Sahira mencebik, tapi kali ini ada senyum tipis yang terselip di sudut bibirnya. “Iya, aku memang sudah tidak perawan,” ucapnya dengan nada menggoda. “Dan itu karena kamu, si brengsek yang tidak tahu aturan.”Michael terkekeh, lalu mulai menggoyang pelan pinggulnya. “Kau masih menyimpan dendam?”“Enggh ... sedikit,” jawab Sahira, menaikkan satu alis. “Tapi rasanya terlalu enak untuk disesali.”Michael tertawa pelan. “Nah, itu baru lucu, sayang.”Sahira mengerucutkan bibir, pura-pura cemberut. “Tapi jangan pikir aku akan mudah jatuh lagi.”Michael menarik pinggangnya, mendekapnya erat. “Terlambat. Kau sudah jatuh terlalu dalam.”Belum sempat Sahira membalas, bibir Michael sudah menciumnya. Ciuman itu panas, dalam, membuat jantungnya berdebar liar. Sahira awalnya masih pura-pura malas, tapi begitu lidah mereka saling bertemu, tubuhnya melemas. Napas mereka mulai memburu lagi.Michael mengangkat kedua kaki Sahira ke atas pundaknya, memompa lebih cepat pinggulnya. Sahira mendesah hebat, s
Malam hari. Angin berhembus lembut, membawa aroma asin laut dan dedaunan tropis. Di balkon vila yang menghadap pantai, Michael duduk menyandarkan tubuhnya di kursi malas, satu tangan menggenggam gelas anggur merah yang mengilap di bawah cahaya bulan, sementara ponselnya menempel di telinga.Suara lembut Evelyn terdengar di seberang. Meskipun jauh, kekhawatiran dalam nada bicaranya terasa nyata."Bagaimana keadaan kalian di sana? Aman? Nyaman? Tidak ada yang mencurigakan, kan?"Michael menyunggingkan senyum kecil. Tatapannya menyapu gelapnya laut, tenang dan kelam. Deburan ombak mengiringi malam seperti irama tenang dalam pikirannya. "Semuanya baik-baik saja, Mom. Vila ini benar-benar tersembunyi. Tak ada satu pun orang luar yang bisa menemukan kami. Kau tak perlu khawatir."Evelyn menarik napas lega, lalu tertawa pelan, "Bagus. Tapi tetap waspada. Dan jangan lupa, cepat beri aku cucu."Michael terkekeh, nada tawanya ringan namun dalam. "Kami sedang bekerja keras untuk itu."Setelah m
Pukul 07:00.Mentari pagi menembus tirai kamar pengantin, menari lembut di atas selimut yang masih kusut. Sahira membuka mata perlahan, menyipit karena cahaya. Ia menoleh ke sisi ranjang—kosong. Tapi aroma kopi dan suara lembut alat cukur listrik terdengar samar dari arah kamar mandi.Tak lama, pintu terbuka. Michael muncul dengan kemeja putih belum terkancing, rambut basah tersisir rapi, dua gelas kopi dan susu di tangan.“Selamat pagi, Nyonya Nathaniel,” ucapnya sembari menyodorkan gelas susu hangat.Sahira tersenyum manja, duduk dan menyelimuti bahunya. “Selamat pagi juga, Tuan Nathaniel. Masih terasa mimpi.”Michael menatapnya, lalu mencium keningnya singkat. “Sayangnya bukan. Ini nyata. Dan kita akan mulai bulan madu hari ini.”***Di lantai bawah, Evelyn sudah duduk di ruang tamu dengan gaun tidur satin merah marun dan selimut wol melingkar di pundaknya. Tangannya memegang koran pagi, namun matanya tertuju pada anak dan menantunya yang menuruni tangga bersama.“Pagi, Mom,” sapa
Semua para tamu tampak sedang asyik menikmati hidangan yang tersedia di taman luas yang telah disulap menjadi tempat resepsi mewah. Tenda-tenda putih menjulang tinggi, dihiasi rangkaian bunga segar yang menggantung di setiap sisi, sementara orkestra kecil memainkan lagu klasik yang lembut.Michael dan Sahira berdiri di tengah keramaian, masih menyambut satu per satu tamu yang ingin mengucapkan selamat atas pernikahan mereka. Wajah mereka lelah tapi bahagia, mata Sahira berbinar, dan tangan Michael tak pernah lepas dari pinggang istrinya.Tiba-tiba, langkah seorang pria berhenti tepat di depan mereka.Michael mengerutkan dahi, seolah mencoba mengingat sesuatu. Pria itu berdiri tegap, mengenakan setelan jas abu-abu elegan dengan dasi hitam dan sepatu kulit yang mengilap. Garis wajahnya tajam, dagu tegas dengan janggut tipis.Michael menatapnya lekat-lekat. Lalu, matanya membesar.Deg!“Bukankah dia pria yang ada di makam ayah saat itu,” ucapnya pelan, seolah bicara pada dirinya sendiri.
Michael dan Sahira berdiri bersama, di depan saksi, keluarga, dan dunia, bersiap mengucapkan janji suci yang telah tertunda—namun kini terasa jauh lebih berarti.Sang pendeta, seorang pria paruh baya dengan suara dalam dan tenang, berdiri di tengah altar, membacakan kata-kata suci. “Hari ini kita berkumpul, bukan hanya untuk merayakan sebuah pernikahan, tapi menyaksikan keajaiban Tuhan bekerja melalui dua jiwa yang pernah terpisah … kini bersatu kembali, lebih kuat, lebih dalam, dan lebih dewasa.”“Michael Nathaniel dan Sahira/Alexa J—dua nama, dua kisah, dua luka, yang hari ini akan disatukan dalam ikatan suci pernikahan.”Suara tangis tertahan terdengar dari beberapa bangku tamu. Sahira menahan napas saat berdiri di hadapan Michael. Pria itu tampak begitu tegang, namun matanya berbicara lebih dari kata.Pendeta melanjutkan, kini dengan nada lebih khidmat.“Michael Nathaniel, apakah engkau menerima Sahira sebagai istrimu yang sah? Apakah engkau berjanji untuk mencintai, menghormati,
“Bagaimana dengan pernikahan kita?” suara Karin terdengar tajam, nyaris penuh luka. Gaun peach yang membalut tubuh semampainya tampak gemetar, bukan karena cuaca, melainkan karena amarah yang ditahan di dada. Matanya memancarkan kekecewaan yang dalam, dan suara itu seolah menampar semua yang hadir di ruangan itu.Sergio menoleh ke arahnya. Raut wajahnya masih teguh, namun jelas terlihat ada bayang-bayang kebimbangan di balik sorot matanya. Ia tampak lelah, seolah memikul beban yang terlalu berat di pundaknya. “Aku hanya ingin menyelamatkan reputasi keluarga dulu, Karin,” ucapnya pelan tapi tegas. Kalimat itu terdengar seperti sebuah vonis. “Setelah ini … setelah semuanya selesai, kita akan bicarakan lagi.”“Bicarakan lagi?” Karin tertawa kecut, matanya berkaca-kaca. “Kau pikir harga diriku bisa digantung seperti baju kotor?! Sergio, aku tunanganmu! Aku berdiri di sini, menyaksikanmu nyaris menikahi perempuan calon Michael, dan kau masih bilang ‘bicarakan lagi’?!”Namun Sergio sudah me
Pagi hari. Langit seolah merestui. Cerah, tanpa satu pun awan kelabu menggantung. Namun di balik keindahan cuaca, ada hati yang sedang dilanda badai. Di dalam salah satu ruangan luas di mansion keluarga Michael—sebuah kamar berhias tirai putih dan dinding krem elegan—Sahira tengah duduk di depan cermin besar dengan bingkai emas. Seorang MUA profesional tengah sibuk membubuhkan sentuhan akhir pada riasannya. Cahaya alami menyorot dari jendela besar, membuat kulit Sahira tampak bersinar. “Em, cantik sekali ...” bisik si perias dengan kagum, sambil menyemprotkan setting spray. “Kau terlihat seperti putri dari negeri dongeng. Bahkan aku hampir tidak bisa menatapmu terlalu lama.” Sahira hanya tersenyum tipis, nyaris tak bereaksi. Pujian itu terasa hampa. Di balik gaun pengantin megah berenda dan veil sepanjang tiga meter, di balik mahkota kristal yang sudah terpasang di kepala, jantungnya berdetak tak beraturan. Bukan karena gugup akan pernikahan, tapi karena satu hal yang jauh lebi
Dua Minggu kemudian ....Dua minggu setelah kejutan indah di galeri seni dan perjalanan helikopter yang tak terlupakan, malam itu Sahira dan Michael duduk di sebuah restoran mewah di pinggir kota. Langit malam gelap pekat, bertabur bintang, dan cahaya lilin di atas meja mereka menari pelan diterpa angin dari balkon terbuka. Musik klasik mengalun pelan, menemani hidangan elegan yang tersaji di hadapan mereka.Sahira mengenakan gaun hitam sederhana dengan belahan rendah di punggung, rambutnya digelung anggun. Di seberangnya, Michael tampak gagah dengan setelan biru tua dan dasi hitam. Senyuman mereka mengembang, sesekali diselingi tawa kecil saat membicarakan rencana pernikahan mereka yang akan berlangsung esok hari.Namun tiba-tiba, Michael menghentikan gerakan garpunya. Wajahnya berubah. Keningnya mengerut tajam saat membaca pesan di ponsel. Tangannya mengepal pelan di atas meja.Sahira langsung menajamkan pandangan. "Ada apa?"Michael tak langsung menjawab. Ia membaca ulang pesan itu
Mobil berhenti di depan sebuah bangunan klasik bergaya Eropa di tengah kota. Bangunan itu berdiri anggun dengan fasad berwarna putih gading, dihiasi pilar-pilar tinggi yang menopang balkon kecil di lantai atas. Jendela-jendela besar berbingkai emas tua membiaskan cahaya senja yang mulai meredup, sementara lampu gantung antik di bagian dalam memancarkan cahaya keemasan yang hangat. Di sekeliling bangunan, taman kecil tertata rapi dengan semak-semak bunga lavender dan mawar yang bermekaran.Sahira menatap bangunan itu dengan kening berkerut, mencoba menebak tempat macam apa yang akan dimasuki mereka.“Galeri seni?” tanyanya pelan, menoleh ke arah Michael yang berdiri di sampingnya.Michael hanya mengangguk tanpa berkata apa-apa. Ia kemudian membuka pintu mobil dan dengan sopan menyodorkan tangan ke Sahira. “Mari sayang ....”Wanita itu meraih tangan Michael, dan keduanya melangkah menuju pintu utama yang dijaga oleh seorang petugas berpakaian hitam elegan. Dengan senyum tipis, petugas