Pagi hari. Maxy berlari kecil menuju taman kota yang tak jauh dari rumahnya. Di tangannya, ia membawa kardus bekas mie instan yang berisi mainan mobil remot kesayangannya—hadiah dari Michael kemarin.Taman itu luas dan ramai. Anak-anak dari keluarga berada berkumpul di sana, rata-rata sebaya dengan Maxy. Mereka duduk melingkar di tanah berumput yang mulai mengering. Di tengah mereka, beberapa mobil remot canggih berlomba-lomba melaju: ada yang bisa berputar 360 derajat, ada pula yang bisa mengeluarkan suara seperti knalpot mobil sungguhan.Maxy berdiri di kejauhan, wajahnya berseri melihat mobil-mobil itu. Tapi yang paling membuatnya bersemangat adalah bayangan mobil miliknya ikut bersaing. Ia tak sabar menunjukkan betapa kerennya mainan yang ia punya.Dengan langkah percaya diri, Maxy menghampiri kelompok itu.“Hei, boleh aku ikut main?” tanyanya riang.Anak-anak itu serempak menoleh. Seorang anak laki-laki berkacamata dan mengenakan kaos bertuliskan merek luar negeri menatapnya dar
“Max, apa itu?” suara Belinda menggema pelan di telinga Maxy begitu ia mendengar langkah ibunya mendekat. Belinda berdiri di kejauhan dengan wajah kelelahan dan baju penuh debu, plastik berisi tisu tergantung di tangan kanannya. Pandangannya tertuju pada kotak besar berwarna biru metalik yang dipeluk Maxy erat-erat seperti benda paling berharga di dunia.Wajah Maxy berubah gugup. Dia tahu ibunya tidak suka menerima barang dari orang asing, apalagi jika barang itu tampak mahal seperti mainan di tangannya saat ini.Melihat ibunya mulai mempercepat langkah, Maxy langsung memutuskan menghindari pertanyaan yang mungkin akan memicu kemarahan Belinda.“Bu, aku pergi main dulu!” serunya cepat.“Max, itu—tunggu! Apa itu?!” Belinda mencoba menyusul, tapi Maxy sudah melesat seperti angin. Kakinya berlari lincah, menghindari genangan air dan melompati batu-batu kecil di trotoar.“Max, jangan lama-lama! Sebentar lagi malam!” teriak Belinda, suaranya semakin pelan tertelan hiruk-pikuk kota.“Siap,
Keesokan harinya.Di sudut trotoar pertigaan dekat halte tua, Maxy sedang duduk bersila di atas kardus tipis. Tangannya sibuk membetulkan gantungan kunci yang sempat berantakan karena beberapa orang dewasa tadi memegang seenaknya, lalu pergi tanpa membeli. Tisu-tisu yang biasa dijajakan bersama Belinda telah habis.“Maxy, tunggu di sini sebentar. Ibu mau ambil tisu lagi. Tisunya sudah habis,” ucap Belinda sebelum berlalu.“Baik, Ibu.” jawab Maxy, tetap sibuk dengan tumpukan gantungan kunci dari manik-manik bekas dan benang kasur yang ia kumpulkan dari limbah.Langkahnya tenang, wajahnya serius meski usianya baru delapan tahun. Sesekali, dia menatap lalu lalang kendaraan di seberang jalan, berharap ada satu saja yang berhenti dan membeli dagangannya.Tap! Tap! Tap!Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar mendekat. Awalnya biasa saja. Tapi ritmenya berbeda, pasti bukan langkah orang biasa yang hanya lewat, ini terlalu mantap. Maxy secara refleks menoleh ke kanan.Dan di sanalah dia ...
Beberapa menit kemudian ....Krukukukuk!Suara perut Maxy yang kelaparan terdengar begitu jelas di tengah suasana senyap sore hari. Ia buru-buru menundukkan kepala, wajahnya memerah karena malu.“Ugh!” Maxy memekik pelan, tangannya refleks memegang perutnya yang berbunyi seperti sedang memberontak.Sierra, yang duduk di sampingnya di tangga depan gedung les elit, menoleh dan langsung menahan tawa. Suara cekikikan kecil keluar dari bibir mungilnya.“Kau lapar?” tanyanya dengan nada geli, matanya membulat lucu.Maxy menggaruk rambutnya yang kusut, meski sebenarnya tidak gatal. Ia menunduk malu. “Hmm. Sedikit,” jawabnya jujur tapi ragu, mencoba menahan rasa malu yang menusuk harga dirinya.Tanpa banyak kata, Sierra membuka tas mungil warna ungu pastel miliknya yang disampirkan di bahu. Ia mengeluarkan sebuah kotak makan bergambar kuda poni. Dengan senyum manis, ia mengulurkannya ke Maxy.“Ambillah, Mommy-ku yang buat.”Maxy menatap kotak itu sejenak. Matanya berbinar, tapi dia masih ragu
Keesokan harinya.Maxy duduk bersila di lantai rumah mereka yang sempit. Di hadapannya, beberapa manik-manik kecil, tali nilon, dan lem tembak berserakan. Belinda duduk tak jauh darinya, sibuk merangkai gantungan kunci berbentuk bunga dari kain perca bekas. Tangannya cekatan, tapi wajahnya tampak lelah, garis-garis tua tergambar jelas di wajahnya meski usianya belum terlalu tua.Belinda sesekali menghembuskan napas berat, namun matanya tetap fokus.Maxy, yang biasanya ceria dan tak betah diam, kini lebih tenang. Tatapannya tajam tertuju pada jemarinya yang tengah merangkai dua manik bulat ke dalam seutas tali. Tapi pikirannya tak di sana.Belinda melirik putranya, heran karena Maxy tak mengajak Joy bermain seperti biasa.“Kau tidak main dengan Joy?” tanyanya, tanpa mengalihkan pandangan dari kerajinan tangannya.Maxy menggeleng pelan, lalu berkata lirih, “Tidak. Joy sedang ikut ayahnya pergi.”“Hmm.” gumam Belinda sambil mengangguk kecil.Keheningan menggantung di antara mereka selama
Mobil sedan hitam mengilap itu meluncur pelan di depan sebuah salon mewah di sudut kota. Michael memarkirnya dengan cermat, lalu membuka pintu dan turun dengan langkah mantap. Udara sore yang hangat menyambutnya, menyatu dengan aroma semerbak dari deretan toko perawatan tubuh yang berjejer rapi di sepanjang jalan itu.Ia berjalan cepat, sesekali melirik jam tangannya. Saat masuk ke dalam salon, suara lonceng kecil menyambutnya. Aroma rambut yang baru dicuci dan semprotan parfum ringan langsung menyeruak ke inderanya.Matanya langsung tertumbuk pada dua sosok yang tengah bercermin di depan meja rias. Sahira sedang membenarkan anting mungil berhiaskan berlian kecil di telinganya. Di sebelahnya, Sierra mengenakan gaun pesta warna ungu muda dengan pita besar di punggungnya. Kuncir kembarnya tampak rapi dan lucu, dihias jepit bintang berkilau.Michael tersenyum. Matanya memandangi mereka sejenak—dua wanita yang ia cintai lebih dari apa pun di dunia ini."Wow ... dua bidadari sedang bersina