Hari ke-tujuh sekarang. Sudah tujuh hari lamanya Bulan tak masuk sekolah. Hari ini Bintang sudah diijinkan pulang. Hal yang paling Bulan bingungkan adalah saat ini. Saat dia berdiri di depan meja administrasi, melihat nominal angka yang terdapat di selembar kertas yang tertulis nama adiknya.
Nominal yang katanya tidak besar itu, bagi Bulan sangat besar, butuh waktu dua bulan lamanya bekerja untuk mendapat uang itu. Tapi mau bagaimana lagi, Bulan tidak punya pilihan selain mengambil uang tabungan yang hendak ia gunakan untuk sekolah adik-adiknya.
"Kak Bulan hari ini sekolah, kan?" tanya Bintang. Ia resah juga karena Bulan sudah seminggu lamanya tak masuk sekolah, ia khawatir kakaknya akan tertinggal pelajaran. Meski ia menyuruh kakaknya untuk pergi sekolah, Bulan tetap ingin tinggal.
"Iya, Tang, Kak Bulan hari ini sekolah setelah mengantar kamu pulang." Bulan tersenyum, merapikan pakaian Bintang dan beberapa peralatan lainnya ke dalam tas.
Awan menyambut Bulan juga Bintang di depan pintu, anak lelaki itu mungkin tidak tidur semalaman melihat matanya yang masih kusut dan tidak ada tanda-tanda bangun tidur.
"Langit mana, Wan?"
"Masih tidur, Kak."
"Ya sudah, Awan juga tidur ya, masih subuh juga, temani Bintang istirahat. Kakak mau siap-siap ke sekolah setelah ini."
Awan mengangguk, menuntun Bintang untuk masuk ke kamar dan ia juga ingin pergi tidur sebentar saja.
Sedang Bulan, setelah selesai menjemur pakaian. Ia segera ke kamar mandi untuk membersihkan badan. Ia sudah terlalu lama cuti, jadi ia harus menebus tujuh harinya dengan cepat. Bahkan ia tidak ijin secara baik, ia hanya menelpon wali kelas, untungnya wali kelas tahu situasi yang sedang Bulan hadapi.
Bersyukur hari ini Bulan tidak terlambat. Berkat kakinya yang berlari dengan cepat ia sampai tepat pada waktunya.
Waktu berlalu, tujuh hari lamanya Bulan tak hadir ke sekolah, rasanya sudah aneh. Bertemu dengan orang-orang yang tak Bulan kenal namun sepertinya mengenal Bulan juga orang-orang yang menyapa Bulan tanpa Bulan tahu nama mereka.
Bulan sudah bertekad sejak kemarin, bahwa ia harus segera memberitahukan semua kesalahpahaman ini, ia tidak ingin kesalahpahaman ini berlanjut hingga harus merepotkan dirinya nanti.
Mungkin masih terlalu pagi saat ini. Tak banyak murid yang sudah datang termasuk Rara. Gadis itu belum terlihat hadir di kelas saat ini.
Bulan menunggu sambil membaca buku, mengulas materi yang mana ia tertinggal. Tak berapa lama kemudian Rara masuk ke kelas, wajahnya ceria sekali. Mungkin sesuatu yang baik terjadi belakangan ini.
"Rara!!"
Rara menyambut Bulan dengan begitu manis. Ia langsung memeluk gadis dengan rambut yang diikat menjadi satu itu. Rara nampak senang sekali, sebab selama tujuh hari Bulan tak masuk sekolah, Ghandara rutin masuk ke kelas ini dan mencari Rara.
"Kamu kenapa gak masuk-masuk, sih?"
Bulan hanya bisa menjawab dengan senyum canggung. Entah apa ia harus menceritakan sekarang kepasa Rara atau tunggu waktu yang tepat.
"Ra, aku mau bil--"
"Tau gak?!" Rara memotong dengan semangat. Sebab melihat wajah Rara yang sumringah, Bulan kembali menunda waktu dan fokus mendengarkan cerita Rara.
"Kak Ghandara lagi marahan sama Kak Tasya, sudah hampir seminggu!"
Alis Bulan mengerut. Lantas apa hubungannya? Kenapa Rara sangat bersemangat tentang itu? Bukankah Ghandara amat mencintai Tasya? Seharusnya ketika mendengar kabar itu kita berbela sungkawa, bukan?
Kecuali, yang Bulan pikirkan saat ini benar.
"Kamu suka Kak Ghandara?"
Raut wajah Rara menjawab semuanya. Senyum malu-malu juga tangan yang menyelipkan rambut ke belakang telinga.
Benar. Bulan tidak salah, gadis ini menyukai Ghandara. Ya wajar, Bukan yakin di sekolah ini tidak hanya Rara yang senang mendengar kabar ini.
Tapi, kenapa hanya Bulan yang sedih? Kenapa ia merasa Ghandara saat ini sedang butuh teman? Sebab ia tahu, Ghandara amat mencintai Tasya.
Bulan memang tak memiliki bakat khusus seperti indera ke-enam. Tapi ia bisa melihat ketulusan seseorang dari sorot mata mereka.
"Kita doakan yang terbaik aja buat mereka," ucap Bulan menanggapi cerita Rara.
Cerita Rara masih berlanjut. Dari apa penyebab mereka bertengkar sampai seminggu, bahkan sebelumnya sehari saja bertengkar, Ghandara sudah melakukan banyak hal bodoh untuk membuat Tasya tak marah lagi. Entah cerita itu benar adanya, entah benar-benar ada perselingkuhan atau masalah lainnya. Bulan tak suka Rara percaya dengan hal yang belum di klarifikasi secara langsung oleh orang yang bersangkutan.
"Gak usah percaya dulu, Ra, itu belum tentu benar."
"Enggak, Lan! Ini tuh kata temen sekelasnya Kak Ghandara yang ngeliat Kak Tasya sama Kak Riki itu selingkuh! Bodoh banget gak sih, ya emang sih Kak Riki itu juga ganteng tapi jaman sekarang dapetin cowo sebucin Kak Ghandara itu gak mudah, Lan!"
Tatapan Bulan sendu. Mendengar cerita Rara sepertinya menyenangkan jika dia bisa ikut bergabung juga. Ikut menelaah masalah orang lain dengan mudah. Ikut berurusan dengan hal-hal yang tidaj ada kaitannya dengan mereka.
Lantas Bulan? Jangankan untuk memikirkan masalah yang sama sekali tak ada hubungannya dengan dirinya, mengurus masalahnya sendiri saja ia masih tidak sanggup.
Hanya senyuman dan beberapa kata "iya" yang Bulan lantunkan sejak tadi. Rara masih bercerita menggebu-gebu tanpa tahu, saat ini pikiran Bulan sangat sibuk sekali. Memikirkan banyak hal.
***
Di dalam ruangan dengan banyak alat musik dan berlatarkan dengan not-not, Bulan berdiri dengan tangan yang ditautkan ke depan, posisi kepalanya menunduk ia siap untuk dimarahi sekarang. Selama seminggu lamanya ia tidak ikut latihan padahal dia sudah menjadi anggota band bentukan Ghandara."Kamu gak papa?"
Tidak seperti yang Bulan harapkan. Gadis dengan seragam kebesaran itu mengangkat kepalanya sebentar sebelum kembali menunduk setelah matanya bertatapan dengan mata Ghandara.
"Aku baik-baik aja, Kak." Bulan menyahut.
"Duduk."
Barulah Bulan berani menyentuh kursi dan duduk di depan tak jauh dari Ghandara.
Tapi yang menjadi pertanyaan Bulan dan tak berani ia ungkapkan adalah mengapa ruangan ini tak ada orang selain dirinya dan Ghandara. Lantas untuk apa Ghandara memanggilnya jika bukan untuk latihan?
"Tanyakan aja, gak usah takut. Aku gak makan orang."
Seperti bisa mmebaca pikiran Bulan, lelaki yang tadinya sibuk memetik senar gitar kini menatap Bulan dengan seksama, mengamati setiap lekuk sudut wajah cantik Bulan."Ehh itu ... apa yang akan kita lakukan sekarang?"
Ghandara menyeringai.
"Menyanyi."
Bulan tau itu. Tapi untuk apa? Tidak ada anggotan band lainnya. Hanya mereka berdua.
"Ta-tapi yang lain ..."
"Kau dan aku, kita menyanyi."
Bulan tertegun. Matanya beberapa kali berkedip, tak mengerti maksud perkataan Ghandara barusan. Mengapa seiring berjalannya waktu, semakin Bulan mengenal Ghandara, lelaki ini semakin tidak tertebak. Sikapnya manis terhadap Bulan, tidak seperti sikapnya kepada orang lain. Haruskan Bulan bertanya?
Pintu ruang kesenian terbuka secara tiba-tiba. Bulan yang memang cepat terkejut pun terlonjak dari kursi dan hampir jatuh jika tidak ada tangan Ghandara yang menangkap tangannya.Malangnya, kejadian itu disebabkan oleh seorang yang tidak seharusnya melihat hal ini.Tasya kaku di depan pintu. Menatap tepat ke dalam kornea mata Bulan. Secara cepat Bulan melepaskan tangan Ghandara."Kalau kamu mau mesra-mesraan setidaknya lakuin tugas dan tanggung jawab kamu dulu!" Tasya langsung membentak.Mengapa Bulan ada di sini? Sepertinya ia akan terkena masalah jika tetap berada diantara pasangan yang sedang terikat masalah ini.Dengan mengendap-endap, Bulan memundurkan kursi kemudian hendak bangkit sampai ia terkejut tangannya ditahan oleh tangan dingin dan sialnya tangan itu milik Ghandara."Kamu punya hutang latihan seminggu yang harus kamu bayar lunas hari ini."Bulan terkejut, ia sangat takut akan terlibat diantara mereka. Sedikit ia melirik
Suasana canggung hidup di tengah-tengah kegiatan ini. Banyak hal yang harus disiapkan untuk kegiatan bulan bahasa. Anggota OSIS yang bekerja pun memerlukan bantuan hingga mereka membuat pengumuman bahwa setiap kelas wajib mengeluarkan tiga siswa sebagai sukarelawan dalam membantu pekerjaan OSIS yang lumayan banyak. Dari banyaknya anggota OSIS yang menyebar ke kelas-kelas untuk mengambil siswa, kenapa harus Ghandara yang mendapat tugas untuk datang ke kelas Bulan. Dan tatapan mata Ghandara saat masuk ke kelas Bulan, pertama kali adalah langsung tertuju kepada Bulan. Sebanyak apapun Bulan menghindari tatapan mata Ghandara ia tak bisa lari. Lelaki itu menatapnya terlalu intens. "Kalian sudah denger pengumumannya, kan?" tanya Ghandara berdiri di depan papan seperti guru biasanya. "Jadi siapa yang mau jadi sukarelawan?" tanya Ghandara lagi tapi matanya hanya menatap satu orang. "Kamu!!" Tunjuknya langsung tanpa memberi luang bagi yang lain mengan
Sepatu kets putih yang sudah kusam dan berubah warna melangkah, beberapa kali melompat menghindari genangan air sisa hujan pagi tadi. Raut lelah juga terpancar dari wajah gadis cantik berkulit pucat dengan tas kresek yang dijinjing tinggi agar tidak terciprat air. Tiga bungkus nasi goreng. Ia sudah tersenyum membayangkan betapa indah senyum adik-adiknya nanti. Sambil membayangkan itu, akhirnya langkahnya berhenti di depan pintu kayu dengan alas lantai tak berkarpet. Dua anak lelaki yang sangat rukun bermain dengan sebuah kertas dan sebuah pensil yang mereka gunakan bergantian. "Mana langit?" tanya gadis cantik dengan wajah kucal tak terurus ini. Matanya sibuk mencari sosok yang paling muda diantara ketiga adiknya. "Awan? Mana langit?" tanya gadis ini sambil membujuk adik tertuanya yang berusia 6 tahun untuk menjawab. "Bintang? Langit dimana?" tanya gadis ini kepada salah satunya lagi, adik kedua yang berusia 5 tahun sebab sang ka
Senin. Hari tersibuk Bulan selama 16 tahun ia hidup mengurus tiga adik kecil. Sekarang yang menjadi fokus utamanya adalah karena hari ini adalah hari pertama ia masuk sekolah formal. Saat SMP ia bersekolah di yayasan, hanya melakukan beberapa kali pertemuan dengan teman-temannya, waktu belajar lebih banyak ia habiskan untuk bekerja. Hari ini akhirnya salah satu keinginannya terwujud. Ia memandangi dirinya dengan panik di depan kaca yang retak dibagian atasnya sebab Bintang melemparkan buku sebulan yang lalu ke arah kaca itu. "Wan, gimana? Udah rapi belum?" tanya Bulan was-was dengan mata masih fokus meneliti pantulan dirinya di dalam kaca. Awan menghela berat dengan gelas minum berisi air di tangannya. Ia berniat memberi Langit yang kehausan saat bangun tidur tapi berhenti ketika melihat Bulan masih berada di depan kaca dalam waktu hampir setangah jam. "Gak akan berubah kali, Kak, tetep aja gitu." Ka
Setelah bergegas mendekati Eko yang sudah berkacak pinggang melihat Ghandara si bucin ini baru datang setelah ia selesai melakukan tugas yang seharusnya dilakukan berdua, Ghandara menaikkan alisnya dengan genit dan tak lupa mengangkat dua jari di samping kepala. Eko hanya bisa menghembus nafas kasar saja dengan kerjaan Ghandara. Memang tidak membantu sama sekali dan kenapa selalu dia yang dijadikan satu tim dengan Ghandara yang pada akhirnya ia selalu bekerja sendiri. “Ghan, bisa gak sih kalo dikasih tanggung jawab itu kamu tanggung jawab dikit?” “Ko, bukan gitu masalahnya aku—yaudah aku traktir makan siang ntar,” ucap Ghandara menyerah karena Eko masih merajuk. “Aku ajak Siska juga, gimana?” rayunya. Wajah Eko langsung tertarik. Matanya berbinar menatap Ghandara yang tidak lain tidak bukan adalah lelaki yang disukai oleh Siska. Meski Ghandara sudah memiliki Tasya tak sedikit yang menyatakan bahwa Siska menyukai Ghandara, ya meskipun berakhir dengan kesedihan
“Awan!! Bintang! Langit!!” Bulan terburu masuk ke dalam rumah Mbok Intan. Ia sudah berteriak bahkan dari pagar rumah memanggil ketiga adiknya yang berada di dalam rumah Mbok Intan. “Assalamualaikum dulu, Neng,” tegur Mbok Intan yang disalami oleh Bulan. Bulan tersenyum cengengesan sambil mengucap salam yang ia lupakan saking tak sabarnya ia untuk bercerita kepada adik-adiknya. Mbok Intan menjawab salam sambil tersenyum senang. Bagaimana bisa seorang gadis yang masih butuh kasing sayang seperti Bulan menjadi tulang punggung keluarga, bagaimana bisa tangan mungil itu setiap harinya mengangkat berkilo-kilo gula jawa selama lebih dari dua tahun, bagaimana bisa ia tidak sama sekali mengeluh akan kehidupannya padahal hidupnya sungguh berat. Bagaimana bisa ia masih tersenyum manis seperti itu? Mungkin Mbok Intan yang bergeming di pintu memikirkan banyak hal itu di kepalanya. Ia menatap gadis itu dan hampir saja menangis karenanya. “Kak Bulan, a
Seorang lelaki berseragam SMA sama seperti gadis yang melipat tangan di depan dada, sedang menginjak-injak puntung rokok yang sebelumnya ia hisap hingga tak banyak lagi tersisa batang rokok itu. Raut menakutkan dari Tasya hanya dibalas dengan cengiran tak bersalah dari Ghandara. Ghandara punya banyak keburukan, tapi yang paling tidak bisa Tasya maafkan adalah rokok. Tasya benci melihat Ghandara yang sembunyi-sembunyi darinya untuk merokok. “Pacar, dengarkan aku dulu. Serius!!” Ghandara mencoba menahan tubuh Tasya yang hendak pergi dengan tubuh lebarnya ia memeluk gadis itu sembari mengelus lembut rambut hitam milik Tasya. “Dalam sebulan ini serius baru hari ini aku merokok lagi, serius, sumpah demi aku gak jodoh sama kamu, deh!” Dengan penuh khidmat Ghandara menjelaskan berharap Tasya percaya pada perkataannya, namun, sepertinya tatapan mata Tasya jelas mengatakan kalau dia tidak memaafkan Ghandara semudah itu. Jelas sekali. “Oke! Jadi aku harus ngapa
Beruntungnya mereka berdua. Ghandara si pembuat onar dan Bulan yang tidak tahu apa-apa juga ikut terkena hukuman. Pasalnya Bulan tidak diberikan kesempatan untuk menjelaskan, guru BK itu sudah terlanjur menuduh bahwa Bulan merupakan kaki tangan dari Ghandara hanya karena kuas cat yang dia pungut dengan tujuan untuk dibuang itu ada di tangannya.“Kamu … siswa baru ya?”Bulan tak ambil pusing dan tidak berniat untuk angkat bicara, pasalnya setelah ini dia ada pelajaran olahraga yang gurunya super duper galak, bisa-bisa dia kehilangan kesan pertamanya pada guru olahraga yang ingin ia ambil hatinya itu. Kebetulan sama seperti Eko yang sekelas dengan pacar Ghandara, kelas Bulan memang mendapat jadwal olahraga bersama.“Maaf, tapi bisakah kau lakukan itu lebih cepat? Kita harus menghapus semua cat ini sebelum pelajaran keempat dimulai!” Dengan memberanikan diri Bulan angkat bicara, walau ia tidak berani secara langsung menatap mata lawan