"Dira," gumam Leo segera menghampiri Dira yang saat itu masih mengemasi buku-bukunya yang berjatuhan di lantai.
"Eh, hai," sapanya dengan ekspressi Kikuchi. Setelah semua bukunya terkumpul, ia langsung saja berlalu pergi dari hadapan Leo tanpa meninggalkan sepatah katapun."Ra!" panggil Leo. Hanya saja panggilannya tak dia hiraukan.Awalnya Dira hendak menuju kelas, tapi sekarang dirinya tak berminat lagi. Melangkahkan kakinya menuju area belakang kampus dan menyendiri dibalik sebuah pohon besar. Untung saja bukan pohon beringin. Kalau tidak, ia pasti akan langsung menggantung lehernya di akar-akar yang berjuntaian itu.Pandangan yang tak mengenakkan barusan, benar-benar mengganggu pikirannya. Otaknya berusaha berpikiran positif, tapi tetap saja yang namanya hati akan berpikir seenaknya juga.Awalnya Dira tak ingin masuk kelas, tapi tiba-tiba Kiran malah mengiriminya pesan agar segera ke kelas. Jadilah, ia harus menahan rasa sesak di dada untuk beberapa saat. Karena akan berhadapan dengan Leo yang pagi ini ada di kelasnya.
“Kadang waktu nggak bisa diajak kompromi. Udah tahu lagi sakit hati, malah nggak bisa menghindar gini,” gumamnya mengumpat kesal.Segera menuju kelas dengan hati yang masih nyesek. Bahkan, saat masuk pun ia hanya diam. Padahal saat itu Leo sudah berada di depan kelas."Saudari Dira, kenapa terlambat?" tanya Leo mengarah pada Dira yang juga berstatus sebagai kekasihnya. Hanya saja ia akan bersikap profesional sebagai dosen, jika dalam posisi mengajar."Toilet," jawab Dira ketus sambil terus berjalan menuju kursinya, tanpa mengarahkan pandangannya pada Leo.Leo bisa melihat kalau Dira kesal padanya, tapi ia masih mengingat kalau ini di dalam kelas. Statusnya adalah dosen dan ia harus bersikap profesional.Kiran saja sampai terheran-heran di buatnya. Apa yang terjadi dengan sahabatnya itu? Dia yang biasanya begitu antusias pada Leo, tiba tiba sekarang laksana seorang wanita yang sedang kesal."Lo kenapa?" tanya Kiran lewat pesan di ponselnya."Gue lihat Leo sama cewek, mereka lagi pelukan," balas Dira pada pesan Kiran.Saat Kiran menerima pesan itu, jelas ia kaget dan sedikit tak percaya. Seorang Leo yang sifatnya tak jauh berbeda dengan Arland, mau-maunya disentuh wanita? Sepertinya ada kesalahpahaman. Hingga ia berinisiatif untuk mengirimkan bukti pesan Dira barusan pada Leo.Sesaat setelah Leo membaca pesan dari Kiran, ia mengarahkan pandangannya pada dia. Sementara Kiran hanya mengangkat kedua bahunya pertanda tidak mengerti.Hingga kelas usaipun, tampang Dira masih saja kecut dan selalu membuang muka saat Leo mencuri pandang padanya. Serius, ini situasi yang membuat otaknya panas. Kiran langsung berpindah ke kursi yang ada di sebelah Dira. Apalagi kalau bukan untuk memastikan kabar yang diberikan Dira padanya tadi."Lo yakin, Leo pelukan sama cewek lain?" tanya Kiran langsung ke inti pertanyaan.
"Iya. Gue liat sendiri," jawabnya.
"Jangan-jangan lo salah lihat."Dira mendengus saat Kiran tak mempercayai ucapannya. Menatap sobatnya garang. "Haruskah gue ajak lo flashback ke waktu gue ngeliat itu semua? Tapi sayangnya, nggak bisa. Udah ah, gue males. Duluan ya," ucapnya berlalu pergi meninggalkan Kiran.Bergegas menuju parkiran, karena sepertinya mendinginkan otak di dalam kamar adalah cara yang paling tepat. Hendak masuk ke dalam mobil, tapi seseorang malah menariknya masuk ke dalam mobil yang parkir di samping mobilnya. Bukan hanya itu saja, tapi mulutnya juga dibekap hingga tak bisa berteriak.Sampai di dalam mobil, ia kaget. Bagaimana tidak, yang melakukan hal menjengkelkan ini padanya ternyata adalah Leo.
Memukul Leo dengan buku yang ia pegang, saking kesalnya. "Bapak apa-apaan, sih. Buka pintunya sekarang. Saya mau keluar!" seru Dira. Ia tak ingin berada di situasi seperti ini."Bersikaplah seolah aku ini pacarmu.""Setelah kejadian tadi, masih menganggap aku ini pacarmu?" tanya Dira balik. "Kamu salah paham. Aku nggak meluk dia, tapi dianya aja yang langsung main peluk," bantah Leo."Kalau memang kamu nggak memeluknya, harusnya kamu ngejar aku, yakinin aku, dan jelasin yang sebenarnya. Tapi apa, kamu bahkan menganggap seolah tak terjadi apa-apa. Kamu pikir aku tak punya perasaan?" Langsung saja mengeluarkan omelan yang sedari tadi tertahan."Aku hanya ingin kamu mempercayaiku, tanpa harus ku jelaskan."''Tapi aku butuh penjelasan.""Namanya Indah, dia itu anak dari teman bisnis orang tuaku. Dia akan mulai mengajar juga di kampus ini. Sikapnya memang seperti itu, bahkan Arland juga mengenalnya,"terang Leo pada Dira. Ia berharap kalau Dira bisa mengerti."Tetap saja, aku nggak suka kamu dipeluk-peluk seperti itu. Aku nggak suka, Leo." Dira mendengus. Ia berpikir, sepertinya hari-harinya bersama Leo bakalan lebih sulit dengan adanya wanita itu di kampus. Apalah dirinya dibandingkan dengan wanita itu yang ternyata juga merupakan seorang dosen. Sementara ia, bahkan mengejar sebuah nilai yang bagus pun, butuh perjuangan mati matian."Bagaimana jika aku yang memelukmu?""Aku nggak mau," jawabnya ketus dan mengalihkan pandangannya dari Leo."Oo baiklah. Aku tahu, pelukan memang tak semanis ciuman. Lain kali, aku akan memberikannya lagi." Bibirnya melengkung membentuk senyuman.Sudah ia katakan, sikap Leo sangat berbanding terbalik ketika bersamanya, dan ketika statusnya sebagai dosen ataupun ada orang lain di antara mereka. Tapi, jujur saja, Dira menyukai sifat yang di miliki oleh Leo."Ngomong apa, sih. Udah ah, aku mau pulang. Masih kesal sama kamu," ucap Dira hendak keluar dari mobil. Tapi, niatnya kembali tertahan. Saat ia membuka pintu mobil, ternyata masih dikunci oleh cowok itu. Kembali mengarahkan pandangan pada Leo."Buka pintunya, Bapak. Saya mau keluar."
"Kalau saya nggak mau?""Leo, buka pintunya," geram Dira pada Leo yang terus mempermainkannya."Kita makan siang dulu," ajaknya."Aku nggak bisa," tolaknya"Kenapa?""Karena aku harus ..."
Perkataannya terhenti ketika mendengar Seseorang mengetuk pintu mobil. Leo pun segera menurunkan kaca dan melihat siapa yang telah mengganggunya."Ada apa?" tanya Leo yang ternyata orang tersebut adalah Indah."Bisa anterin aku pulang, soalnya tadi pagi berangkatnya nebeng sama Papa," jelasnya tanpa ragu. Bahkan senyuman manis itu sengaja ia berikan pada Leo. "Kamu nggak lihat kalau aku lagi sama pacarku," ujar Leo menarik Dira agar sedikit mendekat padanya. "Jadi, menurut kamu, apa aku akan memilih mengantarkanmu pulang dan meninggalkan dia disini. Begitukah?"Melirik Dira tajam, tapi tetap dengan senyuman. "Oo, maaf. Aku pikir kamu sendirian.” Dia pura-pura tersenyum. "Kamu sudah punya pacar dan dia seorang mahasiswi?" tanya Indah dengan wajah tak sukanya itu."Iya, kenapa. Ada masalah?" Leo balik bertanya.Indah menggeleng. "Kalau gitu aku naik taksi aja, ya," ucapnya sambil berlalu pergi, meninggalkan tatapan kesalnya pada Dira. "Dia menyukaimu.""Di akhiri dengan tanda tanya atau tanda seru?" tanya Leo menatap Dira yang ada didekapannya dengan fokus.Dira memukul lengan Leo. "Jangan mengkaitkan semua ucapan dengan pelajaran."
"Lebih bagus, pelajaran itu bisa dipraktekkan langsung. Biar ilmunya nggak hilang begitu saja," balas Leo lagi.Dira menarik napasnya dengan begitu berat, seakan sedang menahan rasa kesal yang menahan. "Bunuh orang, dosa, nggak?""Tentu saja," jawab Leo cepat. "Sebelumnya kamu harus memikirkan dulu, pasal apa saja yang akan menjeratmu setelah kamu melakukan tindakan keji itu," terang Leo."Begitukah?" Matanya menyipit, diiringi senyuman berat ketika mendengar penjelasan Leo."Apa perlu ku sebutkan satu persatu pasalnya?""Tidak perlu ... tidak perlu," jawab Dira cepat.Ya ampun. Saking gregetnya, Dira berasa ingin menggigit bibir Leo yang bicara masalah hukum itu. Entah apa yang dia pikirkan, hingga otaknya malah mendarat di masalah hukum-hukuman."Mau ikut aku, kan?""Kemana lagi?”Berhari-hari dalam asuhan keluarga Arland, memanglah tak mudah. Bayi ini seolah paham dan tahu kalau dirinya tak berada dalam asuhan orang tuanya. Bahkan di awal-awal, suhu tubuh mungil itu sempat panas. Kiran berpikir untuk menghubungi Leo, tapi Arland melarang.Tapi seiring waktu, sepertinya dia mulai merasa nyaman dan tenang.Gauri dan Demian berkunjung. Ya, bisa di bilang setiap hari keduanya datang untuk menemui cucu mereka.“Om sama Tante mau ngasih sesuatu,” ujar Gauri dengan bayi kecil yang berada dalam gendogannya.“Apa, Tante?” tanya Kiran.Demian mengeluarkan dua lembar kertas kertas dari dalam saku kemejanya dan menyodorkan pada Kiran dan Arland.“Kedua nama ini ...”“Sepertinya mereka sudah mempersiapkan sebuah nama jauh-jauh hari,” ujar Demian. “Tadi siang Om nggak sengaja melihat nama itu tertera di salah satu buku catatan milik Leo di ruang kerjanya. Kemarin Tante j
Sudah satu bulan lamanya Dira pergi dari sisinya, bahkan tak sedetik pun otaknya berpaling dari nama itu. Nama yang memenuhi hati dan pemikirannya. Mungkin ia akan gila. Ya, gila ditinggal sang istri.Hidup tanpa tujuan, itu layaknya kertas putih tanpa warna. Flat, tanpa ada yang harus diperjuangkan. Rasa sakit kehilangan benar-benar membuatnya hancur berkeping-keping dan tak akan pernah kembali utuh.Hanya kenangan yang bisa jadi penenang di kala rasa rindu mulai merasuki. Hanya tangisan yang kadang berurai saat mengingat detik-detik kepergian dia yang dicinta.Tak ada sentuhan, pelukan hangat, kata-kata manis, dan penyemangat. Tak ada lagi wajah manis yang ia dapati saat membuka mata di pagi hari. Dia pergi jauh, seakan dirinya begitu sangat dibenci. Dia pergi meninggalkan luka menganga yang tak ada obatnya.Tersenyum saat meninggalkan dirinya ... apa itu yang dia katakan dengan cinta? Saat meminta untuk tetap bersama, justru dirinya ditinggal
Malam yang benar-benar begitu terasa panjang bagi Leo. Saat menunggu hal-hal yang membuat hatinya benar-benar terasa resah. Seharusnya ini adalah hal yang membahagiakan bagi dirinya dan Dira, tapi justru malah sebaliknya.Angan-angan keduanya yang sudah dirancang sedemikian rupa ... apakah akan musnah dalam sekejap mata?Lampu peringatan yang ada di atas pintu masuk ruang operasi, kini padam. Seiring dengan suara tangisan melengking dari arah dalam ruangan. Iya, tangisan bayi memecahkan rasa gelisah semuanya.Leo yang tadinya seolah hanya fokus pada pikirannya, kini menatap ke pintu ruangan yang dibuka dari arah dalam. Segera bangkit dan dengan cepat menghampiri seorang dokter yang keluar dari sana.“Dokter, gimana Dira ... gimana istri saya dokter?”“Putri saya baik-baik aja, kan, dokter?” tanya Riani.Dengan cucuran air mata yang seolah tak berhenti ia keluarkan dari tadi, kini cemasnya semakin memuncak. Bagaimana t
Orang yang paling penting dalam hidupnya, bahkan ia lebih menomorsatukan dia dibanding nyawanya sendiri ... kini tengah berjuang bertaruh nyawa. Tangannya bergetar saat kenyataan buruk ini menghampirinya.Lembaran kertas diagnosa yang diberikan dokter, terlepas begitu saja dari tangannya. Hatinya terasa benar-benar mengalami sayatan menyakitkan. Berharap ini adalah saat-saat yang paling membahagiakan, tapi justru sebaliknya.“Maaf ... saya sudah menjelaskan semuanya pada Mbak Dira dari awal, tapi beliau tetap kekeuh mempertahankan kehamilannya. Tak sekali dua kali peringatan itu saya berikan, lagi-lagi belia tetap pada pendirian.”Ia menangis, kali ini akan jadi hal paling menyedihkan baginya. Sebagai suami, ia benar-benar merasa lalai menjaga sang istri. Dia sakit, bahkan sakit parah hingga harus bertaruh nyawa dan ia tak mengetahui itu semua. Sekarang, tanpa dirinya ketahui, Dira tetap melanjutkan kehamilannya, seolah tak memikirkan keselamatannya
Sampai di rumah, ternyata ia dapati Leo juga baru sampai. Lega, karena suaminya ini tak menghubunginya saat ia masih berada di rumah sakit. Karena pasti dia akan mengetahui kondisinya.“Loh, kok udah pulang?” tanya Dira heran. Karena suaminya bilang dari kantor, langsung menuju kampus karena ada jadwal mengajar.“Aku pulang cepat, mau nemenin kamu ke rumah sakit,” jawabnya.Dira terkekeh. “Sayangnya ini aku baru balik dari rumah sakit,” ungkapnya. “Harusnya tadi kamu telepon dulu, Leo.”Leo tersenyum sambil membelai lembut kepala sang istri. Ya, memang salahnya, sih. “Next time aku pastiin bakalan nemenin kamu. Meskipun kamu melarangku,” ungkapnya.Dira hanya membalas dengan anggukan. Jadi, bagaimana bisa ia membuat laki-laki yang ada dihadapannya ini bersedih. Setidaknya akan ia berikan hal terbesar dan pengorbanan terbesarnya untuk Leo.“Kenapa melihatku seperti itu?”
Sebuah pernikahan akan terasa begitu lengkap oleh kehadiran seorang anak. Iya, siapapun pasangannya, pasti akan mengharapkan itu. Tak terkecuali Leo dan Dira.Bulan bulan di mana rasa mual terus menerpa dirinya di setiap pagi, hingga rasa tak nyaman saat harus memilih posisi tidur ketika sang anak yang ada di dalam rahimnya mulai bergerak aktif. Dira lalui itu dengan rasa haru. Iya, berharap semua ini akan indah pada waktunya.Pagi ini masih seperti biasa ... menyiapkan sarapan untuk Leo, sebelum suaminya itu melakukan rutinitas. Apalagi kalau bukan status dosen yang masih dia sandang, hingga pekerjaan kantor yang seolah tak ada hentinya.Terkadang sebagai seorang istri, tentu saja ia tak tega saat sang suami harus lelah setiap hari. Tapi mau membantu pun, kondisinya yang justru tak mendukung.“Ra, kamu nggak apa-apa, kan?” tanya Leo saat Dira terlihat begitu pucat pagi ini.“Enggak,” jawabnya dengan senyuman. Kemudian berla