Share

BAB : 4

"Aku mau ngajak kamu ketemu sama orang tuaku,'' ujar Leo.

"Hah?" Dira sedikit kaget saat mendengar ajakan Leo itu.

Ia senang, karena ternyata Leo menganggap hubungan mereka serius. Tapi ia takut, gimana kalau orang tua Leo tak suka padanya? Ya, kurang lebih seperti yang dialami sahabatnya Kiran diawal perkenalannya dengan Kim, mamanya Arland.

"Tapi aku belum siap," ucap Dira dengan senyuman yang dipaksakan. 

"Kenapa?"

"Takut."

"Kenapa harus takut. Orang tuaku tak mengkonsumsi daging manusia, jadi tak perlu khawatir," jelas Leo berusaha membuat rasa takut kekasihnya ini menghilang.

Leo masih sempat-sempatnya bergurau, coba saja kalau dirinya yang berada diposisi Dira. Bisa dipastikan juga akan mengalami perasaan yang sama. Bukan apa apa, hanya saja feeling nya sedikit tak baik hari ini. Dan sekarang tiba tiba Leo malah mengajak ketemu orang tua dia, semakin takutlah ia.

"Mobil kamu biar di sini aja, nanti aku anterin ke sini lagi," jelas Leo.

Padahal Dira belum berkata 'iya' untuk ajakan itu. Mau tak mau, siap tak siap, Dira menurut saja dengan ajakn Leo.

Dira merasa, ini lebih menegangkan daripada naik wahana permainan tornado, yang paling ia takuti itu. Bahkan, jarak antara kampus menuju kediaman Leo terasa sangat dekat. Mungkin efek dari rasa takutnya membuat rumah Leo jadi berpindah posisi jadi dekat. Halusinasi yang parah.

Sampai ditujuan, keduanya segera masuk ke dalam rumah. Leo terus menggandeng tangan Dira.

"Ma, Pa," sapa Leo pada kedua orang tuanya yang pada saat itu sedang duduk di sofa. Seketika itu pandangan mereka langsung tertuju padanya dan Dira yang berada di sampingnya. 

Awalnya masih biasa, tapi saat Dira jadi objek fokus keduanya, seperti sebuah rasa tak suka langsung terpancar dari wajah keduanya. 

"Ma, Pa, kenalin, ini Dira ... pacar aku," ungkapnya memperkenalkan Dira yang saat itu sudah terlihat tegang.

"Hai, Om, Tante. Kenalin, aku Dira," terang Dira memperkenalkan diri sambil mencium punggung tangan kedua orang tua Leo secara bergantian. Ya, mereka masih menyambut perkenalannya.

"Silahkan duduk," suruh wanita paruh baya itu pada Dira.

 

Dira duduk di sofa yang posisinya memang bersebelahan dengan Leo. Berharap semua hal menakutkan ini segera berakhir, ia benar benar tak tahan. Apalagi dengan sikap orang tua Leo, terutama mamanya yang seperti menelisik jauh ke dalam dirinya. 

"Pekerjaan kamu?" tanya Demian, laki laki paruh baya yang merupakan papanya Leo.

Kaget nggak, sih ... tiba-tiba baru pertama ketemu langsung ditanya tentang pekerjaan. Sepertinya rasa ketakutannya benar benar sedang diuji. Jadi, sekarang jawaban apa yang akan ia berikan? Dari pertanyaan itu saja sudah membuatnya meyakini jika mereka berharap  wanita yang bersama Leo adalah wanita yang mapan.

"Pekerjaan? Itu ... aku masih kuliah, Om," jawab Dira berusaha tetap tenang. Yang sebenarnya ia memang dalam keadaan gugup parah.

"Jadi, maksud kamu, kamu itu mahasiswinya Leo," tebak Gauri mamanya Leo angkat bicara.

Dira mengangguk, membenarkan tebakan Gauri. "Iya, Tante. Aku mahasiswinya Leo."

"Leo! Mama kan sudah bilang sama kamu, kalau mau cari pasangan itu yang udah sarjana. Dan yang terpenting adalah, dia memiliki nilai tinggi dalam bidang akademik. Lah ini, apa? Kamu pacaran sama anak kuliahan." Mengarahkan telunjuknya ke arah Dira.

"Ma, bisa nggak, sih, jangan ngebahas itu lagi?"

Jujur saja, ini bukan pertama kalinya mamanya membahas dan mengaitkan wanita yang akan menjadi pendampingnya, harus memiliki kriteria yang seperti itu. Bahkan berkali kali, hingga rasanya membosankan.

"Oke, nggak masalah kalau dia masih berstatus sebagai mahasiswi. Tapi, bagaimana dengan nilai-nilainya di kampus?"

Sontak, Dira yang mendengar itu semua langsung kaget. Karena apa? Karena dirinya sangat bermasalah dengan semua mata pelajaran di kampus, yang berujung pada nilai-nilainya yang berada di bawah rata-rata.

"Aku cintanya sama Dira, bukan sama nilainya, Ma!" Leo mulai emosi.

Biasanya hanya membahas masalah ini dengannya lewat telepon atau pesan singkat. Sekarang mereka berdua balik ke Indonesia hanya untuk mengurusi tentang siapa yang pantas untuk dirinya. Sekarang, dihadapan Dira ... bahkan mereka bersikap tak baik. Jujur saja, ia tak bisa menerima sikap itu.

"Kamu bagaimana, sih. Malah memilih gadis yang bodoh. Padahal, kami sebagai orang tua sudah memilihkan gadis yang lebih pintar untukmu."

"Dan aku nggak setuju!" Leo menyahut dengan tegas. "Yang menjalani semuanya adalah aku dak nggak suka diatur!"

 

Dira langsung bangkit dari posisi duduknya saat ia sudah tak kuat mendengar itu semua. Tak ingin lagi, jika Leo harus beradu mukut dengan orang tua dia. Hanya kqrena dirinya yang merwka anggap tak pantas.

"Maaf, Om, Tante, aku permisi dulu," ucapnya pamit dan langsung berlalu pergi dengan sedikit berlari keluar dari kediaman Leo.

"Ra!" panggil Leo, tapi panggilannya diabaikan oleh Dira.

"Leo, biarkan dia pergi!" Gauri menahan langkah putranya.

"Aku nggak akan pernah setuju, dengan pilihan kalian itu," ucap Leo dan iapun segera berlalu pergi dari hadapan orang tuanya untuk menyusul Dira.

Leo terus mengejar Dira yang sudah keluar dari gerbang rumahnya. Hingga akhirnya ia bisa menyusul.

"Dira, berhenti," pinta Leo saat tangannya berhasil menyambar tangan Dira, hingga dia menghentikan langkahnya seketika itu juga.

"Apalagi? Kamu nggak denger, apa yang dikatakan orang tuamu tadi. Aku nggak pantas buat kamu, Leo. Jadi, sepertinya ini sudah berakhir. Ada baiknya kalau kita pu--"

Leo langsung meletakkan telunjuknya di antara bibir Dira, sebelum kalimat yang menyakitkan itu dia ucapkan. Dan ia tak akan pernah membiarkan sampai kapan pun dia mengutarakan hal itu.

"Jangan mengatakan kalimat itu. Ku mohon."

Dira menangis. Ya, ia benar-benar menangis kali ini. Bahkan saat putus dari mantan-mantannya yang lalu-lalupun, tak ada air mata yg ia keluarkan. Bahkan terasa biasa saja. Tapi saat fengan Leo, semua terasa menusuk ke dalam hati. 

Leo membawa Dira ke pelukannya. Ia tak ingin wanitanya itu merasakan kesedihan sendirian.

"Aku harap kamu bisa bertahan," ucap Leo yang masih memeluk Dira.

"Aku nggak sekuat itu, Leo," ucap Dira yang melepaskan diri dari pelukan Leo.

"Yakin, mau mengakhiri hubungan ini?" tanya Leo menghapus air mata yang membasahi pipi gadis itu.

Dira langsung menggeleng cepat menjawab pertanyaan itu. 

"Bagus. Itu jawaban yang ku harapkan," balas Leo. "Tunggu disini, aku ambil mobil dulu," pinta Leo sambil mengelus oipi Dira dengan lembut. 

Dira menunggu ditepi jalan, sedangkan Leo kembali ke halaman rumahnya untuk mengambil mobil. Saat menunggu,  Dira melihat seseorang yang turun dari taksi dan masuk ke halaman rumah Leo. Tersenyum miris, ketika melihat dengan jelas sosok itu. 

"Bu Indah," gumamnya. 

Saat itu juga Dira bisa memastikan, siapa Indah dan apa tujuan wanita itu datang ke kediaman Leo. Segera menyetop sebuah taksi yang kebetulan lewat, dan langsung pergi dari sana. Kembali menuju kampus untuk mengambil mobilnya dan lanjut pulang. Rasanya ingin berdiam diri di kamar. Kepalanya pusing memikirkan kisah percintaannya yang begitu rumit bagikan rumus Fisika.

"Non, udah pul ...”

"Aku mau istirahat dan jangan ada yang mengganggu!”  Dira langsung menimpali perkataan Bibik seolah menegaskan pesannya itu.

"Tapi, Non ...”

"Siapapun itu," timpalnya, lagi.

Setibanya di kamar, Dira langsung menangis sejadi-jadinya dan berteriak-teriak histeris. Bahkan, Bibik yang sedang mencuci piring di dapur pun, bisa mendengar.

Ia akui kalau dirinya tak sekuat Kiran, yang bisa memenangkan hati orang tuanya Arland. Karena apa? Dirinya bukanlah seorang gais dengan otak yang pintar, hingga bisa mencari cara untuk menang. Bahkan untuk masalah ini, sepertinya dirinya mulai pasrah.

"Gue nggak bisa kayak gini," gumamnya sambil menghapus bekas air mata di pipinya.

Meengambil ponselnya yang berada di dalam tas dan mencari kontak Leo. Tak butuh waktu lama, karena cowok itu langsung menjawab panggilan teleponnya.

''Dira, kamu kemana. Kenapa pergi gitu aja?" tanya Leo langsung bicara.

"Aku mau kita ketemuan. Nanti malam jam 7, di taman dekat kampus," ucap Dira tanpa menjawab pertanyaan Leo dan langsung menutup teleponnya begitu saja.

Setelah menutup telepon, ia kembali menangis. Tak tahu, apa yang akan terjadi selanjutnya ... entah keputusan yang diambilnya ini benar atau tidak. Pikirannya begitu kacau untuk berpikir jernih. Yang jelas baginya, semua ini tak menyakiti Leo.

Tepat jam 7 malam, Dira sampai ke tempat janjiannya dengan Leo. Saat sampai, ternyata cowok itu sudah terlebih dahulu ada di sana.

"Apa kamu habis menangis?" tanya Leo saat mendapati mata Dira yang sembab. Mengamit tangan gadis itu, dan menyentuh wajahnya yang tampak memerah bahkan sembab.

Menatap fokus pada Leo yang ada dihadapannya. Sungguh, seakan tak bisa diri ini menahan untuk tak berada di sisi dia. "Aku mau bicara sesuatu hal yang penting sama kamu." Dira tak menjawab pertanyaan Leo.

"Apa?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status