Wandi yang gelisah akhirnya teringat jika Adrian selalu menyiman dompetnya di dalam jok sepeda motor. Kemudian dia melihat ke arah meja saat dia makan, matanya bersinar melihat kunci motor Adrian tergeletak di sana. Pelan dia menerobos orang yang menghalangi untuk menjangkau tempat duduknya tadi dan mengambil kunci motor itu.
”Alhamdulillah akhirnya rejeki juga, dia lupa bawa kuncinya. Emang kalau anak baik pasti jodohnya juga orang baik.”
“Mas, ayo cepetan bayar!” ucap pemilik warung menatap tajam ke arah Wandi.
“Iyee ... dih gak sabar amat. Gue kagak bakalan kabur Bang, tenang saja. Gini gini, gue laki yee ... punya tanggung jawab,” ucap Wandi yang bertubuh kurus sambil keluar dari warung menuju ke arah motor yang terparkir di sisi warung.
“Hei, jangan kabur lu, bayar dulu!” teriakan pemilik warung sontak mengagetkan para pengunjung warung yang sedang makan saat itu. Muka Wandi terasa merah terbakar menahan malu mendengarnya. Hingga berhenti dan menoleh ke arah abang pemilik warung.
”Gue kagak kabur Bang, nih mo ambil duit di jok motor. Ayo ikutin kalo gue bohong!” Teriak Wandi tanpa memperdulikan orang-orang yang menatapnya curiga. Wajahnya sudah merah menahan malu dicurigai gak bisa bayar makanan. Apes benar nasib Wandi hari ini.
Dengan langkah lesu meskipun sudah makan semangkuk soto ayam, Wandi membuka jok motor. Entah mimpi apa yang dialami Wandi, hingga hari ini dia begitu sial. Bertemu kakek yang lebih mirip demit, kemudian ditinggalkan sahabatnya yang tergoda gadis molek.Perasaannya tidak karuan, tidak tahu apakah dompet Adrian ada di dalam atau tidak? Pikiran buruk mulai membayang jika tidak menemukan dompet Adrian di sana. Matanya menciut saat membuka jok motor, takut menerina kenyataan buruk. Wandi sering mendapat bom kejutan dari Adrian, jantungnya selalu berdetak setiap kali dia ditinggalkan teman baiknya itu sendirian.
Tetapi saat membuka jok motor.
“Yesss ... alhamdulillah, Tuhan masih berpihak pada gue, orang ganteng ini. Yesss ... awas lu Yan! Sekali lagi ngerjain gue, gak bakalan gue ....”
Belum selesai Wandi bicara sendiri, pemilik warung sudah memanggilnya untuk cepat membayar tagihan makanan. Dan terpaksa tanpa sepengetahuan temannya, Wandi mengambil dompet Adrian yang selalu di letakkan di dalam jok sepeda motor. Dompet warna hitam kulit yang berisi uang seratus ribu rupiah dan STNK sepeda motor milik Adrian. Segera Wandi mengambil uang dan memberikannya kepada pemilih warung yang terus mengawasinya sejak tadi.
“Nih Bang, gue gak bohong? Gue bayar lunas. Eh, tapi kog banyak amat nih tagihannya? Bukannya tadi cuma berdua? Jangan bilang gadis tadi juga mau dibayari?”
“Emang iya, lu nggak tahu kalo dia belum bayar? Tanya sono ama teman lu, yang udah kabur duluan sama dia!” ucap mas pemilik warung sambil memberikan uang kembalian.
“Bang, tadi tau kemana temen gue pergi? Gara-gara Abang gue ditinggal nih.”
Abang pemilik warung melihat ke arah Wandi sambil membereskan meja yang penuh dengan mangkuk kotor. Dia meletakkan mangkuk-mangkuk itu di tempat pencucian, kemudian berjalan mendekati Wandi yang masih menatap ke arahnya. Untung suasana warung agak sepi, para pengunjung sudah mulai pergi, sebagian yang ada di gubuk juga tinggal dua orang yang duduk di sana.
“Lu kagak tau, kalo temen lu tadi jalan ke arah sono? Gue juga heran napa dia ikut cewek itu? Tadi mo ngingetin tapi warung gue masih rame trus lupa.”
“Ke arah mana Bang? Naik apa dia tadi? Motornya juga masih ada di sini? Kagak mungkin jalan kaki lah? Dia gak suka jalan kaki.”
Abang pemilik warung menunjuk ke arah jalan raya, arah balik Wandi dan Adrian datang ke warungnya. Membuat Abang sedikit bingung karena melihat tidak ada sosok yang dia maksud, padahal baru beberapa menit yang lalu. Pandangannya masih lurus menatap ke arah jalan raya yang sudah banyak lalu lalang kendaraan. Kemudian dia melangkah diikuti Wandi yang masih menatap ke arahnya dengan mulut mengaga. Hampir saja menetes air liur dari bibirnya.
“Heh Mas, tadi gue liat temen lu jalan ke arah sono. Tapi kagak tahu kemana lagi? Kog gak ada? Hati-hati aja, karena daerah sini masih rawan makhluk beda alam. Jangan-jangan temen lu tadi kebawa sama makhluk itu.”
“Aduh Bang, jangan ngadi-ngadi deh. Gue merinding ini, oke gue susul dia tapi ... kog arahnya ke sono ya Bang? Bener ya?”
Wandi sedikit ragu, karena yang ditunjukkan
Tak ada jawaban dari pemilik warung, sekedar anggukan dan masuk ke dalam warung. Tinggal Wandi yang termenung di dekat sepeda motot Adrian. Antara bimbang untuk mencari temannya itu, atau pulang ke rumah bilang ke orang tua Adrian. Dia melihat lagi ke arah yang di tunjuk Abang pemilik warung tak ada orang yang berjalan ke arah dia dan Adrian tadi datang. Aran pohon beringin yang bergoyang, meskipun tidak ada angin yang datang.
Dengan langkah lunglai Wandi berjalan ke arah sepeda motor, dan menyalakan mesin motor. Meskipun dengan bimbang dan sesekali menatap ke arah warung memastikan ucapan pemilik warung tadi benar, akhirnya Wandi memutuskan menuju arah pohon beringin.
“Semoga Adrian tidak ada masalah. Ya Tuhan, tolong bantu gue, gak mau ditinggal kayak gini? Sumpah gue bingung gak punya SIM juga, nanti kalo ada polisi gimana? Dasar Adrian kampret lu napa ninggalin gue,” gumamnya menyalakan sepeda motor.
Kesialan Wandi bertambah, dilabrak seorang Ibu yang akan keluar dari area parkir dan terhalang oleh motornya. Gelap malam yang membuatnya semakin takut dan merinding segera pergi dari warung soto itu.
Pikiran Wandi masih masih tertuju dengan Adrian yang begitu mudahnya meninggalkan dirinya seorang diri. Apalagi semenjak kedatangan gadis cantik yang di warung tadi. Ada yang aneh dengan gadis itu. Senyum misterius di mata Wandi. Meskipun cantik gadis itu terlihat kuno dan wajah sedikit pucat. Memang tubuhnya mempesona dengan pakaian yang transparan memperlihatkan samar lingserinya. Semua orang yang melihatnya pasti akan tergoda. Apalagi dilihat dari wajahnya yang masih sangat muda seusia anak SMA.
Sepanjang perjalanan menuju pohon beringin hanya wajah gadis cantik dan Adrian yang ada di benak Wandi. Jalan raya yang masih sepi membuatnya leluasa menjalan sepeda motornya. Matanya jelalatan melihat sekeliling, berharap menemukan temannya sepanjang perjalanan. Bahkan ia tidak tahu di mana temannya saat ini berada. Semilir angin malam membuat bulu kuduknya berdiri. Jaket yang ia kenakanpun juga sudah terasa semakin dingin.
“Ya Tuhan, semoga kamu tidak ada kenapa-kenapa Brow, bisa dimarahi orang tua elu nih gue.”
Perlahan-lahan Hesta menampakkan diri dengan wujud aslinya. Sontak kedua remaja tersebut berpelukan dan berteriak dengan keras. “HANTUUUUU ….” “HANTUUUUU ….” Semua penghuni rumah masuk ke kamar Adrian. Badrun yang baru sampai menyerobot lengan kedua orang tua Adrian yang berdiri di depan pintu. Mereka melongo melihat sosok Hesta yang menyeramkan dengan rambut terurai panjang. Tawa keras Hesta memenuhi kamar Adrian hingga orang -orang berlari keluar, tapi naas di depan pintu sudah ada kakek dan bapaknya Hesta yang menghadang mereka. Semua orang yang berada di dalam rumah berhenti dan saling berangkulan. Naluri Adrian merasa dekat dengan sosok menyeramkan yang ada di depannya. Indra penciuman yang tidak asing meski dengan penampakan yang berbeda. dengan hati berdebar, Adrian mendekati sosok yang tadi berada di kasur dan sudah mengikuti mereka hingga ke ruang tamu. “L-lo … lo Hesta bu-bu-kan?” tanya Adrian dengan gugup. “Ya Adrian, ternyata lo masih mengenali gue. Cinta memang inda
Kakek terus berusaha menenangkan Hesta yang gelisah melihat Adrian dan Wandi jatuh dari motor. Hesta terus meronta minta dilepaskan dari cengkeraman belenggu dunia lain dan tidak bisa keluar dari sana. Hingga kakek kewalahan dan memanggil penguasa alam ghaib untuk memberikan peringatan kepada Hesta. “Hesta, jika kamu tidak menurut apa kata kami. Maka dengan terpaksa kami akan mengeluarkan kamu dari dunia kita dan tidak bisa kembali lagi!” bentak penguasa alam ghaib yang sudah kesal dengan tingkah Hesta akhir-akhir ini. Hesta mengerutkan alisnya yang tebal dan hitam. Dia melihat ke arah kakek yang menatap tajam kepadanya. Hal yang tidak diinginkan ketika hati tidak sesuai dengan keadaan. Hesta terdiam tidak berani menatap penguasa alam dedemit yang tampak menyeramkan seolah ingin menghukumnya. Selama hidup di dunia dedemit baru kali ini Hesta membuat ulah dan merepotakan bangsanya sendiri. Dia hanya menuruti egonya untuk bisa bersatu dengan bangsa manusia yang sudah mencuri hatinya.
Wandi menatap Adrian dengan tajam. Tidak percaya jika sahabatnya tetap berhubungan dengan makluk astral tersebut. Janjinya dengan orang tua Adrian tidak akan diingkari, dia akan tetap menjaga Adrian dari makhluk Astral yang selama ini menganggu hidupnya. Balapan motor tetap berlangsung. Sementara Kakek yang yang berada di belakang penonton tetap berdiri mengawasi Adrian dan Wandi yang berada bersebrangan. Remaja itu hanya diam, dia sudah salah tidak bisa menghindar dari Hesta. “Wan, kira-kira jika aku kembali bertemu dengan Hesta, Kakeknya marah tidak?” tanya Adrian. “Lo udah kedanan bener sama Demit itu. Susah ngomong ama, lo. Di mana-mana, bukan hanya kakeknya Demit itu yang marah, tapi orang tua lo juga pasti marah. Lo masih waras, nggak sih?” “Ya … mo gimana lagi … Hestanya yang nemui gue. Masak gue tolak. Adan lo tahu, hawa saat ketemu dia sangat ehem …” kata Adrian sembari memejamkan mata. Pletak “Udah kena guna-guna anak ini. Tidak bisa dibiarkan.” Wandi kemudian menyeret
Selagi Ardi berteriak dari atas tangga, Wandi yang ada di bawah terkejut. Tangan yang memegang tangga menyenggol dan mengakibatkan tangga oleng dan ambruk. Beruntung Ardi memegang tembok bagian atas. Dia tidak terjatuh tapi bergantung di dinding dan celana pendek yang melorot hingga terlihat pantat. “Woii!! Lu malah ketawa, buruan tangan gue udah pegel!” teriak Ardi melihat Wandi tidak segera menolongnya. Dengan menahan tawa, Wandi segera mengambil tangga besi dan menempatkan tepat di sebelah Ardi yang menggantung. Setelah kaki Ardi menginjak tangga, buru-buru memberitahu jika Adrian dalam keadaan seperti orang tidur. Tapi naas belum sempat Ardi melihat kondisi di dalam kamar mandi, pintu terbuka mengarah keluar an menghantam tangga. Otomatis tangga yang menjadi injakan Ardi ambruk lagi dan Adri menggantung di dinding. “Astagahh …! Wandi!! Kalian tega ama guee!!” teriaknya dari atas. Adrian yang baru keluar dari dalam, tidak menghiraukan kehadiran kedua temannya. Membuat Ardi dan W
Adrian membuka mata dan marah karena tubuhnya sudah basah. Dia menatap nanar ke arah Wandi yang berdiri tepat di sebelah kasurnya. Dengan cepat pemuda itu berdiri dan mencengkeram krah bajunya. Tapi belum sempat menarik baju Wandi, seseorang menariknya ke belakang. Jumari dengan cepat menarik tubuh anaknya menjauh dari Wandi.“Kamu ini apa-apa an? Mau berkelahi? Udah ditolongin masih masih tidak sadar,” kata Jumari dari samping anaknya dengan menahan tangan Adrian.“Bapak! Dia sudah menyiram aku dengan air. Kurang ajar benget, tidak sopan. Nih lihat, kasurku basah baju juga basah!” kata Adrian dengan dengan napas memburu.“Duduk!” perintah Jumari menarik Adrian duduk di tepi ranjang yang basah karena air. “Sekarang kamu liat, tuh jam berapa?” tangan Jumari menunjuk ke arah jam yang ada di meja.“Astagahh … itu bener jamnya?”Adrian melongo melihat jam di dinding sudah menunjukkan pukul 11.00. Itu artinya dia sudah melewatkan waktu untuk bermain balap motor pagi itu. Padahal acara lomb
Sementara di tempat lain, Adrian dan kedua temannya yang kesal akibat ulah Wandi segera pergi dari stan penjual martabak. Mereka menuju ke arah parkiran yang jaraknya agak jauh dari tempat asal berteduh. Niat mereka bertiga hendak meninggalkan Wandi dan Tina, yang sudah curang dan tidak lagi memikirkan teman. Setelah mendapatkan motor dari tukang parrkir, ketiganya bergegas melajukan kendaraan menuju desa tempat tinggal mereka. Sepanjang jalan, baik Adrian dan kedua temannya memaki Wandi yang tidak setia kawan ucapan kotor. Tidak sadar, jika dari arah belakang ada bayangan hitam mengikutinya. Bayangan perempuan dengan rambut panjang menyeringai menatap Adrian dan kedua teman yang melajukan sepeda motor dengan kencang. Hujan gerimis di tengah malam tidak mereka perdulikan, hingga laju kotor berhenti di perbatasan desa. “Yan, gue kog merasa ada yang membuntuti kita,” kata Ardi sambil bersedekap. “Kagak usah mikir yang aneh-aneh. Gue bingung, entar gimana ngomong sama Emaknya Wandi dan