah tidak menginginkan hal tersebut. Tidak karena sosok yang menjadi saksi pernikahannya sudah tidak berada di sisi. Semuanya hanya sia-sia."Honey," panggil Nich yang baru saja masuk ke kamarnya. Aura di wajahnya nampak berbeda.Gwen meletakkan buku bacaan yang sedang dibaca pada meja nakas, lalu menatap Nich yang berjalan ke arahnya dengan membawa sebuah amplop warna putih berukuran sedang. Pikiran Gwen langsung mengarah pada hasil tes DNA."Honey." Tiba-tiba saja Nich mengangkat tubuh Gwen ke gendongan, lalu memutar-mutarnya bebe
Acara spesial yang dikatakan Nich, rupanya hal yang tidak pernah diduga Gwen sebelumnya. Bertemu dengan banyak orang, kemudian diperkenalkan sebagai istri, sungguh tidak pernah ada dalam angan Gwen. Pesta meriah ini sebenarnya acara rutinan yang dilaksanakan di perusahaan Nich. Ada banyak sekali orang-orang berpengaruh yang terlibat dalam kerjasama besar tersebut. Gwen cukup terkesan dengan kejutan dari suaminya itu. Merasa begitu dianggap meski kondisi rumah tangganya sedang berantakan.Di ballroom mewah dengan penataan yang sangat luar biasa Gwen tidak pernah merasa sendiri karena Nich terus berada di sampingnya tanpa melepas genggaman tangannya. Suasana pesta yang dihadiri berkisar ratusan orang itu begitu meriah dengan lantunan lagu yang dibawakan oleh penyanyi di atas panggung. Musik mengalun dengan lirih tetapi terdengar sangat merdu mendukung suasana malam ini.Kekesalan yang sempat menyesakki hati perlahan berganti dengan rasa bahagia. Ya, bolehkah Gwen merasakan bahagia sebe
'Jika ingin pergi setidaknya tunggu sampai anak itu lahir. Nanti setelah aku tahu hasilnya kau bebas mengambil keputusan. Ingin tetap pergi atau ingin bertahan di sisiku.'Gwen merasa sesak tiap kali mengingat perkataan Nich yang sangat-sangat egois menurutnya. Tidak membiarkan Gwen pergi begitu saja dan justru semakin tidak masuk akal. Selama hampir dua bulan ini dia berada di dalam apartment dengan satu maid dan dua pengawal pribadi untuk berjaga-jaga.Tidak sekali pun Nich membiarkan Gwen keluar dari sana. Segala kebutuhannya dipenuhi oleh Nich. Namun tidak dengan permintaannya yang ingin kembali ke rumah lamanya yakni di Birmingham. Padahal, Gwen sudah muak dengan segala macam peraturan baru dari Nich.Tinggal di dalam sini sama saja dengan tinggal di dalam sangkar emas. Tidak bisa bergerak bebas semaunya. Kalau bisa, Gwen tidak menginginkan semua ini. Bertahan di sisi Nich dan berpura-pura tidak terjadi apa-apa, itu sama saja dengan mati pelan-pelan.Semakin hari, Nich semakin po
"Apa! Valerie hamil anaknya Kak Nich? Kau serius, Gwen?" Pekikan Olivia menggema di kamar rawat Gwen setelah dia mendengar kabar kehamilan Valerie. Gadis itu nampak terkejut sekaligus tidak percaya, sampai-sampai bola matanya tidak berkedip dengan mulut ternganga."Aku serius, Oliv. Untuk apa aku mengarang cerita sementara aku sudah melihat buktinya. Perut Valerie nampak membuncit. Perkiraanku kehamilannya sekitar tiga atau empat bulan." Gwen menghela napas panjang, pandangannya perlahan turun ke perutnya yang kini rata.Sesak bukan main jika mengingat apa yang dialaminya. Kehamilannya tidak cukup kuat untuk mendengar berita menyakitkan yang meluluhlantakkan semua mimpi-mimpinya dalam sekejap. Gwen sangat merasa kehilangan calon anak laki-lakinya."... Aku pun berharap jika kehamilan itu tidak benar adanya." Gwen bergumam mengelus perut ratanya di balik baju pasien yang dia kenakan. Setitik cairan bening turun tanpa permisi membasahi punggung tangannya. "Aku sudah gagal lagi. Aku gaga