Happy Reading
***** Reflek, Novita melemparkan kotak paket tersebut hingga isinya berhamburan di lantai. Warna merah terlihat dengan jelas karena lantai keramik di ruang guru berwarna putih. "Ada apa?" tanya salah satu rekan seprofesi keduanya. "Itu," tunjuk Novita pada kepala boneka yang berlumuran darah. "Astagfirullah," sahut yang guru-guru yang lain. Beberapa pendidik yang bekerja di sekolah tersebut berdatangan karena mendengar teriakan Novita dan Mutia. Ruangan yang dihuni oleh dua guru cantik itu mendadak ramai. "Siapa yang tega melakukan ini padamu, Mut?" tanya Novita. Perempuan berambut lurus kecoklatan itu memeluk sahabatnya yang gemetaran akibat ketakutan karena isi paket itu. Mutia menggelengkan kepalanya. "Aku nggak tahu siapa yang yang tega mengirimkan paket seperti ini." "Apa Bu Mutia punya musuh?" tanya salah satu rekan seprofesi Mutia dan Novita. Guru yang lain langsung memanggil pihak kebersihan untuk membereskan kekacauan yang diakibatkan paket teror tersebut. Mutia menggeleng. "Selama ini, saya nggak merasa punya musuh, Pak," suara perempuan itu masih terdengar bergetar yang menandakan bahwa rasa takut masih menyerang dirinya. "Coba kamu ingat-ingat lagi, Mut," sahut Novita. "Aku emang nggak merasa punya musuh, Nov. Kamu, kan tahu gimana sifat dan sikapku selama ini. Apa mungkin aku bisa menyakiti hati seseorang dan membuatnya membenciku?" Mutia mengurai pelukannya. "Ibu juga nggak tahu siapa pengirim paket ini?" tanya rekan Mutia lainnya. "Nggak tahu, Bu," sahut Novita, "Satpam yang nganter paket tadi, ngomong kalau orang yang memberi bungkusan itu langsung pergi setelah menyerahkan." "Gini saja, Bu. Sekolah kita kan punya CCTV, sebaikknya Bu Mutia minta tolong sama kepala sekolah untuk melihat tayangan yang terekam," sahut guru lelaki yang berada di sana. Di saat bersamaan, petugas kebersihan yang dipanggil salah satu rekan kerja Mutia sudah mulai membersihkan paket yang berserakan tersebut. Ketika tangan sang pembersih mengangkat kotak paket tersebut, sebuah amplop berwarna putih terjatuh. "Bu, sepertinya ada pesan yang ditulis oleh pengirim paket ini." Perempuan paruh baya yang sudah dikenal Mutia sebagai petugas kebersihan sekolah, menunjukkan amplop putih tersebut pada si ibu guru. Tangan Novita dengan cepat menyambar amplop tersebut. Semua orang mendadak menatap nyaris tanpa kedip ke arah istri sang pengacara. "Buka saja, Bu Nov," kata salah satu guru yang masih ada di ruangan tersebut, sebagian yang lain sudah memasuki kelas masing-masing untuk membagikan rapor. Tangan Novita bergetar ketika membuka amplop tersebut. Perlahan, dia membaca isi amplop itu dalam hati. Matanya membulat sempurna ketika mengetahui isi dari pesan yang tertulias di sana. "Mut, kamu yakin nggak punya musuh? Tapi, kenapa orang ini seolah ...." Kalimat yang dikeluarkan Novita terhenti karena sang sahabat merebut kertas tersebut. Perlahan, Mutia mulai membaca isi pesan yang ditinggalkan sang pengirim paket. "Jangan pernah mendekatinya kalau kamu tidak ingin bernasib sama seperti boneka di kardus itu. Ingat, kamu itu cuma seorang guru yang tidak pantas mendampinginya. Jika aku masih melihatmu bersamanya. Maka, hari ini juga, aku pastikan nasibmu sama dengan boneka yang aku kirimkan," tulis sang pengirim paket tersebut. Mutia terdiam, sementara para rekan sesama guru mulai berpamitan seiring datang beberapa wali murid yang mulai memasuki halaman sekolah. "Apa maksud sang pengirim?" tanya Novita, dia masih setia menemani sang sahabat di ruangan tersebut walau ada salah satu guru yang memperingatkan supaya mereka segera memasuki kelas masing-masing. "Aku nggak tahu siapa yang dimaksud pengirim ini," sahut Mutia. "Maksudmu? Saat ini, ada lelaki lain yang sedang dekatmu, Mut?" tanya Novita dengan suara menggelegar bahkan nyaris berteriak. "kamu selingkuh dari Nazar? Apa dia yang membelikanmu baju ini?"Happy Reading*****Tak berbeda jauh dengan keadaan Mutia yang kacau, kondisi Bagas pun lebih menyedihkan lagi. Setelah meninggalkan klinik Satya karena kecewa dan kesal dengan hasil pemeriksaan Mutia, lelaki itu segera datang ke kantor. Rapat penting yang membahas proyek besar bernilai fantastis, dia batalkan. Entah mengapa hatinya begitu sakit ketika mengetahui dirinya bukanlah lelaki pertama yang berhubungan intim dengan Mutia. "Kamu beneran sudah gila, Gas. Cuma karena suasana hatimu buruk, kamu bisa membatalkan meeting penting kali ini. Ada apa sebenarnya? Nggak biasanya kamu linglung begini. Apa ini menyangkut Fardan?" tanya Arham di ruang kerja Bagas. Lelaki itu terpaksa menghubungi klien mereka yang akan bekerja sama untuk membatalkan pertemuan. Alhasil, rekanan itu marah dan membatalkan kontrak kerja sama yang akan mereka jalani. Pihak rekanan menganggap jika perusahaan yang dipimpin Bagas, hanya main-main dengan proyek yang sedang berlangsung. Bagas tak menyahut, malah m
Happy Reading*****"Mengapa kamu berbohong, Tia!" bentak Bagas, tangannya masih mencengkeram kuat leher wanita di sebelahnya padahal Satya sudah berusaha menyingkirkan tangan itu."Hentikan, Gas! Atau aku akan memanggil polisi," bentak Satya, "Ingat, kamu sedang berada di klinikku sekarang. Nggak usah nyari gara-gara." Bagas melepaskan cengkeraman tangannya dari leher Mutia, tetapi tatapannya masih saja menakutkan. "Kamu mengatakan tidak pernah berhubungan dengan Nazar, tapi apa ini?" teriak Bagas, meluapkan semua kekecewaannya pada perempuan yang semalam sudah membuatnya terbang berkali-kali ke nirwana. Kini, lelaki itu kembali mencengkeram leher wanitanya walau tidak sekuat tadi. Mutia terbatuk-batuk, tenggorokannya sakit hingga tidak bisa menjawab pertanyaan lelaki yang sudah menolongnya itu. Dia sama sekali tidak memahami mengapa Bagas marah sampai lepas kendali seperti tadi. Mutia semakin takut dan mempertanyakan pendapatnya sendiri yang mengatakan bahwa Bagas adalah lelaki
Happy Reading*****Bagas segera melangkah keluar ketika percakapannya dengan seseorang ditelepon sudah terputus. Sementara Mutia masih berendam di bak mandi air hangat yang sudah disiapkan lelaki itu. Aroma lavender yang berasal dari lilin di sebelahnya memberikan sensasi menenangkan, perempuan itu tanpa terasa memejamkan mata kembali.Entah berapa lama dia tertidur di bak tersebut, saat terasa sentuhan di kulitnya yang halus, Mutia membuka mata."Sudah berendamnya, ya." Bagas segera mengangkat tubuh perempuannya tanpa meminta persetujuan Mutia."Pak," jerit Mutia ketika lelaki itu menggendongnya. Merapatkan kedua paha agar pusat intinya tidak terlihat oleh Bagas. Tadi, Mutia tidak mengenakan pakaian sehelai benang pun saat berendam."Malu?" tanya Bagas sambil terkekeh. "Aku sudah melihat semuanya semalam.""Iya, tapi kan," protes Mutia sambil menyembunyikan wajahnya di ceruk leher si lelaki."Sudahlah." Bagas menurunkan Mutia di kursi meja kerjanya. Lalu, mengambilkan jubah mandi un
Happy Reading*****"Aaah," ucap Bagas merasakan geli ketika bibir Mutia menyentuh area lehernya. Rasanya pusat inti sang lelaki makin terbangun saat ini. "Selesaikan makannya dulu!" Lelaki itu menyuapkan kembali makanan ke mulut wanitanya. Setelahnya memasukkan makanan ke mulutnya sendiri dengan menggunakan sendok sama seperti yang dipakai untuk menyuapi Mutia. Bagas perlu mengisi energinya sebelum kegiatannya dengan Mutia dimulai. Sejak sarapan tadi, lelaki itu belum mengisi perutnya kembali dengan makanan.Selesai menghabiskan makanan yang ada di piringnya, Bagas membopong Mutia."Bi," paggil sang pemilik rumah pada pembantunya. Perempuan paruh baya yang membantu Mutia di dapur tadi, tergopoh mendekati majikannya. Namun, langkahnya terhenti ketika melihat adegan romantis yang belum pernah dia lihat."Aduh, mata Ibu ternoda, Mas," kata Bi Siti, menggoda majikannya yang sejak beberapa tahun lalu seperti antipati terhadapa wanita. Namun, anehnya nama Bagas sebagai don juan begitu me
Happy Reading*****Mutia berjingkat, lalu menatap dua lelaki berbeda generasi itu dengan tatapan heran."Batasan apa yang kamu maksud? Apa yang kita lakukan nggak jauh beda," cibir Fardan, enteng bahkan tak ada permintaan maaf yang keluar dari bocah itu."Dan," panggil Arham sambil menggelengkan kepala. Jelas sekali lelaki itu meminta supaya si kecil tidak melanjutkan perdebatannya dengan Bagas."Ham, bawa anak ini keluar kalau perlu kurung dia supaya sadar kesalahannya," perintah Bagas pada asistennya."Gas, ingat. Dia masih kecil," protes Arham yang langsung mendapat pelototan dari Bagas."Masih kecil saja sudah jadi pembangkang. Bagaimana besarnya nanti?""Bukankah kelakuan kita sama. Kamu masih kecil juga sering membangkang dan nggak mematuhi omongan Eyang Kakung," cibir Fardan.Braak ....Tangan Bagas memukul meja dengan keras."Enyahkan di dari hadapanku! Kurung dia di kamarnya," bentak Bagas pada Arham."Tapi, Gas," tolak Arham.Entah kekuatan dari mana, Mutia tanpa sadar meme
Happy Reading*****Tatapan lelaki itu begitu menakutkan bagi Mutia, tetapi Fardan sama sekali tak gentar. Si kecil malah melotot mendengar perkataan Bagas yang menghentikan ucapannya tadi."Aku punya hak memilih siapa perempuan yang akan menjadi istrimu. Jika aku nggak setuju dengan perempuan itu. Maka, kamu nggak boleh menikahinya," kata Fardan keras. Arham dengan cepat menutup mulut si kecil karena melihat tatapan mengerikan dari Bagas.Sang asisten bahkan sudah memindahkan tubuh mungil yang sejak tadi menaruh tangannya di pinggang ke dalam gendongannya. Arham terlihat seperti melerai pertengkaran yang terjadi dengan lawan yang tidak seimbang."Kalian ini kenapa sebenarnya?" tanya Mutia, "Apa hubungan kalian berdua? Pak Bagas aneh. Omongan anak kecil masih saja diladeni.""Diam!!" bentak Bagas dan juga Fardan secara bersamaan."Eh." Mutia langsung memundurkan langkah ketika mendengar suara keras tersebut."Sebaiknya, kamu siapkan makanan untuk kami," perintah Bagas dengan tatapan m