Share

11 - Ghandara, Ini Bukan Dirimu!

Firasat buruk selalu menjadi nyata. Setidaknya Bulan yakin itu sekarang. Ia berjanji tidak akan pernah berpikir hal negatif lagi.

Malam itu, selepas Bulan menjemput adik-adiknya di rumah Mbok Intan, Bulan langsung panik. Bintang benar-benar terkena demam. Musim hujan memang menjadi yang Bulan khawatirkan. Pasalnya Bintang sangat sensitif terhadap air hujan.

"Wan, jaga Langit di rumah ya! Kak Bulan mau bawa Bintang ke puskesmas dulu! Tolong ambilkan kartu kesehatan Bintang di laci kamar!" perintah Bulan yang menggendong Bintang dan Awan dengan sigap bergerak menjalankan perintah kakaknya setelah menurunkan Langit dari gendongannya.

"Terima kasih, Wan, jaga Langit ya!!"

Bulan dan Bintang pergi ke puskesmas, hari yang hampir menurunkan hujan. Langit malam tidak berbintang dan hanya gelap gulita tak berhias cahaya di atas sana. Bulan dengan kaki mungilnya berderap cepat menggendong Bintang di punggungnya lantaran sepeda gayung miliknya rusak dan sepeda Sari sudah ia kembalikan.

"Langit mau bobo?" Awan mendudukkan Langit di kursi usang yang berada di ruang tengah.

Anak itu menggeleng pelan. Langit ini tipe anak yang tidak menyusahkan sama sekali. Dibandingkan dengan Bintang, malah lebih mudah mengurus Langit.

"Nanti kalo mau bobo bilang sama Bang Awan ya? Bang Awan mau belajar dulu, Langit main ini aja."

Langit menurut, diberi kertas dan sebuah pensil warna, Langit bermain dengan itu. Memang terlihat membosankan, tapi saat Langit bermain, dua benda itu nampak seperti mainan yang paling seru untuk dimainkan.

Sesekali Awan menatap Langit. Terkadang ia masih saja membenci Langit. Langit adalah awal dari semuanya. Seandainya Langit tak ada di dunia ini maka ayahnya tak akan meninggalkan mereka, seandainya Langit tak ada di dunia ini maka beban Kak Bulan akan sedikit berkurang.

Tapi, Awan perlahan berusaha untuk melupakan itu. Kak Bulan bilang, Langit adalah bagian dari kita. Dan Kak Bulan tak sama sekali keberatan dengan adanya Langit di rumah ini.

"Bang ..."

"Ya? Langit mau bobo?"

"Mau cali Kak Buyan," ucapnya dengan pengucapan cadel sesuai usianya yang baru tiga tahun.

"Kak Bulan? Ya sebentar lagi Kak Bulan sama Bang Bintang dateng, kita tunggu sebentar, ya?"

Selayaknya orang dewasa yang mengasuh anak, Awan begitu fasihnya menenangkan Langit yang kemudian kembali bermain dengan dua pensil warna di tangan kiri dan kanannya serta selembar kertas yang Awan robek dari satu-satunya buku miliknya.

Paginya, saat hendak berangkat ke sekolah. Bintang mengamuk tak ingin ditinggal oleh Bulan. Bintang memang agak manja jika sudah sakit, selalu ingin semua orang ada di dekatnya, termasuk Bulan.

Bulan bingung apakah ia harus libur saja hari ini atau memaksakan diri untuk berangkat ke sekolah. Tapi jika berangkat ke sekolah ia khawatir Awan yang akan kesusahan mengurus dua adiknya di rumah.

"Kak Bulan gak papa, berangkat aja, katanya ada latihan hari ini, kan?" ucap Awan.

Bulan tergoyahkan. Tapi mau bagaimana pun juga, yang harus ia prioritaskan adalah keluarganya yang hanya memiliki dirinya. Urusan belakangan dimarahi oleh Kak Rey dan Kak Ghandara, pikirnya.

***

"Bulan mana?"

"Kamu gak di telpon? Tadi Bulan nelpon aku katanya hari ini dia gak masuk," ucap Rey dengan percaya diri. Karena memang pagi tadi Bulan menelpon dua orang, Rey dan Rara. Itu saja.

Seperti dikhianati, Ghandara sedikit merasa geram entah sebab apa. Padahal Ghandara yakin kemaren menyuruh gadis itu menyimpan nomornya sebab ia tak menulis nomor ponselnya di data diri. Tapi apa ini? Dia malah mengabari Rey dan bukan dirinya yang tidak lain adalah ketua band?

Ghandara keluar dari ruang seni, bukan menuju aula sekolah untuk latihan tapi menuju ke kelas Bulan. Pikirannya tak jernih karena ia merasa terkalahkan oleh Rey. Ia tak suka itu.

Pelajaran sedang berlangsung di dalam kelas Bulan. Tentu saja ada guru yang sibuk menjelaskan materi di depan. Namun, lelaki yang dikenal tidak memiliki rasa takut kecuali pada Tasya itu membuka pintu dengan sangat nyaman, tak peduli guru di depan tercengang melihat tingkahnya yang memang selalu begitu.

Semua murid tertegun melihat kedatangan dirinya yang tiba-tiba dan tanpa kabar. Ghandara meneliti satu persatu wajah siswa, mencari seseorang di sana.

"Kamu, kan? Yaa kamu temen Bulan!" Ghandara mendekati Rara. Jika tidak salah dia sering melihat Bulan bersama dengan gadis ini. "Berikan nomor ponsel Bulan!" pintanya menyodorkan ponsel kepada Rara.

Seluruh kelas hanya terdiam sesaat sebelum Bu Ririn, guru bahasa melempar penghapus kayu dan tepat terkena di kepala Ghandara.

"Ahhh Ibu! Sakit!!" Sempatnya dia mengeluh sebelum kemudian kabur setelah mendapat nomor Bulan.

"Jangan di contoh yang seperti ini ya!!" pekik jerit Bu Ririn kesal atas tingkah Ghandara yang menganggu kelasnya. "Sampai mana tadi?" tanyanya lupa, maklum usia lanjut.

Berhasil kabur dari Bu Ririn, salah satu guru favoritnya dulu saat duduk di bangku kelas sepuluh, Ghandara menjalan aksi selanjutnya. Tanpa ragu sekali ia menekan tombol panggilan pada kontak Bulan. Cukup lama berdering tanpa mendapat sahutan, akhirnya Ghandara putuskan untuk menelpon kembali nanti, namun belum sempat ia menekan tombol matika suara merdu Bulan terdengar.

"Bulan! Kenapa kamu gak ngehubungi aku kalo kamu gak bisa latihan hari ini? Yang seharusnya kamu hubungi aku bukan malah Rey, kamu itu--"

"Kak!! Maaf, nanti aku telpon lagi!"

Panggilan dimatikan dengan sepihak. Ghandara menatap bingung ponselnya. Baru kali ini ada orang yang memutus panggilannya, bahkan ia mengamuk jika Tasya melakukan hal ini.

"Apa ini? Aku diabaikan?" ucapnya tak terima. Ia kembali menekan tombol panggilan pada nomor itu karena kesal, ia berniat memarahi Bulan karena mengabaikan dirinya dan memutus panggilan secara sepihak.

"Hei Bulan! Kamu pikir kamu itu heb--" Kalimatnya terhenti. "Bulan? Kenapa?" tanyanya dengan suara yang lebih pelan sebab yang ia dengar dari seberang sana adalah isak tangis dari gadis itu.

Tak ada suara yang terdengar, ia mengecek panggilan dan masih tersambung. "Bulan?"

"Aku tutup panggilannya, Kak."

Suara panggilan yang ditutup. Ghandara menatap bingung nama yang tertera di atas ponselnya. Kenapa ia merasa hampa? Tidak mungkin saat ini ia khawatir pada gadis itu, kan?

"Ghandara!!"

Panggilan itu membawa kembali pikiran waras Ghandara.

"Kenapa, Bby?"

Tasya mengerutkan keningnya. Tidak biasanya Ghandara menyambut panggilannya dengan wajah murung.

"Kenapa wajahmu? Tak suka ketemu sama aku?"

"Ehh? Bukan gitu, cuman lagi ... sibuk! Iya sibuk banget, nyiapin penampilan, kamu tau kan band aku bakal tampil di acara bulan bahasa."

Ghandara, ada apa denganmu? Kenapa kamu berbohong kepada Tasya?

"Ohh gitu, ya udah, kalo ada yang bisa aku bantu kamu bilang ya?"

"Tentu dong pacar!" ucapnya mencoba untuk terlihat riang.

"Aku ke ruang OSIS dulu, kamu ke kelas, jangan main ke kelas orang!"

Ghandara memberi pose siap dan hormat kepada Tasya yang tersenyum geli kemudian berjalan menjauh sambil melambaikan tangan dengan lucu.

Ghandara, ini bukan dirimu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status