Share

Gulai Ari-Ari Untuk Anakku
Gulai Ari-Ari Untuk Anakku
Penulis: Lesta lesta

Gulai Ari-Ari Untuk Anakku

"Sebentar lagi lebaran, kamu masak apa Ti?" tanya Nilam, Tetangga Atika.

"Belum tau Nil. Suamiku juga belum ada ngirim uang," jawab Atika. Ia ingin sekali lebaran ini masak daging, semua orang sudah pada ikut arisan daging, namun hanya dirinya sendiri yang tidak ikut. Boro-boro ikut arisan daging sapi, untuk beli ayam saja setahun sekali tidak kebeli.

"Nggak pentinglah masak enak. yang penting puasanya full," ucap Nilam lagi.

Atika hanya membalas dengan senyuman saja. Sebenarnya ingin sekali Ia memasakan daging untuk kedua anaknya, jangan tanya kemana Suaminya, sudah merantau bertahun-tahun tapi belom juga mengirim uang.

"Buk, lebaran nanti kita masak daging kan?" tanya Mail, anak bungsu Atika.

"Iya, buk. Itu ibunya si, Mei sudah beli daging, karna daging lagi murah ibunya sudah setok," sambung Dimas anak sulung Atika.

Atika tidak menjawab, Ia takut akan menyakiti perasaan kedua putranya. Orang bilang daging murah, tapi untuk keluarga seperti Atika yang makan nasi saja kesulitan, tetap saja harga daging mahal baginya.

"Maafin ibu ya nak. Kita tahun ini nggak bisa lagi makan daging, nanti kalau ibu ada rezky lebih, pasti kita beli daging," Gumamnya.

4 hari kemudian

Malam yang ditunggu-tunggu telah tiba, semua orang berbondong-bondong pergi untuk takbiran.

"Besok sudah lebaran, sedangkan aku cuma punya setok mi, instan," Sungguh teramat susah hidup ini," gerutu Atika.

Sudah beberapa kali menghubungi suaminya, namun jawaban selalu tetap Sama. Suaminya belum juga ada uang.

"Buk ibu masak apa?" tanya Dimas. Ia menghampiri Atika yang sedang duduk diteras depan rumah.

"Belum ada nak, besok ya Ibu masak daging," jawab Atika. entahlah jangankan daging untuk beli mi, instan saja kadang nggak mampu.

Dimas yang, mendengar janji ibunya itu wajahnya berubah berseri-seri. Bagi Atika daging itu sudah biasa rasanya. Kalaupun tidak makan daging bagi Atika tidak begitu masalah, namun mungkin bagi Dimas, dan Mail anaknya daging sangat istimewa. Namanya juga anak-anak.

Malam itu cuaca hujan sangat deras, orang-orang yang baru pulang dari Masjid juga tampak berlarian karna hujannya sangat deras.

"Ti!" seru sese, orang dari ujung jalan.  Tampak dari kejauhan seseorang itu memanggil Atika.

"Iya ada apa buk?" ternyata ibunya Ningsih. ada apa malam-malam kerumah Atika.

"Ada apa ya buk?" tanya Atika heran. wanita tua itu tampak basah kuyup, karna hanya menggenakan tutup kepala dengan secarik handuk kecil.

"Itu Si, Ningsih mau melahirkan, kamu tolonglah jaga dia sebentar. Ibu mau manggil Bidan," ucap wanita tua itu meminta tolong.

"Sebentar ya buk. Saya ambil payung sebentar," Atika langsung masuk kedalam, diambilnya payung berukuran mini lalu berlari kekamar  anaknya, ternyata mereka sudah pulas tertidur.

Atika segera menutup pintunya dari luar, dan menuntun wanita tua itu.

"Kamu deluan saja, tolong jaga Ningsih ya. Ibu mau kebidan dulu manggil bidan," ulang wanita tua itu lagi. Dan merekapun berpisah disebuah persimpangan.

Atika Segera berlari kecil kearah rumah Ningsih. Saat tiba didepan rumah Ningsih terdengar Ningsih sudah kesakitan, dan menjerit-jerit.

"Ningsih! sabar ya, sebentar lagi ibumu Datang bawa bidan," ucap Atika panik. Karna Ningsih sudah berteriak-teriak.

"Aduh Atika! aku sudah nggak kuat, ini anakku sepertinya mau keluar, Aaaakkk," dengan sekali mengejan anak, Ningsih langsung keluar, dan di susul dengan ari-arinya juga.

Rumah itu diiringi isak tangis seorang bayi perempuan, dengan tubuh yang masih bersimbah darah.

"Hebat kamu Ningsih! anakmu sudah lahir tanpa bantuan bidan," seru Atika.

Selang beberapa saat, ibunya Ningsih datang bersama seorang bidan Muda.

"Ningsih sudah lahiran buk," ucap Atika.

"Loh, ibu baru saja bawa bidan ini," jawab wanita tua itu heran.

"Ningsih sudah nggak tahan buk! kalau harus menunggu, bayinya sudah mau keluar," jawab Ningsih, sembari masih menahan sakit dari jalan lahirnya.

"Bidan muda itu segera membersihkan Anak Ningsih, dan memotong tali ari-arinya.

"Ini siapa yang mau menguburnya?" tanya bidan muda itu sembari memberikan ari-ari itu kepada ibunya Ningsih.

"Kamu saja yang menguburnya ya Atika! kamu kan sudah biasa, kamu sudah beberapa kali melahirkan, ibu minta tolong,"  wanita tua itu, meminta tolong kepada Atika.

"Ya sudah, buk. sini biar saya saja," Atika tidak menolak permintaan tolong itu, karna memang Ia sudah biasa melakukan itu, dari mulai anak pertama, Sampai anak keduanya. Ia yang menguburkan Arinya, karna suaminya dulu juga jarang di rumah alias sering merantau, bedanya ia dulu menguburkan ari-ari bayinya hanya menggunakan guci yang terbuat dari tanah liat.

Ia segera kekamar mandi Ningsih membawa baskom yang berisi  ari-ari masih segar, segera dicucinya ari-ari itu hingga bersih. Namun entah apa yang merasuki pikiranya, saat ia ingin menguburkan ari-ari itu, ia malah teringat oleh janjinya kepada kedua anaknya, kalau besok ia akan masak daging.

"Aku ambil saja Ari-Ari ini, besok aku masak untuk makan Anakku," Gumamnya tanpa takut-takut.

Segera diraihnya kantong keresek berwarna hitam, dan dimasukannya ari-arinya kedalamnya, ia menyangkutkan kantongan itu diatas tiang jemuran belakang rumah Ningsih, dan akan Ia ambil setelah pulang nanti.

Digalinya tanah basah, dan lembek itu. Bukanya ari-ari yang ia tanam, melainkan hanya secarik kain bekas.

"Gimana sudah kamu kubur?" tanya wanita tua itu.

"Sudah buk. Saya pamit dulu ya buk, Ningsih. Takut anak saya kecarian," ucapnya berpamitan.

"Makasih ya Ti," ucap Ningsih. Ia sangat beruntung, karna tadi ditemani Atika.

Atika Segera keluar dari kamar Ningsih dan kembali kebelakang rumah Ningsih, ia mengambil bungsuksan ari-ari itu dan membawanya pulang.

"Aku gulai saja. Kalau besok aku masak, pasti busuk, dan rasanyapun pasti kurang enak. Kebetulan masih ada sisa bumbu untuk menggulai," ujarnya setelah sampai dirumah.

Mula-mula, ia merebus ari-ari itu, sambil menunggu empuk iapun mengupas kelapa kering dan segera memarutnya.

Setelah ari-arinya sedikit empuk, ia segera memotong-motongnya, dengan ukuran sedang.

Harum sekali saat ia mulai menumis bumbunya. Jam 3 Teng, ari-ari anak Ningsih sudah selesai Ia gulai. Warna, dan aromanya sama persis seperti tetelan daging sapi.

Ia berharap besok anak-anak, nya bisa makan dengan lahap dan senang. Masalah dosa itu biarlah menjadi urusan nanti.

Bersambung.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status