Elma sedang sibuk membaca dokumen di ruangannya ketika suara pintu yang terbuka tiba-tiba menarik perhatiannya. Dia mengangkat wajah, dan alisnya langsung bertaut saat melihat siapa yang masuk.
Aditya melangkah masuk dengan santai, diikuti oleh seorang wanita yang sudah sangat dikenalnya. "Apa maksudmu membawa dia ke sini?" suara Elma dingin, namun matanya penuh kemarahan yang tertahan. Aditya hanya tersenyum tipis, tidak menunjukkan rasa bersalah sedikit pun. "Kenapa? Ini kantormu, bukan rumah kita. Aku hanya mampir sebentar," jawabnya santai. "Dan kamu pikir wajar membawa wanita ini?" Elma berdiri, menatap tajam ke arah Arumi yang berdiri dengan gaya angkuh. "Aditya, aku sudah cukup bersabar dengan semua kelakuanmu. Tapi membawa selingkuhanmu ke kantorku, itu sudah sangat keterlaluan! Kamu benar-benar tidak tahu malu!" Elma membagi pandangannya pada dua orang di hadapannya itu. Wanita bernama Arumi itu tersenyum tipis penuh ejekan. Dia menyilangkan kedua tangannya di depan dada. Kedua matanya menatap Elma dengan tatapan sinis. "Kasihan sekali kamu Elma, bahkan suamimu sendiri sudah tidak mempedulikan perasaanmu lagi. Kamu hanya istri di atas kertas yang tidak berguna sama sekali." Terdengar kekehan kecil dari mulut Arumi dengan nada ejekan. Elma menoleh tajam ke arah Arumi. "Aku tidak bicara denganmu, Arumi. Kamu tidak punya hak untuk ikut campur dalam urusan rumah tangga kami-" "Tapi aku memang bagian dari hidup Aditya," potong Arumi dengan cepat. "Dia mencintaiku. Kamu hanya istri yang tidak dia inginkan. Kalau bukan karena perjodohan keluarga kalian, Aditya tidak mungkin menikahi mu. Kalau aku jadi kamu, aku akan mundur dengan segera daripada terus-terusan mempermalukan diri sendiri," cibir Arumi tersenyum puas melihat wajah Elma yang menahan malu dan geram. "Cukup, Arumi!" suara Elma meninggi. Dia menatap Aditya, yang berdiri diam seolah menikmati pertengkarannya dengan gundiknya itu. "Aditya, bawa keluar gundikmu ini. Aku tidak mau lagi mendengar ocehannya! Aku hanya memintamu satu hal. Kalau kamu tidak bisa menghormati pernikahan ini, setidaknya hormati diriku. Aku masih istrimu, meskipun hanya di atas kertas. Jangan mempermalukan ku di depan umum seperti ini!" Tatapan tajam mata Elma tertuju pada wajah pria yang masih berstatus suaminya itu. "Siapa yang peduli pada kehormatanmu Elma. Pernikahan kalian hanya karena bisnis semata." Arumi masih melontarkan jawaban demi jawaban yang semakin membuat darah Elma mendidih. "Aku tidak peduli pernikahan ini berdasarkan apa. Tapi kita punya citra yang harus dijaga. Atau kamu mau semua orang tahu bahwa CEO besar seperti dirimu membawa perempuan lain di belakang istrinya? Bukan kah hal itu juga akan merusak citra mu?" Elma menjawab tegas, suaranya bergetar karena amarah. Arumi kembali tertawa kecil. "Oh, Elma, kamu ini lucu sekali. Masih mencoba mempertahankan harga dirimu yang sebenarnya sudah hancur. Tidak heran Aditya lebih memilihku," ucapnya bangga. Wajah Elma memerah, tangannya mengepal. "Diam, Arumi! Jangan berpikir aku akan diam saja. Kamu mungkin merasa menang sekarang, tapi aku tidak akan kalah darimu. Tidak kali ini!" Arumi mendekat, senyumnya sinis. "Kalah? Elma, kamu sudah kalah sejak awal. Aku mendapatkan Aditya yang lebih memilihku dibandingkan kamu." "Arumi, hentikan! Lebih baik kita pulang." Setelah berdiam diri dan hanya menyimak perdebatan antara Elma dan Arumi, akhirnya Aditya angkat bicara. "Sayang... aku belum selesai." Arumi menoleh ke arah Aditya dan nampak belum puas dengan ocehannya pada Elma. "Sebentar lagi aku ada meeting, kita pulang sekarang ." Aditya menarik tangan Arumi untuk keluar dari ruangan Elma. Arumi pun terpaksa menuruti keinginan Aditya meskipun ia masih belum puas mempermalukan Elma yang merupakan saingannya sejak duduk di bangku kuliah. Elma menatap Aditya dan Arumi penuh penuh kebencian, tapi dia menahan diri untuk tidak ikut meledak dan meladeni permainan Arumi yang hanya ingin membuatnya malu. Elma menghembuskan napas berat setelah kedua orang itu keluar dari ruangannya. Dia menjatuhkan dirinya kembali di kursi. "Sialan! Apa mereka sengaja datang ke sini untuk mempermalukan ku?" gumam Elma bersenandika. Langit sore mulai gelap, tanda malam segera tiba. Elma melangkah keluar dari gedung kantornya dengan wajah muram. Revan, yang sudah menunggu di lobi sejak beberapa menit lalu, langsung membuka pintu mobil untuknya tanpa berkata sepatah kata pun. Elma masuk ke dalam mobil dengan ekspresi datar. Revan menutup pintu dengan hati-hati sebelum masuk ke kursi kemudi. Suasana di dalam mobil terasa sunyi, hanya diisi suara mesin yang menderu halus. Revan melirik sekilas melalui kaca spion, melihat Elma yang memijat pelipisnya sambil menatap kosong ke luar jendela. Ada sesuatu yang membuat hatinya tergerak, namun ia menahan diri untuk tidak mengajukan pertanyaan. "Langsung pulang, Bu?" tanya Revan akhirnya dengan suara rendah. Elma mengangguk tanpa mengalihkan pandangannya dari jendela. "Ya, pulang saja.' Revan menginjak pedal gas dengan perlahan, membawa mobil keluar dari pelataran gedung. Perjalanan kembali diliputi keheningan. "Apa Ibu ingin mendengarkan musik?" tawar Revan, mencoba sedikit mencairkan suasana. "Tidak perlu. Saya lebih suka ketenangan." Revan mengangguk, mengarahkan pandangannya kembali ke jalan. Dia hanya seorang sopir, bukan orang yang pantas ikut campur dalam urusan pribadi majikannya. Namun, di sudut hatinya, ada rasa iba yang mulai muncul. Wanita itu, sekeras apa pun sikapnya, jelas sedang menahan beban berat yang mungkin tidak pernah ia ceritakan kepada siapa pun. Setelah beberapa waktu, mobil akhirnya memasuki gerbang rumah Elma. Lampu-lampu halaman telah menyala. Revan mematikan mesin mobilnya dan turun untuk membukakan pintu. "Terima kasih, Revan," ucap Elma singkat sebelum melangkah masuk ke rumah tanpa menunggu jawaban. Revan berdiri sejenak di dekat mobil, menatap punggung Elma yang perlahan menghilang di balik pintu besar rumahnya. "Sudah mau pulang Mas Revan?" sapaan security membuyarkan lamunan Revan. "Eh, iya Pak. Saya ambil motor saya dulu." Revan bergegas memasukkan mobil mewah itu ke dalam garasi dan mengambil motor bututnya untuk pulang ke kost-annya. Revan baru saja memarkir motornya di depan kost saat ia melihat seorang wanita berdiri dengan tangan bersedekap di depan pintu kamarnya. "Melly?" Revan mengerutkan dahi, setengah bingung melihat teman kuliahnya itu tersenyum sambil melambaikan tangan. "Akhirnya kamu pulang juga, Van." Melly melangkah mendekat, wajah cantiknya tampak cerah meski sudah malam. "Ada apa kamu di sini? Kok bisa tahu alamat kost-an aku?" Revan membuka kunci pintu dengan tatapan penuh tanya. "Badru yang kasih tahu. Aku butuh buku referensi kamu untuk tugas kuliah. Kan kamu selalu paling rajin nyatat." Melly tersenyum manis, membuat Revan sedikit salah tingkah. "Oh... gitu." Revan mendorong pintu dan mempersilakan Melly masuk. "Yaudah, masuk aja dulu. Kost-an aku kecil sih, jangan kaget, ya." Melly tertawa pelan, lalu masuk ke kamar Revan yang memang sederhana, hanya berisi kasur, meja kecil, dan lemari baju. "Nggak apa-apa kok. Aku malah suka tempat yang cozy kayak gini," ujarnya, sambil duduk di pinggir kasur tanpa menunggu izin. Revan menggaruk kepalanya yang tidak gatal. " Bentar, ya. Aku cari bukunya dulu." Ia membuka laci meja, mencari buku yang dimaksud, sementara Melly mengamati sekeliling kamar dengan santai. "Kamu sering pulang malam, ya?" tanya Melly sambil memainkan ujung rambutnya. "Kerja, Mel. Sopir pribadi." Revan meletakkan buku di atas meja, lalu duduk di kursi kecil di sudut ruangan. Melly memiringkan kepala, menatap Revan dengan senyum menggoda. "Hebat kamu. Kuliah sambil kerja. Padahal kalau dilihat-lihat, wajah kamu ini lebih cocok jadi model, tau nggak?" "Melly, kamu ngomong apa sih? Jangan bercanda." Revan terkekeh, merasa sedikit canggung. "Serius, Van. Kamu tuh terlalu tampan untuk jadi sopir." Melly berdiri, lalu mendekat ke arah Revan. "Apa nggak pernah ada tawaran lain yang lebih... menarik?" Tatapan nakal Melly membuat Revan merasa canggung dan sedikit salah tingkah. "Tawaran apaan, maksud kamu?" Revan mengerutkan kening, merasa ada nada aneh dalam ucapan Melly. "Ya... siapa tahu ada yang nawarin kerjaan yang lebih santai tapi penghasilannya lebih besar. Kamu nggak pernah kepikiran?" Melly mencondongkan tubuhnya sedikit, membuat Revan mundur ke belakang dengan gugup. "Melly, kamu ini kenapa sih?" Revan tersenyum kaku sambil bangkit dari kursinya, menjauhkan jarak. "Aku ini cuma mahasiswa biasa, nggak ada yang spesial." "Tapi buat aku, kamu spesial, Revan. Aku suka sama cowok yang pekerja keras kayak kamu." Melly tersenyum sambil mendekat lagi. Revan terdiam, tidak tahu harus merespons bagaimana. Hatinya mendadak terasa kacau. Melly tersenyum dengan tangan yang kini mulai menyentuh dad4 bidang Revan. "Aku tahu kamu sudah punya pacar, tapi aku rela kok kalau kamu mau jadikan aku yang kedua." Di luar dugaan Melly menyatakan perasaannya pada Revan. "Kamu ngomong apa sih Mel?" Revan tersenyum kaku. Namun Melly malah semakin agresif. Tubuhnya yang tinggi semampai bisa dengan mudah mensejajarkan diri dengan Revan dengan hanya sedikit berjinjit. "Aku sudah lama mendambakan saat-saat seperti ini Rev." Tangan Melly melingkar di leher pria tampan itu dengan tatapan yang tertuju pada bibir Revan yang terlihat sensual di mata Melly. Dengan perlahan Melly mendekatkan bibirnya untuk men ci um bibir Revan yang masih terpaku tanpa mengatakan apapun. Pria itu masih syok karena cewek tercantik di kelasnya kini tiba-tiba menyatakan rasa sukanya. Padahal sebelumnya Melly tidak pernah menunjukkan sikap kalau dia menyukai Revan. . Akhirnya bibir keduanya beradu. Dalam situasi ini tentu saja Revan tak bisa lagi menahan diri. Gadis cantik dengan tinggi 165 cm itu berhasil memantik ga irah Revan. Pria itu membalas lu ma tan bibir Melly dengan lembut. Menyesap dan memainkan lidahnya di dalam rongga mulut gadis itu. Napas keduanya terengah setelah beberapa saat bertukar saliva. Revan melepaskan tautan bibirnya dan menatap wajah Melly dengan senyum tipis di bibirnya. "Terima kasih Revan." Melly tersipu malu. Ia senang karena keinginannya akhirnya terwujud. "Sama-sama Mel, tapi sorry, gue nggak bisa nerima cinta lo. Gue punya Dinda dan nggak mungkin menduakannya." Melly tersenyum getir. Ia kira Revan seorang playboy tapi ternyata pria itu tidak seperti yang dia kira. Revan cukup setia pada cintanya. "It's oke Revan. Tapi kalau kamu butuh teman atau lagi bosen, hubungi saja aku." Melly tersenyum pahit tapi meski ditolak pun ia tidak akan bisa membenci Revan."Kalian semua bodoh! Bagaimana seseorang bisa menghilang begitu saja?!" Aditya menggebrak mejanya dengan keras. Beberapa anak buah Aditya tersentak kaget tapi apa mau dikata, wanita bernama Clara itu memang tidak bisa mereka temukan di manapun. Entahlah dimana wanita itu bersembunyi. Yang jelas seperti ada seseorang yang kuat yang melindunginya. "Maafkan kami Pak. Kami sudah berusaha tapi semuanya benar-benar gelap. Bahkan informasi tentang wanita itupun sudah dihapus. Kami benar-benar kesulitan untuk menemukannya." Salah satu anak buah Aditya menjelaskan situasi yang sedang mereka hadapi. "Brengsek kalian semua!" Aditya meradang dengan wajah yang merah padam menahan amarah. "Pergi kalian semua dari sini!" Aditya menguasir semua anak buahnya dari ruang kerjanya. "Bagaimana bisa dia menghilang begitu saja?" gumam Aditya dengan nada frustrasi. Ia menghempaskan tubuhnya ke kursi, memijat pelipis dengan keras. Segala upaya yang ia lakukan untuk menemukan perempuan itu tidak membawa
Pagi itu, dunia Aditya hancur berantakan. Berita tentang dirinya viral di media sosial, memperlihatkan rekaman video asusilanya dengan Clara. Berita tersebut menyebar seperti api, menghiasi tajuk utama di berbagai portal berita dan menjadi topik pembicaraan di mana-mana. Aditya duduk di ruang kerjanya dengan wajah tegang. Ponselnya terus berdering, pesan masuk dari klien, mitra bisnis, hingga keluarganya. Ia tidak berani membuka satu pun pesan itu. "Bagaimana ini bisa terjadi?" geramnya sambil membanting ponsel ke meja. Beberapa anak buahnya berdiri dengan wajah cemas. Mereka telah menerima perintah dari Aditya untuk menghapus video tersebut secara permanen. Namun, upaya mereka gagal karena video itu sudah terlanjur diunduh oleh banyak orang. "Maaf, Pak Aditya. Kami sudah mencoba segalanya, tapi video itu terlalu cepat menyebar," ucap salah satu anak buahnya dengan suara gemetar. Aditya memejamkan mata, menahan amarah yang membara di dadanya. Aditya terdiam, tidak mampu menjawa
lanjutan dari bab sebelumnya ** tender dari berbagai klien. Ia mengacak-acak rambutnya dengan frustrasi, pandangannya kosong menatap layar laptop yang menampilkan email-email penolakan dari mitra bisnis. "Arumi, di mana kamu sebenarnya?" gumam Aditya dengan nada penuh keputusasaan. Sudah berminggu-minggu ia mengerahkan semua anak buahnya untuk mencari keberadaan Arumi, namun hasilnya nihil. Tidak ada petunjuk, tidak ada jejak, bahkan kabar samar sekalipun. Satu per satu anak buahnya yang tidak mampu memberikan hasil langsung dipecat tanpa ampun. Kini ia merasa sendirian, tenggelam dalam masalah yang semakin menumpuk. Tidak hanya Arumi yang menjadi beban pikirannya. Sidang perdananya semakin dekat, dan itu membuatnya tertekan. Kasus gugatan perceraian Elma membuat reputasi bisnisnya memburuk. Para klien mulai kehilangan kepercayaan, proyek besar yang seharusnya menjadi tulang punggung perusahaan kini terancam batal. "Aku bisa gila kalau terus begini," desisnya sambil menenda
Elma duduk di ruang praktik Karina, kedua tangannya saling menggenggam erat di atas pangkuannya. Wajahnya menunjukkan kecemasan yang tidak biasa, sementara Karina memandang sahabatnya itu dengan penuh perhatian. "Elma, apa saja yang kamu rasakan sekarang?" tanya Karina lembut sambil menyentuh tangan Elma. Elma menghela napas panjang sebelum menjawab. Aku tidak tahu, Karin. Akhir-akhir ini aku merasa aneh. Kadang aku mual tanpa alasan, aku jadi terlalu sensitif terhadap bau, dan... rasanya tubuhku jadi mudah lelah." Karina tersenyum tipis, tetapi sorot matanya menunjukkan keyakinan. "Elma, aku bukan mau menakutimu, tapi dari apa yang kamu ceritakan, aku rasa . kamu sedang hamil." "Benarkah?" Elma membelalakan matanya. Karina tersenyum merekah. "Aku memang belum pernah merasakan rasanya hamil tapi setiap pasienku yang hamil keluhannya rata-rata seperti itu. Kenapa tidak coba kita periksa aja?" Karina tampak antusias. "Apa mungkin aku hamil?" Elma masih tidak percaya.
Agus, anak buah terpercaya Aditya, menjalankan perintah majikannya dengan penuh kehati-hatian.Setelah memastikan suasana di sekitar apartemen Karina sepi, dia segera bergerak. Dengan keahliannya dalam membuka kunci otomatis, pintu apartemen itu terbuka tanpa menimbulkan suara sedikit pun.Namun, saat Agus menyelinap masuk, ia mendapati apartemen itu dalam keadaan kosong. Tak ada tanda-tanda aktivitas, tak ada suara, dan tak ada siapa pun di dalam.Lampu di ruang tamu menyala redup, dan aroma ruangan terasa netral, seperti baru saja dibersihkan. Agus memperhatikan sekeliling dengan cermat. Rak buku rapi, sofa tampak tidak tersentuh, dan meja makan kosong tanpa peralatan apa pun. Dia mengerutkan kening, merasa ada yang aneh."Ke mana mereka?" pikir Agus.Agus mulai memeriksa ruangan satu per satu. Ia masuk ke kamar utama, membuka lemari, bahkan memeriksa bawah tempat tidur. Namun, tak ada satu pun barang yang memberi petunjuk tentang keberadaan Karina atau Arumi.Di dapur, Agus menemuk
"Surat apa ini, Aditya?" suara Tuan Wirya menggema, dingin namun penuh amarah. "Apa Elma akan menceraikanmu?"Aditya tertegun. Kata-kata itu seperti petir yang menghantam dadanya. Dia menatap amplop di tangan ayahnya dengan perasaan bercampur aduk, sementara pikirannya dipenuhi berbagai kemungkinan buruk yang mungkin terjadi.Namun sebelum dia sempat menjawab, Tuan Wirya melempar surat itu ke meja di depannya. "Lihat sendiri apa yang telah kamu lakukan, Aditya!" bentak Tuan Wirya dengan suara yang semakin meninggi.Aditya, dengan tangan sedikit gemetar, meraih surat itu. Matanya mulai membaca, dan wajahnya perlahan berubah pucat. Isi surat itu adalah surat pengajuan gugatan perceraian yang dilakukan oleh Elma terhadapnya. Berikut jadwal sidang perdana yang harus ia hadiri.Aditya menatap nanar kertas di tangannya dengan tangan gemetar. Ia tidak menyangka kalau Elma akan secepat ini mengajukan gugatan perceraian terhadapnya."Kamu lihat hasil perbuatanmu itu Aditya? Kamu sudah merusak