Cahaya rembulan jatuh samar di antara dedaunan yang tertata rapi di taman belakang mansion Jonathan. Sahira melangkah pelan, menghela napas panjang, mencoba mengusir rasa bosan yang menggelayuti pikirannya. Hembusan angin malam membelai kulitnya, membawa aroma mawar dan embun yang mulai turun. Namun, di tengah keheningan itu, ada sesuatu yang terasa ganjil.Instingnya yang terlatih membuatnya berhenti sejenak. Seperti ada sepasang mata yang mengawasi. Jantungnya berdegup lebih cepat. Ia menoleh ke kanan dan ke kiri, namun tak menemukan apa pun selain semak-semak yang bergoyang perlahan diterpa angin.Sebuah bunyi lirih terdengar—seakan ada sesuatu yang bergerak di balik pepohonan. Sahira semakin waspada. Tangannya mengepal, bersiap menghadapi kemungkinan terburuk. Ia melangkah lebih dalam ke taman, melewati air mancur kecil yang gemericiknya samar di antara kesunyian.Tiba-tiba, sosok bayangan melompat dari balik pepohonan!Sahira refleks melangkah mundur, matanya langsung menangkap s
Malam hari.Angin berembus pelan di luar mansion Jonathan. Di dalam, Sahira duduk di sofa ruang tamu, menatap layar ponselnya yang menampilkan daftar pakaian yang ingin dibelinya. Ia merasa butuh sesuatu yang baru setelah semua kejadian menegangkan beberapa hari terakhir.Ia menoleh ke arah Jonathan yang sedang duduk di kursi berhadapan dengannya. Pria itu sedang sibuk dengan laptopnya, membaca laporan dari anak buahnya tentang situasi di lapangan.“Kak Joe,” panggil Sahira pelan.Jonathan mendongak dari layar laptopnya. “Apa?”Sahira menggigit bibirnya sebelum akhirnya berkata, “Aku ingin pergi ke mall. Aku butuh beberapa pakaian baru.”Jonathan langsung menutup laptopnya dan menatapnya tajam. “Sekarang?”Sahira mengangguk. “Ya. Aku butuh udara segar juga.”Jonathan menyandarkan punggungnya ke kursi dan menyilangkan tangan di dada. “Kau tidak bisa pergi sendiri.”Sahira mendesah, sudah menduga jawaban itu. “Aku hanya ingin belanja sebentar, bukan pergi ke medan perang.”Jonathan mena
Malah hari.Waktu yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba.Jonathan berdiri di depan jendela besar di ruang kerja, memandangi halaman yang mulai dipenuhi oleh orang-orangnya. Lencana tengkorak itu masih ada di genggamannya, seperti bara yang terus membakar kemarahannya.Di belakangnya, Sahira masih berdiri dengan ekspresi penuh keraguan. Ia mengenal Jonathan selama satu bulan ini, sebagai sosok yang tidak akan mundur jika sudah mengambil keputusan, tapi kali ini taruhannya terlalu besar."Apa kau benar-benar ingin melakukan ini, Kak Joe?" Sahira akhirnya bersuara, suaranya terdengar ragu.Jonathan mengalihkan pandangannya ke arah wanita itu, menatapnya dalam. “Kau sendiri yang melihat apa yang terjadi hari ini, Sahira. Orang itu hampir membunuhmu.”Sahira menggigit bibirnya. Ia tidak bisa menyangkal fakta itu. Jika Jonathan tidak cepat menangani situasi, mungkin sekarang dia sudah mati di tangan anak buah Michael. Tapi tetap saja, menyerang Michael secara langsung membuatnya gamang.“Kau b
Malam hari.Kediaman Michael berdiri megah di tengah kompleks luas dengan penjagaan ketat. Suasana tampak tenang, tapi di balik itu, Jonathan dan pasukannya sudah bersiap untuk menyalakan api perang.Sahira berdiri di antara anak buah Jonathan, napasnya stabil meski hatinya berdegup kencang. Ini adalah saatnya—momen di mana ia akan menghadapi iblis dari masa lalunya.Pria yang sudah menghianatinya. Membuat hatinya hancur berkeping-keping.Hufftt!Sahira menghela napas, melihat banyaknya senjata yang akan digunakan untuk menyerang Michael. Entah kenapa batinnya terusik.Jonathan berdiri di depan mereka, matanya tajam, penuh kebencian. "Kita tidak punya banyak waktu. Saat ledakan terjadi, kita masuk dari tiga sisi. Jangan beri mereka kesempatan untuk bertahan."Semua mengangguk. Mereka sudah bersiap.Lalu, dalam hitungan detik ...BOOM!Ledakan kecil mengguncang halaman depan kediaman Michael. Api berkobar dari salah satu kendaraan yang diparkir di luar. Asap tebal membumbung tinggi ke
Darah mengalir dari luka-luka di tubuh Jonathan, tetapi ia tetap berdiri, meski napasnya mulai berat. Pukulan dan tendangan yang diterimanya membuat seluruh tubuhnya terasa remuk. Namun, ia tidak bisa menyerah.Di depannya, Michael masih berdiri tegap, hanya sedikit terengah. Senyumnya licik, matanya penuh kemenangan. Seolah-olah ia tahu dari awal bahwa Jonathan akan jatuh ke dalam perangkapnya."Kau datang dengan percaya diri, tapi lihat dirimu sekarang," suara Michael dingin. "Sendirian. Habis-habisan. Dan ... akan mati malam ini juga."Jonathan mengepalkan tinjunya. Ia memang kehabisan tenaga, tetapi menyerah bukan pilihan.Sekeliling mereka penuh dengan anak buah Michael yang sudah bersiap menembaknya kapan saja. Sementara itu, beberapa anak buah Jonathan yang tersisa masih bertarung mati-matian di luar. Situasi ini lebih buruk dari yang ia duga.“Cih, sialan!”Jonathan mengumpat dalam hati. Michael memang licik. Ia menyusun jebakan dengan rapi. Persenjataannya lebih banyak, pasuk
Darah terus mengalir dari dada Sergio. Matanya terasa berat, tubuhnya melemah.Michael berlutut di sampingnya, menekan luka itu dengan tangannya, mencoba menghentikan pendarahan.“Bertahan, Sergio! Kau dengar aku? Bertahan!”Sergio tersenyum lemah, bibirnya sedikit bergetar, “Sahira … dia …”Michael menggeram, wajahnya dipenuhi amarah sekaligus rasa panik. Ia menoleh ke anak buahnya yang masih tersisa.“Bawa dia ke mobil! Cepat!”Dua orang segera mengangkat tubuh Sergio, membawanya dengan tergesa ke arah mobil.Dari kejauhan, suara sirene polisi mulai terdengar.“Cepat! Kita harus keluar dari sini sebelum polisi datang!” teriak Michael.Mereka memasukkan Sergio ke dalam mobil dengan hati-hati. Michael masuk ke dalam, duduk di sampingnya, tetap menekan luka di dada adiknya.“Jangan tutup matamu, Sergio! Jangan berani-berani mati di hadapanku!”Sergio tersenyum lemah. “Kau … selalu terlalu keras padaku, Mike …”Michael menggertakkan giginya.“Diam! Jangan bicara! Simpan tenagamu!”Mobil
Pagi hari.Cahaya matahari yang menerobos dari celah jendela memenuhi kamar dengan sinar hangat, namun Sahira justru merasa dingin. Dia duduk di tepi ranjang, menatap kosong ke lantai, pikirannya melayang jauh ke kejadian semalam.Pistol itu terasa begitu berat di tangannya. Suara letusan yang memekakkan telinga masih menggema di kepalanya.Sergio ...Sahira menggigit bibirnya, merasakan rasa bersalah yang menyesakkan dada. Dia tidak tahu apakah Sergio masih hidup atau sudah mati. Tapi tatapan lelaki itu sebelum jatuh, senyum getirnya saat darah mengalir dari dadanya, membuat Sahira merasakan sesuatu yang tak bisa dia pahami.Apakah dia benar-benar telah membunuhnya?Sahira menggeleng cepat. Tidak, tidak mungkin. Jonathan bilang mereka harus segera pergi. Tidak ada waktu untuk memastikan.Tapi ... bagaimana kalau benar?Dia tidak bisa terus seperti ini. Dia harus tahu.Dengan langkah cepat, Sahira keluar dari kamar. Dia tidak tahu akan mencari siapa, tapi di luar, suara para anak buah
Sahira berusaha menenangkan napasnya yang memburu. Tangannya mencengkeram erat selimut yang menutupi tubuhnya. Jantungnya masih berdetak begitu kencang, dan kepalanya terasa berdenyut hebat. Dia tak bisa membiarkan siapa pun tahu tentang ini.Dengan suara yang hampir bergetar, dia menatap dokter yang masih berdiri di samping tempat tidurnya. “Dokter,” ucapnya pelan, tapi penuh ketegasan. “Jangan katakan ini pada siapa pun. Aku tidak ingin ada yang tahu, termasuk Kakakku—Jonathan.”Dokter itu mengerutkan keningnya, jelas merasa bingung dengan permintaan mendadak ini. “Tapi, Nona, itu—”Sahira langsung memotongnya. “Tolong, Dok. Aku mohon. Jangan katakan apa pun.” Matanya yang biasanya penuh ketegaran kini berkaca-kaca.Dokter itu menatapnya dengan ragu. “Kenapa? Tapi, Tuan Joe yang memintaku untuk memeriksa Anda. Beliau pasti menginginkan hasilnya.”Sahira menggigit bibirnya, merasa semakin tertekan. “Bilang saja aku baik-baik saja, hanya kelelahan. Aku mohon, Dokter.”Dokter wanita it
“Kau—”Namun, sebelum Sahira sempat berteriak, suara lembut namun berat itu terdengar di telinganya.“Ini aku sayang …”Seketika, tubuh Sahira menegang. Itu suara yang amat dikenalnya. Suara yang telah menghantui mimpinya selama berhari-hari terakhir ini.“Michael …?” bisiknya dengan suara nyaris tercekat.Pria itu tidak menjawab, hanya merengkuh tubuh Sahira lebih erat. Kehangatan tubuhnya, aroma khasnya, dan detak jantung yang bergema di dada bidangnya—semua itu membuat Sahira yakin. Air matanya tumpah, tak tertahan.“Ke mana saja kamu …” ucapnya lirih, setengah marah, setengah lega.Michael mengecup pelipis Sahira, pelan. “Aku datang … Dan aku janji, aku takkan pergi lagi tanpa kabar.”Sahira melepaskan pelukannya, menatap wajah pria itu dengan pandangan terkejut dan tak percaya. Di bawah remang cahaya lampu kamar, wajah Michael tampak mengenaskan. Bibirnya pecah dan menghitam, sudut matanya lebam, pelipisnya robek, dan ada darah kering yang menempel di dagunya. Ada guratan luka d
Beberapa hari terakhir, Sahira merasa seperti terkurung dalam sangkar emas. Apartemen mewah milik Michael—yang dulunya mampu membuatnya merasa aman, nyaman, dan hangat—kini justru menghadirkan perasaan yang sangat asing. Dinding-dindingnya terasa sempit, lantainya terlalu dingin, dan jendela besarnya yang menghadap langsung ke gemerlap kota justru terasa seperti jeruji. Segalanya tampak sama, tapi semuanya juga terasa berbeda. Mungkin karena pria itu, Michael, menghilang begitu saja. Tanpa satu pun kabar. Tidak ada pesan, tidak ada panggilan suara, apalagi video call seperti biasanya. Bahkan ponselnya kini tidak bisa dihubungi. Mati. Hilang. Senyap.Sahira mencoba mengalihkan pikirannya, mencari-cari cara untuk menepis kegelisahan yang perlahan-lahan menyesakkan dadanya. Ia membaca buku—beberapa bahkan sudah dibacanya ulang untuk kesekian kalinya. Ia menonton film, dari genre romantis yang penuh tawa, hingga thriller yang menegangkan. Ia bahkan menulis catatan kecil di buku harian di
Di lantai tertinggi kantor pusat yang menjulang, suasana di ruang rapat eksekutif terasa lebih dingin dari biasanya. Dinding-dinding kaca yang menghadap kota seolah menjadi saksi bisu kebangkitan kembali seorang raja yang nyaris terguling. Michael berdiri tegak di depan proyektor, wajahnya tanpa ekspresi, hanya sorot matanya yang tajam menyapu setiap wajah di ruangan. Di belakangnya, layar besar menampilkan rekaman-rekaman pengkhianatan: Lucas yang tertawa puas, Olivia yang berbisik dengan sensual, Rendi dan Jaya yang membicarakan strategi pengambilalihan secara rinci. Beberapa petinggi perusahaan yang duduk di meja panjang tampak tegang. Beberapa di antaranya bahkan tak bisa menyembunyikan keterkejutan dan kemarahan mereka. Tangan mengepal, rahang mengeras. Salah satu dari mereka, Pak Raymond, menunduk dalam-dalam, merasa bersalah karena pernah mendukung keputusan Lucas dalam rapat-rapat penting. “Lucas menipu kita semua,” gumamnya lirih. Michael tetap diam. Dia membiarkan v
Lucas duduk di sofa dengan Olivia yang melingkarkan lengannya di pundaknya, tubuhnya masih berbalut kimono tipis. Para pengikutnya—Rendi, Jaya, dan dua anak buah lainnya—berdiri dengan senyum puas di hadapan peta digital aset Michael yang telah mereka rampok secara perlahan. “Michael bukan apa-apa tanpa loyalitas,” ucap Lucas sombong. “Dan sekarang? Dia bahkan tidak bisa percaya pada bayangannya sendiri.” “Tapi dia bisa balas dendam,” ujar Rendi, sedikit ragu. “Kau tahu Michael, dia takkan tinggal diam.” Lucas menertawakannya. “Tenang. Aku sudah rencanakan semuanya. Bahkan jika dia melawan ... semua sudah terlambat. Aku punya cukup bukti untuk membuatnya tampak seperti dalang korupsi. Jika dia bicara, justru dia yang akan jatuh.” Olivia mencium leher Lucas, berbisik, “Kau memang jenius.” Lucas menarik napas panjang penuh kemenangan. “Bersiaplah. Dalam tiga hari lagi, kita ambil alih perusahaan—dan dunia akan melihat Michael jatuh, sementara kita berdiri di atas puingnya.” *
Mobil yang dikendarai Lucas melaju mulus membelah gelapnya malam. Musik klasik berdentum pelan dari speaker, namun tidak menenangkan suasana hati sang pengemudi. Di balik kemudi, Lucas bicara sendiri, seperti tak mampu menahan hasrat untuk meluapkan kejengkelannya terhadap Michael.“Bocah sok suci ...,” gerutunya.“Mentang-mentang pewaris, merasa bisa menginjak semua orang, memerintah semua orang. Tapi lihat sekarang, Michael ... kau hanya boneka. Aku yang menarik benangnya. Aku yang akan mengakhiri segalanya.”Lucas tertawa pendek, tajam dan getir. Jemarinya mengetuk-ngetuk setir dengan irama tak sabar. Dia sudah membayangkan ekspresi Michael saat semuanya terbongkar—hancur, marah, dan sendirian.Di belakang, dalam mobil lain yang lampunya sengaja diredam, Michael dan David membuntuti dengan cermat. Michael mengenakan topi gelap dan masker hitam, matanya tajam mengamati setiap gerak Lucas dari kejauhan. Di sampingnya, David duduk dengan napas sedikit berat, luka-luka di wajahnya belu
Setelah keluar dari tempat rahasia, Michael membanting pintu mobilnya dengan kasar. Napasnya memburu, rahangnya mengeras, dan matanya memerah karena amarah yang tak terbendung. Tangan kanannya mengepal di atas kemudi, sementara tangan kirinya dengan cepat menyalakan mesin.“Brengsek!” desisnya lirih, tapi penuh racun. Mobil sport hitamnya melesat keluar dari parkiran seperti peluru, ban berdecit di aspal.Di dalam mobil, Michael meninju setir sekali, dua kali. “David! Kau berani mengkhianatiku?! Setelah semua kepercayaan yang kuberikan, kau mengiris punggungku dari belakang! Dasar pengkhianat busuk!”Giginya bergemeletuk karena menahan amarah. Tangannya bergetar saat menggenggam ponsel. Dia menekan kontak dengan nama David dan menempelkan ponsel ke telinga, matanya fokus pada jalanan malam yang sepi namun terasa sempit oleh emosinya sendiri.“Halo, Tuan,” suara David terdengar datar di ujung sana, seperti biasa, tanpa curiga.Michael mendesis, menahan diri agar tak langsung berteriak.
Sahira dan Michael saling berpandangan. “Permisi, Pak, aku bawa kopi untuk Anda ....” “Oliv!”Sahira masih duduk di sofa, mengenakan blus putih elegan dan rok selutut. Ia menatap tajam ke arah Olivia yang baru saja membuka pintu dan masuk sambil membawa nampan berisi kopi."Tuan, ini kopinya," ucap Olivia lembut, senyum kecil menghias wajahnya yang dipoles rapi. Ia berjalan pelan, langkahnya menggoda seperti model catwalk.Michael mengerutkan alis. "Tapi, saya tidak memintanya.""Kan biasanya Tuan sering meminta saya buatkan kopi," jawab Olivia cepat. Dia meletakkan gelas kopi di meja kaca, lalu mundur dua langkah. Namun sebelum sepenuhnya berbalik menuju pintu, ia menepuk ringan bokongnya sendiri sambil mengedipkan mata ke arah Michael.Gerakan itu singkat, tapi jelas. Sahira melihatnya. Dan matanya langsung menyipit.Keheningan sejenak merayap ke ruangan. Olivia melangkah keluar dengan lenggokan pinggul yang dibuat-buat, meninggalkan aroma parfum mahal dan kejanggalan yang mencolo
“Sergio ...”Sahira memanggil pelan, tapi cukup untuk membuat dua pria di depannya menoleh bersamaan. Michael menatapnya penuh tanya, sementara Sergio menajamkan mata, seolah tak percaya Sahira menyapanya dengan nada selembut itu.Ruangan terasa hening sesaat. Ketegangan menggantung di udara, seperti benang tipis yang bisa putus kapan saja.Sahira menarik napas dalam-dalam. “Aku ingin bicara. Hanya sebentar.”Sergio memandang Michael, seolah meminta izin, dan Michael mengangguk singkat. Dengan langkah pelan, Sergio mendekati Sahira, berdiri berhadapan dengannya. Jarak mereka cukup dekat untuk mendengar detak jantung masing-masing, tapi cukup jauh untuk menyimpan semua luka lama di antaranya.“Ada apa?” tanya Sergio datar. Tidak dingin, tapi juga tidak hangat.Sahira menelan ludah. Tangannya mengepal di sisi tubuhnya. “Aku ... aku ingin minta maaf,” ucapnya akhirnya. “Untuk malam itu. Waktu aku—waktu aku menembakmu.”Sergio tidak langsung bereaksi. Matanya menatap dalam ke arah Sahira,
Setelah selesai makan siang. Sahira merunduk manja ke dada Michael, tubuhnya melingkar seperti kucing jinak yang mencari kehangatan.Tangannya yang lembut merayap ke lengan kekar Michael, menyusuri kulitnya perlahan, seperti ingin mengukir rasa rindu yang ia tahan sejak pagi.Michael masih menatap layar ponselnya, membaca satu demi satu pesan masuk yang tak pernah berhenti berdatangan. Tapi fokusnya buyar saat suara lembut Sahira membisik halus di telinganya.“Apa ponselmu lebih menarik dari aku?”Pertanyaan itu terdengar manja, tapi ada nada menggoda di dalamnya. Michael menoleh. Sekejap saja, namun cukup untuk melihat tatapan jengkel sekaligus merayu dari Sahira. Tanpa banyak bicara, dia mematikan ponsel, meletakkannya di atas meja kaca dengan suara klik pelan, lalu membalikkan tubuhnya untuk menatap perempuan yang kini bersandar di lengannya.“Tentu saja tidak, sayangku,” ucap Michael pelan, suaranya berat dan penuh senyum. “Kenapa kamu manja begini seperti kucing birahi, hm?”Sahi