Happy Reading
*****
Mutia membungkam bibir Novita dengan cepat, sampai suara perempuan berkulit kuning langsat itu tak terdengar lagi. Istri Alfian tersebut bahkan sempat memukul pergelangan sahabatnya supaya melepas tangannya dari bibir.
"Semua pertanyaan konyolmu itu akan terjawab setelah kita selesai membagikan rapor." Mutia bergerak menjauhi sahabatnya yang sempat mengeluarkan kata-kata umpatan.
"Awas saja kalau kamu nggak cerita nanti," ancam Novita yang dibalas oleh perempuan beralis tebal di depannya dengan menjulurkan lidah. "Dih, genit."
"Biarin." Mutia melangkah meninggalkan sahabatnya. Dia harus segera menyelesaikan tugasnya sebagai seorang pendidik. Baru setelahnya, perempuan yang memiliki bibir tipis itu akan mengurus masalah pribadinya, termasuk masalah paket teror tadi.
Masuk ke ruang kelas yang sudah terisi beberapa wali murid, Mutia mulai berpidato. Menyampaikan beberapa hal penting tentang perkembangan para anak didiknya serta pengumuman dari kepala sekolah.
Hampir dua jam lebih, Mutia akhirnya bisa menyelesaikan tugasnya sebagai seorang pendidik dan wali kelas dari anak-anak kelas tujuh. Perempuan itu mulai membereskan mejanya dan bersiap meninggalkan tempat tersebut, tetapi suara seseorang datang menginterupsinya.
"Dengan Ibu Mutia?" tanya seorang lelaki yang mengenakan pakaian serba hitam.
Mutia mengamati lelaki paruh baya tersebut dari ujung kaki hingga kepala. Orang yang berdiri di hadapannya itu terlihat sopan dan berkelas, sama sekali tidak terlihat seperti penjahat yang mungkin akan mencelakai sang guru cantik.
"Benar, Pak. Saya Mutia. Ada yang bisa saya bantu?" tanya sang guru.
Lelaki berseragam hitam tersebut menyerahkan paper bag di tangannya pada Mutia. "Bu, ini titipan ...."
Belum selesai lelaki yang kemungkinan umurnya lebih tua darinya, Mutia memundurkan langkah bahkan kepalanya menggeleng dengan cepat. Rupanya, kejadian sebelum pembagian rapor membuat sang guru trauma untuk menerima suatu barang dari orang yang tak dikenal.
"Kenapa, Bu?" tanya si lelaki yang melihat ketakutan di wajah Mutia.
"Tolong bawa pergi saja barang itu jika hanya untuk menakuti saya," ucap Mutia gemetaran.
"Bu, maksudnya gimana? Saya, cuma ditugaskan untuk mengantar ini sama Bapak. Jika saya tidak bisa melaksanakan tugas dengan baik, pasti Bapak akan memecat saya," ucap sang lelaki, wajahnya mulai terlihat menyedihkan membuat Mutia mengerutkan kening.
"Jadi, benar? Apa yang Bapak bawa itu, hanya untuk meneror saya?" teriak Mutia.
"Hah?!" jawab si lelaki dengan wajah cengo. Sama sekali tidak mengerti dengan maksud dan ucapan sang guru.
"Pergi, Pak!" usir Mutia sambil mendorong tubuh lelaki tersebut.
"Mut, ada apa?" tanya Novita yang kebetulan melihat sahabatnya mendorong seorang lelaki.
"Sebentar, Bu. Sepertinya, njenengan salah paham," ucap si lelaki dengan potongan rambut belah tengah.
"Pergi dan bawa bungkusan itu!" usir Mutia seperti orang kesurupan.
"Mut, tenang. Jelaskan padaku, ini ada apa sebenarnya? Kenapa mukamu sampai pucat dan berteriak-teriak gini?" Novita merangkul sahabatnya dengan cepet, lalu menatap penuh curiga pada lelaki di hadapannya.
"Bapak siapa? Kenapa sampai membuat sahabat saya seperti ini. Saya bisa melaporkan kejadian ini ke pihak berwajib, lho. Ini lingkungan sekolah dan masih banyak orang di sekitarnya. Jika bapak sampai berbuat asusila pada Mutia, saya pasti akan berteriak agar semua orang datang dan memukuli Bapak."
"Hah?!" Lelaki itu makin bingung dan tidak mengerti dengan arah pembicaraan Novita.
"Pergi nggak, atau saya akan sungguh-sungguh berteriak supaya semua orang memukuli Bapak," kata Novita keras, sementara Mutia masih gemetaran di pelukan sahabatnya. Kekasih Nazar itu cuma bisa diam.
Si lelaki terdiam seperti memikirkan sesuatu. "Kayaknya Ibu dan Bu Mutia salah paham. Dari awal, saya sudah menyampaikan bahwa saya diminta datang menyerahkan paper bag ini sama bapak. Tidak ada maksud apa pun, apalagi sampai menakut-nakuti Bu Mutia."
"Bapak siapa yang Anda maksud?" tanya Mutia dan Novita bersamaan.
Lelaki berseragam hitam itu baru bisa tersenyum dan bernapas lega setelah dua perempuan tersebut tak lagi berkata keras seperti tadi.
"Pak Bagas," jawab si lelaki.
Mutia dengan cepat menyambar bingkisan yang berada di tangan lelaki berseragam tersebut. Lalu, berkata, "Sampaikan padanya saya sudah menerima bingkisan ini."
"Mut, siapa Pak Bagas yang dimaksud orang ini?" tanya Novita dengan wajah penasaran sekaligus curiga.
"Bapak boleh pergi sekarang," usir Mutia. Dia mencoba mengabaikan pertanyaan sahabatnya.
"Tapi, Bu. Bapak juga mengatakan bahwa Ibu harus segera pulang ke rumah sebelum Bapak pulang kantor," ucap si lelaki sama sekali tak peduli dengan tatapan aneh Novita padanya.
"Mut, apa maksudnya?"
"Bapak pulang sekarang," kata Mutia lebih keras dari sebelumnya membuat lelaki tersebut langsung meninggalkannya tanpa menoleh lagi.
Novita menyeret pergelangan sahabatnya masuk kelas. Kedua tangannya perempuan yang berstatus istri pengacaranya itu terlipat di depan dada. Matanya tajam menatap Mutia dari ujung rambut hingga kaki. Sementara orang yang ditatap malah menundukkan dalam.
"Jelaskan padaku. Siapa Bagas dan apa hubungannya denganmu? Mengapa orang itu sampai menyuruhmu seperti tadi. Ingat, ya, Mut. Nenek sudah menitipkanmu padaku, jadi aku berhak mengetahui apa saja yang terjadi dalam hidupmu," ucap Novita tegas. Persis seperti seorang ibu yang menginterogasi putrinya yang ketahuan pacaran.
"Nov, aku bisa jelaskan. Kamu jangan salah paham dulu," ucap Mutia dengan suara bergetar seperti menahan tangis.
Happy Reading***** Mutia bersiap menutup pintu rumahnya lagi ketika melihat wajah Bagas. Namun, gerakan lelaki itu jauh lebih cepat untuk mencegah niatan si perempuan. "Sayang, Mas mau ngomong penting," ucap Bagas. Mutia menatap lelaki di depannya dengan malas. "Nggak ada yang perlu kita omongin lagi. Pergi sana," usir si ibu guru. Dia kembali akan menutup pintu, tetapi tangannya Bagas jauh lebih cepat menarik pinggang perempuan itu sehingga bibir keduanya menempel satu sama lain.Bagas malah dengan sengaja melumatnya sebentar membuat Mutia meronta-ronta dan saat itulah, si kecil Fardan memanggil keduanya."Mama sama Papa ngapain, sih? Kalau mau mesra-mesraan di dalam saja, deh. Malu kalau di luar gitu. Dilihat tetangga juga nggak enak," ucap si kecil. Mutia tak menjawab, melangkah pergi meninggalkan keduanya. Setelah jaraknya cukup jauh, perempuan itu menoleh dan berkata. "Suruh dia pergi, Sayang. Kita harus segera berangkat sekolah," suruhnya pada si kecil.Fardan menyilangkan
Happy Reading*****Mutia benar-benar menghentikan langkahnya. Dia berbalik menatap Surya dan Bagas bergantian. Sementara Bagas, dia terpaku. Ucapan Surya membuatnya mematung. "Jadi, Papa sudah mengetahui semua ini?" tanya Bagas. Sempat tak percaya jika orang yang membelanya saat ini adalah Surya.Surya menoleh pada putra dan istri sahnya. "Maaf, jika selama ini Papa terkesan selalu membela Nazar," ucapnya.Mutia mendengkus. "Jadi, beginilah kelakuan semua keluarga Anda. Salah satu anggota keluarga melakukan tindak kriminal, tapi Anda malah melindunginya. Maaf, jika saya semakin yakin untuk membawa Fardan pergi dari sini." Perempuan yang berprofesi sebagai guru itu kembali melanjutkan langkahnya sambil menggandeng tangan si kecil yang sejak tadi sama sekali belum membuka suara."Tia, tunggu!" teriak Bagas. Akan tetapi, orang yang dia panggil makin mempercepat langkahnya."Gas, biarkan saja. Beri kesempatan pada Mutia untuk bersama Fardan dulu," nasihat Anjani yang ikut mengejar langk
Happy Reading*****"Nggak mungkin, ini sangat nggak mungkin," ucap Mutia berkali-kali, air matanya sudah menganak sungai di pipi."Sayang, kenapa?" Bagas mengguncang kedua bahu perempuan yang sudah menguasai seluruh hatinya itu.Surya langsung merebut selembar kertas di tangan Mutia. Lalu, membaca isi yang tertera di sana. Sebagaimana reaksi si ibu guru, lelaki paruh baya itupun cukup terkejut ketika membacanya."Pa, ada apa?" tanya Anjani. Perempuan itu merebut kertas di tangan suaminya. "Lho," ucapnya tak percaya."Itulah kenyataannya," kata Fardan, "semula, aku juga berharap bahwa Mama adalah orang yang melahirkanku, tapi kenyataannya nggak sesuai harapan. Padahal dari foto ini, aku sudah berharap banyak."Si kecil menyerahkan dua lembar foto berbeda tempat, tetapi pakaian yang digunakan si bayi sama.Bagas menyambar foto yang disodorkan si kecil. Lalu, dia mencermati kedua foto tersebut. "Bukankah ini fotomu ketika Mama baru pertama kali melihatmu di rumah sakitnya Satya waktu it
Happy Reading*****"Mana mungkin dia?" teriak Elvina setelah cengkeraman tangan kekasihnya terlepas dari leher.Tama menyipitkan mata, dia menatap lurus ke arah perempuan cantik dan anggun yang kini berjalan mendekati mereka semua. Dia seperti mengenal perempuan itu, tetapi tidak ingat di mana. "Sayang, apa bener yang kamu katakan itu?" tanya Bagas. Dia maju, berusaha menggenggam tangan si perempuan. Namun, perempuan itu menepisnya dengan cepat. "Benar atau nggaknya, tanyakan pada hatimu sendiri. Aku sudah mengingat semuanya." Perempuan itu menatap ke arah Surya. "Saya sudah mengingat semuanya bahkan ketika Anda mengambil anak yang telah saya lahirkan di rumah sakit saat itu. Saya telah salah menilai kebaikan kalian semua. Ternyata, kalianlah orang yang telah menghancurkan hidupku selama ini," ucapnya.Tanpa menghiraukan keberadaan Surya dan Bagas yang tertegun dengan semua ucapan perempuan itu, dia melangkahkan kaki menuju kamar Fardan. "Aku akan membawa anak itu pergi," katanya.
Happy Reading*****Bagas dan semua orang yang ada di ruang tamu menoleh pada lelaki tak diundang yang kini berdiri di pintu rumah tersebut. "Tama?" kata Bagas dan Surya bersamaan."Hai, Gas," sapa lelaki berbadan tegap dengan tinggi sekitar 175 cm. "Selamat malam, Om, Tante," lanjutnya menyapa kedua orang tua Bagas. Tama melangkahkan kakinya mendekati mereka semua walau sang pemilik rumah belum mempersilakan. Dia berdiri tepat di samping Elvina yang perkataannya sengaja dipotong karena jelas mengandung kebohongan."Ada perlu apa kamu ke rumahku, Tam?" tanya Bagas. Tama melirik perempuan yang beberapa waktu lalu masih menghangatkan ranjangnya, tetapi kini sudah berbalik arah mendekati Bagas. "Kedatanganku ke sini, jelas berkaitan dengan dia," ucapnya pada Bagas."Apa hubunganmu dengan dia, Tam?" Bukan Bagas yang bertanya, tetapi Surya. "Dia salah satu wanitaku, Om. Dan, sekarang, sepertinya dia ingin merangkak naik ke ranjang Bagas. Ingat, El. Nggak semudah itu kamu bisa mendekati
Happy Reading*****"Pa, ada apa kok ribut sekali?" tanya Anjani. Di samping perempuan paruh baya itu sudah ada Fardan yang menatap bingung dua lelaki yang ada di hadapannya."Eyang, apakah yang dikatakan Papa itu benar?" tanya si kecil dengan wajah sedih. Surya menatap semua orang bergantian, mengembuskan napas panjang. Berat mengatakan sebuah kebenaran yang selama ini sudah dia tutup rapat-rapat. Kehadiran Fardan sudah banyak membawa perubahan dalam hidupnya yang saat itu hampir berada di jurang kehancuran. Lelaki yang sudah memiliki kerutan di wajahnya itu kembali mengembuskan napas panjang. "Sudah saatnya Papa harus menceritakan kebenaran yang selama sebelas tahun terpendam rapat," ucap Surya. Dia kembali menatap ke arah Elvina. "Mungkin, perempuan yang kamu nodai malam itu benar Elvina, tetapi dia bukan perempuan yang melahirkan Fardan. Sejujurnya, Fardan memang bukan anak kandungmu, Gas.""Nggak mungkin," kata Anjani keras."Eyang pasti bohong," teriak Fardan."Pa, tidak usah