BRAK!
Pintu ruangan terbuka dengan kencang, membuat Michael yang semula fokus pada layar komputer menoleh ke arah sumber suara. Di sana, berdiri Sahira yang wajah merah padam. “Pak Michael, aku mau resign!” ucapnya dengan lantang. Michael terdiam sejenak, seolah berpikir. “Resign?” ulangnya. “Iya.” “Kenapa? Kamu baru bekerja dua hari, sekarang minta resign, apa ada yang salah?” 'Tentu saja salah, kau sudah bertindak kurang ajar padaku!' umpat Sahira dalam hati. “Pokoknya aku mau resign Pak, aku nggak betah bekerja di sini.“ “Baiklah, kalau kamu mau resign.” Hah? Semudah itu? “Iya.” Sahira segera berbalik, berniat pergi dari sana. Tetapi, ucapan Michael menghentikan langkahnya. “Kau pulang sekarang, dan kembali lagi sambil bawa uang sebanyak 500 juta, berikan padaku.” “Apa?!” “Kurang jelas? Pulanglah, dan kembali lagi kemari. Kamu harus memberiku 500 juta karena telah memilih resign.” “Aku sama sekali tak mengerti!” Michael menarik napas dalam-dalam sebelum menjelaskan, “Kamu ingat surat perjanjian yang kamu tanda-tangani kemarin?” Sahira mengangguk pelan. “Di sana tertulis bahwa kamu terkontrak seumur hidup denganku. Jika kamu melanggar perjanjian, kamu akan dikenai sanksi sebesar 500 juta.” Sahira terkejut, “Ini gila!” Michael membatin, “Ya, aku tergila-gila padamu.” “Jangan pernah berpikir untuk kabur, atau kau akan dijebloskan ke dalam penjara. Dan dihukum dengan seberat-beratnya.” Michael mencoba menakuti Sahira. Sahira terdiam, lalu bergumam, “Dari mana aku dapatkan uang sebanyak itu? Untuk makan saja aku ngutang. Apa aku harus jual ginjal atau jual kutang? Ah ...!” Sahira mencoba berpikir, tapi tetap saja tak mengubah apapun. Michael tersenyum licik, “Tenang saja, tak perlu panik.” “Bagaimana mungkin aku tak panik. Aku telah di tipu mentah-mentah.” “Kalau kau mau, aku bisa memberikan keringanan padamu, Sahira.” Sahira menatapnya dengan curiga, “Apa itu?” Michael berjalan mendekati Sahira, “Kamu hanya perlu melakukan satu hal untukku.” “Hemm?” Sahira menatapnya lekat, menunggu jawaban. “Kamu harus ... bercinta denganku semalam,” bisiknya. Sahira terkejut dan marah,“Dasar Bos kamvret! Baji-gur!” Michael tertawa kecil. “Jika kamu melakukannya, aku akan mengurangi kontrakmu menjadi setahun. Kamu tidak perlu membayar 500 juta. Dan, aku akan memberikan semua fasilitas yang kamu butuhkan. Setelah setahun, kamu bebas.” Sahira menggeleng, “Tidak mau! Aku tidak akan melakukan hal seperti itu!” Tapi, Michael hanya tersenyum, “Pikirkanlah, Sahira. Kamu tidak memiliki pilihan lain. Kamu tidak memiliki uang untuk membayar sanksi. Dan, kamu juga tidak ingin kehilangan pekerjaanmu, kan?” “Tidur denganku semalam, bekerja setahun. Setelah itu, kamu bisa foya-foya.” Sahira berpikir sejenak, dan kemudian menatap Michael dengan wajah yang tidak bisa dijelaskan, “Tapi ...” “Bayar 500 juta kalau mau pergi.” Sahira menghela napas, dia benar-benar terjebak. “Baiklah, aku setuju. Tapi ... aku butuh waktu untuk mempersiapkan diri. Karena aku ... aku masih perawan.” Michael tersenyum tipis, kemudian mengangguk, “Baiklah, berapa lama waktu yang kamu butuhkan?” Sahira berpikir sejenak, “Dua minggu. Aku butuh dua minggu untuk mempersiapkan diri.” Michael tersenyum, “Baiklah, aku setuju. Di mulai hari ini. Kamu memiliki dua minggu untuk mempersiapkan diri. Setelah itu, kita akan melakukan apa yang telah kita sepakati.” Sahira merasa tidak nyaman dengan keputusannya, tapi dia tahu bahwa dia tidak memiliki pilihan lain. Dia akan memikirkan cara agar bisa kabur sebelum 2 Minggu tersebut. “Baiklah,” ucap Sahira pelan. “Aku akan siap dalam dua minggu.” * Sahira duduk sendirian di kantin, menatap es teh yang masih penuh di depannya. Dia tidak memiliki selera untuk makan atau minum. Pikirannya terganggu oleh kejadian-kejadian yang baru saja terjadi. “Bapak ... Bapak di mana? Aku rindu.” Dia merindukan Haidar, ayah angkatnya yang telah meninggalkannya tiga hari yang lalu. Sahira tidak tahu ke mana Haidar pergi, atau mengapa dia pergi tanpa memberitahunya. Sahira merasa kesepian dan tidak memiliki tempat untuk berlindung. Dia tidak pernah berpikir akan terjebak oleh Michael, CEO yang mesum itu. Sahira merasa frustrasi dan marah pada dirinya sendiri. 'Seharusnya aku menolak tawaran kerja di sini. Seandainya Bapak tidak tergiur dengan gajinya, mungkin aku baik-baik saja.' Sahira mendesah dan menutup matanya, berharap semuanya akan berakhir dan dia bisa kembali hidup normal. *** Tok! Tok! Tok! Lucas mengetuk pintu ruangan Michael dengan pelan sebelum masuk. Di tangannya, dia membawa sebuah ponsel, tampak sedikit ragu saat masuk ke dalam. “Em, Bos, ada telpon dari Nyonya Evelyn, ibu Anda,” ucap Lucas dengan sedikit canggung. Dia tahu Michael tak terlalu suka berbicara dengan ibunya, terutama saat ibunya menelpon tanpa alasan yang jelas. Michael mengerutkan keningnya, seolah sudah bisa menebak siapa yang menelepon. “Baiklah, terima kasih,” jawab Michael dengan nada malas, mengambil alih ponsel dari tangan Lucas. “Halo, Mom?” suaranya terdengar datar. “Halo, Mike Sayang, bagaimana kabarmu?” suara ibu Michael, Nyonya Evelyn, terdengar sumringah di ujung telepon. Michael memejamkan mata sejenak, mencoba menahan perasaan muak yang mulai muncul. “Aku baik, Mom. Ada apa?” “Oh, tidak ada apa-apa, Mike. Mommy hanya ingin mendengar suaramu. Oh iya, Mommy akan pulang bulan depan, maaf baru memberitahumu sekarang,” seru Nyonya Evelyn. “Benarkah?” tanya Michael, berusaha terdengar lebih tertarik. “Ya, mommy harap kamu sudah memiliki calon untuk dikenalkan pada Mommy.” Michael terdiam sejenak, pikirannya melayang. “Aku ... aku belum menemukan yang tepat, Mom,” jawabnya dengan hati-hati, meskipun sebenarnya ia sudah cukup lelah dengan pembicaraan ini. Huh! Michael menghembuskan napas kasar. Sepertinya percakapan seperti ini tidak pernah berubah. “Mom, aku harus pergi sekarang,” ucap Michael mencoba mengakhiri pembicaraan. “Mike, sayang, jangan lupa pikirkan lagi. Mommy hanya ingin melihatmu bahagia.” “Baiklah, Mom. Sampai nanti,” jawab Michael cepat, lalu memutuskan sambungan telepon. Dia meletakkan ponsel di meja, menatap Lucas yang masih berdiri di pintu dengan setia. “Jadi, bagaimana dengan bisnis kita?” tanya Michael, berusaha mengalihkan perhatian. “Semua berjalan dengan lancar, Bos. Semua sesuai dengan rencana,” jawab Lucas dengan suara lebih lega, setelah melihat Bos-nya terlihat lebih fokus pada pembicaraan bisnis. “Baguslah,” ujar Michael, kemudian berdiri dan melangkah keluar dari ruangannya. Lucas mengikuti di belakangnya, siap melaporkan lebih lanjut tentang perkembangan yang perlu Michael ketahui. * Sahira melangkah masuk ke ruangan Michael dengan langkah pelan. Kriet! “Maaf, Pak, aku—” Dia terkejut melihat ruangan yang kosong, tanpa ada satu orang pun di dalamnya. “Lho, kemana dia?” gumamnya. 'Ah, sudahlah. Aku lebih leluasa saat tak ada dia.' Sahira melihat-lihat interior di sana dengan bebas, menyentuh pajangan-pajangan mahal di sana. Dia bergumam, “Pak Michael memang tampan, hanya saja ... sedikit mesum kek Othor.” dia tersenyum kecil, tapi senyum itu langsung pudar saat mengingat hal menyebalkan tentang Bos-nya. Sahira berjalan mendekati meja kerja Michael, melihat-lihat dokumen-dokumen yang tergeletak di atasnya. Tiba-tiba, dia tidak sengaja menjatuhkan pulpen di lantai. Puk! “Astaga!” Sahira menoleh ke kanan dan ke kiri, memastikan aman dari seseorang saat ia membungkuk. Posisinya yang memakai rok mini membuat siapa saja bisa melihat celana dalamnya saat membungkuk. Dia menggigit bibir, kemudian ... “Aman,” ucapnya pelan. Dia segera membungkuk, mengambil pulpen itu. Saat hendak bangun, tiba-tiba seseorang memegangi pinggulnya. Sahira terkejut, dia segera menoleh ke belakang. Deg! Michael berdiri di belakangnya, dia menyeringai. “Apa yang Anda lakukan, Pak?” tanya Sahira dengan panik. “Ah, Pak, lepaskan! Aduh!” Michael tidak menjawab, tapi malah menarik Sahira lebih dekat ke arahnya. Sahira merasa tidak nyaman dan berusaha melepaskan diri, tapi Michael terlalu kuat. Bersambung ....Keesokan harinya.Di kantor pusat Horisson Steel Corporation dipenuhi oleh para wartawan, awak media, investor, dan jajaran direksi penting dari dalam dan luar negeri. Lampu-lampu kamera sudah menyala terang, mikrofon berbagai stasiun TV berjajar rapi di meja panjang tempat konferensi akan dimulai. Sorotan tertuju pada satu nama: Michael Nathaniel, CEO karismatik yang dikenal tegas, dingin, dan tak mudah tersentuh media. Namun hari ini, ia membuat pengumuman yang menggemparkan: ia akan memperkenalkan putra sulungnya.Detik demi detik terasa menegangkan.Pintu utama terbuka perlahan, dan muncullah Michael dengan setelan jas abu gelap yang elegan. Di sampingnya, seorang anak laki-laki berusia delapan tahun berjalan dengan langkah tenang namun penuh wibawa kecil. Dialah Marvel Nathaniel, bocah yang dulu dikenal sebagai Maxy si penjual tisu, kini berdiri tegak sebagai pewaris sah kerajaan bisnis baja raksasa itu.Para hadirin langsung berdiri. Kilatan kamera membanjiri ruangan. Bisik-bisi
Satu bulan kemudian ...Sudah genap satu bulan sejak identitas Maxy dipindahkan secara resmi menjadi Marvel Nathaniel, putra kandung dari seorang pengusaha ternama, Michael Nathaniel.Selama sebulan itu pula, hidup Marvel berubah total.Ia tak lagi tidur beralaskan tikar tipis di ruangan pengap. Kini, ranjang empuk dengan selimut hangat menyambut tidurnya setiap malam. Tak ada lagi rasa lapar atau kecemasan esok akan makan apa. Semua kebutuhan hidupnya tercukupi. Bahkan, ia sudah terbiasa mengenakan seragam sekolah rapi dan sepatu mengkilap.Marvel kini resmi menjadi siswa di salah satu sekolah elit internasional. Sekolah yang hanya bisa dimasuki oleh anak-anak dari kalangan atas. Banyak anak pejabat, artis, bahkan diplomat luar negeri yang bersekolah di sana.Awalnya, semua terasa asing bagi Marvel.Guru-guru berbicara dalam dua bahasa, anak-anak berpenampilan glamor, bahkan menu makan siang di kantin pun seperti hidangan restoran mahal. Namun Marvel bukan anak biasa. Kecerdasannya s
Michael menggenggam tangan Maxy erat saat mereka masuk ke ruang pemeriksaan. Sahira berada di sisi lain, membelai lembut rambut Maxy, sementara Belinda hanya berdiri di pintu, masih kikuk, tapi berusaha tenang. Dia tetap ingin mengawasi anak yang sudah dianggapnya dunia selama delapan tahun terakhir.Dokter anak bernama dr. Felicia wanita paruh baya berseragam putih, menyambut mereka dengan senyum hangat.“Halo. Ini Maxy, ya?” sapanya lembut.Maxy mengangguk malu-malu.“Ayo, Maxy. Kita cek dulu ya. Tidak sakit kok, santai saja.”Maxy duduk di atas tempat tidur pemeriksaan. Satu per satu prosedur pun dilakukan: dari mengukur tekanan darah, mengecek detak jantung, menyenter tenggorokan, hingga mengambil sampel darah kecil. Maxy sempat meringis saat jarum masuk ke kulitnya, tapi Sahira langsung menggenggam tangannya.“Mommy di sini, Sayang,” ucap Sahira lembut.Belinda yang berdiri agak jauh tampak menahan napas. Matanya tak lepas dari Maxy. Wajahnya cemas.Michael berdiri kaku di pojok
Seorang wanita muda berdiri di sana dengan tubuh tegap namun anggun. Rambut panjangnya tersisir rapi dan wajahnya dilapisi riasan tipis namun mewah. Ia mengenakan gaun berwarna gading berkilau dengan sepatu hak tinggi yang pasti tak pernah menginjak lumpur. Belinda menelan ludah. Matanya langsung menyipit.“Anda siapa?” tanyanya dingin meski tubuhnya mulai bergetar.Sahira menatapnya tajam, lalu menghela napas dan tersenyum kaku. “Saya ... Sahira. Istri dari Michael Nathaniel. Saya datang ke sini … untuk melihat putra saya.”Deg!Kalimat itu menghantam dada Belinda seperti palu.Maxy memandang bingung ke arah dua wanita itu. Ia masih berdiri di antara mereka, tak mengerti apa yang sedang terjadi.“Putra Anda?” gumam Belinda.Sahira melangkah masuk tanpa izin, pandangannya menyapu seisi rumah—ruang sempit, dinding lapuk, dan atap bocor. Bau pengap menyengat hidungnya, tapi ia berusaha menahannya.“Tempat seperti ini …?” lirihnya.Belinda bergerak cepat dan berdiri menghadang. “Keluar
Michael turun dari mobilnya dengan langkah gontai. Hembusan angin menyapu rambutnya yang kusut, dan wajahnya menyiratkan kepenatan yang tak mampu disembunyikan. Bahunya merosot, matanya sayu. Tak ada lagi sorot tajam penuh percaya diri seperti biasanya. Lelaki itu bahkan tak menyadari ketika Sierra melambai dari teras depan dengan senyum ceria.“Daddy! Daddy sudah pulang! Ayo, main boneka bareng aku. Kita bangun rumah-rumahan lagi, seperti kemarin!”Michael hanya memaksa tersenyum. Langkahnya berat, seolah tubuhnya menanggung beban berton-ton. “Nanti ya, Sayang ...” suaranya lirih, nyaris tidak terdengar.Sahira yang tengah duduk di sofa membaca buku langsung menoleh curiga. Ia mengenal betul bahasa tubuh suaminya. Michael tidak sedang baik-baik saja.“Ada apa, Mike?” tanyanya pelan, sambil bangkit dan menghampiri.Michael tidak menjawab. Ia hanya menatap mata istrinya dalam-dalam, penuh luka yang tertahan.“Ayo bicara di dalam kamar,” ucap Sahira, kini mulai merasa gelisah.Ia berba
Mobil hitam berkilap itu terparkir tak jauh dari pos ronda tua, mencolok di antara deretan rumah-rumah berdinding triplek dan atap seng berkarat.Michael turun pertama, diikuti oleh David. Langkah kaki mereka menyusuri lorong becek dengan genangan kecil yang memantulkan sisa cahaya senja. Michael menatap sekitar dengan tatapan nanar. Di sinilah ... anaknya tinggal selama ini? Di tempat sekotor ini? Di antara lalat, bau busuk, dan tembok penuh lumut?Ya Tuhan ...!Dadanya sesak. Setiap langkah terasa berat. Karena emosi yang menumpuk: marah, sedih, hancur, dan bersalah.Mereka sampai di depan pintu rumah. Sebuah pintu kayu kusam yang catnya sudah habis terkelupas. Michael menarik napas dalam-dalam lalu mengetuknya. Tok! Tok! Sekali. Tok! Tok!Dua kali. “Permisi ....”Tak ada jawaban.David menoleh. “Kosong?”Michael menggeleng, mengetuk lagi—lebih keras.Tok! Tok! Tok!Beberapa detik kemudian, pintu itu terbuka pelan dengan suara berderit panjang. Belinda muncul. Rambutnya digelung