Share

10 - Latihan Pertama

Minggu pagi. Tak di sangka bahwa setelah bersekolah di sekolah formal, Bulan menjadi sanat amat sibuk. Pagi tadi ia pergi ke rumah Mbok Intan, bukan untuk bekerja tapi untuk menghaturkan permohonan maaf karena harus ijin untuk tidak kerja hari ini.

Klub musik mengadakan latihan di aula kota, jadi mau tidak mau Bulan yang sudah menjadi anggota dari  klub itu juga harus hadir. Ia tidak mau di cap menjadi orang egois yang tidak menghargai kepentingan kelompok.

Untungnya Mbok Intan bisa berbaik hati untuk memberinya hari libur untuk hari ini. Sebenarnya hari minggu adalah hari tersibuk Bulan karena ia harus bekerja ekstra di hari minggu sebab tak bisa bekerja maksimal di hari masuk sekolah.

“Makasih ya, Mbok,” ucap Bulan, ia juga meminjam sepeda gayung Sari, anak Mbok Intan yang kuliah di luar kota. Karena ia jarang bekerja, jadi mau tidak mau ia harus menghemat uangnya pula. Naik sepeda adalah pilihan terbaik.

“Nanti kalau pulangnya sampai sore, biarlah adik-adik nunggu di sini aja,” ucap Mbok Intan dibalas senyum dan anggukan dari Bulan kemudian gadis itu benar-benar pergi mengayuh sepeda dengan semangat.

Sampai di sana, sudah banyak ada orang-orang yang menunggu. Bulan pikir ia tidak terlambat. Ia sudah buru-buru tapi tetap saja mengayuh sepeda kecepatannya pasti tetap di bawah rata-rata. Menatap di sekelilingnya ia menjadi tidak percaya diri. Ia tidak tahu, bahwa di luar sekolah, teman-temannya menjadi terlihat lebih mewah dan anggun dengan balutan pakaian mahal.

Gadis bersurai baju kaos dan celana jins polos itu ragu untuk masuk setelah melihat keadaan di sekelilingnya. Ia bahkan berniat untuk kembali ke rumah saja, ia akan mencari alasan untuk tidak bisa hadir nanti. Mungkin ia lebih baik.

Saat ia berbalik. Tubuhnya menabrak tubuh seseorang. Hampir saja ia terjatuh jika orang yang ia tabrak tidak menahannya.

"Masuk, jangan buat orang nunggu kamu!"Kata-kata yang cukup pedas untuk didengar, namun ada benarnya. Ia sudah sampai di sini lalu kenapa ia ingin beralasan untuk tidak hadir. Bulan bukan pengecut seperti itu.

Langkah kaki Bulan mengekori di belakang Ghandara yang juga hendak masuk ke dalam aula besar yang belum sama sekali Bulan pernah masuki. Biasanya aula ini digunakan untuk pertunjukan, dan sekarang mereka menggunakan aula ini hanya untujk berlatih? Entahlah siapa yang membayar biasa sewanya. Tentu saja sudah Bulan pastikan bahwa dirinya tak ikut campur masalah itu.

"Kamu diberi tahu datang jam tiga kenapa baru sampai sekarang?"

"Macet," jawab Ghandara singkat, membuka kacamata hitam yang ia gunakan lalu dengan santai duduk di kursi seolah itu memang tempatnya.

Sedang Bulan masih berdiri dengan tangan di belakang, sopan sekali. Ia tahu setelah ini adalah gilirannya terkena marah.

"Duduk, kamu nunggu dimarahin? Rey gak akan marahin cewek cantik."

Bulan kebingungan, menatap Ghandara lalu memastikannya kembali dengan menatap Rey.

Senyum Rey menjawab pertanyaan di kepala Bulan. "Duduk aja, macet, kan? Makanya kamu terlambat?"

Dengan begitu, Bulan ikut duduk di kursi di samping Ghandara. Sontak semua mata menatap ke arahnya dan ia pun menjadi bingung dengan tatapan yang tak dapat ia artikan.

"Kamu duduk di sana," ucap Rey sambil menunjuk kursi yang berderet di bawah panggung dengan senyum kesabaran? Atau mungkin tidak.

"Aahh, maaf, Kak," ucap Bulan sungkan. Ia melirik ke arah Ghandara sebentar. Bukan tanpa alasan ia dengan pede duduk di sebelah lelaki itu. Jika Bulan tak salah, Ghandara-lah yang menarik kursi itu saat Rey menyuruh dirinya untuk duduk. Jadi ia pikir ia harus duduk di sana. Siaal.

"Duduk."

"Ya?"

"Duduk di sini."

Bulan tak yakin dengan apa yang ia dengar. Bukan hanya Bulan, mungkin semua orang yakin bahwa mereka semua salah mendengar.

"Maksudnya, Kak?" tanya Bulan benar-benar tak mengerti. "Ahh gak papa, Kak, aku duduk di sana aja sama yang lainnya." Bulan pikir mungkin Ghandara merasa bersalah karena sudah membuatnya malu, tapi sudah Bulan maafkan.

"Bukan, kamu duduk di sini karena kamu vokal utama sekarang."

Vokal utama? Ghandara Ayudhya membicarakan vokal utama? Apakah dia sadar apa yang sudah ia katakan?

"Ghan?!" Rey mencoba untuk menyadarkan lelaki itu.

"Dia vokal band aku sekarang."

Suasana menjadi cukup riuh karena hal itu. Pernyataan Ghandara yang tidak pernah di sangka-sangka. Sudah hampir setengah tahun lamanya band bentukan Ghandara tidak memiliki vokal wanita, hanya dia seorang, setelah Tasya memutuskan untuk keluar dari klub dan band. Tak ada yang menggantikan posisi Tasya sampai saat Bulan datang kini. Dan tentu saja semua orang yakin Ghandara sedang tak sehat jiwa raga.

"Kamu yakin? Setengah tahun kamu gak pernah niat cari vokal cewe, kenapa tiba-tiba banget?" tanya Rey. Sebenarnya Rey juga setuju, dia tahu sendiri Bulan memiliki suara indah yang sangat khas, hanya saja ia tidak memiliki hak atas band bentukan Ghandara meski ia ketua dari klub ini.

Ghandara tak menjawab dan cuma memberi sinyal kepada Bulan untuk duduk di sampingnya.

Dia memiliki sesuatu hal untuk dipastikan kepada gadis itu.

***
Bulan kembali ke aula setelah selesai menelpon Mbok Intan. Yang ia khawatirkan benar-benar terjadi. Latihan ini benar-benar akan mencapai petang sebentar lagi. Mendung juga membuat suasana sedikit menyeramkan.

"Ya sudah, Mbok, nanti kalau mereka sudah di rumah Mbok Intan, hubungi saya ya Mbok, saya khawatir soalnya tadi pagi Bintang badannya agak panas."

Bintang menjadi fokus Bulan hari ini, pasalnya anak itu tadi pagi juga tak mau bangun pagi, katanya badannya tak enak dan dia lelah. Jadi bulan meninggalkan Bintang yang belum mandi dan berpesan kepada Awan untuk menyuruh Bintang makan nanti.

"Kalo bolos kelamaan kamu buang-buang waktu yang lain."

Bulan terperanjat mendengar suara berat dan dalam itu tiba-tiba muncul di belakangnya. Ia sudah hafal siapa pemilik suara ini.

"Ahh maaf, Kak, saya bertelepon tadi."

Mendengar suara Ghandara, Bulan secepat mungkin memasukkan ponselnya ke dalam saku. Bukan tanpa alasan, ponsel Bulan bukan ponsel tipe baru. Ponselnya adalah ponsel jadul yang diberikan Mbok Intan secara cuma-cuman agar mudah dihubungi. Pasalnya sampai hari ini Bulan belum memiliki kesempatan untum mengakui jati dirinya.

Maafkan Bulan.

"Kak!"

Ghandara berhenti dan berbalik menatap Bulan yang ragu meremas tangan. "Sekali aku aku bilang, aku gak makan orang."

Bulan tahu, hanya saja Bulan tetap tidak berani. Aneh.

"Kenapa pilih aku?"

Ghandara yakin sejak tadi gadis ini sangat ingin bertanya tentang itu. Sejak tadi Bulan melirik-lirik Ghandara dengan takut berani. Sebenarnya Ghandara juga menunggu Bulan bertanya hal ini.

"Alasannya? Itu yang akan aku cari."

Bulan tertegun. Mendengar jawaban dari Ghandara yang sama sekali tak membantu membuatnya tak bisa berkata-kata.

"Satu lagi." Ghandara kembali berbalik membuat tubuh Bulan kembali menegang. "Tulis nomor ponsel di data diri. Memangnya kamu artis sampai tidak mengisi nomor ponsel di data keanggotaan?"

Entah itu cibiran atau permintaan, entahlah. Yang pasti Bulan yakin hidupnya sedang dalam bahaya.

***

Yang ditakutkan Bulan benar terjadi. Hujan turun dengan derasnya. Lantas bagaimana cara ia akan pulang? Ia khawatir adik-adiknya menunggu terlalu lama. Biasanya saat hujan seperti ini Bintang akan manja sekali, meminta agar ada Bulan di sisinya. Yang menjadi beban pikiran Bulan saat ini adalah bagaimana repotnya Awan mengurus adiknya itu. Kalau Langit, Bulan yakin anak itu hanya akan duduk tenang dan bermain dengan segala hal yang ada di dekatnya.

Aula juga sudah hampir sepi. Rata-rata dari mereka membawa mobil, atau bahkan dijemput oleh supir mereka, ada juga yang naik taksi untuk menghindari hujan.

Tidak ada yang bisa Bulan lakukan selain menunggu hujan sedikit mereda dan pulang terpaksa agak malam. Ia juga sudah mengabari Awan lewat ponsel Mbok Intan bahwa dirinya masih terjebak hujan dan tidak bisa pulang.

“Ayo!”

Bulan yang awalnya duduk tenang di luar aula, erkejut dengan suara berat dan dalam milik seorang yang ia kenal.

“Kamu mau di sini sampe subuh? Nunggu ujan reda juga gak bakal reda dalam waktu cepet.”

Bulan tak tahu harus berkata apa. Ia memandang sepeda milik Sari yang ia pinjam dari Mbok Intan tadi.

“Itu sepeda kamu? Dari merknya itu sepeda mahal, dan pasti bisa dilipat.” Ghandara tidak ragu, ia berlari kea rah parkiran sepeda gayung dengan tangannya yang menutupi kepala. “Tunggu disana!” teriaknya di sela-sela bunyi hujan yang membasahi bumi. Ghandara tahu cara melipat sepeda, Bulan kagum, ia bahkan tidak tahu bahwa sepeda itu bisa dilipat.

Tak lama, sebuah mobil warna hitam legam menghampiri Bulan. Bulan masih terbengong di tempat, ia tidak tahu bahwa pemilik mobil itu adalah Ghandara sampai akhirnya lelaki itu keluar dari mobil memberi sebuah payung dan membukakan pintu mobil belakang.

Bulan bersungut, kenapa harus di belakang sedang jok depan kosong. Tidak ikhlas sekali.

“Jok depan khusus pacar aku.” Sepertinya Ghandara memang bisa membaca pikiran dan berhasil mebuat Bulan tak lagi berpikir macam-macam.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status