“Itu burung saya!”
Hah? “Ah, maaf, Pak. Aku tak tau kalau itu burung Bapak.” Michael memejamkan mata, mencoba tak emosi di depan Sahira. “Keluar!” pintanya. “Tapi, Pak—” “Aku bilang keluar!” Sahira terkejut, dia segera berlari terbirit-birit dari sana. Di dalam ruangan, Michael berdiri mematung. Wajahnya tegang, dan tangannya mencengkeram pinggir meja kerja. Ia menghela napas panjang, mencoba menguasai dirinya. Michael mencoba menahan hasratnya. Dia begitu tersiksa, dengan nafsu yang tiba-tiba saja muncul. “Burung saya?” ulangnya dalam hati, merasa bodoh karena membiarkan kata-kata itu keluar begitu saja. Michael mengusap wajahnya dengan kasar, lalu berjalan ke kamar mandi kecil di sudut ruangan. Ia membasuh wajahnya dengan air dingin, berharap sensasi dingin itu bisa meredakan emosi dan perasaan campur aduk yang ia rasakan. “Ini semua gara-gara Sahira, dia harus bertanggung jawab!” umpatnya. Setiap kali dia menutup mata, bayangan Sahira dengan rok mini itu kembali memenuhi pikirannya. “Sialan!” Setelah beberapa saat, Michael kembali ke ruangannya. Dia mencoba kembali bekerja, tetapi pikirannya terus melayang ke insiden tadi. Tumpukan dokumen di mejanya tampak seperti hiasan belaka karena ia sama sekali tidak bisa berkonsentrasi. Sementara itu, di luar Sahira meremas-remas ujung roknya, merasa gugup dan bersalah. “Kenapa aku sangat ceroboh, tanganku tak sengaja menyentuh miliknya,” gumamnya. Tak lama kemudian, seseorang menepuk pundaknya. “Kau baik-baik saja, Hira?” tanyanya ramah. Sahira sedikit terkejut, dia mencoba tersenyum, meski jelas terlihat dipaksakan. “Ya, Bu Rina. Aku baik-baik saja.” Rina adalah supervisor di kantor tersebut. Dia tak sengaja melihat Sahira tertunduk dengan wajah gelisah. “Kalau butuh sesuatu, kau bisa bicara padaku,” katanya sebelum berlalu. Sahira mengangguk, tetapi setelah Rina pergi, dia mendesah panjang. “Aku butuh pekerjaan lain saja,” gumamnya. Di dalam ruangan, Michael menekan tombol interkom dan memanggil Sahira. “Sahira, masuk ke ruanganku,” ucapnya singkat. Sahira terkejut mendengar panggilannya. Jantungnya langsung berdegup kencang. Ia berdiri perlahan, merapikan roknya, lalu berjalan menuju pintu dengan perasaan cemas. Setelah mengetuk pintu dan mendapatkan izin masuk, Sahira mendorong pintu perlahan. “Selamat siang, Pak,” sapanya dengan ragu-ragu. Michael mengangguk, lalu menunjuk kursi di depannya. “Duduk.” Sahira menuruti perintah itu, meski tubuhnya terasa kaku. Michael memandangnya dalam-dalam, seolah mencoba membaca pikiran Sahira. “Em, Pak, aku minta maaf soal tadi,” ucapnya Sahira. “Sudah, lupakan. Sekarang, kerjakan ini.” Michael memberikan tugas pada Sahira untuk mengetik sesuatu di komputernya. “Baiklah.” Sahira mulai mengerjakan tugas yang diberikan oleh Michael. Meskipun tak punya pengalaman, soal mengetik di komputer itu hal mudah. Saat Sahira sibuk mengetik, Michael mulai menatapnya. Pikirannya langsung berkelana, hasratnya muncul lagi kala melihat bibir ranum milik Sahira. Ingin rasanya dia kecup dan melum4tnya penuh gairah. “Apa aku sentuh dia sekarang saja? Toh, dia sudah aku beli. Aku berhak melakukan apa saja padanya,” batin Michael. Wajah itu ... Bulu matanya ... Bibirnya ... Lehernya ... Saat sedang larut dalam lamunan, tiba-tiba ... “Pak, sudah.” Hah? Cepat sekali. Michael berdeham pelan, mencoba menutupi wajahnya yang terkejut, karena terlalu larut dalam pikirannya sendiri. Ia memalingkan pandangan dari bibir Sahira dan menatap layar komputer di depannya. Sahira sudah menyelesaikan tugasnya lebih cepat dari yang dia perkirakan. “Sudah selesai, Pak,” ulang Sahira sambil berdiri di samping meja, menunggu instruksi berikutnya. Michael mengangguk perlahan. “Hmm, tidak terlalu buruk,” gumamnya sambil memperhatikan hasil kerja Sahira. Tulisan itu tertata rapi, tanpa kesalahan ketik sedikit pun. Michael kembali mencuri pandang ke arah Sahira, yang kini sedang berdiri dengan posisi tangan terlipat di depan tubuhnya. Bibir ranumnya yang sedikit mengerucut, mungkin karena lelah mengetik, kembali membangkitkan hasrat yang sejak tadi dia tahan. “Dia benar-benar mempesona, bahkan tanpa berusaha menggodaku,” pikir Michael, rahangnya mengeras. Sahira yang menyadari tatapan Michael, merasa sedikit tidak nyaman. “Pak, apa ada yang salah dengan hasilnya?” tanyanya hati-hati. Michael tersadar dari lamunannya dan menggeleng cepat. “Tidak, semuanya baik. Kau bekerja cukup cepat,” jawabnya sambil merapikan beberapa dokumen di mejanya untuk mengalihkan perhatian. Sahira mengangguk kecil. “Kalau begitu, apa ada tugas lain, Pak?” tanyanya, mencoba tetap profesional meski ia mulai merasa Michael bersikap aneh sejak pagi. Michael berpikir sejenak. “Ada.” “Em, apa?” “Kemarilah.” Sahira mengangguk berjalan mendekat menghampiri meja Michael. Namun, kakinya tak sengaja tersandung kabel di lantai. “Ah!” serunya, tubuhnya oleng ke depan. Dengan sigap, Michael menangkapnya sebelum jatuh ke lantai. Kedua tangannya memegang pinggang Sahira dengan kuat. Sementara tangan Sahira terpaksa bertumpu pada dada bidang Michael. Hembusan napas hangat Michael menerpa wajahnya. “Pelan-pelan, Hira,” bisiknya dengan suara serak. Dari jarak dekat, Michael bisa mencium aroma parfum vanilla milik Sahira. “Hmm, bikin sangek,“ batinnya. Sahira mendongak napasnya tertahan. Wajah mereka begitu dekat hanya sejengkal jarak yang memisahkan. Tatapan mata Michael turun, memperhatikan bibir Sahira yang sedikit terbuka. “Pak, Maaf, Saya—” belum sempat menyelesaikan kalimatnya, Michael langsung membungkam mulut Sahira dengan bibirnya. Michael mencengkram lembut leher Sahira, memperdalam ciumannya. Sahira yang memang belum berpengalaman soal berciuman terkejut saat Michael melum4t bibirnya, dia segera mendorong Michael. “Pak, enggh ... hentikan, eumh!” “Pak, eumhh ...!” Michael menghentikan ciumannya tapi tidak langsung melepas Sahira. Kedua tangannya masih memegang pinggang gadis itu, sementara wajahnya tetap dekat dengan wajah Sahira. “Maafkan aku,” bisik Michael, tapi nada suaranya tak terdengar menyesal sama sekali. “aku tak bisa menahan diri, Hira, kamu sangat seksi.” Napas Sahira tersengal-sengal. Kata-kata Michael membuatnya merinding. Dia mundur dengan tergesa, melepaskan diri dari dekapan Michael. Sementara, Michael hanya memandangnya dengan intens tak ada tanda-tanda menyesal. “Apa yang anda lakukan tadi salah. Tolong jangan pernah lakukan lagi, Pak Michael. Atau aku akan—” “Akan apa? Kamu mengancamku, hem?” Michael mengangkat sudut bibirnya. Kemudian menatap tajam Sahira, perlahan tapi pasti dia berjalan mendekat, kemudian menarik Sahira kembali ke dalam pelukannya. Degup jantung Sahira berdebar. Dia menggigit bibir kuat-kuat. Dirinya sangat takut. Michael yang memandangnya penuh hasrat menyentuh wajah itu dengan telapak tangannya. “Hmm, pahatan yang sempurna,” pujinya, sementara Sahira memejamkan matanya dengan erat. Tok! Tok! Tok! Suara ketukan di pintu membuat keduanya terkejut. “Bos, apa saya boleh masuk?” Itu suara Lucas. Michael mendengus kesal, dia segera melepaskan Sahira, membuat gadis itu bernapas lega. Dia segera pamit dari sana dengan tergesa saat pintu terbuka. Lucas mengerutkan kening melihat ketakutan di wajah gadis itu yang melewatinya, kemudian pandangannya beralih pada Michael. “Kau apakan dia, Bos?” “Em, tidak ada. Hanya pengenalan.” “Sepertinya dia ketakutan,” ucap Lucas. Huh! “Dia hanya takut ketagihan, kau tau ... juniorku selalu membuat wanita mabuk kepayang.” Michael tertawa kecil. Bersambung ....Mereka pun pamit, lalu menaiki tangga menuju lantai dua. Di balik punggung Michael, Karim sempat bertukar pandang dengan Sergio. Ada sesuatu di balik semua ini, dan mereka tahu Michael menyembunyikannya.Begitu sampai di kamar, Michael langsung menutup pintu dan mengunci dua kali. Ia bahkan mengecek ulang jendela dan balkon, memastikan tidak ada alat sadap, tidak ada kamera tersembunyi.Sahira memperhatikan semua itu sambil duduk di tepi ranjang. “Kau tidak memberitahu mereka?” tanyanya pelan.Michael menggeleng, lalu berlutut di hadapannya. “Belum. Kita harus hati-hati. Aku tahu ini terdengar paranoid, tapi aku punya firasat … ada yang mengawasi kita.”Sahira menggenggam tangannya. “Kau takut sesuatu terjadi padaku dan … bayi ini?”Michael mengangguk. Matanya menatap perut Sahira yang masih datar, tapi baginya sudah menjadi segalanya.“Aku akan menjaga kalian dengan nyawaku, Sahira. Tapi untuk sekarang, hanya kita berdua yang tahu. Sampai aku bisa memastikan semuanya aman.”Tiba-tiba
Suasana ruang tunggu rumah sakit mencekam. Suara langkah perawat yang lalu lalang, dering telepon dari meja resepsionis, dan bunyi pelan alat medis dari kejauhan menjadi latar yang tak mampu meredam gelisah di dada Michael. Ia mondar-mandir di depan pintu ruang IGD, dengan kedua tangan yang tak pernah lepas dari menyentuh wajahnya, rambutnya, lehernya—gelagat orang yang dilanda panik tak terkendali.Beberapa menit kemudian, pintu terbuka. Seorang dokter wanita berusia sekitar empat puluh tahun melangkah keluar dengan wajah serius. Michael langsung menghampirinya.“Dokter! Bagaimana kondisi istriku? Sahira … dia baik-baik saja, kan?”Dokter itu menatap Michael sejenak sebelum mengangguk dengan tenang. “Tenang, Tuan Nathaniel. Istri Anda sudah sadar. Tekanannya sempat turun drastis, dan dia juga mengalami pusing berat akibat kelelahan. Tapi kami sudah menstabilkan kondisinya.”Michael menghela napas panjang. Lututnya hampir lemas karena lega. Namun sang dokter belum selesai.“Ada satu h
Michael tidur di pangkuan Sahira, kepalanya terasa berat, seakan seluruh dunia bertumpu di bahunya. Tangannya menggenggam ujung gaun Sahira, erat, seperti anak kecil yang ketakutan kehilangan rumahnya. Sementara itu, jari-jemari Sahira membelai lembut rambutnya, berusaha menenangkan badai yang jelas terlihat di mata pria itu.“Kenapa aku?” gumam Michael lirih, matanya menatap kosong ke arah langit-langit kamar yang temaram. “Kenapa hidupku dipenuhi musuh? Kenapa aku tidak pernah boleh merasa bahagia … walau hanya sejenak?”Sahira menghentikan usapan sejenak, lalu menatap wajah suaminya yang terlihat begitu rapuh malam ini. “Sabar, Michael,” katanya pelan. “Kau kuat. Kau sudah melewati begitu banyak hal.”“Tapi kadang aku lelah,” lanjut Michael, suaranya retak. “Aku ingin hidup biasa saja, Sahira. Bukan sebagai pewaris keluarga Nathaniel. Bukan sebagai pria yang harus terus curiga pada semua orang. Aku ingin bangun pagi tanpa takut ditembak. Aku ingin tertawa tanpa dihantui ketakutan b
Michael berdiri di tengah halaman depan mansionnya yang megah. Langit jingga menyapu sebagian atap bangunan, menciptakan siluet indah yang seharusnya menenangkan. Namun kali ini, keindahan senja tidak membawa ketenangan. Angin bertiup pelan, membawa serta aroma tanah dan debu dari rerumputan kering yang menghampar. Daun-daun kuning kecokelatan berjatuhan, berputar-putar di udara sebelum mendarat di pelataran. Suasana yang biasanya damai itu kini dipenuhi ketegangan. Michael berdiri tegap di hadapan barisan anak buahnya yang telah berkumpul dengan cepat begitu alarm keamanan dibunyikan. Mereka semua mengenakan seragam hitam lengkap, dengan rompi pelindung dan senjata yang siap digunakan kapan saja. Cahaya senja menyinari wajah-wajah mereka—wajah-wajah yang sudah lama bekerja di bawah perintah keluarga Nathaniel, wajah-wajah yang sudah melalui banyak pertempuran, tetapi tetap waspada setiap kali ancaman baru muncul.Wajah Michael dingin dan keras. Sorot matanya tajam, menyapu satu per
Langit senja mulai menguning keemasan di atas vila megah milik Michael yang berdiri anggun di pulau pribadinya. Ombak lembut memecah di bibir pantai, dan angin membawa aroma laut yang menenangkan. Dari balkon lantai dua, pemandangan itu tampak seperti lukisan hidup—sunyi, damai, dan sempurna. Tapi tidak bagi Michael.Ia berdiri dengan ponsel di tangan, tubuhnya kaku, pandangan tajam menatap layar yang berulang kali menunjukkan satu hal yang sama: “Nomor yang Anda tuju tidak dapat dihubungi.”Sudah tujuh kali ia menekan tombol panggil, dan tujuh kali pula usahanya berujung kegagalan. Ia menekan rahangnya, jari-jarinya menggenggam ponsel lebih erat. Keringat dingin membasahi pelipisnya meski udara sore tak begitu panas. Hatinya berdesir tak nyaman. Ini bukan sekadar firasat—ini lebih dari itu.David tidak mungkin mematikan ponsel tanpa alasan. Terlebih, dalam situasi perusahaan yang masih belum sepenuhnya stabil pasca insiden dengan Lucas, David seharusnya melapor setiap hari.Dari dala
David melangkah menyusuri lorong marmer kantor pusat Horison Steel, sepatu kulitnya memantulkan suara berat yang menggema di antara dinding kaca dan lampu gantung kristal. Wajahnya tampak datar, tetapi jika diperhatikan lebih saksama, bibirnya sedikit tertarik ke samping—senyum miring khas seseorang yang baru saja menyaksikan sesuatu yang tak bisa ia cerna dengan logika.Dia menghentikan langkahnya di depan sebuah ruangan luas yang dikhususkan untuk Evelyn Nathaniel. Wanita paruh baya itu duduk anggun di atas sofa berlapis beludru hijau zamrud, mengenakan setelan formal warna krem, rambutnya disanggul rapi, dan di tangannya tergenggam majalah mode kelas atas yang tampak belum sepenuhnya dibaca.“Permisi, Nyonya,” sapa David sopan.Evelyn melirik sekilas lalu menutup majalahnya dengan elegan. “David. Masuklah.”David mendekat dan berdiri tegak. Ia menatap Evelyn beberapa detik sebelum akhirnya berkata pelan, “Sepertinya Bos kita sedang benar-benar … menikmati hidupnya.”Evelyn menaikka
Sahira mencebik, tapi kali ini ada senyum tipis yang terselip di sudut bibirnya. “Iya, aku memang sudah tidak perawan,” ucapnya dengan nada menggoda. “Dan itu karena kamu, si brengsek yang tidak tahu aturan.”Michael terkekeh, lalu mulai menggoyang pelan pinggulnya. “Kau masih menyimpan dendam?”“Enggh ... sedikit,” jawab Sahira, menaikkan satu alis. “Tapi rasanya terlalu enak untuk disesali.”Michael tertawa pelan. “Nah, itu baru lucu, sayang.”Sahira mengerucutkan bibir, pura-pura cemberut. “Tapi jangan pikir aku akan mudah jatuh lagi.”Michael menarik pinggangnya, mendekapnya erat. “Terlambat. Kau sudah jatuh terlalu dalam.”Belum sempat Sahira membalas, bibir Michael sudah menciumnya. Ciuman itu panas, dalam, membuat jantungnya berdebar liar. Sahira awalnya masih pura-pura malas, tapi begitu lidah mereka saling bertemu, tubuhnya melemas. Napas mereka mulai memburu lagi.Michael mengangkat kedua kaki Sahira ke atas pundaknya, memompa lebih cepat pinggulnya. Sahira mendesah hebat, s
Malam hari. Angin berhembus lembut, membawa aroma asin laut dan dedaunan tropis. Di balkon vila yang menghadap pantai, Michael duduk menyandarkan tubuhnya di kursi malas, satu tangan menggenggam gelas anggur merah yang mengilap di bawah cahaya bulan, sementara ponselnya menempel di telinga.Suara lembut Evelyn terdengar di seberang. Meskipun jauh, kekhawatiran dalam nada bicaranya terasa nyata."Bagaimana keadaan kalian di sana? Aman? Nyaman? Tidak ada yang mencurigakan, kan?"Michael menyunggingkan senyum kecil. Tatapannya menyapu gelapnya laut, tenang dan kelam. Deburan ombak mengiringi malam seperti irama tenang dalam pikirannya. "Semuanya baik-baik saja, Mom. Vila ini benar-benar tersembunyi. Tak ada satu pun orang luar yang bisa menemukan kami. Kau tak perlu khawatir."Evelyn menarik napas lega, lalu tertawa pelan, "Bagus. Tapi tetap waspada. Dan jangan lupa, cepat beri aku cucu."Michael terkekeh, nada tawanya ringan namun dalam. "Kami sedang bekerja keras untuk itu."Setelah m
Pukul 07:00.Mentari pagi menembus tirai kamar pengantin, menari lembut di atas selimut yang masih kusut. Sahira membuka mata perlahan, menyipit karena cahaya. Ia menoleh ke sisi ranjang—kosong. Tapi aroma kopi dan suara lembut alat cukur listrik terdengar samar dari arah kamar mandi.Tak lama, pintu terbuka. Michael muncul dengan kemeja putih belum terkancing, rambut basah tersisir rapi, dua gelas kopi dan susu di tangan.“Selamat pagi, Nyonya Nathaniel,” ucapnya sembari menyodorkan gelas susu hangat.Sahira tersenyum manja, duduk dan menyelimuti bahunya. “Selamat pagi juga, Tuan Nathaniel. Masih terasa mimpi.”Michael menatapnya, lalu mencium keningnya singkat. “Sayangnya bukan. Ini nyata. Dan kita akan mulai bulan madu hari ini.”***Di lantai bawah, Evelyn sudah duduk di ruang tamu dengan gaun tidur satin merah marun dan selimut wol melingkar di pundaknya. Tangannya memegang koran pagi, namun matanya tertuju pada anak dan menantunya yang menuruni tangga bersama.“Pagi, Mom,” sapa