Happy Reading*****Mutia diam sebentar, lalu melirik Bagas yang masih terlihat mengantuk. Beberapa detik kemudian, dia kembali menoleh pada pasangan paruh baya yang akan berangkat bekerja. Kedua pasangan yang menyapa tadi memang selalu berangkat kerja sebelum subuh karena jarak yang lumayan jauh tempat kerjanya. "Enggeh, Pak Lik. Nanti, saya pasti melapor ke Pak RT. Kemarin, bos saya ini datangnya sudah agak malam. Jadi, sengaja saya menyuruh beliau istirahat terlebih dulu," jelas Mutia sengaja mencari alibi agar mereka tidak berkata dan menuduh macam-macam."Oalah begitu. Ya, sudah. Kami pamit, ya. Mau meneruskan perjalanan," ucap si lelaki paruh baya. "Monggo," sahut Mutia sopan. Sepeninggal pasangan tersebut, Bagas menoleh pada Mutia. "Mereka mau ke mana pagi-pagi begini?""Kerja," jawab Mutia. "Sebaiknya, Bapak segera pindah sebelum banyak yang melihat dan saya kesulitan menjawab nantinya.""Baik, Sayang." Mencolek dagu Mutia. "Genit, ih."Bagas dengan cepat memegang pipi M
Happy Reading*****"Bukan apa-apa, Nek. Fardan ini suka sekali menghayal jika saya dan ibunya bersama. Jadi, terkadang dia membayangkan kami bertiga tidur di ranjang sama seperti layaknya keluarga," jelas Bagas yang tidak mau Jannah berpikir negatif dengannya lagi. Fardan berusaha mengeluarkan suara untuk memprotes perkataan papanya. Namun, bekapan tangan Bagas jauh lebih kuat dibanding tenaganya yang kecil. Suara itupun teredam oleh tangan besar sang Papa. "Oo, begitu. Memang terkadang anak kecil itu memiliki impiannya sendiri. Jadi, biarkan Fardan juga seperti itu. Tapi, jangan pernah sekali-kali kalian melakukannya jika belum ada ikatan pernikahan," nasihat Jannah, "Tia, sebaiknya kamu tidur sama Nenek. Sementara, Fardan biar tidur sama papanya dulu.""Iya, Nek," sahut Mutia tanpa bantahan sama sekali. "Kalian semua istirahatlah. Sudah malam." Setelah mengatakan demikian, Jannah mengajak cucunya ke kamar. Sepeninggal perempuan sepuh itu dan Mutia, Bagas melepaskan tangannya da
Happy Reading*****"Kenapa memangnya. Kalau naik sepeda ontel ini kita lebih cepet," kata Mutia. Mulai mengambil sepeda yang dulu selalu dia pakai untuk ke sekolah.Bagas cuma bisa mengambil napas panjang. "Motor tidak ada, Tia?""Nggak ada. Sudah nggak usah rewel. Cepetan naik, saya yang akan mengayuh sepedanya. Bapak duduk di belakang saja." Mutia menunjuk bagian kosong tepat di belakangnya.Mau tak mau Bagas naik di kursi belakang dengan Mutia yang mengayuh sepeda. Namun, baru dua kali mengayuh, lelaki itu meminta si perempuan untuk berhenti. "Kenapa lagi, Pak?" Mutia mulai kesal, pasalnya dia sadah sangat ingin melihat keramaian pasar malam yang jarang ada di desanya. "Sebaiknya, kita tidak perlu menyusul mereka daripada capek. Aku tidak akan membuatmu berkeringat di malam hari kecuali kamu berkeringat di atas ranjangku," kata Bagas sambil melingkarkan kedua tangannya ke pinggang Mutia. "Nggak usah mesum, Pak. Ingat nasihat Nenek tadi."Bagas dengan cepat turun dari sepeda, la
Happy Reading***** Bagas dengan cepat melepaskan pagutannya dari bibir manis yang sudah dirindukan sejak kemarin.Mutia sedikit mendorong tubuh Bagas agar menjauh, lalu menoleh ke sumber suara yang tadi menginterupsi kegiatan mereka. "Nenek," katanya terkejut.Jannah menarik garis bibirnya. "Maaf. Lain kali, sebaiknya kalian melakukan di tempat yang lebih tertutup atau tahan sampai hubungan kalian halal. Kalau sampai Fardan yang melihat adegan tadi, nggak baik," peringatnya."Nenek ayo makan," ajak Mutia supaya Jannah tidak mengungkit masalah tadi lebih lanjut. Cukup peringatan seperti tadi sudah membuat perempuan itu malu."Ayo," sahut Jannah, tetapi perempuan sepuh itu membiarkan Mutia berjalan terlebih dahulu. Setelahnya, dia menoleh ke belakang. "Nak Bagas harus ingat, kami tinggal di desa yang notabene masyarakatnya masih tabu dengan hal-hal yang kalian lakukan seperti tadi. Jadi, tolong ditahan supaya Mutia nggak menjadi omongan negatif para tetangga. Cukup sudah dia dibicara
Happy Reading*****"Bukan begitu, Nek. Saya cuma pernah mendengar jika lelaki yang diakui sebagai ayah kandung Nazar sebenarnya bukanlah orang tua biologis Nazar," jelas Bagas. Dia melirik Arham, mengedipkan mata agar tidak menceritakan hal yang sebenarnya pada Jannah."Nazar itu memang orang yang licik bahkan semua keluarganya nggak ada yang baik," tambah Arham."Apa Nak Arham juga mengenal Nazar?" tanya Jannah. Kembali meneguk minumannya kembali. Rasanya perempuan sepuh itu mulai membenarkan perkataan Arham bahwa memang di keluarga Nazar tidak pernah ada yang baik perilakunya.Yunita sebagai perempuan yang melahirkan Nazar, sering kali terlihat marah saat Mutia berkunjung ke rumah mereka. Terkadang, cucunya itu menangis setiap kali pulang setelah keluar dengan sang kekasih. Namun, setiap Jannah bertanya mengapa, Mutia tidak bercerita secara gamblang. Cuma perempuan sepuh itu sering mendengar para tetangga mengatakan jika Mutia habis kena omel Yunita. "Saya nggak kenal baik, Nek. T
Happy Reading*****Sekilas, Bagas melihat beban yang begitu berat di mata Jannah. Beberapa detik belum ada jawaban dari perempuan sepuh itu, Bagas kembali menatap putranya dan Mutia yang semakin terlihat akrab satu sama lainnya. Jannah mengambil udara di sekitarnya sebanyak yang dia bisa. Lalu, menatap Bagas dalam. "Jika Nak Bagas memang menyukai Mutia. Nenek harap jangan pernah menyakiti hatinya. Nenek tahu saat ini dia pasti bersedih setelah mendengar pertunangan Nazar dengan perempuan lain."Bola mata Bagas melebar. "Dari mana Nenek tahu masalah itu?"Bagas sama sekali tidak menyangka jika perempuan sepuh itu akan mengetahui kabar pertunangan Nazar dengan perempuan lain karena Mutia sempat berkata jika dia tidak ingin membuat neneknya sedih dengan cerita pertunangan tersebut. Jadi, jelas kabar itu bukan Mutia yang menceritakannya pada Jannah mengingat betapa perempuan sepuh itu begitu menyukai Nazar dan sangat merestui hubungan keduanya.Mengambil teh miliknya, Jannah meneguk hin