Share

BAB : 3

"Dira," gumam Leo segera menghampiri Dira yang saat itu masih mengemasi buku-bukunya yang berjatuhan di lantai.

"Eh, hai," sapanya dengan ekspressi Kikuchi. Setelah semua bukunya terkumpul, ia langsung saja berlalu pergi dari hadapan Leo tanpa meninggalkan sepatah katapun.

"Ra!" panggil Leo. Hanya saja panggilannya tak dia hiraukan.

Awalnya Dira hendak menuju kelas, tapi sekarang dirinya tak berminat lagi. Melangkahkan kakinya menuju area belakang kampus dan menyendiri dibalik sebuah pohon besar. Untung saja bukan pohon beringin. Kalau tidak, ia pasti akan langsung menggantung lehernya di akar-akar yang berjuntaian itu.

Pandangan yang tak mengenakkan barusan, benar-benar mengganggu pikirannya. Otaknya berusaha berpikiran positif, tapi tetap saja yang namanya hati akan berpikir seenaknya juga.

Awalnya Dira tak ingin masuk kelas, tapi tiba-tiba Kiran malah mengiriminya pesan agar segera ke kelas. Jadilah, ia harus menahan rasa sesak di dada untuk beberapa saat. Karena akan berhadapan dengan Leo yang pagi ini ada di kelasnya.

“Kadang waktu nggak bisa diajak kompromi. Udah tahu lagi sakit hati, malah nggak bisa menghindar gini,” gumamnya mengumpat kesal.

Segera menuju kelas dengan hati yang masih nyesek. Bahkan, saat masuk pun ia hanya diam. Padahal saat itu Leo sudah berada di depan kelas.

"Saudari Dira, kenapa terlambat?" tanya Leo mengarah pada Dira yang juga berstatus sebagai kekasihnya. Hanya saja ia akan bersikap profesional sebagai dosen, jika dalam posisi mengajar.

"Toilet," jawab Dira ketus sambil terus berjalan menuju kursinya, tanpa mengarahkan pandangannya pada Leo.

Leo bisa melihat kalau Dira kesal padanya, tapi ia masih mengingat kalau ini di dalam kelas. Statusnya adalah dosen dan ia harus bersikap profesional.

Kiran saja sampai terheran-heran di buatnya. Apa yang terjadi dengan sahabatnya itu? Dia yang biasanya begitu antusias pada Leo, tiba tiba sekarang laksana seorang wanita yang sedang kesal.

"Lo kenapa?" tanya Kiran lewat pesan di ponselnya.

"Gue lihat Leo sama cewek, mereka lagi pelukan," balas Dira pada pesan Kiran.

Saat Kiran menerima pesan itu, jelas ia kaget dan sedikit tak percaya. Seorang Leo yang sifatnya tak jauh berbeda dengan Arland, mau-maunya disentuh wanita? Sepertinya ada kesalahpahaman. Hingga ia berinisiatif untuk mengirimkan bukti pesan Dira barusan pada Leo.

Sesaat setelah Leo membaca pesan dari Kiran, ia mengarahkan pandangannya pada dia. Sementara Kiran hanya  mengangkat kedua bahunya pertanda tidak mengerti.

Hingga kelas usaipun, tampang Dira masih saja kecut dan selalu membuang muka saat Leo mencuri pandang padanya. Serius, ini situasi yang membuat otaknya panas. 

Kiran langsung berpindah ke kursi yang ada di sebelah Dira. Apalagi kalau bukan untuk memastikan kabar yang diberikan Dira padanya tadi.

"Lo yakin, Leo pelukan sama cewek lain?" tanya Kiran langsung ke inti pertanyaan.

"Iya. Gue liat sendiri," jawabnya.

"Jangan-jangan lo salah lihat."

Dira mendengus saat Kiran tak mempercayai ucapannya. Menatap sobatnya garang. "Haruskah gue ajak lo flashback ke waktu gue ngeliat itu semua? Tapi sayangnya, nggak bisa. Udah ah, gue males. Duluan ya," ucapnya berlalu pergi meninggalkan Kiran.

Bergegas menuju parkiran, karena sepertinya mendinginkan otak di dalam kamar adalah cara yang paling tepat. Hendak masuk ke dalam mobil, tapi seseorang malah menariknya masuk ke dalam mobil yang parkir di samping mobilnya. Bukan hanya itu saja, tapi mulutnya juga dibekap hingga tak bisa berteriak.

Sampai di dalam mobil, ia kaget. Bagaimana tidak, yang melakukan hal menjengkelkan ini padanya ternyata adalah Leo.

Memukul Leo dengan buku yang ia pegang, saking kesalnya. "Bapak apa-apaan, sih. Buka pintunya sekarang. Saya mau keluar!" seru Dira. Ia tak ingin berada di situasi seperti ini.

"Bersikaplah seolah aku ini pacarmu."

"Setelah kejadian tadi, masih menganggap aku ini pacarmu?" tanya Dira balik. 

"Kamu salah paham. Aku nggak meluk dia, tapi dianya aja yang langsung main peluk," bantah Leo.

"Kalau memang kamu nggak memeluknya, harusnya kamu ngejar aku, yakinin aku, dan jelasin yang sebenarnya. Tapi apa, kamu bahkan menganggap seolah tak terjadi apa-apa. Kamu pikir aku tak punya perasaan?" Langsung saja mengeluarkan omelan yang sedari tadi tertahan.

"Aku hanya ingin kamu mempercayaiku, tanpa harus ku jelaskan."

''Tapi aku butuh penjelasan."

"Namanya Indah, dia itu anak dari teman bisnis orang tuaku. Dia akan mulai mengajar juga di kampus ini. Sikapnya memang seperti itu, bahkan Arland juga mengenalnya,"

terang Leo pada Dira. Ia berharap kalau Dira bisa mengerti.

"Tetap saja, aku nggak suka kamu dipeluk-peluk seperti itu. Aku nggak suka, Leo." Dira mendengus. 

Ia berpikir, sepertinya hari-harinya bersama Leo bakalan lebih sulit dengan adanya wanita itu di kampus. Apalah dirinya dibandingkan dengan wanita itu yang ternyata juga merupakan seorang dosen. Sementara ia, bahkan mengejar sebuah nilai yang bagus pun, butuh perjuangan mati matian.

"Bagaimana jika aku yang memelukmu?"

"Aku nggak mau," jawabnya ketus dan mengalihkan pandangannya dari Leo.

"Oo baiklah. Aku tahu, pelukan memang tak semanis ciuman. Lain kali, aku akan memberikannya lagi." Bibirnya melengkung membentuk senyuman.

Sudah ia katakan, sikap Leo sangat berbanding terbalik ketika bersamanya, dan ketika statusnya sebagai dosen ataupun ada orang lain di antara mereka. Tapi, jujur saja, Dira menyukai sifat yang di miliki oleh Leo.

"Ngomong apa, sih. Udah ah, aku mau pulang. Masih kesal sama kamu," ucap Dira hendak keluar dari mobil. Tapi, niatnya kembali tertahan. Saat ia membuka pintu mobil, ternyata masih dikunci oleh cowok itu.  Kembali mengarahkan pandangan pada Leo.

"Buka pintunya, Bapak. Saya mau keluar."

"Kalau saya nggak mau?"

"Leo, buka pintunya," geram Dira pada Leo yang terus mempermainkannya.

"Kita makan siang dulu," ajaknya.

"Aku nggak bisa," tolaknya

"Kenapa?"

"Karena aku harus ..."

Perkataannya terhenti ketika mendengar Seseorang mengetuk pintu mobil. Leo pun segera menurunkan kaca dan melihat siapa yang telah mengganggunya.

"Ada apa?" tanya Leo yang ternyata orang tersebut adalah Indah.

"Bisa anterin aku pulang, soalnya tadi pagi berangkatnya nebeng sama Papa," jelasnya tanpa ragu. Bahkan senyuman manis itu sengaja ia berikan pada Leo.

 "Kamu nggak lihat kalau aku lagi sama pacarku," ujar Leo menarik Dira agar sedikit mendekat padanya. "Jadi, menurut kamu, apa aku akan memilih mengantarkanmu pulang dan meninggalkan dia disini. Begitukah?"

Melirik Dira tajam, tapi tetap dengan senyuman. "Oo, maaf. Aku pikir kamu sendirian.” Dia pura-pura tersenyum. "Kamu sudah punya pacar dan dia seorang mahasiswi?" tanya Indah dengan wajah tak sukanya itu.

"Iya, kenapa. Ada masalah?" Leo balik bertanya.

Indah menggeleng. "Kalau gitu aku naik taksi aja, ya," ucapnya sambil berlalu pergi, meninggalkan tatapan kesalnya pada Dira. 

"Dia menyukaimu."

"Di akhiri dengan tanda tanya atau tanda seru?" tanya Leo menatap Dira yang ada didekapannya dengan fokus.

Dira memukul lengan Leo. "Jangan mengkaitkan semua ucapan dengan pelajaran."

"Lebih bagus, pelajaran itu bisa dipraktekkan langsung. Biar ilmunya nggak hilang begitu saja," balas Leo lagi.

Dira menarik napasnya dengan begitu berat, seakan sedang menahan rasa kesal yang menahan. "Bunuh orang, dosa, nggak?"

"Tentu saja," jawab Leo cepat. "Sebelumnya kamu harus memikirkan dulu, pasal apa saja yang akan menjeratmu setelah kamu melakukan tindakan keji itu," terang Leo.

"Begitukah?" Matanya menyipit, diiringi senyuman berat ketika mendengar penjelasan Leo.

"Apa perlu ku sebutkan satu persatu pasalnya?"

"Tidak perlu ... tidak perlu," jawab Dira cepat.

Ya ampun. Saking gregetnya, Dira berasa ingin menggigit bibir Leo yang bicara masalah hukum itu. Entah apa yang dia pikirkan, hingga otaknya malah mendarat di masalah hukum-hukuman.

"Mau ikut aku, kan?"

"Kemana lagi?”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status