"Sebentar lagi lebaran, kamu masak apa Ti?" tanya Nilam, Tetangga Atika.
"Belum tau Nil. Suamiku juga belum ada ngirim uang," jawab Atika. Ia ingin sekali lebaran ini masak daging, semua orang sudah pada ikut arisan daging, namun hanya dirinya sendiri yang tidak ikut. Boro-boro ikut arisan daging sapi, untuk beli ayam saja setahun sekali tidak kebeli."Nggak pentinglah masak enak. yang penting puasanya full," ucap Nilam lagi.Atika hanya membalas dengan senyuman saja. Sebenarnya ingin sekali Ia memasakan daging untuk kedua anaknya, jangan tanya kemana Suaminya, sudah merantau bertahun-tahun tapi belom juga mengirim uang."Buk, lebaran nanti kita masak daging kan?" tanya Mail, anak bungsu Atika."Iya, buk. Itu ibunya si, Mei sudah beli daging, karna daging lagi murah ibunya sudah setok," sambung Dimas anak sulung Atika.Atika tidak menjawab, Ia takut akan menyakiti perasaan kedua putranya. Orang bilang daging murah, tapi untuk keluarga seperti Atika yang makan nasi saja kesulitan, tetap saja harga daging mahal baginya."Maafin ibu ya nak. Kita tahun ini nggak bisa lagi makan daging, nanti kalau ibu ada rezky lebih, pasti kita beli daging," Gumamnya.4 hari kemudianMalam yang ditunggu-tunggu telah tiba, semua orang berbondong-bondong pergi untuk takbiran."Besok sudah lebaran, sedangkan aku cuma punya setok mi, instan," Sungguh teramat susah hidup ini," gerutu Atika.Sudah beberapa kali menghubungi suaminya, namun jawaban selalu tetap Sama. Suaminya belum juga ada uang."Buk ibu masak apa?" tanya Dimas. Ia menghampiri Atika yang sedang duduk diteras depan rumah."Belum ada nak, besok ya Ibu masak daging," jawab Atika. entahlah jangankan daging untuk beli mi, instan saja kadang nggak mampu.Dimas yang, mendengar janji ibunya itu wajahnya berubah berseri-seri. Bagi Atika daging itu sudah biasa rasanya. Kalaupun tidak makan daging bagi Atika tidak begitu masalah, namun mungkin bagi Dimas, dan Mail anaknya daging sangat istimewa. Namanya juga anak-anak.Malam itu cuaca hujan sangat deras, orang-orang yang baru pulang dari Masjid juga tampak berlarian karna hujannya sangat deras."Ti!" seru sese, orang dari ujung jalan. Tampak dari kejauhan seseorang itu memanggil Atika."Iya ada apa buk?" ternyata ibunya Ningsih. ada apa malam-malam kerumah Atika."Ada apa ya buk?" tanya Atika heran. wanita tua itu tampak basah kuyup, karna hanya menggenakan tutup kepala dengan secarik handuk kecil."Itu Si, Ningsih mau melahirkan, kamu tolonglah jaga dia sebentar. Ibu mau manggil Bidan," ucap wanita tua itu meminta tolong."Sebentar ya buk. Saya ambil payung sebentar," Atika langsung masuk kedalam, diambilnya payung berukuran mini lalu berlari kekamar anaknya, ternyata mereka sudah pulas tertidur.Atika segera menutup pintunya dari luar, dan menuntun wanita tua itu."Kamu deluan saja, tolong jaga Ningsih ya. Ibu mau kebidan dulu manggil bidan," ulang wanita tua itu lagi. Dan merekapun berpisah disebuah persimpangan.Atika Segera berlari kecil kearah rumah Ningsih. Saat tiba didepan rumah Ningsih terdengar Ningsih sudah kesakitan, dan menjerit-jerit."Ningsih! sabar ya, sebentar lagi ibumu Datang bawa bidan," ucap Atika panik. Karna Ningsih sudah berteriak-teriak."Aduh Atika! aku sudah nggak kuat, ini anakku sepertinya mau keluar, Aaaakkk," dengan sekali mengejan anak, Ningsih langsung keluar, dan di susul dengan ari-arinya juga.Rumah itu diiringi isak tangis seorang bayi perempuan, dengan tubuh yang masih bersimbah darah."Hebat kamu Ningsih! anakmu sudah lahir tanpa bantuan bidan," seru Atika.Selang beberapa saat, ibunya Ningsih datang bersama seorang bidan Muda."Ningsih sudah lahiran buk," ucap Atika."Loh, ibu baru saja bawa bidan ini," jawab wanita tua itu heran."Ningsih sudah nggak tahan buk! kalau harus menunggu, bayinya sudah mau keluar," jawab Ningsih, sembari masih menahan sakit dari jalan lahirnya."Bidan muda itu segera membersihkan Anak Ningsih, dan memotong tali ari-arinya."Ini siapa yang mau menguburnya?" tanya bidan muda itu sembari memberikan ari-ari itu kepada ibunya Ningsih."Kamu saja yang menguburnya ya Atika! kamu kan sudah biasa, kamu sudah beberapa kali melahirkan, ibu minta tolong," wanita tua itu, meminta tolong kepada Atika."Ya sudah, buk. sini biar saya saja," Atika tidak menolak permintaan tolong itu, karna memang Ia sudah biasa melakukan itu, dari mulai anak pertama, Sampai anak keduanya. Ia yang menguburkan Arinya, karna suaminya dulu juga jarang di rumah alias sering merantau, bedanya ia dulu menguburkan ari-ari bayinya hanya menggunakan guci yang terbuat dari tanah liat.Ia segera kekamar mandi Ningsih membawa baskom yang berisi ari-ari masih segar, segera dicucinya ari-ari itu hingga bersih. Namun entah apa yang merasuki pikiranya, saat ia ingin menguburkan ari-ari itu, ia malah teringat oleh janjinya kepada kedua anaknya, kalau besok ia akan masak daging."Aku ambil saja Ari-Ari ini, besok aku masak untuk makan Anakku," Gumamnya tanpa takut-takut.Segera diraihnya kantong keresek berwarna hitam, dan dimasukannya ari-arinya kedalamnya, ia menyangkutkan kantongan itu diatas tiang jemuran belakang rumah Ningsih, dan akan Ia ambil setelah pulang nanti.Digalinya tanah basah, dan lembek itu. Bukanya ari-ari yang ia tanam, melainkan hanya secarik kain bekas."Gimana sudah kamu kubur?" tanya wanita tua itu."Sudah buk. Saya pamit dulu ya buk, Ningsih. Takut anak saya kecarian," ucapnya berpamitan."Makasih ya Ti," ucap Ningsih. Ia sangat beruntung, karna tadi ditemani Atika.Atika Segera keluar dari kamar Ningsih dan kembali kebelakang rumah Ningsih, ia mengambil bungsuksan ari-ari itu dan membawanya pulang."Aku gulai saja. Kalau besok aku masak, pasti busuk, dan rasanyapun pasti kurang enak. Kebetulan masih ada sisa bumbu untuk menggulai," ujarnya setelah sampai dirumah.Mula-mula, ia merebus ari-ari itu, sambil menunggu empuk iapun mengupas kelapa kering dan segera memarutnya.Setelah ari-arinya sedikit empuk, ia segera memotong-motongnya, dengan ukuran sedang.Harum sekali saat ia mulai menumis bumbunya. Jam 3 Teng, ari-ari anak Ningsih sudah selesai Ia gulai. Warna, dan aromanya sama persis seperti tetelan daging sapi.Ia berharap besok anak-anak, nya bisa makan dengan lahap dan senang. Masalah dosa itu biarlah menjadi urusan nanti.Bersambung."Wah, ibu masak enak?" tanya Mail yang baru saja bangun dari tidurnya."Mandi dulu sana, sekalian bangunin Abang Kamu ya," ucap Atika sembari ia memanaskan gulai ari yang ia masak tadi Malam.Mail segera berlari kecil kembali kedalam kamarnya. Segera ia membangunkan abang nya Dimas yang masih terlelap."Bang, bangun! ayo mandi. Ibu sudah masak daging loh, untuk kita," Serunya sembari mengguncang-guncangkan tubuh Dimas."Serius Dek?" Seru Dimas. Seketika itu Dimas langsung bangun dan beranjak meraih Handuk yang tersangkut di pintu kamar Mereka."Aku sudah nggak sabar Bang mau makan gulai daging buatan ibu," seru Mail yang sudah tidak sabar dan ingin segera cepat-cepat menuntaskan mandinya."Apalagi Abang Dek, kan sudah lama kita nggak makan daging. Pokonya lama banget," jawab Dimas lagi."Aku nanti mau nambah ah Bang," Seru Mail lagi. Sembari menyabuni kepalanya.Setelah mereka selesai mandi, mereka langsung menemui Atika sang ibu di amben yang terbuat dari bambu di depan rumah mereka.
Atika sudah semakin keringat dingin saat wanita tua itu mendekatinya," Atika. Maaf ya semalam Saya lupa mau ngasih ini kepadamu karna kamu keburu pulang," ucap ibunya Ningsih sembari memberi selembar uang 50 ribu."Apa ini Buk?" tanya Atika heran."Ini sebagai ucapan terimakasih Saya, karna Kamu sudah membantu semalam untuk menjaga Ningsih," ucapnya. Atika mengira ia hanya meminta tolong begitu saja, tapi ternyata ia malah memberikan uang."Tapi Saya ikhlas kok buk, lagian harusnya Saya yang menyalami Ningsih.""Nggak lah. Mana ada yang gratisan, saya sudah merepotkanmu semalam. Coba saja suaminya Ningsih masih ada." Wajahnya tiba-tiba berubah. Mungkin saja Ia teringat oleh Suami Ningsih yang sudah meninggal dunia 3 bulan lalu."Maaf ya buk, gara-gara saya ibu jadi sedih," ucap Atika merasa tidak enak."Oh iya saya mengucapkan selamat hari raya idul Fitri ya, mohon maaf lahir batin," ucapnya mengalihkan pembicaraan.Atika segera membalas uluran tangannya, dan meminta maaf kembali. Te
Malam semakin larut. Atika mewanti-wanti menunggu kedua putranya tertidur, setelah mereka berdua tidur, Atika akan segera melakukan aksinya."Kalian belum tidur?" tanya Atika. Kedua putranya masih saja belum tertidur. Padahal sudah tengah malam."Belum Buk. Dimas belum ngantuk," jawab Dimas sembari masih membaca buku.Atika sedikit cemas, bagaimana kalau anaknya tidak tidur-tidur. Kalau sampai terlambat gawat, karna mungkin bisa saja besok Ningsih akan membongkar ari-ari itu.Setelah menunggu beberapa jam, akhirnya anaknya Mail, tertidur. Namun tidak dengan Dimas."Kamu belum tidur? adek kamu sudah tidur tuh," ucap Atika."Belum Buk. Dimas tidak ngantuk!" jawab Dimas. Entah ada firasat apa sampai Dimas tidak bisa mengantuk malam itu.Atika tidak bisa menunggu lebih lama lagi, ia memutuskan akan pergi diam-diam. Walaupun Dimas belum tertidur.Atika keluar rumah, dengan cara mengendap-ngendap seperti maling saja. Begitu sepi dan sudah tidak ada lagi manusia berkeliaran. Hanya saja A
"Buk. Kita nggak makan?" tanya Mail. Ia melihat Atika ibunya sedari siang terus benggong."Ibu marah ya?" sambung Dimas lagi."Nggak, ibu nggak marah kok. Ngapain ibu marah? ini bukan salah kalian, seandainya saja dulu ibu nggak mengizinkan bapak kalian merantau, mungkin nasip kita nggak seburuk ini. Dan kalau hanya untuk makan saja pasti bisa." Atika menghela napasnya.Ia merasa berdosa, karna tidak bisa menyekolahkan kedua anaknya. Hidupnya begitu susah. Ditambah lagi orang-orang disekitarnya tidak ada yang perduli. Jangankan untuk menolong, melihat kehidupan Atika yang sulit saja mereka jijik."Maafkan Dimas ya Buk. Dimas sudah menuntut untuk sekolah, padahal kita susah," ucap Dimas sembari memeluk tubuh Atika."Nggak apa-apa Nak, setiap anak memang berhak untuk sekolah. Hanya saja keadaan kita tidak seberuntung yang lain."Sementara itu Atika terus kepikiran gimana ari-ari yang ia ganti. Apa Ningsih tidak mengetahuinya sama sekali. Dan siapa orang yang telah mengintipnya malam itu
Atika berlari menyusuri jalan yang ia lewati tadi. Malam semakin kian larut, ada beberapa rumah yang ia lewati. Namun sepi sama sekali tidak kelihatan orangnya, karna mungkin semua sudah berada didalam.Ketika sudah sampai persimpangan, Atika berjalan dengan sangat hati-hati. Karna memang banyak rumah yang ia akan lewati dan sebagian orang itu juga masih berada diluar rumah.Bodohnya Atika, bukanya membawa arinya saja, namun beserta baskomnya juga ia bawa. Karna memang tadi hanya ada sedikit kesempatanya untuk mengambil ari itu."Duhh, gimana ini? kalau aku bawa sama baskomnya ini, akan ada Orang yang curiga," gumam Atika. Ia berfikir mulai mencari akal agar bisa membawa pulang ari itu tanpa membawa baskomnya juga.Setelah melihat sekeliling jalanan, akhirnya ia melihat sebuah karung bekas. Diambilnya karung bekas kotor itu dan memasukan ari-ari itu bersama baskomnya juga."Biarlah kebesaran, daripada nanti ada yang melihatku." lirihnya namun masi sambil berjalan mengendap-ngendap ag
Lebaran sudah lewat beberapa hari. Atika mulai beraktivitas seperti biasa, menjahit keliling. Sepi, sama sekali tidak ada yang jahit. Atika berfikir karna ini masih lebaran, dan orang-orang sebagian juga masih sibuk dengan suasana lebaran mereka.Saat Atika menyusuri jalan perkampungan, ada beberapa ibu-ibu sedang mnggobrol serius. "Tau, nggak. Itu, semalam. Kejadian dikampung sebelah, katanya ada ari-ari hilang," ucap salah seorang wanita."Ah, masa sih? kok aku jadi serem dengernya ya," jawab wanita yang sedang menjemur cucian."Iya, bener. Aku saja tau dari Mbok Karsem. Semalam dia itu membantu persalinan dikampung sebelah. Eh, taunya arinya hilang. Apa nggak serem tuh," ucapnya lagi meyakinkan ibu-ibu yang lainnya. Atika yang mendengar itu, wajahnya seketika berubah. Rasa takut akan ketahuan kalau sebenarnya ialah biang dari semuanya."Maaf, ibu-ibu. Mau jahit baju nggak?" Atika mencoba menawarkan jasa jahit baju keliling nya."Nggak, ada yang mau jahit baju sama kamu! mending p
Hari sudah menjelang pagi, namun bayangan Atika belum juga tampak keluar dari kamarnya."Bang, aku lapar. Ibu kok nggak keluar-keluar sih?" ujar Mail. Tidak seperti biasanya Atika lama bangun."Mungkin Ibu masih tidur, Dek. Coba kita banguni saja yuk." Ajak Dimas."Buk, buk." panggil Mail, dan Dimas serentak.Atika yang mendengar suara kedua anaknya, langsung tersadar dan langsung terbangun. Dilihatnya Kedua anaknya sedang menunggunya di, depan pintu. "Kalian kenapa kok disini? maaf ya Ibu kesiangan," ucap Atika."Aku lapar buk," ucap Mail sembari memegangi perutnya."Sebentar ya. Ibu mau masak sisa tetelan semalam," ujar Atika. Sewaktu ia memasak ari semalam sengaja tidak dimasaknya semua. setengah dari ari itu di sisakannya, namun sudah direbus. Agar tidak bau."Wah, makan enak lagi!" seru Mail."Iya, Dek. Ibu memang paten." tambah Dimas.Atika tersenyum melihat kedua anaknya bahagia. Baginya kebahagian kedua anaknya, adalah yang terpenting.Setelah ari-ari selesai dimasak, Atik
Gulai Ari-Ari Untuk Anakku#9Malam ini cuacanya sangat dingin. Hujan badaipun mengguyur desa Atika. Semua Air naik keteras rumahnya. Karna memang dataran rendah."Buk, banjir. Atap rumah kita juga bocor," ucap Mail. Ia kewalahan menguras air yang naik keteras rumahnya."Ya ampun, gimana ini? Ibu mana pintar betulin atap rumah," jawab Atika panik.Sedangkan air dan lumpur mulai menggenang dan masuk kedalam rumahnya."Biar Dimas manjat ya, buk.""Nggak, usah nak. Nanti kamu jatuh." Atika ragu."Tapi buk. Kamar ibu sudah basah semua kasurnya. Kalau nggak segera dibetulin nanti makin parah. Dimas kan sudah besar buk," ucapnya yakin."Iya buk, benar. kan Bang Dimas bisa manjat," tambah Mail lagi.Atika berfikir sejenak. Dilihatnya kasur kapuknya yang sudah buluk hampir basah seluruhnya. "Tapi, kamu yakin bisa Nak?""Ibu jangan sepele, Dimas kan sering diajari Bapak kemarin. Kata Bapak, kalau nanti Dimas besar, Dimas harus bisa semuanya kan Dimas anak laki-laki," serunya."Sudahlah, jangan