Share

BAB : 2

Di saat Leo sedang berhadapan dengan sesuatu yang membuatnya kaget, di saat itu juga bertepqtqn dengan Dira yang baru keluar dari kamar mandi.

"Yok, balik. Aku udah selesai," ajak Dira langsung menghampiri Leo yang berdiri di dekat pintu. Tapi apa yang ia dapati, justru langsung terdiam mendapati orang-orang berseragam lengkap sedang berhadapan dengan kekasihnya.

"A-ada apa?" tanya Dira bingung sambil menghampiri Leo dan sedikit melirik ke arah beberapa orang yang sedang berada di sana.

"Kalian berdua sedang apa disini?!" tanya salah satu dari mereka dengan tampang sangar.

"Kita cuman ..."

"Tunjukkan identitas kalian," pintanya memotong perkaraan Dira.

Baik Dira ataupun Leo hanya bisa menurut saja, kemudian menyodorkan tanda pengenal masing-masing. 

"Jadi, Anda seorang dosen, dan kamu mahasiswinya?" tanya dia menunjuk Leo dan Dira bergantian. "Begitukah?"

"Iya," jawab Leo, sedangkan Dira memilih untuk mengangguk saja. Jujur saja, ini tampang orang orang yang ada dihadapannya ini terlihat sangar. 

"Kalian berdua ikut kami!" hardiknya.

"Bentar dulu, ini sebenarnya ada apa, sih. Kenapa kami berdua harus ikut?" tanya Dira dengan wajahnya yang memang sudah terlihat panik. Ya, gimana nggak panik ... ini keduanya dihadapkan pada beberapa petugas. Berasa jadi penjahat nggak, sih.

"Ntar aku jelasin," bisik Leo pada Dira. Ia menyambar kunci mobil yang ada di meja, kemudian mengenakan sweater miliknya pada Dira.

Leo tak ingin Dira tahu kalau mereka di grebek petugas yang lagi razia, gara-gara kedapatan berada di satu kamar tanpa adanya hubungan yang sah. Bisa-bisa gadis malah teriak-teriak jejeritan ntar. Tahu sendiri kalau dia orangnya suka heboh.

Yap, jadilah mereka berdua menjadi salah satu di antara pengunjung hotel yang pada malam itu ikut terjaring razia. Karena status mereka yang bukan suami istri, tapi berada di satu kamar.

Bahkan sampai di kantor polisi, wajah bingung Dira semakin terlihat. Di tambah lagi, ia juga merasa takut kalau sudah berurusan dengan polisi. Ini aja tangannya nggak melepaskan Leo seketika pun karena takut. 

"Kalian sedang apa di hotel itu?"

"Kita nggak ngapa-ngapain kok, Pak. Dia cuman nemenin saya buat bersihin badan, karena tadi  ketumpahan minuman pas jalan," jelas Dira.

"Kamu pikir kami akan percaya dengan alasan murahan seperti itu!”

Ketika Dira dibentak seperti itu oleh petugas, tentu saja Leo langsung tak terima. Ia saja tak pernah membentak gadis ini, sekarang justru orang lain yang melakukannya.

"Terserah, mau anda percaya atau tidak! Toh, kita sudah jujur," balas Leo. Ya, ia tahu, dijelaskan seperti apapun, petugas tak akan mungkin percaya gitu aja.

"Sekarang, silahkan hubungi wali kalian masing masing agar segera datang kesini," pintanya pada Leo dan Dira.

"Orang tua saya lagi di luar negri, Pak. Masa iya mereka harus pulang kampung cuman gara-gara masalah beginian doang," terang Dira.

Mampuslah kalau orang tuanya tahu ia tertangkap di kamar hotel bersama cowok. Iya kalau disuruh nikah sama Leo, tapi kalau justru sebaliknya gimana? Tidak, tidak ... ia tak ingin berpisah sama Leo.

"Orang tua saya juga lagi di luar negri," tambah Leo.

"Apa kalian nggak punya keluarga di negara Indonesia ini? Apa kalian disini hidup hanya sebatang kara? Hello, dunia ini sudah sulit, jadi jangan dipersulit lagi. Kalian masih punya anggota keluarga lain, kan?”

Dengan langkah malas, Leo beranjak dari duduknya dan pindah ke kursi tunggu. Begitupun dengan Dira yang juga mengikutinya.

"Liat kan, ini semua gara-gara kamu," dengus Dira dengan tampang kesalnya pada Leo. Ia kesal, tapi malah tetap tak mau lepas dari cowok itu. 

"Jangan nyalahin aku.”

"Memang ini semua salah kamu,” tambahnya mengoceh.

"Sstt ... diem.”

Leo menghubungi seseorang, tapi yang jelas bukanlah orang tuanya. Karena ia jujur, orang tuanya memang berada di luar negri. Dan lagi, bukan tipe dirinya yang akan bicara hal hal semacam ini pada orang tua.  

"Nelepon siapa?" tanya Dira. Tapi Leo tak menjawab pertanyaannya, karena dia sedang fokus dengan seseorang yang ditelepon.

"Land, lo dimana?" tanya Leo pada sobatnya di telepon.

"Di rumah orang tua gue. Kenapa?"

"Kebetulan. Gue sekarang lagi dalam masalah,"

"Masalah?"

"Iya. Tolong lo bilangin sama Om Alvin, buat datang ke kantor polisi. Sekarang, ya."

"Lo ngapain di kantor polisi?"

"Hhah, gue sama Dira lagi di hotel. Tiba-tiba ada razia, dan kita dituduh berbuat yang enggak-enggak. Gue sama Dira sekarang butuh wali buat bisa bebas," jelas Leo pada sobatnya itu.

"Ya udah, ntar gue bilangin."

"Thank's."

"Jadi?" tanya Dira langsung setelah Leo mengakhiri percakapan di telepon. Ya siapa lagi kalau bukan Arland, itulah yang ia dengar barusan.

"Kita tunggu Om Alvin dulu," balas Leo.

Ya, Alvin adalah orang tua dari sahabatnya yang bernama Arland, yang sudah ia anggap sebagai orang tuanya sendiri. Itu karena dekatnya ia dengan keluarga Arland. 

"Hadeh, benar-benar hari yang sial. Ntar kalau mau ngedate, jangan pake hari minggu," keluh Dira sambil bersandar di bahu Leo, berharap secepatnya keluar dari tempat mengerikan ini. 

Di sekitar mereka tampak beberapa pasangan yang bahkan sampai kena amuk petugas. Membuat jantung ngos ngosan saja berada di sini. Untungnya keduanya hanyalah sepasang manusia yang tersesat masuk hotel.

Kira-kira 20 menitan, Arland datang bersama istri dan juga orang tuanya, Alvin dan Kim. Leo merasa ini sangat memalukan ... seperti penjahat saja. Seumur umur rasanya baru kali ini ia melakukan sebuah kesalahan hingga melibatkan orang lain untuk datang membantu.

"Om, Tante. Maaf ya, kita ngerepotin kalian," ujar Leo merasa tak enak.

"Iya, nggak apa-apa," balas Alvin.

"Kiran!!! Gue nggak mau disini, gue mau pulang," histeris Dira sambil mewek-mewek pada Kiran, istri dari Arland yang merupakan sahabatnya juga. "Berasa penjahat tahu, nggak."

"Iya, tenang dulu," balas Kiran menenangkan Dira.

"Kalau gitu, kita temuin petugasnya dulu, ya. Biar kalian bisa cepetan bebas," terang Alvin.

Setelah sedikit perdebatan, perselisihan, negosiasi, akhirnya mereka berdua bisa bebas dan bernapas dengan Lega. Kebaynag saja kalau keduanya benar benar harus mendatangkan orang tua masing masing. 

"Gue mau tanya. Kalian berdua yakin nggak ngelakuin apa-apa di hotel?" tanya Arland sesaat setelah keluar dari kantor polisi. Dengan lirikan menelisik, terutama mengarah pada Leo.

"Lo kira gue cowok apaan," kesal Leo pada perkataan Arland.

"Ya emang ini semua gara-gara, Bapak," tunjuk Dira ke arah Leo masih dengan kekesalan memuncak. “Ngapain ngajakin aku ke hotel."

Leo hanya bisa mendengus saat Dira terus menyalahkannya. Ya, ia akui semua ini memang salahnya. Tapi, bisa nggak sih, Dira tak menyalahkannya terus. Haruskah ia membuat konferensi pers, untuk mengakui kalau ini semua adalah salahnya.

"Mau pulang atau enggak? Atau kamu masih betah di sini?" tanya Leo sambil membukakan mobil untuk Dira dengan tampang datarnya.

Dengan muka yang masih ditekuk, Dira tetap saja akan memilih untuk bersama Leo. Mau gimanapun sikap dan semenyebalkan apapun cowok ini, dia akan tetap jadi yang terbaik. Karena ia tahu, perjuangan agar bisa berada di sisi Leo bukanlah hal yang mudah. 

"Sampai ketemu besok, Ki," ucap Dira pamit pada Kiran. 

---000---

Di saat sang mentari sudah berkelana setengah hari, Dira masih anteng berada dibalik selimutnya. Bahkan asisten rumah tangganya sudah bolak balik ke kamar untuk membangunkan, tetap saja tak berhasil. Sepertinya, sebuah ciuman dari sang pangeran lah yang bisa membuatnya langsung melek.

"Non, ayo bangun! Ini udah yang ke 99,9 kalinya Bibik bangunin, Non. Bukannya Non Dira ada kuliah siang," terang wanita paruh baya itu heboh di dalam kamar majikannya. Hanya saja semua zonk.

Wanita paruh baya itu kembali keluar dari kamar Dira, siapa tahu majikannya ini akan bangun dengan sendirinya. Tapi apa? Selang beberapa saat kemudian ia kembali, dan gadis itu masih anteng dibalik selimutnya.

Bibik kembali mencoba, siapa tau kali ini ia beruntung dan berhasil membangunkan Dira. Lumayan, bisa dapat hadiah TV LED.

"Non, bangun dong.” Dan ini yang ke seratus kali. Dira tetap tak menjawab bahkan merespon ucapan Bibik dengan sahutan kentutpun tidak. Inikah yang dinamakan mati, tapi tetap bernafas.

Saat yang bersamaan, ponsel Dira yang ada di balik bantalnya berdering. Bibik segera mengambil benda pioih itu dan melihat nama yang terpampang di layar.

"Den Leo nelfon," gumamnya.

Awalnya ia agak ragu untuk menjawab, berasa tidak sopan. Tapi, ini yang telfon adalah Leo. Amukanya lebih menakutkan daripada Dira. Jangankan ngamuk, kadang diberikan lirikan tajam saja seakan menenbus jantung rasa takutnya.

"Hallo, Den Leo. Ini Bibik,"

"Diranya mana, Bik?" tanya Leo.

"Non Dira masih tidur, Den. Bibik udah bangunin dari tadi, tapi tetap saja nggak bangun-bangun," jelasnya pada Leo.

"Speaker-in, dan tarok ponsel di kupingnya, Bik," suruh Leo.

"Tapi, Den ...”

"Tarok, Bik.”

Bibik pun mengaktifkan speaker dan meletakkan ponsel dekat telinga Dira yang masih tertidur pulas. Ia berdoa agar majikannya tak akan mengamuk layaknya seekor macan betina yang tidurnya diganggu.

"Dira!" panggil Leo di telfon.

 Panggilan pertama masih lembut, tapi tak direspon oleh Dira. Ini sama saja dengan menguji kesabaran macan jantan.

"Dira! Kalau kamu nggak bangun juga, aku pastiin kamu nggak akan di wisuda tahun ini!"

Seketika kedua mata Dira langsung melek sempurna dan terlonjak bangun saat mendengar sebuah ancaman menerpa telinganya.

Apakah ini mimpi buruk? Tidak. Ini nyata. Seseorang seperti bicara tepat di telinganya. Sampai-sampai kupingnya berasa panas. Yakinlah, alat pendengarannya pastilah memerah.

"Non, are you okay?" tanya Bibik.

Mengarahkan pandangannya pada wanita yang sedang menatapnya penuh rasa penasaran. "Aku mimpi buruk, Bik," ucapnya masih shock.

"Ketemu setan atau sejenisnya kah, Non?" 

"Bukan,” jawabnya. “Tiba-tiba ada yang bicara di kupingku. Ancamannya nakutin banget. Ini aja masih terngiang-ngiang suaranya di lubang telingaku. Bikin panas."

"Elvio Nadira!"

"Kyaaaa!! Itu, Bik. Dia manggil lagi," histeris Dira sambil memeluk guling. Tapi, kembali ke mode heran, dengan dahinya yang berkerut. "Tapi kok mirip suaranya, Leo, ya," pikirnya lagi.

Bibik hanya bisa tersenyum miris melihat tingkah majikannya. "I-itu memang suaranya Den Leo, Non," ujar Bibik sambil menunjuk ke arah ponsel milik Dira.

"Hah?" Dahinya berkerut.

Bibik mengangguk. "Ada Den Leo, Non," bisik Bibik kembali menunjuk ke arah layar ponsel.

"Omaigat!" gumam Dira bergidik ngeri sambil tangannya mulai menyambar benda pipih itu dan mendekatkan ke telinganya.

“Haii, Leo,” sapanya dengan nada cengengesan.

"Kalau sampai kamu nggak datang, jangan harap kamu menyandang gelar sarjana tahun ini," ulang Leo dengan garang dan langsung menutup telfon.

"Mampus!" seru Dira.

Ia langsung bangkit dari tempat tidurnya dan segera lari ngibrit menuju kamar mandi. Ternyata ancaman menakutkan itu bukan mimpi di siang bolong. Ini nyata, Beb.

"Ya ampun, punya majikan kok rada gesrek, ya," gumam Bibik segera keluar dari kamar Dira.

Untung saja itu hanya gumaman. Coba kalau bicara langsung pada Dira, bisa-bisa ia bakal langsung di drop out, atau bahkan dimutasi ke segitiga bermuda oleh sang majikan.

*****

Setibanya di kampus, Dira langsung berlari menuju kelas. Semoga saja ia masih bisa mendahului si dosen es krim itu masuk kelas. Kalau tidak, euh ... habislah ia.

Tapi, saat berjalan di salah satu lorong kampus, dirinya malah dihadapkan pada sesuatu yang benar-benar membuat hatinya patah. Bahkan, tanpa ia sadari, buku-buku yang tadinya masih ia pegang malah jatuh berserakan begitu saja di lantai.

"Aku salah jalan," gumamnya tersadar dan segera memunguti kembali buku-bukunya yang berserakan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status