Happy Reading*****Fardan menghentikan kunyahannya, melirik Mutia dengan aneh. "Bisa nggak pertanyaannya satu per satu. Bingung mau jawab yang mana duluan," katanya. Mutia menepuk keningnya sendiri. "Penasaran saja, sih. Makanya, Tante tanya beruntun seperti tadi.""Jadi, gimana? Kamu sebenarnya anak siapa?" tanya Mutia mengulang pertanyaan sebelumnya. Fardan menghela napas panjang. "Aku anaknya Bagas," jawabnya. Setelah itu, si kecil langsung pergi meninggalkan meja makan menyisakan rasa penasaran dan keingintahuan yang begitu besar dalam diri Mutia."Jika kamu anaknya Pak Bagas, siapa ibumu? Bukankah Pak Bagas belum menikah. Bagaimana mungkin punya seorang anak," teriak si guru cantik berkulit kuning langsat. Berharap, Fardan akan bercerita lebih banyak tentangnya lagi. "Tanya sendiri sama Bagas," kata Fardan. Lalu, kembali melanjutkan langkahnya menjauhi Mutia. Mutia tercengang menatap kepergian yang menyisakan sejuta tanya di kepala. "Jika Pak Bagas sudah memiliki wanita yan
Happy Reading*****Seporsi mie kuah buatan Mutia sudah terhidang di meja makan. Perempuan itu sengaja tidak meminta bantuan Bi Siti walau sang perempuan paruh baya sudah menawarkan diri supaya dia saja yang masak. Semua Mutia lakukan karena ingin menaklukkan hati Fardan. Entah mengapa, sejak anak kelas lima SD itu menangis, naluri keibuan Mutia bangkit. Dia melihat sikap Fardan selama ini adalah suatu bentuk protes karena kurangnya kasih sayang.Bau semerbak aroma masakan yang dibuat oleh Mutia tercium oleh Fardan. Si kecil mendekati perempuan tersebut. "Kok cuma satu mangkok? Aku kan ngomong tolong buatkan satu porsi untukku juga.""Masak, sih? Kayaknya kamu nggak ngomong gitu tadi." Mutia sengaja membuat si kecil cemberut karena jengkel dengan perkataan Fardan yang sok memerintah tadi padahal di dapur dia sudah menyiapkan satu porsi lagi, tetapi tidak menghidangkannya di meja makan."Gimana, sih. Ngurus anak kecil saja nggak bisa, gimana kamu bisa ngurus Bagas," cibir Fardan membu
Happy Reading*****"Aku nggak suka merebut sesuatu dari saudaraku sendiri," sahut Arham, "tenang saja. Tipe cewek seperti Mutia nggak ada dalam kamusku. Aku lebih suka perempuan pendiam, tapi ganas di ranjang.""Jomblo aja seumur hidup. Tidak akan pernah kamu temukan perempuan seperti itu kecuali kalian sudah menikah," sahut Bagas, "sebaiknya kita bahas masalah tadi. Sejauh mana kamu sudah memberi peringatan pada Gladys dan Nazar.""Sesuai perintahmu. Aku sudah menghubungi Om Wisesa dan meminta beliau mempercepat pernikahan Nazar dan Gladys supaya nggak mengganggu Mutia lagi."Bagas mengacungkan jempolnya. "Bagus. Lalu, apakah kamu sudah membicarakan masalah ini dengan perempuan itu?""Belum. Aku sedikit kesulitan bertemu dengannya."Bagas mencebik. "Nazar itu anak emasnya. Jadi, perempuan licik itu tidak akan pernah membiarkan rencananya dirusak oleh anaknya. Kamu kirim foto ke dia yang kemarin sempat aku kirimkan. Katakan padanya bahwa anak manjanya mulai tidak patuh.""Aku pasti m
Happy Reading*****Dokter yang akan memeriksa Mutia tersenyum. "Silakan tanya pada yang bersangkutan kalau masalah itu, Bu. Saya tidak berani mendahului," katanya. "Periksa dia saja, Dok. Masalah lainnya tidak begitu penting," kata Bagas, "Saya keluar dulu.""Silakan, Pak." Sang dokter mulai memeriksa keadaan Mutia. Di saat seperti itulah Fardan juga keluar dari kamar Bagas dengan menyimpan sejuta pertanyaan tentang hubungan sang pemilik rumah dengan perempuan yang tengah terbaringl sakit itu.Beberapa menit kemudian, sang dokter sudah selesai memeriksa Mutia. "Luka yang ada tidak begitu dalam, Bu, tapi perlu istirahat untuk memulihkan kesehatannya. Jangan lupa, obatnya dimunim sampai habis, ya. Saya permisi," kata dokter yang segera mendapat anggukan Mutia."Terima kasih, Dok.""Sama-sama." Dokter itu pergi setelaqh mengucap beberapa kata pada Bagas yang berdiri di ambang pintu. Ternyata, lelaki itu tidak benar-benar meninggalkan Mutia seperti perkataannya tadi. Berusaha bangun
Happy Reading******Entah berapa lama mata Mutia terpejam. Bagas masih setia mendampinginya di kamar utama rumahnya. Sejak kemarin, dia belum ke kantor sama sekali padahal ada banyak pekerjaan dan janji temu yang harus dia selesaikan. Namun, karena Mutia belum mau membuka mata, lelaki itu tidak melakukan pekerjaannya dengan baik.Bagas sengaja tidak membawa wanita itu ke rumah sakit karena takut jika Gladys akan menyerangnya lagi. Semua itu karena Bagas paham dan tahu karakter pewaris keluarga Wisesa yang bisa menghalalkan semua cara untuk memuluskan keinginan dan tujuan mereka. Jadi, Bagas sengaja meninta seorang dokter untuk merawat Mutia di rumahnya."Bodoh, kenapa kamu tidak meminta bantuanku. Gladys itu bukan lawan yang sepadan denganmu," umpat Bagas. "Ayolah cepat bangun. Aku tidak suka melihat wanitaku kesakitan seperti ini. Ingat, ya. Kamu akan berada di sisiku selama aku mau. Jadi, jangan pernah pernah pergi sebelum aku mengijinkanmu pergi."Di saat Bagas tengah berbicara se
Happy Reading*****Mutia pasrah dengan keadaannya sekarang. Ke mana orang-orang itu akan membawanya dan apa maksud menculik dirinya, sama sekali perempuan itu tidak mengetahui. Dunia Mutia gelap karena mata yang ditutup dengan kain berwarna hitam.Beberapa menit kemudian, ponsel Mutia berdering nyaring. Secercah harapan itu muncul bahwa sang penelepon akan mengetahui keberadaannya saat ini yang sedang diculik.Salah satu penculik segera merogoh tas selempang yang digunakan Mutia dan mengambil benda pipih pintar tersebut. Musnah sudah harapan perempuan itu agar terselamatkan.Para pria yang ada di mobil tersebut mulai merebut benda pipih milik Mutia agar tidak lagi mengeluarkan suara."Gimana ini, bos," tanya salah satu dari mereka yang sudah memegang ponsel Mutia. "HP-nya ada pola yang nggak kita ketahui.""Matikan paksa saja atau kalau perlu banting supaya tidak ada seorang pun yang bisa menghubunginya. Jangan sampai kita gagal menjalankan misi ini.""Apa nggak masalah nantinya?" ta