Soto Kerbau di warung langgananku terasa sangat hambar. Entah karena tukang masaknya ganti atau resep yang dipakai tidak seperti biasanya atau karena pikiranku penuh dengan ingatan saat Gus Sami tertawa lepas pada dokter Nisa di poliklinik waktu itu atau mungkin syaraf-syaraf lidahku sudah mulai rusak.
Makanan yang memenuhi mangkuk kecil itu hanya kuaduk-aduk. Kutambahkan satu sendok penuh sambal, kembali kuaduk-aduk. Berharap soto di hadapanku rasanya sesuai ekspektasiku, namun tetap saja hambar kecuali rasa pedas yang cukup menyengat tenggorokanku.
Es teh satu gelas tetap tidak mampu mengusir rasa panas di tenggorokanku. Mulutku mendesis-desis kepedasan.
Gus Sami menoleh ke arahku dan mengangsurkan gelas es tehnya. "Jangan kebanyakan sambal, nanti asam lambungmu naik."
"Mbak Richa sementara tidur di rumah saya saja," kata Bu RT memutus keheningan antara diriku dan Sakta."Ya, Na. Hanya sementara sampai traumamu hilang," kata Sakta menimpali.Belum juga aku menjawab sudah mulai terdengar suara-suara gaduh dari arah pintu rumahku. Mataku membelalak ketika menangkap sesosok lelaki yang kedua tangannya disatukan dengan kabel ties dan dikawal Babinsa. Sementara bapak-bapak yang lain mengaraknya dari belakang. "Mas Bagas?" gumamku pelan tapi mungkin sempat tertangkap telinga Sakta.Seketika Sakta berdiri dan membalikkan tubuhnya. Aku segera meraih tangannya sebelum ia kalap dan menghajar Mas Bagas."Mbak Richa mengenalnya?" tanya Pak Babinsa."Tidak, Pak. Bawa saja dan berikan huku
My Sunshine?Bagaimana mungkin Gus Sami menyimpan nomorku dengan nama itu? Setelah sekian tahun?Suara seorang perawat membuyarkan lamunanku, "Keluarga Tuan Sami Yusuf Abdillah." Aku pun bergegas menuju perawat yang duduk di sebelah dokter jaga sebelum sampai di brankar Gus Sami. "Ya, Bu. Saya keluarga Pak Sami." Perawat tersebut lalu menjelaskan prosedur pelayanan serta tindakan yang akan diberikan pada Gus Sami, meminta tanda tangan persetujuan, dan memintaku mendaftar pada bagian pendaftaran rawat inap serta memilih kamar untuk perawatan Gus Sami."Baik Ibu. Sementara kami lakukan CT Scan pada pasien, ibu bisa menyelesaikan administrasinya pada bagian pendaftaran." Aku mengangguk lalu menuju ruang pendaftaran rawat inap.Sambil menunggu antrian
"Sakta?" ucapku dan Gus Sami hampir berbarengan. Aku menoleh kearah Gus Sami yang terlihat kikuk. Melalui tatapan mata, aku minta penjelasan. Bagaimana mungkin ia menyebut nama Sakta. Tapi ia hanya membeku di tempatnya. Mataku bergantian menatap Gus Sami dan Sakta. Kedua lelaki itu terlihat bingung. Aku tahu, ada yang tidak beres diantara keduanya. "Ooh. Jadi kalian saling kenal?" "Kenapa selama ini seolah Kamu tidak mengenal Papahnya Nabhan setiap kali kita menatap foto mereka berdua?" cicitku pada Sakta. Ia melotot kearah Gus Sami yang dibalas dengan tatapan yang hampir sama. "Pertemuan awal ketika kita di Bis waktu itu...." Kepalaku mulai berdenyut sakit mengingat pertemuan awal dengan Sakta yang seolah kebetulan ternyata sudah mereka rencanakan. 'Ternyata Kamu sengaja mengikutiku?" Aku menjeda kalimatku. Menarik napas untuk sedikit menyingkirkan sesak di dada. Aku menggelengkan kepala kuat. Kini kepalaku terasa dicengkeram, memikirkan apa saja rencana yang telah mereka jalank
Aku segera mandi air hangat dan mengganti baju kerjaku dengan kaos panjang all size dan celana kulot. Tubuhku sudah terasa segar kembali setelah seharian berkutat dengan pekerjaan. Tetapi masih ada satu tugas yang harus kuselesaikan malam ini. Kupikir masih cukup waktu jika kukerjakan setelah Isya. Aku melihat jatah makan malam Gus Sami yang belum tersentuh. Overbed table itu masih penuh dengan makanan.Aku mendorong overbed table mendekati brankar. Menaikkan sedikit sandaran dan duduk di tepi brankar. Sementara Gus Sami sibuk dengan ponselnya."Makan dulu, Gus."Ketukan di pintu membuat kami mengalihkan pandangan kearah sumber bunyi."Tolong bayarkan, Cha." Gus Sami menyerahkan dua lembar uang pecahan seratus ribu. Sementara satu tangannya memegang dompet."Dompet itu ...?" Kembali terdengar ketukan di pintu. Aku menyambar dua lembar uang merah itu dan segera membuka pintu. Seorang kurir delevery order berdiri di depan pintu de
Suara khas Icha yang sedikit serak itu makin familiar ditelingaku. Ia punya jadwal rutin membaca Ratib Al Hadad setiap selesai membaca wirid usai sholat Subuh. Suaranya yang sedikit serak membuat bacaan Ratib itu menjadi semakin indah.Suaranya terjeda sebentar saat ada panggilan di ponselnya, namun rupanya ia hanya me-reject panggilan masuk itu. Lalu suaranya kembali terdengar membaca kumpulan dzikir yang disusun oleh Syaikh Abdullah bin 'Alawi bin Muhammad al-Haddad dari Hadramaut itu. Ia masih khusyuk membaca dzikirnya meskipun beberapa kali terjeda panggilan masuk yang selalu berakhir di-reject.Aku pun ikut mengaminkan saat ia membaca doa Ratibul Hadad. Usai membaca qasidah sebagai penutup dzikir, Icha tampak menelepon seseorang."Wa'alaikumussalam. Maaf, tadi masih ada sedikit kesibukan," ucap Icha pada seseorang diseberang teleponnya."....""Jangan hari ini.""....""Malam aku nggak bisa. Aku harus jagain teman yang sedang dirawat di rumah sa
Aku benar-benar dibuat jengkel oleh Gus Sami. Bisa-bisanya ia membuatku menderita selama ini. Kutinggalkan saja ia sendirian di Rumah Sakit. Usai pertengkaran singkat itu aku langsung menuju butik menggunakan jasa sopir Ojol.Sesampainya di butik, aku langsung menyibukkan diri. Mengecek stock opname bahan baku, data pesanan, stock opname barang produksi, dan sebagainya. Yang penting saat ini aku sibuk agar otakku kembali dingin.Menenggelamkan diri diantara angka-angka laporan keuangan dan laporan bulanan membuatku sedikit melupakan kejengkelanku pada Gus Sami. Tetapi kalimat Mita kembali membuatku mengingat kelakuan lelaki yang telah meninggalkan jejak di hatiku itu."Oh ya. Tadi pagi bendahara Pak Yusuf menghubungi kami. Mereka tidak akan menuntut ganti rugi dan tidak lagi minta kompensasi," kata Mita antusias. Aku mengangguk malas yang membuat Mita mengerjap."Sebentar. Siapa tadi? Bendahara Pak Yusuf?""Iya. Pak Yusuf. Pelanggan pertama kita yang masih s
Aku sudah kembali beraktivitas seperti biasa meskipun kadang-kadang kepalaku masih terasa sakit. Setelah aku konsultasikan keluhanku itu pada dokter dijelaskan bahwa hal itu bukan masalah berat. Trauma yang pernah dialami kepalaku pasca benturan itu tidak mungkin bisa hilang dalam waktu sekejap sehingga kadang masih terasa sakit. Tetapi dokter berpesan agar aku tetap tidak memakai bantal saat tidur.Hari ini aku mengecek beberapa proyek yang sudah tiga pekan ini kupercayakan pada Pelaksana Lapangan. Setelah itu aku menuju kantor yayasan sekaligus menunggu kedatangan Sakta. Untuk proyek yang ada di Temanggung rencananya akan aku cek bersama Sakta sekaligus ia rencanakan desain interiornya.Aku masih mereview beberapa laporan proyek yang sedang kami kerjakan saat tiba-tiba pintu ruanganku dibuka dari luar. Aku sudah akan marah karena sikap orang yang membuka pintu tanpa mengetuk terlebih dahulu menurutku adalah perbuatan yang tidak sopan. "Kebiasaan," sungu
Kantor sudah cukup ramai meskipun masih sangat pagi untuk ukuran jam kerja. Jika ada tahapan seperti saat ini, kami memang harus siap bekerja dua puluh empat jam. Sehingga datang ke kantor sangat pagi dan pulang hampir subuh bukan hal asing bagi kami. Sudah seminggu ini dilakukan sortir SS sehingga kantor sangat ramai oleh banyaknya tenaga borong sortir. Seperti biasa, setelah meletakkan tas di ruangan, aku menuju kantin untuk sarapan. Baru beberapa kali menyuap sarapanku, Sakta menelepon."Assalamualaikum, Na.""Wa'alaikumussalam.""Bisa ikut aku mengantar motor Sami? Biar baliknya kesini aku ada teman di jalan.""Hari ini aku nggak bisa. Kerjaan padat banget.""Berangkat malam aja, pulang besok. Besok nggak kerja 'kan?"Besok memang hari libur, tapi nanti malam aku sudah terlanjur janji makan malam bersama Haidar. Menggantikan makan malam yang dulu tertunda karena Gus Sami jatuh saat di rumah sakit."Sor