Share

Bab 7

Penulis: Ariess_an
last update Terakhir Diperbarui: 2025-09-30 18:58:52

Jeffreyan baru tiba dari meeting dengan perusahaan kontraktor yang akan menangani proyek barunya. Jas masih rapi di tubuhnya, meski dasi sedikit longgar karena rapat tadi cukup melelahkan. Begitu melangkah ke area kantor, netranya tak sengaja menangkap sosok Ana yang berjalan sendirian melewati lobi menuju kantin.

Langkah gadis itu tampak tergesa, seolah ingin segera menghilang dari pandangan banyak orang. Rambut hitam panjangnya tergerai sederhana, kontras dengan wajahnya yang terlihat lelah.

Tanpa sadar, Jeffreyan memperlambat langkah. Ada sesuatu dalam sikap Ana yang membuatnya tak bisa begitu saja berpaling. Entah itu caranya menunduk, atau tangan mungilnya yang menggenggam erat tas selempangnya—seperti sedang menahan sesuatu.

Jeffreyan hendak melanjutkan mengikuti Ana, namun getar ponselnya menghentikan langkah.

“Ya, Tama?” suaranya ketus.

“Maaf Tuan, saya baru saja mendapat laporan. Rudy menjual informasi rahasia perusahaan pada pihak pesaing.”

“Shit!” maki Jeffreyan, urat di lehernya menegang. “Sekarang kau di mana?”

“Saya di kantin, Tuan. Baru saja mendapat laporan ini.”

“Keluar. Kutunggu di depan kantin. Dan suruh semua staf Rudy menghadapku satu per satu.”

“Baik, Tuan.”

Jeff menahan geram. Kali ini tikus itu tidak akan lolos.

Namun matanya kembali menangkap sesuatu. Ana—yang beberapa menit lalu masuk ke kantin—tiba-tiba keluar tergesa dengan wajah pucat. Langkahnya kacau, seakan ingin lari dari sesuatu.

Prang!

Suara pecahan kaca terdengar dari arah pintu. Seorang cleaning service panik, sementara Ana berjongkok, berusaha memungut pecahan dengan tangan gemetar.

“Biarkan saja, jangan dipungut! Nanti terluka!” tegur seseorang.

Tapi Ana menggeleng keras. Dia takut. Belum siap untuk bertemu tatap dengan Jeffreyan—atasan yang juga perusak masa depannya. Perasaan khawatir, bersalah, sekaligus takut bercampur dalam dirinya.

Tangan mungil itu kian gemetar saat menyentuh pecahan kaca. Ia berharap Jeffreyan sudah pergi. Namun ketika menoleh, pandangannya langsung terkunci pada sorot dingin yang berdiri tak jauh darinya.

Deg!

Ana membeku. Jeffreyan masih di sana. Tatapannya menusuk, dingin, membuat kaki Ana lemas.

Dalam keadaan kacau, tubuhnya kehilangan keseimbangan. Ana terjatuh, tangannya menekan tumpukan pecahan kaca yang baru saja ia rapikan. “Sssth…” erangnya pelan, menahan perih.

Tama yang baru keluar dari kantin refleks berlari membantu Ana. Ia terkejut melihat goresan besar di telapak tangan gadis itu. Sementara Jeff hanya menatap sekilas, lalu berbalik pergi dengan wajah dingin tanpa sedikit pun menolong.

Kelegaan bercampur getir menyelip di hati Ana begitu melihat Jeff berlalu. Ia segera menarik tangannya dari genggaman Tama.

Tama sama sekali tidak tersinggung. Ia paham betul betapa marahnya gadis itu. Bahkan jika Ana menamparnya, ia masih bisa menerima. Rasa bersalah pada Ana terlalu dalam.

Sosok cleaning service datang membantu, dan Ana pun ikut membereskan kekacauan yang ia buat. Setelah selesai, ia buru-buru meminta maaf dan berterima kasih, lalu hendak pergi. Tapi suara lirih Tama menghentikan langkahnya.

“Maafkan saya, Ana…” ucapnya pelan, penuh sesal.

Ana tidak menjawab. Hatinya sudah terlalu penuh dengan kebencian—kebencian pada Jeffreyan, pada Tama, juga pada dirinya sendiri yang selalu tidak berdaya.

***

Satu per satu staf dari divisi Rudy dipanggil masuk ke ruangan Jeffreyan. Ketegangan menyelimuti lantai kantor itu. Semua staff divisi bertanya-tanya serta beberapa orang menunduk, takut menjadi sasaran amarah sang CEO.

Ana, yang semula berencana kabur setelah insiden di kantin, dicegat langsung oleh security. Rupanya, ia memang termasuk dalam divisi yang diawasi ketat. Tidak ada pilihan lain, ia hanya bisa duduk menunggu giliran dengan jantung berdegup kencang.

Satu persatu masuk lalu keluar dengan wajah pucat. Bahkan dua wanita menangis setelah keluar dari ruangan Jeffreyan. Ana yang belum juga dipanggil hanya bisa menunggu dalam cemas.

Hanya tersisa dirinya yang belum masuk.

Tak lama kemudian Revan keluar.

“Tenanglah, Ana. Kau tidak bersalah. Beranilah,” bisik Revan sebelum dirinya dipanggil masuk. Kata-kata itu sedikit menguatkan Ana, meski lututnya tetap terasa lemas.

Dan akhirnya—

“Raisa Andriana.”

Namanya dipanggil.

Ana berdiri pelan, menunduk, lalu mengikuti langkah Tama masuk ke dalam ruangan. Suasana di dalam langsung membuat napasnya tercekat. Jeffreyan duduk di kursi utama, tegap, dengan tatapan tajam yang menusuk seolah mampu membaca isi kepala orang lain.

“Silakan duduk,” ucap Jeffreyan datar.

Ana menurut. Tubuhnya kaku, kedua tangannya meremas ujung rok yang ia kenakan. Ia tidak berani menatap ke arah Jeffreyan. Sesekali ia melirik Tama yang berdiri di dekat pintu. Kehadiran pria itu sedikit membuatnya tenang—setidaknya ia tidak benar-benar berdua dengan Jeffreyan.

“Raisa Andrianna.” Jeffreyan menyebut namanya lagi, kali ini dengan nada lebih pelan. “Nama yang bagus.”

Ana terdiam. Hanya menunduk, tak tahu harus menjawab apa. Jantungnya terus berdetak tak beraturan.

Jeffreyan menatapnya lama, seakan tengah menimbang sesuatu. Sudut bibirnya terangkat tipis, seperti menemukan celah untuk bermain-main.

“Tama,” panggilnya tiba-tiba. “Keluarlah. Bawakan kopi untukku, dan teh untuk gadis ini. Dia terlalu gugup untuk diajak bicara.”

Ana tersentak.

“Ti… tidak! Jangan!” suaranya keluar lebih keras dari yang ia maksud. Ia buru-buru menggigit bibir, sadar tindakannya lancang.

Ia tidak mau ditinggal berdua saja dengan Jeffreyan.

Jeffreyan justru menahan senyum. Menikmati ketakutan yang tergambar jelas di wajah Ana.

“Bawakan kopi untukku, Tama. Pembicaraan ini akan panjang,” perintahnya lagi, kali ini tak memberi ruang untuk dibantah.

Tama menoleh sekilas pada Ana, tampak ragu, namun akhirnya ia keluar meninggalkan ruangan.

Begitu pintu tertutup, Jeffreyan bangkit dari kursinya. Langkahnya tenang, tapi cukup membuat tubuh Ana kaku. Ia menunduk semakin dalam, berharap tatapan itu tidak lagi menghantamnya.

Jeffreyan menahan senyum, terlalu menggemaskan melihat wajah takut Ana.

"Rilex, Ana. " Ucapnya tapi tatapan nya sama sekali tidak bergeser sedikitpun dari Ana.

Sedangkan Ana yang dipandangi merasakan risih. Dan untuk melampiaskan rasa takut dan risih itu Ana meremas ujung roknya.

Namun tanpa Ana sadari, apa yang dirinya lakukan justru membuat pikiran Jeffreyan justru dipenuhi oleh isi dibalik rok itu.

Ah, mesum sekali!

Jeffreyan berpindah duduk ke sebelah Ana. Gadis itu reflek menghindar hendak menjauh, namun pinggang nya lebih dulu di cegat. Membuat Ana jatuh di atas pangkuan Jeffreyan.

"Ampun Tuan! Tidak! Lepaskan saya, saya nggak mau! Jangan lakukan! Saya mohon! " Jerit Ana. Berusaha melepaskan diri dari cengkraman. Dirinya masih trauma mmengingat setiap sentuhan kasar Jeffreyan pada tubuhnya.

"Diam Ana! Kalau terus bergerak nanti dia bangun! Jika dia bangun akan sulit untuk ditenangkan." bisik Jeffreyan. Tetapi tangannya tidak berhenti menahan agar mainnya tidak bergerak kabur.

“Tidak! Lepaskan saya! ” Ana terus meronta ingin diturunkan. Namun dengan mudah Jeffreyan malah membuat posisinya duduk mereka saling berhadapan. Kedua kaki yang terbuka membuat rok itu terangkat memperlihatkan paha mulus Ana.

Ana menangis. Meronta minta diturunkan. Tanpa sadar kedua tangannya memukul dada bidang yang terbalut kemeja putih itu.

" Lepaskan saya Tuan!"

" Berhenti bergerak! Aku hanya ingin mengobati luka ditanganmu, jangan berpikir macam-macam. "

" Tidak! Tuan tolong, saya tidak mau! Saya bisa sendiri."

" Jangan menguji kesabaranku, Ana. Kubilang diam! Diam! " Bentaknya kesal pada penolakan Ana.

Bentakkan keras itu membuat Ana berhenti memberontak. Tapi tubuhnya tidak bisa berhenti gemetarr. Air mata pun terus mengalir tanpa bisa dihentikan. Suara isak tangis yang ditahan-tahan itu masuk kependengaran Jeffreyan. Anehnya hal itu malah membuat sisi lain Jeffreyan terbangun. Bukannya merasa iba, dia justru terpancing. Bagian selatannya mengeras sempurna.

Ana tidak sedang menggodanya. Gadis itu hanya menangis. Tapi cukup membangkitkan pusaka Jeffreyan.

Shitt! dia bangun!

Tanggung jawab, Raisa Andriana!

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • HASRAT DAN GAIRAH MEMBARA CEO KEJAM   555

    Siang itu Jeffreyan mampir kerumah sakit dimana ayah Ana dirawat. Setelah berbincang dengan dokter yang ditugaskan mengobati Ayah Ana, Jeffreyan memberi arahan yang menjurus perintah untuk secepatnya operasi dilakukan. "Kalau bisa secepatnya. Sekarang juga lebih bagus." ucapnya pada laki-laki berjas putih dengan rambut memutih, dia direktur rumah sakitpria tua itu menghela nafas panjang. Hal ini sudah sering terjadi dikalangan atas. Bagaimana dirinya sebagai direktur rumah sakit diminta ini-itu sepeti yang dilakukan Jeffreyan saat ini. "Tapi pasien masih belum stabil, Tuan. Resikonya akan lebih besar jika kita mengoperasi dalam keadaan seperti ini."ucap dokter hati-hati tak ingin menyinggung Jeffreyan. Meski ditekan jabatan, Direktur rumah sakit itu juga masih mengedepankan prinsipnya sebagai tenaga medis ya g mengabdikan diri untuk kemanusian. Apa yang diminta pangeran Wicaksana itu bertentangan dengan prinsionya sebagai dokter.Jeffreyan tak masalah. Tapi dia sedang diburu wakt

  • HASRAT DAN GAIRAH MEMBARA CEO KEJAM   Bab 68

    Ana tetap menjadi pelayan yang menemani tamu minum. Namun secara khusus hampir setiap malam dirinya hanya melayani satu tamu saja. "Tuan minum setiap hari?" Tanya Ana, ini sudah hari ketiga Alvian kembali minum dan minta ditemani sepanjang malam. Ana tidak masalah, justru bersyukur karena terhindar dari tamu-tamu nakal. Sejauh Ana menemani Alvian minum, tidak ada perbuatan aneh yang dia dapatkan. Alvian hanya mengajaknya sebatas teman ngobrol dan menuangkan minum. "Apa tuan membawa HP?" Tanya Ana entah untuk kesekian kalinya. Alvian menggeleng. "Kamu udah nanya itu berkali-kali." Mendengar jawaban Alvian Ana tidak bisa menyembunyikan wajah sendunya. Entah sampai berapa lama dia harus bertahan disini. Mengabaikan wajah sedih Ana dia sodorkam gelasnya untuk diisi, netranya mengamati gadis itu yang mendesah lesu, "Kamu kecewa?" Tanya Alvian Ana tersenyum getir, kepalanya mengangguk. "Saya nggak tau mesti berapa lama lagi saya disini. Keluarga saya pasti nyari saya."

  • HASRAT DAN GAIRAH MEMBARA CEO KEJAM   Bab 67

    Riski memandang brangkar sang ayah dengan wajah bersimbah air mata. Beberapa saat yang lalu ayah kembali drop. Disebelahnya, ada mama serta seorang wanita paruh baya yang menjadi penyebab ayahnya drop. "Kalau sampai suami saya kenapa-kenapa saya akan tuntut kamu!" Ucap Rita meradang. Melihat kembali wajah mantan istri suaminya membuat Rita diliputi emosi. "Saya yang akan tuntut kamu. Kamu menipu saya selama ini. Kamu pembohong!" balas Jelita sengit. "Diam, kamu! Ngapain kamu kesini. Mau menghancurkan rumah tangga saya? Dasar wanita pengoda."Jelita memutar bola mata. Dari tadi ia menahan diri menjambak wanita yang telah memperlakukan putrinya semena-mena itu. Namun tampaknya kebencian itu bukan miliknya sendiri karena wanita itu juga tampak sangat membencinya. Ia berencana membuat keributan dengan wanita itu namun cenggraman pada lengannya membawa Jelita pada kesadaran. "Kita lebih baik pulang. Suami dan anak lo juga pasti nungguin." Adri menengahi. Tidak mau mengambil resiko

  • HASRAT DAN GAIRAH MEMBARA CEO KEJAM   Bab 66

    Jelita meremas jemari diatas pangkuan. Pertemuannya dengan Adri membawanya pada fakta-fakta bahwa kehidupan sang putri yang sangat jauh dari kata nyaman. “Ada apa nyariin gue?” Adri yang melihat kakaknya seperti orang linglung menjadi sedikit iba. Baru beberapa hari tapi wajah kakaknya sudah tampak lebih menua dari sebelumnya. Andai saja kakaknya mendengar sarannya dulu untuk membawa serta Ana, pasti kejadiannya tidak akan serumit ini. Hidup ponakannya itu tidak akan sehancur ini. Bahkan Adri ragu kakaknya akan sanggup mendengar fakta-fakta lain tentang Ana yang baru dia ketahui belakangan. “Ana..” lidah jelita terasa kelu. Baru menyebut nama saja sudah membuat dirinya ingin menangis. “Bisa tolong carikan keberadaan Ana? Kata tetangga mereka yang Mbak jumpai, Ana udah tinggal terpisah dari rumah ayahnya.” Alih-alih menjawab, Adri menghela nafas yang terasa berat. “Lo udah tahu kehidupan Ana setelah lo pergi?” Tanpa bisa dibendung, air mata Jelita lolos jatuh dipipinya. Dia mengang

  • HASRAT DAN GAIRAH MEMBARA CEO KEJAM   Bab 65

    PLAK!Ana kembali mendapatkan tamparan. Sudut bibirnya sampai pecah dan berdarah saking kerasnya tamparan. Bahkan kepalanya sampai berdengung.Dia sudah tidak sanggup. Tapi nampaknya Pria penjaga itu tidak ingin melepaskan Ana."Lepaskan dia." Pria yang menjadi tamu VIP itu mencegat tangan penjaga yang sudah siap untuk tamparan yang ketiga."Tapi, Tuan." Penjaga itu hendak protes."Ingin aku ulangi?" Tanya nya datar. "Tolong keluar, sepertinya aku harus membayar extra untuk dia kan?" Pria itu menyodorkan selembar kartu hitam.Meski dongkol penjaga tersebut menuruti perintah Tamu yang dia panggil Tuan itu. "Tapi dia bukan pekerja s3x tuan, dia hanya bekerja menuangkan minumam." Ucap penjaga takut-takut.Pria itu memijat pelipisnya. Selanjutnya dia kibaskan tangannya, isyarat menyuruh ketiganya pergi, "Ya, aku tahu. Silahkan keluar!""Tuan, saya harus melapor duku sebelum-"Aku bilang keluar, bangsat! Kalian menggangguku!” Bentaknya keras.Kedua penjaga memilih keluar.Tersisa Ana disana

  • HASRAT DAN GAIRAH MEMBARA CEO KEJAM   Bab 64

    Desahan dan hentakan yang memenuhi ruangan membuat udara terasa panas dan sesak. Suara-suara yang bergema dari tengah ruangan seolah menjadi musik yang menekan siapa pun yang mendengarnya. Dua tubuh saling menempel, bergerak tanpa jeda, larut dalam hasrat yang membutakan logika. Keduanya tak peduli pada dunia sekitar, bahkan tak menyadari keberadaan seseorang di sudut ruangan—seseorang yang seharusnya tidak melihat apa pun dari semua ini. “Om…” suara wanita itu bergetar, setengah rintih, setengah memohon. "Ah, Om!" Telapak tangan besar meremas bagian yang membuncah dari tubuh wanita di bawah tubuhnya. Jemarinya meniti setiap lekuk indah yang beberapa menit lalu menyapanya. "Enak?" "Om, enak banget. Ah.. Ahh enak banget, Om." Rintih wanita yang sedang ditindih seorang lelaki yang usianya terpaut jauh. "Kamu benar-benar luar biasa." Puji nya di tengah hentakan nya pada tubuh yang ikut bergerak seirama. Laki-laki paruh baya itu hanya menahan napas, emosi mendesak-necak di dadan

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status