Share

6~Belum move on

Bus berhenti. Bintang dan Rindu keluar dari Bus. Mereka belum sampai pada tujuan. Karena bus tidak bisa mengantar tepat di rumah Rindu. Soalnya rumah Rindu berada di dalam sebuah gang sempit dan tidak ada pemberhentian bus di sana. 

Mereka kini berjalan memasuki gang. Bintang tidak sedikitpun melepaskan tangan Rindu. Ia terus menggandengnya hingga benar-benar sampai di rumah Rindu. Setibanya di rumah Rindu, Bintang mengedarkan pandangannya pada rumah kekasihnya itu. Rumah Rindu selalu sama, ber-aura sendu. Seperti rumah tak berpenghuni. Dalam bulan ini memang Bintang sering mengantar pulang Rindu. Tapi ia tidak pernah mampir di rumah pacarnya itu. Ia juga belum mengorek-ngorek tentang kehidupan Rindu. Ia masih belum tahu apa-apa soal kehidupan kekasihnya. Yang ia tahu tentang Rindu saat ini hanya seorang gadis pendiam dan sering dibully di sekolah.

"Aku boleh mampir gak?" tanya Bintang. Ia tidak mau menunggu Rindu menawarinya untuk mampir. Karena pacarnya itu tidak pernah mengajaknya duluan. 

"Emmm... ya udah boleh," jawab Rindu ragu-ragu. Pamannya saat ini sedang tidak di rumah. Jadi ada rasa takut untuknya mengajak Bintang masuk ke dalam rumahnya. Karena ia belum seratus persen percaya pada Bintang. 

"Yes." Bintang kesenangan. Akhirnya ia bisa mampir ke rumah pacarnya itu. 

"Ya udah, ayo," ajak Rindu. 

Mereka berdua pun masuk ke dalam rumah. Saat sudah di dalam Bintang melihat-lihat sekitar rumah Rindu. Sedangkan Rindu duduk saja di sofa melihat pacarnya.

"Di rumah tinggal sama siapa aja?" tanya Bintang sambil melihat pajangan foto keluarga Rindu. 

"Sama Paman aja."

"Ohh. Mama-papa kemana?"

Rindu tertunduk sedih. "Udah gak ada," jawab Rindu lirih. 

Merasa membuat Rindu sedih, Bintang menghampiri  Rindu dan duduk di samping cewek itu. "Maaf ya, aku gak maksud."

"Gapapa. Udah lama juga kok."

"Seberapa lama?"

"Cukup lama."

"Karena apa?"

"Ibu aku meninggal saat melahirkan aku. Dan ayah karena sakit keras."

Bintang turut prihatin. Ia yang memiliki kedua orang tua secara lengkap merasa bersyukur. Karena masih memiliki orang tua. Sedangkan Rindu sudah tidak memiliki keduanya. Ia merasa sedih dan memberikan Rindu pelukan untuk menenangkan cewek itu. 

"Tenang ya, sekarang udah ada aku," ucap Bintang lalu melepaskan pelukannya. 

"Aku janji, akan selalu ada buat kamu. Kalau kamu sedih kamu boleh curhat sama aku. Cerita apa aja sama aku. Aku siap mendengarkan."

"Mulai sekarang jangan merasa sendiri. Ingat, ada aku yang selalu siap untuk kamu."

Bintang tersenyum. 

"Makasih, Bi."

"Iya, sama-sama," balas Bintang sembari mengusap kepala Rindu.

"Oh ya, kamu punya saudara?"

Rindu menggeleng.

"Sama dong, aku juga gak punya. Untungnya aku punya kamu." Bintang jadi cengengesan.

"Mau aku buatkan minuman?"

"Gak usah. Kamu duduk sini aja sama aku."

"Yakin gak mau minum?"

"Enggak, Sayang. Aku mau kamu aja."

Rindu tersenyum malu. 

"Paman kamu mana?"

"Masih kerja. Nanti malam baru pulang."

"Ohh, jadi kita berdua aja nih sekarang?"

Rindu mengangguk perlahan. 

Bintang tersenyum. Ia merapatkan posisi duduknya di samping Rindu. Lalu ia menatap pacarnya itu sangat dalam.

Rindu menggenggam tangannya sendiri. Situasi seperti ini yang ia takutkan. Apakah Bintang mau berbuat macam-macam padanya? Sekarang cowok itu menatapnya dan wajah cowok itu semakin mendekatinya. Bahkan helaan napas cowok itu dapat ia rasakan. 

"Boleh aku cium kamu?" tanya Bintang dengan suara menggoda. 

Rindu meneguk salivanya. Sekarang bibir Bintang di depan matanya. Ia sangat gugup dan meremas roknya. Saat seperti ini belum pernah ia rasakan sebelumnya. Jantungnya jadi tak karuan.

"Boleh atau tidak?" tanya Bintang lagi. 

Rindu cuma kikuk. Tidak bisa berucap apa-apa saking gugupnya karena wajah Bintang di depan matanya. Cowok itu juga terus melirik matanya. 

Bintang meneguk salivanya. Ia susah tergoda. Ia sudah lama tidak mencium seorang gadis. Ia ingin merasakannya sekarang juga. Lagipula Rindu sudah menjadi pacarnya. 

Karena Rindu hanya diam. Bintang angap cewek itu tidak menolak. Ia memajukkan wajahnya lebih dekat. Lalu ia menyusupkan tangannya di leher cewek itu. "Ini tidak akan sakit," ucapnya. Ia lalu mendaratkan bibirnya pada bibir tipis milik Rindu. 

Rindu kaget dan cuma bisa mematung di tempat sambil meremas roknya. Ini ciuman pertama dalam seumur hidupnya. 

Tidak sekedar mengecup bibir Rindu. Bintang mulai bermain di bibir cewek itu. Kecupannya berubah menjadi ciuman. Baru sebentar Rindu sudah kewalahan dengannya. Ia melepaskan ciumannya dan membiarkan Rindu bernafas normal kembali.

"Maaf, aku..." Bintang merasa bersalah. Ia terlalu tak terkontrol tadi. Jadi kelepasan. 

"Gapapa," balas Rindu. Lalu ia menunduk-menyembunyikan rona di pipinya yang memerah.

"Apa itu yang pertama?" tanya Bintang. Melihat reaksi Rindu yang terlihat sangat tidak fasih dalam berciuman membuatnya jadi bertanya.

Rindu mengangguk.

"Apa jangan-jangan... aku ini pacar pertama kamu?"

"Iya."

Bintang seakan tak percaya dia jadi pacar pertama untuk Rindu. Tapi bagus, berarti ia juga jadi cinta pertama untuk cewek itu.

"Yes."

"Kok senang?"

"Itu artinya aku juga cinta pertama kamu, kan?"

Rindu mengangguk. 

Bintang tersenyum. "Aku senang, jadi yang pertama untuk kamu."

"Kalau kamu?" tanya Rindu. 

Bintang terdiam. 

Rindu melihat raut wajah Bintang berubah. Dan tatapan mata cowok itu jadi sendu.

"Gak jawab juga gapapa," ucap Rindu lalu tersenyum pada Bintang.

Bintang membalas senyuman itu. Ia diam karena ia tidak mau menjawab. Ia tidak mau terus teringat masa lalunya. Rindu memang bukan yang pertama tapi kedua. Dan ia masih belum bisa lepas dari cinta pertamanya. Ia masih memikirkannya meski sudah berusaha melupakannya. Tapi sekarang ada Rindu, ia berharap cewek itu akan membawanya pada perubahan. 

"Besok malam aku ajak jalan mau gak?" Ajak Bintang. 

"Kemana?"

"Besok kan, malam minggu. Gimana kalau aku ajak kamu ke resto."

"Kamu yakin mau ajak aku ke sana?"

"Loh, emangnya kenapa?"

"Nanti aku malu-maluin kamu."

"Ya enggak lah, aku malah senang kalau kamu mau menerima ajakkan aku."

"Aku pikir-pikir dulu ya."

"Yah, kok pikir dulu. Aku kecewa loh kalau kamu nolak."

"Aku minta izin paman dulu."

"Iya deh iya."

Bintang melihat jam tangannya yang melingkar di tangan kirinya. Jam sudah menunjukkan 5 sore. Ia sudah harus pulang sekarang. Kalau tidak ia akan dicari mama-papanya. 

"Sayang, aku pamit pulang ya."

Rindu mengangguk. Ia mengantar Bintang sampai depan rumahnya. 

"Dadah, Sayang," pamit Bintang seraya berdadah. 

"Dahhh."

Sepeninggalan Bintang. Rindu masuk kembali ke dalam rumah. Ia beranjak ke kamarnya. Sampai di kamar ia melompat-lompat di atas tempat tidur. Ia merasa sangat senang karena ia sudah resmi berpacaran dengan Bintang. Ia juga senang karena mendapat first kiss dalam hidupnya. Ia tidak pernah sesenang ini sebelumnya. Andai dari dulu ia berjumpa dengan Bintang. Pasti ia tidak akan mengeluh dalam hidupnya. Kini ia benar-benar bersyukur dalam hidup. Ia sangat berterima kasih pada Tuhan karena telah menghadirkan Bintang. 

"Tuhan! Terima kasih!" teriaknya girang.

***

Dikediaman Bintang. Kini cowok bergingsul itu sedang duduk di meja belajarnya dan ditemani tumbukan buku di atas meja. Ia sudah selesai mengerjakan tugasnya. Sekarang ia sedang termenung memikirkan perasaannya. Jujur, ia memang sudah jadian dengan Rindu. Tetapi sampai saat ini hanya rasa nyaman yang ia rasakan pada cewek itu. Ungkapan cinta yang ia katakan hanya sekedar dari mulut tapi tidak dari hati. Ia dekat dengan Rindu sebetulnya hanya ingin melupakan kisah cintanya yang lalu. Walaupun ia sebenarnya tidak ingin melupakan gadis yang dari masa lalunya itu. Ia masih sayang pada mantannya. Tapi,  jarak memisahkan mereka. 

Bintang mengacak rambutnya frustasi. Ia kemudian meraih ponselnya dan menghubungi Rindu. Berharap dengan menghubungi gadis itu ia bisa menghilangkan pikirannya dari bayang-bayang masa lalu percintaannya.

Di lain sisi. 

Rindu naik ke atas tempat tidurnya sambil mengambil ponselnya yang berada di atas nakas samping tempat tidur. Ponselnya berdering dan ia mengeceknya. Ternyata Bintang yang menghubunginya.

Rindu tersenyum bahagia. Senangnya ada yang mencari keberadaannya. Ia jadi tidak sabar mendengar suara pacarnya itu. Ia cepat mengangkat telpon itu. 

"Hallo ...." Suara Bintang terdengar. Jantungnya langsung tak karuan, berdebar-berdebar seperti saat ia berada di dekat cowok itu. Ia senang sekali mendengar suara Bintang dan akan mengobrol dengan pacarnya itu.

"Assalamualaikum, Bi ..." Rindu menyapa dengan bersemangat.

"Waalaikumsalam, Sayangku. Kok lama sih ngangkat telponnya?"

"Kenapa, kamu kangen ya sama aku?" Perkataannya ini membuat kedua sudut bibir Rindu terangkat membentuk senyum lebar. Ia sebenarnya tidak bisa sepede ini. Tetapi mulutnya gatal ingin berucap begitu.

"Ya kangen lah, Sayang. Makanya aku hubungi kamu. Tapi kamunya lama ngangkat. Kamu marah ya sama aku? Hayo marah kenapa?"

Rindu tertawa. "Ah, enggak kok. Aku gak marah. Tadi itu aku gak tau kamu nelpon. Aku lagi mandi soalnya."

"Ih, kok mandinya malem sih. Nanti kamu sakit, aku gak mau ya, pacar aku sakit."

"Ih, apaan sih. Aku kan, bukan anak kecil."

"Mandi malem-malem itu gak bagus buat kamu, Sayang. Mulai besok jangan mandi malem lagi, ya. Aku takut kamu sakit. Aku maunya kamu itu sehat-sehat aja."

"Iya deh, iya Kapten. Hahaha."

"Wah, udah ada panggilan sayang ni buat aku."

"Hahaha."

"Aku juga punya panggilan sayang buat kamu?"

"Apa?"

"Ibu negara. Gimana? Bagus gak?"

"Emm, bagus kok."

"Oh iya, Ibu negara lagi apa nih sekarang?"

"Lagi mikirin Kapten terus. Kalau Kapten gimana?"

"Hem, aku juga lagi mikirin Ibu negara nih."

Rindu menutup mulutnya menahan tawa yang mau keluar. Geli juga percakapannya ini, tapi menyenangkan. Bintang berhasil membuat sikap dingin dan pendiamnya berkurang. Kini ia jadi banyak bicara setelah mengenal cowok itu. Dan merasa lebih percaya diri juga. 

"Ibu negara," panggil Bintang.

"Iya, kenapa?"

"Kok kamu diem? Udah ngantuk ya?"

"Sedikit."

"Jangan ngantuk dulu dong."

"Emangnya kenapa?"

"Aku masih kangen kamu soalnya."

"Ah gombal."

"Sumpah gak gombal."

"Iya deh, aku percaya."

"Sayang."

"Apa?"

"Besok malam jadi gak?"

"Belum tau."

"Jadi ya, soalnya aku mau kasih kamu sesuatu."

"Apa?"

"Ada deh, kejutan pokoknya."

"Kok main rahasian sih."

"Gapapa sekali-kali."

"Iya deh, aku terima ajakan kamu."

"Yes. Terima kasih, Sayang."

"Iya."

Obrolan mereka terus berlanjut hingga Rindu sampai tertidur. Dan lupa mengucapkan selamat tidur pada pacarnya itu. Ia hanya samar-samar mendengar suara Bintang yang memberikannya ucapan selamat malam yang romantis padanya.

"Selamat malam, Sayang. Semoga mimpi indah. Dan terima kasih sudah memberikan kesempatan pada aku untuk hadir di dalam hidup kamu. I love you, Rindu. Aku sayang sama kamu, selamanya. Muah ... assalamualaikum."

Bintang menutup telponnya. Pacarnya itu sudah tidur. Ia sudah mengobrol berjalam-jam hingga larut malam. Meski sudah menghubungi Rindu tapi perasaannya tidak berubah sedikitpun. Hanya terasa datar dan sekadar asik tanpa terbawa ke hati. Ah, ia terlalu mencintai masa lalunya. Jadinya seperti ini. Susah move on. 

Bintang menarik diri ke tempat tidur. Sebelum tidur ia memainkan ponselnya. Membuka galeri dan melihat fotonya bersama seorang gadis yang ia rangkul dalam foto itu. Ia masih menyimpan kenangan itu meski kebersamaannya dengan cewek itu sudah lama berlalu. Tapi tidak ia lupakan dan ia dijadikan momen penting dalam hidupnya. 

"Aku rindu sama kamu, Tar," ucapnya sambil melihat foto cewek itu.

"Aku belum bisa move on dari kamu. Walaupun sekarang aku udah jadian sama orang lain. Tapi, aku belum bisa melupakan kamu."

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status