Share

12 - Senyum yang Dipalsukan

Rambut panjang yang tidak diikat, sepatu usang dan baju kaos kusut menjadi penampilan gadis bermata indah pada siang ini. Matanya cukup bengak, setelah mengakhiri panggilan dari Ghandara ia kembali masuk ke dalam bilik. Saat ini ia berada di ruang gawat darurat.

Dilihatnya adiknya terkapar diatas ranjang. Kenapa ia baru menyadari betapa kurus  adiknya yang divonis terkena tipes. Ia benar-benar merasa sangat bersalah melihat adiknya itu.

Melihat kakaknya yang menyalahkan diri sendiri, Awan yang menganggandeng Langit menyentuh tangan Bulan dan mengelusnya dengan lembut. "Bintang akan baik-baik aja, Kak, gak usah khawatir, ya?"

Bulan mengangguk meski hatinya tak benar-benar setuju dengan pernyataan Langit. Tapi saat ini ia ingin meyakini bahwa Bintang akan baik-baik saja. Semua akan baik-baik saja.

"Awan dan Langit pulang lebih dulu ya? Kak Bulan anter pulang, yuk!"

Langit menolak, ia memegang erat tangan Bintang yang tengah tertidur. Mungkin ia mengatakan secara tidak langsung bahwa ia tidak ingin meninggalkan Bintang.

"Langit?"

Anak itu menggeleng. Padahal Bintang tak sebaik Awan. Bintang sering sekali membuat Langit menangis, tapi anak ini tak memiliki dendam sama sekali, bahkan ia tak ingin meninggalkan Bintang.

Awan dan Bulan saling bertatapan.

"Biarkan saja, Kak, kita tunggu bareng."

***

Sudah tiga hari ini Bulan tak masuk sekolah. Parahnya tanpa keterangan tertulis. Entah apa yang harus menjadi alasan untuk Bulan dalam suratnya sampai ia memutuskan bahwa ia tidak akan mengirim surat.

Rara juga menanyainya tapi ia belum berhasil menjawab. Yang orang-orang tau, Bulan masih dianggap sebagai anak dari pemilik pabrik gula jawa. Bulan belum sempat menjelaskan kepada mereka, dan rasanya tak benar jika harus menjelaskan lewat telepon, ceritanya cukup panjang.

"Bulan masih gak masuk? Apa dia sakit, Ra?" Salah satu teman bertanya kepada Rara yang juga menggeleng tak tahu alasan kenapa gadis itu tidak masuk.

"Gimana sih, Ra, kamu kan temennya."

Mungkin Rara juga wajar merasa kesal. Rara sudah menganggap Bulan sebagai temannya tapi kenapa Bulan tak memberitahu Rara alasan kenapa ia tidak masuk sekolah. Wajar jika Rara kesal saat ini.

"Heei kamu!"

Rara tertegun melihat sosok yang memanggil dirinya.

"I-iya, Kak?"

"Bulan kenapa? Kenapa dia gak masuk?"

Rara meremas tangannya. Ia kesal sekali dengan segala pertanyaan ini. Namun, ia mencoba untuk tetap tersenyum.

"Ehh Bulan masih gak ada kabar, Kak."

Ghandara mengangguk paham. "Kamu tau dimana rumahnya?"

Rara menggeleng dengan ragu. Ia takut Ghandara akan seperti yang lain, menyalahkan ketidaktahuannya.

"Oh yaudah, makasih. Jangan lupa makan ya!" Ghandara menepuk puncak kepala gadis itu tanpa dosa. Sepertinya ia memang sudah sering melakukan hal ini. Entah kenapa ada sebuah ombak yang menghangtam ke dada Rara, sangat keras mengejutkan dan bergemuruh hebat. Ia menyukainya. Tidak aneh, siapa di dunia ini yanh tidak suka dengan Ghandara.

Bulan, jawabannya.

"Tasya nyariin kamu, kemana aja sih?"

"Bisnis." Jawaban singkat Ghandara membuat Riki dan Eko saling pandang. Tidak biasa Ghandara seperti ini. Biasanya dia akan langsung heboh menyusuli Tasya atau menelpon gadis itu dan bertanya ada apa.

"Ghan, denger aku, kan? Tasya nyariin kamu!"

"Aku gak budek, Rik." Ghandara malah bermain game di ponselnya dengan santai dan bukannya membucin.

"Lagi kumat, udah biarin aja," kata Eko melerai Ghandara dan Riki yang sepertinya memiliki perang dingin entah sebab apa.

Tak berselang lama, ponsel Ghandara bergetar, panggilan dari seorang yang kontaknya ia simpan dengan banyak emotikon hati di belakangnya.

"Lagi ngerjain tugas, bentar dulu ya?"

Panggilan itu berakhir dengan cepat. Dari cara Ghandara menjawab pertanyaan Tasya tadi jelas sekali mereka ada masalah.

Riki bangkit dari kursinya, mendatangi Ghandara yang duduk tak jauh. Eko pun menahan tangan Riki agar tidak terjadi kembali kejadian beberapa bulan lalu.

"Gak usah sewot, Rik, kalo kamu suka sama pacar aku, coba aja tikung jangan jadi pengecut."

Eko tak tahu harus apa, rupanya benar. Mereka berdua sedang berada dalam fase perang dingin.  Apalagi kali ini dan salah siapa lagi kali ini. Entah siapa yang harus mengaku kalah terlebih dahulu untuk menyudahi perang kali ini.

Ghandara keluar dari ruangan, lelaki itu menutup pintu dengan kasar menggambarkan suasana hatinya saat ini.

"Kenapa lagi, Rik?"

Riki diam. Nampaknya ia sudah tahu, apa yang terjadi sekarang. Dari raut wajahnya, sepertinya ia juga mewajarkan hal ini.

"Ghandara!!"

Ghandara berhenti, ia menghela nafas berat sebelum berbalik dan mencoba untuk tersenyum di depan gadis yang masih ia cintai.

"Iya, Bby?"

"Kamu kemana aja? Kamu kenapa?" Tangan Tasya otomatis menggelantung di lengan Ghandara seperti biasa.

Ghandara membiarkan gadis itu berlaku seperti itu. Tak sama sekali ia tampakkan kekesalannya terhadap gadis itu.

Biar Ghandara ceritakan.

Sore itu, Ghandara hendak ke kantor papahnya, membawa berkas yang papahnya suruh untuk bawakan ke kantor sebab ketinggalan. Ghandara yakin sudah mengatakan kepada Tasya bahwa ia akan mengantar Tasya ke toko buku, Ghandara hanya minta waktu sekitar sepuluh menit saja kepada Tasya untuk menunggunya karena mereka sudah berjanji akan pergi bersama.

Lantas, setelah selesai mengantar berkas kepada papahnya ia langsung menuju ke rumah Tasya. Ia menekan bel, tak ada orang di dalamnya.

Kemudian ia membuka aplikasi pesan pada ponselnya. Bertanya apakah mereka jadi pergi ke toko buku. Alasan sederhana pun di dapatkan oleh Ghandara sebagai penolakan bahwa Tasya tidak bisa pergi hari ini karena sedang meriang.

Ghandara membalas pesan itu, berkata bahwa dirinya yang akan pergi sendiri membelikan buku untuk gadis itu, sebab Tasya bilang buku itu sangat penting dan akan dipelajari secepatnya.

"Judulnya apa?" Ghandara bergeming sendiri di balik setir mobil. Ia kembali mengeluarkan ponsel dari saku kemejanya, bertanya judul buku namun tak kunjung mendapat balasan, ingin menelpon tapi Ghandara takut mengganggu Tasya. "Ya sudah aku beli semua buku yang direkomendasikan sama mbak-mbaknya aja," ucapnya membuat keputusan lalu melajukan mobil ke toko buku.

Namun, betapa ia terkejut saat melihat kemesraan di depan matanya. Pacarnya dan seorang yang dianggap hanya teman olehnya duduk bersebelahan membaca buku sambil sesekali saling menggoda dengan menyoretkan pulpen ke wajah. Sungguh pemandangan yang sangat apik untuk hati Ghandara. Lelaki hanya tersenyum saja, entah di dalam hatinya sudah penuh dengan paku yang melukai tepat di sana.

Kemesraan mereka masih bisa Ghandara maafkan, yang tidak bisa Ghandara maafkan adalah alasan Tasya yang berbohong kepadanya bahkan sampai hari ini Ghandara masih menunggu Tasya untuk mengatakan sejujurnya kepadanya. Ia menunggu dengan sabar, dengan senyum yang ia palsukan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status