Share

Bagian 4

Penulis: Mita el Rahma
last update Terakhir Diperbarui: 2021-12-21 03:03:05

Setelah percakapan di telpon empat hari lalu, yang berakhir dengan diputuskannya hubungan kami secara sepihak, Mas Bagas belum menjawab pesan-pesan W*-ku maupun menerima panggilanku. Panggilan telponku selalu di-reject. Namun, kesibukanku di kantor membuatku sedikit abai memikirkan masalahku dengan Mas Bagas.

Aku baru saja hendak masuk ruanganku setelah makan siang di kantin. Nuri - salah satu staf subbag Tekmas dan Sosialisasi - telah menunggu di depan pintu ruanganku.

"Bu, ada dispo surat undangan untuk Ibu." Nuri menyerahkan dua lembar kertas yang telah disatukan dengan lembar disposisi beserta map putih yang ada di tangannya. Nuri membantuku membuka pintu setelah kertas-kertas yang dipegangnya berpindah ke tanganku.

Aku mempersilahkannya duduk di sofa, sementara aku membaca sekilas isi surat undangan itu.

"Ini undangan untuk divisi sosialisasi, Mbak."

"Ya, Bu. Pak Nanang tidak bisa berangkat. Istrinya baru saja masuk rumah sakit karena ketubannya merembes padahal belum masuk HPL, sehingga beliau harus siaga. Jadi, Bu Reza mendispo surat ini pada Ibu."

"Oh. Kapan istrinya Pak Nanang masuk rumah sakit? Tadi pagi dia masih ikut pleno."

"Baru saja, Bu. Sekitar jam istirahat tadi Pak Nanang ditelpon istrinya."

"Bu Reza di ruangannya enggak?"

"Bu Reza bersama Bu Sekretaris, Kasubag Umum dan Mas Damar pergi ke rumah sakit. Bu Reza tadi masuk ke ruangan Teknis sebentar, lalu mengganti dispo surat ini. Setelah itu pergi ke rumah sakit."

Aku membaca ulang isi surat undangan itu. Tempat acara di Jogja, seketika sebuah senyuman tersemat pada bibirku. Aku membuka lembar kedua yang berisi tentatif acara. Lengkungan bibirku semakin panjang.

Tiga hari dua malam. Lumayan, Aku bisa mengajak Nabhan untuk bermalam di hotel bersamaku selama dua malam.

"Aku sama siapa, Mbak?"

"Sama Pak Riko dan Mas Damar, Bu."

Mas Riko adalah Kasubbag Teknis dan Sosialisasi yang usianya terpaut tiga tahun di atasku, sedangkan Mas Damar adalah salah satu sopir kantor.

"Bahan-bahan rakor ada di sini, Bu," kata Nuri sambil menyerahkan flashdisk.

Setelah menyerahkan flashdisk, Nuri izin pamit kembali ke ruang subbag teknis. Aku segera menemui Mas Riko untuk membicarakan teknis keberangkatan dan persiapan bahan-bahan rakor.

Pulang dari kantor aku mampir ke salah satu toko celluler, menyiapkan sebuah hadiah untuk Nabhan.

***

Selesai acara pembukaan, aku segera menuju ke pesantren Gus Sami menggunakan jasa ojek online meskipun Mas Riko menawarkan diri untuk mengantarku. Selain tidak mau merepotkan, aku juga tidak mau timbul gosip-gosip yang tidak benar.

Aku sengaja ingin memberikan kejutan pada Nabhan sehingga tidak menghubungi Nabhan ataupun Gus Sami terlebih dahulu.

Menjelang Maghrib aku sampai di pesantren. Umi orang yang pertama kali menyambutku. Ia menyapaku sangat ramah. Memberikan pelukan hangat yang tidak pernah kurasakan saat masih menjadi menantunya.

"Apa Gus Sami yang memintamu ke sini?" Aku menggeleng, sementara otakku merespon dengan cepat.

"Ada apa, Mi?"

"Gus Nabhan rewel terus. Tidak mau dibawa ke rumah sakit ...."

"Rumah Sakit?" Seketika langkahku terhenti. Memandang Umi penuh tanda tanya.

"Gus Sami tidak memberi tahumu?" Aku menggeleng cepat sebagai jawaban. Aku tidak sabar menunggu kalimat Umi berikutnya.

"Luka Gus Nabhan membusuk." Aku menutup mulutku dengan telapak tangan agar suara pekikanku tidak keluar. Tanpa mempedulikan Umi lagi, aku segera berlari menuju kamar Nabhan.

Kulihat Gus Sami duduk di kursi yang berada di samping ranjang. Ia sedang mengipasi luka Nabhan karena dikhitan kemarin.

Gus Sami dan Nabhan sontak menoleh ke arahku saat mendengar aku mengucapkan salam.

"Mamah." Mata Nabhan berbinar melihat kedatanganku. Sedangkan Gus Sami sedikit terkejut melihatku. Tidak berselang lama, suara tangisan Nabhan pun pecah. Aku segera menghambur ke arahnya untuk sedikit membuatnya tenang.

"Kapan datang? Kok enggak ngabari dulu?" tanya Gus Sami dengan nada datar seperti biasanya dan tanpa ekspresi.

"Aku ada rakor di sini, menggantikan Pak Nanang yang mendadak tidak bisa karena istrinya masuk rumah sakit."

Ringisan Nabhan mengalihkan pandanganku. Aku merinding melihat lukanya yang sedikit bernanah.

"Bagaimana bisa seperti ini, Gus?" Aku menoleh ke arah Gus Sami, meminta jawaban.

"Aku juga tidak tahu. Aku sudah merawatnya seperti anjuran dokter."

"Tapi ini bernanah, Gus. Artinya ada kuman yang bersarang di lukanya."

"Lalu kamu mau bilang kalau aku tidak bisa merawatnya?" Tatapan tajam mata Gus Sami menghujam jantungku. Aku menjadi tidak enak hati. Bukan itu maksudku.

"Maksudku bukan ...." Gus Sami sudah berdiri dari tempat duduknya dan hendak keluar kamar sebelum aku menyelesaikan kalimatku.

Refleks aku meraih tangannya dan memintanya duduk kembali. Ia sedikit terkejut. Sepersekian detik ia memandangi tanganku yang masih memegang tangannya. Dengan kikuk aku segera melepaskan tanganku.

"Kita harus membawa Nabhan ke rumah sakit, supaya lukanya dibersihkan."

Nabhan menggelengkan kepala mendengar ucapanku meskipun ia masih merintih menahan rasa sakitnya.

"Bujuklah! Barangkali dia mau. Aku sudah capek membujuknya."

"Sebagai orang tua, Gus Sami harusnya bisa sedikit memaksanya." Gus Sami kembali melotot ke arahku.

"Maaf. Maaf. Aku tidak bermaksud menyalahkanmu, Gus."

"Ya, dan itu sudah kamu lakukan beberapa kali sejak kamu masuk kamar ini." Aku meringis mencoba mencairkan suasana, tetapi percuma. Gus Sami tetaplah Gus Sami, lelaki ganteng dengan ekspresi datar.

Aku beralih pada Nabhan. "Mamah antar ke rumah sakit ya? Paling dibersihkan saja sebentar."

"Sakit. Nabhan enggak mau."

"Sakit sebentar, kalau nanahnya sudah hilang sudah enggak sakit lagi." Nabhan tetap menggeleng. Aku mulai berpikir untuk merayunya lagi.

"Gimana kalau habis dari rumah sakit kita beli es cream?"

Mata Nabhan langsung berbinar. "Ya, aku mau," katanya bersemangat.

Usai sholat Maghrib, aku dan Gus Sami membawa Nabhan memeriksakan lukanya. Di dalam mobil aku sibuk meredakan rengekan Nabhan sampai tanpa kusadari mobil telah berhenti di sebuah pelataran parkir sebuah poliklinik.

Jantungku berdegup lebih kencang ketika mataku menangkap sebuah tulisan nama dokter praktek spesialis anak, dokter Khoirun Nisa Tijani.

***

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (1)
goodnovel comment avatar
afaya lana
nama dokter yg satu ini mgkn salah satu fans dari gus sami...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Gus Mantan   Ekstra Part 3

    Aku dan Gus Sami sudah bersiap untuk sarapan dan mengikuti paket trip hari ini. Beberapa kali Gus Sami mendial nomor ponsel Nabhan tapi tetap tidak ada jawaban."Mah, tolong hubungi kamar Gus Nabhan.""Kamar 102 'kan?" Setelah sekian lama tetap tidak ada jawaban. "Nggak diangkat, Gus.""Ya sudah. Nanti kita ketuk aja pintu kamarnya."Kami segera keluar kamar dan menuju ruang makan. Kakiku urung berjalan ke pintu kamar Nabhan karena mataku telah menangkap sosoknya sedang berada di jalan berpaving yang diapit oleh taman. Ia sedikit terengah, sepertinya habis lari pagi. Aku tersenyum melihatnya serajin itu."Pantas nggak bisa dihubungi, lha lagi olahraga dil

  • Gus Mantan   Ekstra Part 2

    Suara deheman seseorang membuat kami menoleh."Dasar pengantin baru, maunya kayak perangko.""Hei, Gus Nadzim." Dua laki-laki itu kemudian saling memeluk."Ini istriku, Icha."Laki-laki yang dipanggil Gus Nadzim itu mengangguk sopan padaku. "Namanya sama dengan mantanku," ucapnya datar."Ayolah, kejar dia.""Gila aja aku merusak rumah tangga orang.""Siapa tahu dia menunggu keajaiban langit, sama seperti dirimu yang memutuskan untuk tidak menikah."Aku mengernyit mendengar dialog dua lelaki didek

  • Gus Mantan   Ekstra Part 1

    Beberapa kali Gus Sami menawarkan agar aku berbuka saja, tetapi aku bersikukuh untuk melanjutkan puasaku."Papah nggak tega lihat Mamah lemah seperti itu. Papah khawatir Mamah kenapa-kenapa.""Nggak apa-apa, Gus. Aku bersyukur banget karena adik bayi bisa ikut belajar puasa. Salah satu bentuk pendidikan prenatal ya seperti ini."Perutku kembali mual, rasanya ingin muntah. Gus Sami memegangi tangan kananku dengan lembut, sementara tangan kanannya tetap memegang setir mobil.Beberapa kali ia memperhatikan deretan toko di sepanjang jalan yang kami lalui. Tiba-tiba ia meminggirkan mobilnya di depan sebuah apotek."Tunggu sebentar, ya."

  • Gus Mantan   Bagian 47

    "Apa kita akan menikah?" ulangnya."Apa Gus e inginkan selain itu?""Jangan main-main Kamu, Cha.""Mamah nggak sedang nge-prank kita 'kan?" Nabhan memandangku waspada.Aku telah memikirkan semuanya dengan matang dan yang terpenting aku telah meminta petunjuk pada Allah."Beberapa kali, setelah sholat istikharah aku bermimpi kita bertiga sedang berada di tempat yang sama, beraktivitas dan bercanda bersama. Aku yakin itu sebuah petunjuk."Keduanya terpekik. Nabhan tiba-tiba sudah menghambur memelukku."Kita menikah besok." Suara Gus Sami mengurai pelukanku pada Nabhan."Gus e apa-apaan? Nggak bisa secepat itu. Harus cari hari baik dulu," protesku. Aku masih belum bisa menerima jika tiba-tiba besok statusku sudah berubah. Meskipun aku sudah mengambil keputusan itu tetapi aku tetap butuh penyesuaian dan menata hati."Semua hari itu baik, Sayang." Nabhan menjerit bahagia mendengar panggilan Papahnya untukku, sementara aku mungkin sudah seperti kepiting rebus."Setidaknya menunggu setelah R

  • Gus Mantan   Bagian 46

    "Tunggu di batas kota aja. Kasihan kalau kesini, terlalu jauh." Aku mengangguk. Segera kuambil dompet dan kunci mobil."Aku keluar sebentar. Kupastikan pekerjaanku hari ini beres." Mbak Reza mengacungkan dua jempol tangannya ke udara.Aku mengetikkan nama resto tempat aku akan menunggu Gus Sami dan Nabhan sambil berjalan menuju parkiran.Belun ada sepuluh menit, aku sudah sampai di resto yang aku maksud. Setelah memarkir mobil aku kembali mengabarkan jika telah sampai di resto sambil berjalan menuju pintu masuk resto."Mbak Richa?" Sebuah suara memaksaku mengalihkan pandangan dari layar ponselku menuju sumber suara."Ibu? Mas Haidar?" Aku segera meraih tangan p

  • Gus Mantan   Bagian 45

    "Hatiku sudah hancur berkeping-keping sejak aku memutuskan untuk meninggalkan suami dan anakku. Dan tahukah Kamu Gus, jika sesuatu yang telah hancur berkeping-keping itu tidak akan mungkin bisa kembali utuh seperti sediakala. Meskipun kepingan-kepingan itu bisa disatukan kembali tetap akan meninggalkan bekas.""Luka ini terlalu dalam, Gus. Luka ini telah membawa pergi semua kebahagiaanku. Meskipun senyuman selalu tersemat dibibirku, sejatinya itu hanya untuk menutup luka menganga yang ada disini." Aku menepuk dadaku yang terasa sangat nyeri.Tiba-tiba Gus Sami meraih pundakku dan menenggelamkan kepalaku didadanya. Munafik jika aku mengatakan tidak merindukan pelukannya. Apalagi Gus Sami yang sekarang jauh lebih peduli dan berperasaan. Aku bahkan diam saja dan menikmatinya. Ada rasa nyaman yang tidak ingin kulepaskan.

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status