Happy Reading*****Sekilas, Bagas melihat beban yang begitu berat di mata Jannah. Beberapa detik belum ada jawaban dari perempuan sepuh itu, Bagas kembali menatap putranya dan Mutia yang semakin terlihat akrab satu sama lainnya. Jannah mengambil udara di sekitarnya sebanyak yang dia bisa. Lalu, menatap Bagas dalam. "Jika Nak Bagas memang menyukai Mutia. Nenek harap jangan pernah menyakiti hatinya. Nenek tahu saat ini dia pasti bersedih setelah mendengar pertunangan Nazar dengan perempuan lain."Bola mata Bagas melebar. "Dari mana Nenek tahu masalah itu?"Bagas sama sekali tidak menyangka jika perempuan sepuh itu akan mengetahui kabar pertunangan Nazar dengan perempuan lain karena Mutia sempat berkata jika dia tidak ingin membuat neneknya sedih dengan cerita pertunangan tersebut. Jadi, jelas kabar itu bukan Mutia yang menceritakannya pada Jannah mengingat betapa perempuan sepuh itu begitu menyukai Nazar dan sangat merestui hubungan keduanya.Mengambil teh miliknya, Jannah meneguk hin
Happy Reading*****Bagas dan Arham saling menatap satu sama lain. Gugup juga ketika tatapan perempuan sepuh itu begitu tajam, terutama pada Bagas. "Nek, nggak usah nyeremin gitu kalau natap. Pak Bagas ke sini pasti khawatir sama Fardan. Nggak ada maksud lain. Iya, kan, Pak?" tanya Mutia berusaha mencairkan suasana. Perempuan itu menatap dalam pada Bagas, berharap si lelaki mengerti kode yang diberikan. Jangan sampai menceritakan apa pun tentang hubungan keduanya yang tak biasanya. Bagas menarik napas, seolah mengerti arti tatapan si ibu guru, dia mengangguk. "Betul, Nek. Saya datang ke sini tidak ada maksud apa pun kecuali ingin melihat Fardan. Saya khawatir sekali, dia merepotkan Nenek karena kenakalannya," ucap si lelaki membenarkan perkataan Mutia."Ih, aku nggak merepotkan, ya. Kenapa aku yang dijadikan alasan? Padahal Papa jelas-jelas merin ...."Arham segera membungkam mulut si kecil dengan telapak tangan kanannya sehingga tidak bisa melanjutkan kalimatnya yang akan diucapka
Happy Reading*****Mutia mengucek-ucek matanya beberapa kali ketika melihat sosok lelaki yang tadi pagi mengatakan pekerjaannya cukup baik dan kemungkinan tidak bisa menghubunginya. Namun, baru setengah hari saja, Bagas sudah muncul di hadapannya. Mutia bahkan sampai mencubit lengannya sendiri dan mengaduh kesakitan."Kamu tidak sedang bermimpi, Tia," ucap Bagas sambil menarik pinggang perempuan itu hingga menempel di tubuhnya."Ehem," peringat Arham. Mutia dan Bagas menoleh bersamaan. "Ingat, Gas. Di sini itu desa. Jangan terlalu mencolok saat bermesraan. Lagian ada si kecil yang pandangannya harus kamu selamatkan dari hal-hal dewasa seperti itu."Bagas dan Mutia saling menatap. Perempuan itu merasakan detak jantungnya yang bergerak lebih cepat, demikian pula dengan Bagas. Papanya Fardan itu begitu gugup saat bertemu langsung dengan si ibu guru apalagi berada pada jarak sedekat itu. "Hei, Tia. Apa kabar?" tanya Arham memecah konsentrasi keduanya saat saling menatap. Mutia berusaha
Happy Reading*****"Gila, kamu. Baru juga kemarin nggak ketemu Mutia, sekarang malah mau nyusul. Kerjaanmu lagi banyak-banyaknya," nasihat Arham."Ya, gimana. Aku bakalan terus bad mood seharian ini kalau tidak bertemu dia. Cuma dia yang biasa merubah suasana hati ku menjadi baik lagi," sahut Bagas santai bahkan dia kini mulai sibuk dengan ponselnya. "Nggak bisa, Gas. Kamu harus menandatangani beberapa dokumen penting demi kemajuan perusahaan kita. Ada beberapa laporan internal juga yang harus kamu cek. Nggak usah semena-mena, aku sudah bekerja keras sejak kemarin supaya kamu bisa tanda tangan semua berkas itu hari ini." Arham benar-benar jengkel saat ini dengan sikap Bagas yang tidak biasa. Jarang sekali lelaki yang sudah dikenal Arham sejak kecil itu lepas tanggung jawab seperti sekarang, hanya demi seorang perempuan kecuali ketika Bagas kehilangan dan tidak menemukan ibunya Fardan saat itu."Ya, sudah. Aku kerjakan semua, setelah selesai kita langsung berangkat temui dia. Kamu h
Happy Reading*****Bagas melempar kunci mobil pada Arham. "Balik kantor bareng aja. Aku lagi males nyetir sendiri," katanya yang secara tak langsung memerintah Arham. "Terus mobilku gimana?" Walau sedikit keberatan, tetapi Arham tetap menangkap kunci mobil tersebut. "Seperti biasanya aja. Kenapa masih tanya." Bagas masuk mobil lebih dulu, duduk di sebelah kemudi. Mulai menyandarkan punggung serta kepala. Baru tadi pagi, dia membahas dan berdebat dengan kedua orang tuanya karena Nazar. Saat ini, Bagas malah bertemu langsung sehingga membuat suasana hatinya makin berantakan. Lelaki itu memejamkan mata sebentar untuk menetralkan mood-nya yang tak karuan. Membayangkan jika ada Mutia saat ini, dia pasti akan langsung menerkam perempuan itu untuk mengembalikan keceriaan dan kebahagiaannya seperti tadi pagi. Ketika Arham sudah menyelesaikan panggilannya yang meminta salah satu sopir membawa mobilnya ke kantor, dia melihat senyum Bagas ketika sudah duduk di depan kemudi. "Eh, kamu masih
Happy Reading*****Mengendari kendaraannya dengan kecepatan yang cukup tinggi karena kekesalan hati dan juga waktu yang semakin mepet, Bagas menerobos lampu merah. Suasana hatinya berantakan sejak perdebatan dengan kedua orang tuanya tadi. Padahal, sebelum kedatangan kedua orang tuanya, mood Bagas benar-benar bagus karena mendapat asupan vitamin dari wanitanya. Fokus menyetir Bagas harus terbagi ketika ponselnya berdering dengan suara nyaring. Lelaki itu melirik sebentar sang menelpon dan dengan cepat memasang earphone ketika nama Arham terlihat. "Tunggu sebentar. Aku sudah hampir sampai. Lelang tendernya belum mulai, kan?""Lima menit lagi akan dimulai. Nggak biasanya kamu teledor dan telat kayak gini padahal jelas-jelas tahu kalau tender ini sangat penting untuk reputasi perusahaan kita.""Cerewet, sebentar lagi aku sudah sampai. Oh, ya, segera bayar tilang kalau ada yang mengirimkan surat tilang ke kantor.""Lah, kamu melanggar lalin?""Yup, kelamaan kalau nunggu lampu hijau, jad