“Kau mau membeli putriku untuk semalam?” ucap pria setengah baya pada temannya di halte bus.
“30 juta.” “Kau gila! Mahal sekali.” pekiknya. Pria itu terkekeh. “Ah, kau tidak tau saja. Dia ini istimewa.” “Apa istimewanya?” “Masih perawan,“ bisiknya. “Ah, tidak, itu terlalu mahal.” Protes pria kedua, berniat untuk pergi. “Eitts, janganlah buru-buru begitu. Bagaimana kalau 25 juta?” Pria di depannya tampak menimbang. “Em, 10 juta?” “Cih, itu terlalu murah. Anakku itu berbeda, dia sangat cantik, kulitnya putih, tubuhnya seksi. Rugi sekali aku menjualnya padamu hanya sepuluh juta. Pergilah!” Percakapan dua pria gila wanita tak luput dari pendengaran Michael yang tak jauh dari sana. Seorang CEO ternama di perusahaan 'Horisson Steel' itu hanya berdecih. Mendengar seorang ayah yang tega menjual putrinya sendiri. Namun dia juga penasaran dengan putri yang katanya sangat cantik. Michael akhirnya mendekat ke arah pria tua yang terlihat kesal tersebut. “Em, permisi ... aku tadi tak sengaja mendengar, kalau Anda menawarkan putrimu yang masih perawan, betul?” Pria tua itu menoleh dengan cepat, tampak terkejut dan gugup ketika mendapati seorang pria berpakaian rapi berdiri di depannya. Dengan dasi yang tertata sempurna dan setelan jas mahal, Michael memancarkan aura kekuasaan yang membuat siapa pun yang berhadapan dengannya merasa kecil. “Ssttt, jangan keras-keras,” bisik pria tua itu dengan suara tergagap. Dia mengedarkan pandangan, memastikan tak ada yang memperhatikan. “Iya, apa kau mau?” Michael memasukkan tangan ke dalam saku jasnya, tubuhnya tegap dan matanya tak menunjukkan emosi apa pun. Dia memperhatikan pria itu dari ujung kepala hingga kaki, seolah sedang menilai seseorang yang ingin menjual sesuatu di bawah standar. “Kenapa kau menjual putrimu sendiri?” tanyanya dingin. Pria tua itu tertawa kaku, mencoba menyembunyikan kegelisahannya. “Ah, kau tak perlu tahu. Itu urusanku. Jadi, kau tertarik atau tidak? Kalau tidak, jangan buang waktuku.” Michael menyipitkan matanya. “Kau menawarkan manusia seperti barang dagangan di tempat umum. Kau pikir aku tidak akan bertanya?” Dia mencondongkan tubuhnya sedikit lebih dekat, suaranya lebih rendah namun mengancam. “Apa putrimu tahu rencana gilamu ini?” Pria tua itu terdiam. Rahangnya mengeras, dan untuk sesaat, matanya menampakkan sesuatu yang lebih dari sekadar keserakahan—mungkin rasa malu, mungkin kebencian. Tapi ia segera menyembunyikan ekspresi itu dengan tawa canggung lagi. “Dengar, ini bukan urusanmu. Jika kau mau, bayar. Kalau tidak, pergilah.” Michael menarik napas panjang, memperlambat gerakannya dengan sengaja. Dia mengeluarkan ponselnya, lalu menatap pria itu sambil mengetik sesuatu. “Berapa harga terakhir yang kau sebut tadi?” “25 juta. Itu sudah murah. Anak saya ... ah, dia sangat cantik, kulitnya putih, tubuhnya sempurna. Kau tidak akan menyesal.” Michael tersenyum tipis, tapi bukan senyum ramah. Ada sesuatu yang dingin dalam tatapan matanya, seolah dia adalah predator yang mengamati mangsanya. “Kalau begitu, aku bayar dua kali lipat.” Pria tua itu membelalakkan matanya. “Lima puluh juta?” Dia hampir tidak bisa menahan antusiasmenya. Namun, sebelum dia bisa bersorak, Michael menambahkan dengan tenang, “Tapi aku ingin melihat langsung siapa yang kau jual.” Pria tua itu terdiam, wajahnya berubah pucat. Bibirnya terbuka seperti ingin mengatakan sesuatu, tapi tidak ada kata yang keluar. Michael tahu dia telah membuatnya terpojok. Setelah beberapa detik yang penuh ketegangan, pria tua itu akhirnya menghela napas. “Baiklah, kalau kau serius, aku akan menunjukkan padamu. Tapi ingat, kau harus membayar dulu.” Michael mengangguk pelan. “Aku akan membayar, tapi hanya setelah aku yakin kau tidak mencoba menipuku.” Nada suaranya tajam. Pria tua itu mengangguk kecil dan berbalik, melangkah ke sebuah gang kecil di belakang halte. Michael mengikutinya dengan langkah pelan namun penuh kewaspadaan. Setiba di lokasi yang telah disebutkan, pria tua bernama Haidar menghentikan langkahnya. Ia menoleh ke arah Michael dan mengisyaratkan dengan tangannya agar pria itu bersembunyi di balik tembok yang berada tidak jauh dari tempat mereka berdiri. “Itu dia, Tuan. Putriku,” katanya dengan nada bangga sambil menunjuk ke arah seorang gadis yang berdiri di teras rumah kecil. Michael menoleh dengan rasa penasaran. Namun, begitu matanya menangkap sosok gadis itu, dia tertegun. Gadis yang diperkenalkan sebagai putrinya memiliki wajah yang begitu memikat. Kulitnya putih bersih seperti porselen, rambut hitam panjangnya tergerai rapi, dan tubuhnya terlihat anggun meski dibalut pakaian sederhana. Sorot matanya kosong, seperti seseorang yang telah kehilangan harapan, namun keindahan alami dari wajahnya tetap terpancar. Wanita itu benar-benar cantik. Haidar yang berdiri di sebelahnya memperhatikan ekspresi kagum Michael. Ia menyeringai lebar, puas melihat reaksi pria berpakaian rapi itu. “Bagaimana, cantik, bukan?” tanyanya dengan nada penuh kebanggaan. Michael hanya mengangguk pelan. “Ya, sangat cantik,” jawabnya, suaranya terdengar datar meskipun matanya tidak bisa lepas dari gadis itu. Haidar mendekatkan tubuhnya sedikit pada Michael, lalu melanjutkan dengan nada rendah, “Dia bukan putri kandungku, Tuan. Dia hanya putri angkatku, namanya Sahira. Aku merawatnya sejak kecil. Tapi, ya, hidup ini keras. Aku butuh uang, dan aku memiliki putri yang sangat cantik. Rugi sekali kalau tidak dimanfaatkan. Hahaha.” Michael mengalihkan tatapannya dari Sahira, kini menatap Haidar dengan penuh kebencian yang ia sembunyikan di balik wajahnya yang tetap tenang. “Kenapa kau tega menjualnya?” tanyanya dingin. Haidar hanya tertawa kecil. “Ah, Tuan. Kau tidak akan mengerti. Ini semua soal uang. Lagipula, bukankah aku pemiliknya? Dia tinggal bersamaku, aku yang memberinya makan dan pakaian. Aku yang membesarkannya.” “dan sekarang, aku butuh uang, aku juga memiliki putri yang cantik. Rugi kalau tidak dimanfaatkan,” jawabnya tanpa sedikit pun rasa bersalah. Michael mengepalkan tangannya di dalam saku jasnya, berusaha menahan amarah yang mulai mendidih. Namun, dia tahu bahwa dia harus tetap tenang jika ingin memastikan keselamatan gadis itu. “Jadi, bagaimana, Tuan? Kau mau atau tidak? Kalau tidak, aku akan mencari pembeli lain,” ancam Haidar dengan nada serakah. Michael menarik napas panjang sebelum menjawab. “Baiklah,” katanya akhirnya. “Aku akan membayarmu 200 juta. Tapi ada satu syarat ...” Haidar terbelalak mendengar jumlah yang disebutkan. “Dua ratus juta?” ulangnya, seolah tidak percaya dengan apa yang didengarnya. “Baiklah, apa itu, cepat katakan?” Michael menatapnya tajam. “Setelah kau menyerahkan gadis itu padaku, kau harus pergi dan tidak pernah lagi mendekati dia. Kau paham?” Haidar mengangguk cepat. “Tentu saja, Tuan! Aku setuju. Besok aku akan mengantarkannya ke tempatmu.” Michael mengeluarkan kartu namanya dari saku jas dan menyerahkannya pada Haidar. “Ini alamat kantorku. Antarkan dia ke sana besok. Tapi ingat,” ia menambahkan dengan nada mengancam, “jangan coba-coba menipuku.” Haidar menatap kartu itu dengan penuh semangat. “Iya, iya, baiklah. Jadi, kapan Anda akan memberikan uangnya?” tanyanya penuh harap. Michael menyeringai. “Antarkan dulu gadis itu ke tempatku. Ada uang, ada barang. Bukankah begitu?” Haidar tertawa kecil meski wajahnya tampak sedikit kesal. “Benar, benar, Tuan. Baiklah, besok saya akan mengantarkannya. Jangan khawatir!” Michael mengangguk singkat dan melangkah pergi. Dia sangat tidak sabar menunggu besok, menanti sang gadis ke dalam pelukannya.Haidar terlihat tergesa-gesa di dalam rumah, membuka lemari pakaian dengan tangan terburu-buru, mengacak-acak seluruh isi lemari Sahira. Pakaian-pakaian berwarna cerah dan sederhana itu terserak di lantai.“Di mana pakaian yang bagus?”“Ah, sialan. Gadis itu tak punya satu pun baju yang bagus untuk dipakai.”Sahira, yang berdiri di pintu kamar, tampak bingung dan sedikit cemas melihat tingkah laku ayah angkatnya.“Pak, mau apa? Kenapa lemari Sahira diberantakin?” Sahira bertanya, suaranya pelan, sedikit khawatir dengan tingkah sang ayah pagi ini.Haidar mengangkat wajahnya sejenak, wajahnya terlihat kesal. “Sudah diam, Bapak sedang mencari baju yang pas buat kamu,” jawabnya sedikit kasar. Matanya kembali berkeliling, mencari sesuatu di antara tumpukan baju yang terhampar.Hufftt!'Menyesal aku tak pernah membelikan dia baju.' batinnya.Setiap pakaian yang diambilnya dilihat sejenak, lalu dibuang begitu saja. Sahira hanya berdiri, matanya mengikuti gerakan ayah angkatnya yang tampak ke
Sahira berdiri mematung di dekat pintu ruangan Michael. Matanya terbelalak mendengar permintaan terakhir bos barunya. “Mulai besok, kau harus pakai rok mini.” Kalimat itu menggema dalam pikirannya, membuat wajahnya merah padam antara marah dan malu. Ia menggigit bibirnya, mencoba menahan amarah yang mulai memuncak.“Apa maksudnya, Pak?” Sahira memberanikan diri bertanya, meskipun suaranya terdengar bergetar. “Kenapa saya harus pakai rok mini? Bukankah saya di sini untuk bekerja, bukan ... untuk hal yang aneh-aneh?”Michael menatapnya dengan tenang, tetapi ada kilatan nakal di matanya. Sahira yang berdiri di sana dengan pipi merona dan ekspresi protes justru terlihat begitu menggemaskan bagi Michael. Ia menyandarkan tubuhnya ke kursi, melipat kedua tangannya sambil menyunggingkan senyum. “Itu sudah menjadi peraturan di kantor ini,” jawab Michael santai.“Peraturan?” Sahira mengerutkan alisnya, tidak percaya. “Kenapa harus ada peraturan seperti itu?”Michael mengangkat bahu, matanya te
Sahira berdiri kaku di depan pintu, bingung dengan reaksi Michael. “Maaf, Pak?” tanyanya ragu, suaranya hampir tak terdengar.Michael mengangkat tangannya, menunjuk ke arah Sahira dari kepala hingga kaki. Matanya menilai setiap detail penampilannya. Tidak ada sedikit pun kesan formal, apalagi seksi, seperti yang ia harapkan.“Ini ... ini yang kau pakai untuk bekerja?” ucap Michael, ia mencoba menahan emosinya. “Aku sudah bilang kau harus memakai rok mini, bukan pakaian seperti ini! Rok-mu itu terlalu panjang!”Sahira menggigit bibir bawahnya, berusaha menahan rasa gugup. “Maaf, Pak,” jawabnya pelan, “tapi aku memang tidak punya pakaian seperti itu di rumah.”Michael memijit pelipisnya, mencoba menenangkan diri. Di satu sisi, ia merasa kesal karena Sahira tidak mengikuti instruksinya. Namun di sisi lain, ia tidak bisa memungkiri bahwa gadis itu tetap terlihat cantik meskipun dengan penampilan sederhana seperti itu.“Dengar,” ucap Michael, suaranya sedikit melunak, “di sini, aku yang me
Sahira berdiri canggung di dekat pintu kantin, menatap sejenak ke arah menu yang tertulis di papan besar. Harga makanan di sana membuatnya meneguk ludah. Dia merogoh kantongnya dan memandangi lembaran uang yang tersisa hanya 75 ribu rupiah.“Uangku cuma segini,” gumamnya pelan, suaranya nyaris tenggelam di tengah keramaian kantin. “Kalau aku boros sekarang, bagaimana dengan seminggu kedepan? Mau makan apa aku.”Dia menghela napas panjang, mencoba mencari solusi. Namun, semakin Sahira berpikir, semakin sadar bahwa pilihan terbaik adalah menahan lapar. Sahira membalikkan badan, bersiap meninggalkan kantin dengan langkah lesu. Namun tak lama kemudian, seseorang tiba-tiba mencekal pergelangan tangannya.“Akhh!”Sahira tersentak. Ia menoleh cepat, dan terkejut mendapati sosok Michael berdiri di sana.“Temani aku makan siang,” ucap Michael singkat.Mata Sahira membulat sempurna. Ia tidak menyangka bosnya yang dingin itu akan muncul di sini, apalagi memintanya menemani makan. “A-apa?” ucap
“Itu burung saya!”Hah?“Ah, maaf, Pak. Aku tak tau kalau itu burung Bapak.”Michael memejamkan mata, mencoba tak emosi di depan Sahira.“Keluar!” pintanya.“Tapi, Pak—”“Aku bilang keluar!”Sahira terkejut, dia segera berlari terbirit-birit dari sana.Di dalam ruangan, Michael berdiri mematung. Wajahnya tegang, dan tangannya mencengkeram pinggir meja kerja. Ia menghela napas panjang, mencoba menguasai dirinya. Michael mencoba menahan hasratnya. Dia begitu tersiksa, dengan nafsu yang tiba-tiba saja muncul.“Burung saya?” ulangnya dalam hati, merasa bodoh karena membiarkan kata-kata itu keluar begitu saja.Michael mengusap wajahnya dengan kasar, lalu berjalan ke kamar mandi kecil di sudut ruangan. Ia membasuh wajahnya dengan air dingin, berharap sensasi dingin itu bisa meredakan emosi dan perasaan campur aduk yang ia rasakan.“Ini semua gara-gara Sahira, dia harus bertanggung jawab!” umpatnya.Setiap kali dia menutup mata, bayangan Sahira dengan rok mini itu kembali memenuhi pikirannya
BRAK!Pintu ruangan terbuka dengan kencang, membuat Michael yang semula fokus pada layar komputer menoleh ke arah sumber suara.Di sana, berdiri Sahira yang wajah merah padam.“Pak Michael, aku mau resign!” ucapnya dengan lantang.Michael terdiam sejenak, seolah berpikir.“Resign?” ulangnya.“Iya.”“Kenapa? Kamu baru bekerja dua hari, sekarang minta resign, apa ada yang salah?”'Tentu saja salah, kau sudah bertindak kurang ajar padaku!' umpat Sahira dalam hati.“Pokoknya aku mau resign Pak, aku nggak betah bekerja di sini.““Baiklah, kalau kamu mau resign.”Hah? Semudah itu?“Iya.” Sahira segera berbalik, berniat pergi dari sana. Tetapi, ucapan Michael menghentikan langkahnya.“Kau pulang sekarang, dan kembali lagi sambil bawa uang sebanyak 500 juta, berikan padaku.”“Apa?!”“Kurang jelas? Pulanglah, dan kembali lagi kemari. Kamu harus memberiku 500 juta karena telah memilih resign.”“Aku sama sekali tak mengerti!”Michael menarik napas dalam-dalam sebelum menjelaskan, “Kamu ingat su
“Ah, Pak, lepaskan! Aduh!” Michael tidak menjawab, tapi malah menarik Sahira lebih dekat ke arahnya. Sahira merasa tidak nyaman dan berusaha melepaskan diri, tapi Michael terlalu kuat.“Ah, nikm4t sekali.” pria itu langsung menggesekkan senjata miliknya dengan pant*t bahenol Sahira.Sahira menggigit bibir, kala jemari Michael meremas bulatan indah miliknya.“Pak ... kumohon jangan. Bukankah aku butuh waktu. Jangan sekarang, Pak.”Michael mendesah pelan, napasnya mengenai leher Sahira. Sahira merasa bulu kuduknya berdiri, dia memberontak dan berusaha melepaskan diri dari pelukan Michael.Michael yang tak sabaran segera menurunkan resleting celananya, hal itu membuat Sahira semakin panik.“Ahh, Pak ... jangan Pak, bagaimana kalau ada yang melihat kita!”“Pak!”“Ah, Pak, jangan! Ugh!”Hening.Sahira tertegun, dia segera menoleh ke samping, tak ada siapapun.Hah?Dia tersadar bahwa itu hanya khayalan. Saat ini, dirinya masih berada di ruangan kerja Michael, sendirian. Dia tidak sedang da
Sahira duduk di sudut transportasi umum, uangnya tak cukup untuk memesan taksi. Pagi ini penumpang begitu ramai, membuatnya menjadi canggung.Dan benar saja, tatapan beberapa penumpang yang duduk di sekitarnya membuatnya merasa tidak nyaman. Bisik-bisik pun mulai terdengar.“Lihat, rok sependek itu pagi-pagi. Mau ke mana dia?” seorang wanita tua berbisik pelan tapi sengaja dikeraskan.“Ya ampun, gak takut kedinginan apa?” sahut seorang ibu sambil memeluk anaknya erat, seolah Sahira adalah ancaman.“Zaman sekarang, kok, perempuan makin berani, ya. Mau cari perhatian siapa? Perhatian Bos?” kata seorang pria sambil melirik Sahira dari atas ke bawah.Mendengar itu, Sahira menunduk dalam-dalam, wajahnya memerah karena malu. Dengan cepat, ia meraih jaket di tasnya dan menutupinya ke paha. “Kenapa aku harus pakai rok ini tadi?” gumamnya pelan, hampir menangis.Dia menggigit bibirnya, mencoba mengabaikan suara-suara di sekitarnya. “Semoga cepat sampai,” batinnya, sambil memandangi jalanan di
“Kau—”Namun, sebelum Sahira sempat berteriak, suara lembut namun berat itu terdengar di telinganya.“Ini aku sayang …”Seketika, tubuh Sahira menegang. Itu suara yang amat dikenalnya. Suara yang telah menghantui mimpinya selama berhari-hari terakhir ini.“Michael …?” bisiknya dengan suara nyaris tercekat.Pria itu tidak menjawab, hanya merengkuh tubuh Sahira lebih erat. Kehangatan tubuhnya, aroma khasnya, dan detak jantung yang bergema di dada bidangnya—semua itu membuat Sahira yakin. Air matanya tumpah, tak tertahan.“Ke mana saja kamu …” ucapnya lirih, setengah marah, setengah lega.Michael mengecup pelipis Sahira, pelan. “Aku datang … Dan aku janji, aku takkan pergi lagi tanpa kabar.”Sahira melepaskan pelukannya, menatap wajah pria itu dengan pandangan terkejut dan tak percaya. Di bawah remang cahaya lampu kamar, wajah Michael tampak mengenaskan. Bibirnya pecah dan menghitam, sudut matanya lebam, pelipisnya robek, dan ada darah kering yang menempel di dagunya. Ada guratan luka d
Beberapa hari terakhir, Sahira merasa seperti terkurung dalam sangkar emas. Apartemen mewah milik Michael—yang dulunya mampu membuatnya merasa aman, nyaman, dan hangat—kini justru menghadirkan perasaan yang sangat asing. Dinding-dindingnya terasa sempit, lantainya terlalu dingin, dan jendela besarnya yang menghadap langsung ke gemerlap kota justru terasa seperti jeruji. Segalanya tampak sama, tapi semuanya juga terasa berbeda. Mungkin karena pria itu, Michael, menghilang begitu saja. Tanpa satu pun kabar. Tidak ada pesan, tidak ada panggilan suara, apalagi video call seperti biasanya. Bahkan ponselnya kini tidak bisa dihubungi. Mati. Hilang. Senyap.Sahira mencoba mengalihkan pikirannya, mencari-cari cara untuk menepis kegelisahan yang perlahan-lahan menyesakkan dadanya. Ia membaca buku—beberapa bahkan sudah dibacanya ulang untuk kesekian kalinya. Ia menonton film, dari genre romantis yang penuh tawa, hingga thriller yang menegangkan. Ia bahkan menulis catatan kecil di buku harian di
Di lantai tertinggi kantor pusat yang menjulang, suasana di ruang rapat eksekutif terasa lebih dingin dari biasanya. Dinding-dinding kaca yang menghadap kota seolah menjadi saksi bisu kebangkitan kembali seorang raja yang nyaris terguling. Michael berdiri tegak di depan proyektor, wajahnya tanpa ekspresi, hanya sorot matanya yang tajam menyapu setiap wajah di ruangan. Di belakangnya, layar besar menampilkan rekaman-rekaman pengkhianatan: Lucas yang tertawa puas, Olivia yang berbisik dengan sensual, Rendi dan Jaya yang membicarakan strategi pengambilalihan secara rinci. Beberapa petinggi perusahaan yang duduk di meja panjang tampak tegang. Beberapa di antaranya bahkan tak bisa menyembunyikan keterkejutan dan kemarahan mereka. Tangan mengepal, rahang mengeras. Salah satu dari mereka, Pak Raymond, menunduk dalam-dalam, merasa bersalah karena pernah mendukung keputusan Lucas dalam rapat-rapat penting. “Lucas menipu kita semua,” gumamnya lirih. Michael tetap diam. Dia membiarkan v
Lucas duduk di sofa dengan Olivia yang melingkarkan lengannya di pundaknya, tubuhnya masih berbalut kimono tipis. Para pengikutnya—Rendi, Jaya, dan dua anak buah lainnya—berdiri dengan senyum puas di hadapan peta digital aset Michael yang telah mereka rampok secara perlahan. “Michael bukan apa-apa tanpa loyalitas,” ucap Lucas sombong. “Dan sekarang? Dia bahkan tidak bisa percaya pada bayangannya sendiri.” “Tapi dia bisa balas dendam,” ujar Rendi, sedikit ragu. “Kau tahu Michael, dia takkan tinggal diam.” Lucas menertawakannya. “Tenang. Aku sudah rencanakan semuanya. Bahkan jika dia melawan ... semua sudah terlambat. Aku punya cukup bukti untuk membuatnya tampak seperti dalang korupsi. Jika dia bicara, justru dia yang akan jatuh.” Olivia mencium leher Lucas, berbisik, “Kau memang jenius.” Lucas menarik napas panjang penuh kemenangan. “Bersiaplah. Dalam tiga hari lagi, kita ambil alih perusahaan—dan dunia akan melihat Michael jatuh, sementara kita berdiri di atas puingnya.” *
Mobil yang dikendarai Lucas melaju mulus membelah gelapnya malam. Musik klasik berdentum pelan dari speaker, namun tidak menenangkan suasana hati sang pengemudi. Di balik kemudi, Lucas bicara sendiri, seperti tak mampu menahan hasrat untuk meluapkan kejengkelannya terhadap Michael.“Bocah sok suci ...,” gerutunya.“Mentang-mentang pewaris, merasa bisa menginjak semua orang, memerintah semua orang. Tapi lihat sekarang, Michael ... kau hanya boneka. Aku yang menarik benangnya. Aku yang akan mengakhiri segalanya.”Lucas tertawa pendek, tajam dan getir. Jemarinya mengetuk-ngetuk setir dengan irama tak sabar. Dia sudah membayangkan ekspresi Michael saat semuanya terbongkar—hancur, marah, dan sendirian.Di belakang, dalam mobil lain yang lampunya sengaja diredam, Michael dan David membuntuti dengan cermat. Michael mengenakan topi gelap dan masker hitam, matanya tajam mengamati setiap gerak Lucas dari kejauhan. Di sampingnya, David duduk dengan napas sedikit berat, luka-luka di wajahnya belu
Setelah keluar dari tempat rahasia, Michael membanting pintu mobilnya dengan kasar. Napasnya memburu, rahangnya mengeras, dan matanya memerah karena amarah yang tak terbendung. Tangan kanannya mengepal di atas kemudi, sementara tangan kirinya dengan cepat menyalakan mesin.“Brengsek!” desisnya lirih, tapi penuh racun. Mobil sport hitamnya melesat keluar dari parkiran seperti peluru, ban berdecit di aspal.Di dalam mobil, Michael meninju setir sekali, dua kali. “David! Kau berani mengkhianatiku?! Setelah semua kepercayaan yang kuberikan, kau mengiris punggungku dari belakang! Dasar pengkhianat busuk!”Giginya bergemeletuk karena menahan amarah. Tangannya bergetar saat menggenggam ponsel. Dia menekan kontak dengan nama David dan menempelkan ponsel ke telinga, matanya fokus pada jalanan malam yang sepi namun terasa sempit oleh emosinya sendiri.“Halo, Tuan,” suara David terdengar datar di ujung sana, seperti biasa, tanpa curiga.Michael mendesis, menahan diri agar tak langsung berteriak.
Sahira dan Michael saling berpandangan. “Permisi, Pak, aku bawa kopi untuk Anda ....” “Oliv!”Sahira masih duduk di sofa, mengenakan blus putih elegan dan rok selutut. Ia menatap tajam ke arah Olivia yang baru saja membuka pintu dan masuk sambil membawa nampan berisi kopi."Tuan, ini kopinya," ucap Olivia lembut, senyum kecil menghias wajahnya yang dipoles rapi. Ia berjalan pelan, langkahnya menggoda seperti model catwalk.Michael mengerutkan alis. "Tapi, saya tidak memintanya.""Kan biasanya Tuan sering meminta saya buatkan kopi," jawab Olivia cepat. Dia meletakkan gelas kopi di meja kaca, lalu mundur dua langkah. Namun sebelum sepenuhnya berbalik menuju pintu, ia menepuk ringan bokongnya sendiri sambil mengedipkan mata ke arah Michael.Gerakan itu singkat, tapi jelas. Sahira melihatnya. Dan matanya langsung menyipit.Keheningan sejenak merayap ke ruangan. Olivia melangkah keluar dengan lenggokan pinggul yang dibuat-buat, meninggalkan aroma parfum mahal dan kejanggalan yang mencolo
“Sergio ...”Sahira memanggil pelan, tapi cukup untuk membuat dua pria di depannya menoleh bersamaan. Michael menatapnya penuh tanya, sementara Sergio menajamkan mata, seolah tak percaya Sahira menyapanya dengan nada selembut itu.Ruangan terasa hening sesaat. Ketegangan menggantung di udara, seperti benang tipis yang bisa putus kapan saja.Sahira menarik napas dalam-dalam. “Aku ingin bicara. Hanya sebentar.”Sergio memandang Michael, seolah meminta izin, dan Michael mengangguk singkat. Dengan langkah pelan, Sergio mendekati Sahira, berdiri berhadapan dengannya. Jarak mereka cukup dekat untuk mendengar detak jantung masing-masing, tapi cukup jauh untuk menyimpan semua luka lama di antaranya.“Ada apa?” tanya Sergio datar. Tidak dingin, tapi juga tidak hangat.Sahira menelan ludah. Tangannya mengepal di sisi tubuhnya. “Aku ... aku ingin minta maaf,” ucapnya akhirnya. “Untuk malam itu. Waktu aku—waktu aku menembakmu.”Sergio tidak langsung bereaksi. Matanya menatap dalam ke arah Sahira,
Setelah selesai makan siang. Sahira merunduk manja ke dada Michael, tubuhnya melingkar seperti kucing jinak yang mencari kehangatan.Tangannya yang lembut merayap ke lengan kekar Michael, menyusuri kulitnya perlahan, seperti ingin mengukir rasa rindu yang ia tahan sejak pagi.Michael masih menatap layar ponselnya, membaca satu demi satu pesan masuk yang tak pernah berhenti berdatangan. Tapi fokusnya buyar saat suara lembut Sahira membisik halus di telinganya.“Apa ponselmu lebih menarik dari aku?”Pertanyaan itu terdengar manja, tapi ada nada menggoda di dalamnya. Michael menoleh. Sekejap saja, namun cukup untuk melihat tatapan jengkel sekaligus merayu dari Sahira. Tanpa banyak bicara, dia mematikan ponsel, meletakkannya di atas meja kaca dengan suara klik pelan, lalu membalikkan tubuhnya untuk menatap perempuan yang kini bersandar di lengannya.“Tentu saja tidak, sayangku,” ucap Michael pelan, suaranya berat dan penuh senyum. “Kenapa kamu manja begini seperti kucing birahi, hm?”Sahi