Share

Pak Kabid

Tidak butuh waktu lama untuk Raga menyelesaikan pesanan makanan kami, karena hanya ada lima antrean di depannya. Karena itu, sekitar lima belas menit kemudian dia sudah kembali.

Tetapi, baru juga berjalan dari sana beberapa langkah dia sudah berhenti. Terlihat betul bahwa Raga tak bisa menyembunyikan rasa terkejutnya saat tahu bahwa ternyata aku sudah pindah ke meja Pak Alfa dan Wina. Sementara aku hanya meringis menanggapi wajah penuh tanyanya itu.

Pak Alfa yang menyadari akan kembalinya Raga melambaikan tangan padanya.

"Raga! Sini!" Pak Alfa berseru.

Raga pun menuju ke meja kami, kemudian setelah dipersilakan dia duduk di sebelahku. Lalu, dia serahkan air mineral yang tadi sekalian dia ambil di kulkas food court padaku.

"Cidil! Jadangadan bidiladang lodo yadang madaksada bidiadar dudududuk didi sidinidi. (Cil! Jangan bilang lo yang maksa biar duduk di sini.)" tuduh Raga dengan volume suara yang cukup lirih.

Aku yang sedang meminum air mineral tadi sedikit tersedak mendengar Raga yang tiba-tiba menggunakan bahasa alien. Pasti dia tidak ingin kata-katanya tadi didengar atasannya.

"Yada kadalidi, Gada. Edemadangnyada guduwede adapadaadan? (Ya kali, Ga. Emang gue apaan?)" balasku berbisik.

Tentu saja aku yang mengalami masa remaja di era 2000-an paham bahasa alien ini. Aku kan anak gaul pada masanya. Dan Raga sebenarnya juga belajar dariku.

"Edemadangnyada adadada yadang ledebidih tadahudu lodo dadaridipadadada guduwede didi sidinidi? Padaliding lodo ladagidi cadaridi godosidip sodoadal padak adalfada. (Emangnya ada yang lebih tahu lo daripada gue di sini? Paling lo lagi cari gosip soal Pak Alfa.)"

Aku mendengus kesal karena tuduhannya itu. Memang sih, aku suka cari-cari gosip soal orang-orang di kantor, tapi ya tidak sampai maksa seperti yang dituduhkan Raga itu. Dan gosipnya juga cuma ku ceritakan pada Raga dan Mbak Bella. Eh, sama pembaca juga, ding. Jadi, kalau tiba-tiba ceritaku sampai keluar ruangan, berarti antara Raga dan Mbak Bella yang tidak bisa menjaga mulutnya atau ada orang lain yang tidak sengaja mendengar.

"Kadalidi idinidi gadak, yada. Padak Adalfada yadang midintada. (Kali ini gak, ya. Pak Alfa yang minta.)"

Raga mencebik, lalu berkata, "Hidilidih, gadak pedercadayada. (Hilih, gak percaya.)"

"Kadalidiadan pidikidir sadayada gadak tadahudu badahadasada kadalidiadan? (Kalian pikir saya gak tahu bahasa kalian?)"

Barusan tadi bukan aku ataupun Raga yang berbicara. Suara Raga tidak semanis ini. Suara Raga lebih tebal dan ada aksen medhok di huruf 'd' dan 't' -nya. Sedangkan tadi terdengar lebih anggun dan merdu. Untuk memastikannya, kami menengok ke sumber suara yang tak lain adalah Pak Alfa.

Dia nampak mensedekapkan tangannya di bawah dada sambil menyunggingkan senyum seribu artinya. Sementara itu, Wina yang ada di sebelahnya nampak kebingungan. Mungkin dia heran dengan bahasa alien kami.

"Sajayaja jujugaja bijisaja pajakajaiji hujurujuf lajaijin. (Saya juga bisa pakai huruf lain.)"

OMG! Dua tahun mengenalnya, baru kali ini aku tahu bahwa atasanku juga termasuk anak gaul milenium. Mana dia juga cukup fasih. Astaga… jangan-jangan selama ini dia paham obrolanku dengan Raga dan Mbak Bella juga. Rasa-rasanya keringat dingin mulai mengucur di dahiku.

“Ih, kok kalian kayak cuekin aku, sih. Curang pakai bahasa aneh-aneh gitu. Pasti lagi ledekin aku, ya?”

Entah dari mana kesimpulan itu Wina dapatkan. Dia nampak kesal, terlihat dari pipinya yang menggembung. Tetapi, wajah cemberutnya itu justru membuatnya semakin manis dan aku yakin Pak Alfa akan setuju dengan pendapatku. Karena setelah melihat ekspresi Wina itu, Pak Alfa jadi terkekeh.

“Pede banget lo, Win! Orang kita malah lagi ngomongin Pak Alfa. Iya kan, Pak?”ujar Raga, mencari pembenaran.

Pak Alfa menggeleng-gelengkan kepalanya lirih sambil berdecak. Kemudian, dia membalas, “Kayaknya cuma kalian yang berani ngomongin atasan di depannya langsung. Gak sadar kalau kalian karyawan HRD? Contohin yang baik, dong.”

Gara-gara Raga, malah kena omelan Pak Alfa.

“Maaf, Pak. Raga yang mulai.”kataku.

Merasa dikambinghitamkan, Raga melotot padaku. Aku juga balas melotot padanya. Kalau boleh, sebetulnya aku sudah ingin adu debat dengannya. Tetapi, untungnya itu tidak terjadi karena makanan kami akhirnya sampai.

“Makasih, Mas Bowo.” ucapku pada Mas Bowo yang merupakan salah satu petugas di food court.

Kalau dilanjutkan, mungkin nilai kami di mata Pak Alfa akan benar-benar jatuh. Terima kasih, wahai Mas Bowo.

Aku yang sudah kelaparan pun menyantap makanan yang baru datang itu dengan semangat. Memang waktu istirahat siang masih tersisa cukup lama, tetapi aku merasa harus segera minggat dari sini. Karena bisa saja aku dan Raga mengganggu kencan siang singkat Pak Alfa dan Wina.

“Makannya jangan cepet-cepet! Keselek loh, nanti. Kamu kan tahu orang bisa mati karena keselek, loh.”

“Ohok!!”

Baru juga diingatkan, aku jadi benar-benar tersedak. Siapa juga yang tidak akan tersedak saat makan kalau tiba-tiba pundaknya dipukul. Mana kalimatnya tadi cukup ngeri.

“Ya, Gusti… Dokter Hilman!!”seruku sambil memukulinya bertubi-tubi. Sedangkan dirinya terus tertawa terbahak, karena berhasil mengerjaiku.

“Maaf… maaf…” katanya dengan lagak tengilnya, setelah berhasil menghindar dari pukulanku.

“Hish!” gerutuku kesal.

Para pembaca sekalian, mungkin kalian tidak akan percaya kalau aku bilang bahwa orang yang suka bercanda tadi adalah salah satu dokter di rumah sakit ini. Dan mungkin akan lebih sulit percaya lagi kalau aku bilang bahwa dia adalah seorang Kabid (Kepala Bidang) Pelayanan. Umurnya sudah masuk kepala empat, tapi hobinya seperti bocah SD yang suka jahil pada teman sekelasnya.

“Selamat siang, Dok. Mari duduk sama kami.” ajak Pak Alfa.

“Kamu agak geser dikit, Fa. Aku mau duduk di sebelah ‘yayang’ Wina.”

Pak Alfa menuruti permintaan Dokter Hilman. Dia pindah ke kursi sebelahnya yang masih kosong. Hal itu sepertinya membuat Wina sedikit kesal, karena saat Dokter Hilman sudah duduk di sebelahnya, dia memutar bola matanya.

Seperti yang kukatakan sebelumnya, meskipun bukan rumah sakit besar yang serba mewah, rumah sakit ini adalah sarang visual. Banyak perempuan dan pria berwajah menawan di sini, sehingga membuatku selalu merasa bahwa aku sedang berada di dalam drama romansa. Tidak hanya Pak Alfa, baik Wina dan Dokter Hilman juga tidak kalah menarik. Yang satu cantik, satunya lagi tampan. Dan biasanya seseorang yang berfisik sempurna juga akan tertarik pada yang sempurna juga. Seperti Dokter Hilman ini yang jelas-jelas memiliki hati untuk Wina. Tetapi seperti yang kita pahami, hati Wina 90% sudah milik Pak Alfa. Dan mungkin Pak Alfa juga begitu.

Sebagai penggembira, tentunya aku sangat suka dengan pemandangan cinta segitiga di depanku ini. Sampai-sampai aku tak bisa berhenti tersenyum lebar.

“Cil, sadar, woi!”

Dalam hati aku menjawab seruan Raga. Percuma saja, Ga. Guwe lagi asik. Masa gue lewatin kejadian langka gini, sih?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status