Home / Romansa / HASRAT TAK BERNAMA / Bab 1 Misi yang Tersembunyi

Share

Bab 1 Misi yang Tersembunyi

Author: Yurami
last update Last Updated: 2025-07-06 12:14:06

Pagi itu Jakarta cerah seperti biasa. Tapi yang tidak biasa adalah kehadiran lelaki asing di ruang tamu.

“Siapa dia?” tanya Vreya tanpa menoleh, masih memutar notasi lagu di iPad-nya.

Manajernya menelan ludah gugup. “Pengawal pribadi baru. Tuan Yuan yang menugaskan.”

“Sejak kapan aku perlu dijaga?”

“Sejak paparazzi hampir menjatuhkan Anda di bandara kemarin, dan Nona Dona nyaris dibuntuti pria asing saat acara amal.”

Vreya mengangkat kepala. Matanya menyipit menatap pria tinggi berjas hitam itu. rambut tersisir rapi, wajah dingin seperti salju di kutub. Tidak tersenyum. Tidak menyapa. Hanya berdiri diam, seperti patung mahal.

“Namamu?” tanyanya pelan.

“Zayn,” jawab pria itu, datar.

“Hm.” Vreya berdiri. “Kau akan mengawalku mulai sekarang?”

“Ya.”

“Baik. Kalau begitu, dengar aturanku.”

Ia melangkah perlahan, menyentuh sisi sofa berjalan mendekati Zayn.

“Jangan ganggu waktuku bermain musik. Jangan ikut ke ruang makeup. Jangan ikut ke studio saat aku sedang rekaman. Jangan ikut ke lokasi saat aku shooting. Dan jangan pernah menginjak kamarku.”

Zayn mengangguk.

Vreya menyipitkan mata. “Tak banyak bicara, ya?”

“Tidak perlu bicara jika tidak penting.”

Dia tersenyum miring. “Bagus. Setidaknya kau tidak terlalu sok akrab seperti pengawal sebelumnya.”

Vreya melangkah pergi, menyisakan aroma parfum bunga yang sangat samar. Zayn menoleh perlahan, matanya menangkap selendang merah tergantung di sisi sofa.

Mirip... sangat mirip dengan yang dikenakan wanita itu malam itu.

Tapi tak mungkin.

Wanita itu adalah Dona.

Itu yang dikatakan orang-orang.

Dan sekarang, dia akan lebih dekat dengan Dona... lewat kakaknya.

Dia tidak tertarik pada Vreya. Dia di sini hanya untuk misi mendekati Dona.

Itu yang ia yakini.

Namun saat Vreya kembali menoleh dengan tatapan tenang, ada sesuatu dalam dirinya yang goyah—walau hanya sedetik.

Tapi Zayn terlalu sombong untuk mengakuinya.

Dan Vreya terlalu terbiasa dengan kepergian, untuk peduli.

**

“Hari ini aku akan shooting serial drama. Kau tak perlu ikut sampai dalam lokasi. Cukup tunggu di mobil, jika kau memang ingin ikut,” ucap Vreya, menyampirkan tas di bahu dengan gerakan santai namun angkuh.

Zayn menatapnya datar. “Baik. Saya akan mengantar.”

Vreya menoleh. Alisnya terangkat ringan, menantang. “Kau bisa nyetir?”

“Dengan sangat baik,” jawab Zayn, singkat dan tenang.

Tanpa bicara lebih, Zayn membuka pintu belakang mobil hitam legam milik keluarga Aditama dan mempersilakannya masuk. Gerakannya cekatan, rapi, dan hening. Tak seperti para sopir sebelumnya yang selalu mencoba mencuri perhatian atau melontarkan basa-basi murah.

Vreya duduk di kursi penumpang belakang. Menyilangkan kaki, meletakkan tas di samping, lalu menarik napas panjang.

Mobil melaju mulus, membelah pagi Jakarta yang penuh kebisingan dan ketergesaan. Langit abu-abu. Klakson bersahut-sahutan. Asap kendaraan mengendap di udara.

Tapi di dalam mobil itu—hening total.

Hanya suara mesin dan desau lembut AC.

Vreya melirik pria di balik kemudi lewat kaca tengah. Wajah itu seperti pahatan marmer—dingin, tanpa emosi. Tatapannya fokus ke jalan. Tak sekalipun ia menoleh.

“Tidak tertarik menanyakan aku shooting apa hari ini?” sindir Vreya pelan.

Zayn tetap tak menoleh. “Itu bukan bagianku.”

Vreya tersenyum tipis. “Bagus. Setidaknya kau tahu batasan.”

Ia menyandarkan kepala ke sandaran, menatap keluar jendela. Kota bergulir cepat, tapi pikirannya melambat. Entah kenapa, ada sesuatu dalam diam ini yang membuatnya... tak biasa. Seperti rasa aman yang berbalut ancaman.

Lampu merah menyala. Mobil melambat.

Dari sudut matanya, Zayn menangkap gerak tangan Vreya menunduk melalui spion tengah. ia memainkan jemarinya seolah sedang menyusun irama dalam kepala.

Ingatannya menyelinap.

Malam itu.

Tuts piano. Jemari lembut. Aroma mawar samar. Selendang merah tersampir.

Tapi itu Dona. Bukan dia. Itu yang dikatakan semua orang. Itu yang harus ia yakini.

“Nona Vreya,” ucap Zayn akhirnya, tenang.

Vreya menoleh, sedikit terkejut. Pria itu akhirnya bicara.

“Ada mobil yang menguntit kita. Sejak dua tikungan lalu,” katanya, datar.

Vreya menyipit. “Siapa?”

Zayn tak menjawab. Ia membelokkan mobil ke jalur alternatif. Kecepatannya meningkat. Dengan satu sentuhan tombol, kaca belakang menggelap otomatis.

“Kita aman sekarang,” ucapnya kemudian.

Ia menatap Vreya lewat kaca tengah. Matanya tajam, ada waspada dan... rasa ingin tahu yang tersembunyi.

“Kau punya musuh?” tanyanya.

Vreya menghela napas, menatap lurus ke depan. “Tidak. Aku tidak punya musuh.”

“Lalu siapa orang-orang itu?”

“Itu bukan urusanku.” Nada suaranya mulai meninggi. “Kau pengawalku, bukan? Harusnya kau yang cari tahu!”

Zayn menoleh sekilas, matanya menusuk. “Aku akan cari tahu. Tapi kalau kau ingin tetap hidup, berhenti berjalan sendirian tanpa pengawasan.”

Vreya menyipit. “Dan kalau aku tidak mau?”

Zayn kembali fokus ke jalan. “Maka tugasku jadi lebih sulit. Dan kau bisa terbunuh.”

Vreya mendengus. “Menarik. Ancaman pertama hari ini datang dari pengawalku sendiri.”

“Bukan ancaman.” Suara Zayn rendah dan dingin. “Itu fakta.”

Keduanya diam.

Mobil melaju tanpa suara, tapi atmosfernya seperti langit mendung yang menunggu petir pertama.

Dan ini... baru permulaan.

**

Mereka tiba di lokasi shooting, sebuah gedung tua yang telah dirombak menjadi set indoor bertema rumah sakit. Puluhan kru berlalu-lalang dengan tergesa, suara perintah saling bersahutan. Di luar pagar pembatas, beberapa fans tampak berkerumun, berharap bisa mengintip idolanya walau sekejap.

Zayn memarkirkan mobil di sisi kanan gedung. Matanya menyapu cepat area sekitar, gerakannya tenang tapi penuh kewaspadaan. Ia lalu menoleh ke arah bangunan itu dan mendengus pelan. Sudut bibirnya terangkat membentuk senyum tipis nyaris seperti meremehkan.

Ia masih belum mengerti apa hebatnya gadis itu.

Vreya Armonia.

Nama yang katanya terkenal. Tapi terdengar asing di telinganya. Tak meninggalkan jejak apa pun dalam memorinya.

Atau mungkin... memang dia yang terlalu jauh dari dunia semacam ini. Dunia glamor. Sorotan kamera. Skenario drama yang penuh kepalsuan.

Vreya menangkap tatapan pria itu, lalu membuka pintu mobil dengan cepat. "Kau tunggu di sini," ucapnya, singkat, tanpa melihat ke arahnya.

Zayn menyandarkan tubuh ke sandaran kursi. “Tapi... kalau ada apa-apa di dalam, bagaimana?”

Langkah Vreya terhenti sejenak. Ia menoleh dari balik pintu yang belum tertutup sempurna.

“Nggak akan ada apa-apa,” jawabnya ringan. “Aku nggak mau orang-orang menatapku aneh karena membawa pengawal. Aku bukan presiden.”

Zayn menatapnya lekat-lekat. Datar. “Kau bukan orang biasa juga.”

“Aku cuma aktris,” balasnya pelan. “Dan hari ini... aku hanya butuh ruang. Bukan penjaga.”

Zayn tak membalas. Hanya mengangguk singkat.

Vreya pun melangkah pergi. Rambutnya berkibar tertiup angin dari koridor masuk. Langkahnya cepat, melewati kru dan staf produksi yang menyapanya dengan anggukan hormat. Tapi mata Zayn menangkap sesuatu yang lain—Vreya sedikit menunduk. Bukan karena lelah.

Tapi seperti sedang menyembunyikan sesuatu.

Mungkin... dirinya sendiri.

Zayn kembali menatap ke arah gedung. Wajahnya tak lagi menyimpan senyum remeh.

Sorot matanya tajam. Waspada. Dan firasatnya—tak enak.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • HASRAT TAK BERNAMA   Bab 4 Dua Langkah Menuju yang Salah

    Pagi kembali dengan sinar matahari menyusup ke celah tirai kamar besar Vreya. Gadis itu membuka matanya dengan malas, tubuhnya masih lemah setelah hampir kehilangan nyawanya. Ia menoleh sekilas, menemukan secangkir teh hangat di nakas. Aromanya samar, jelas bukan buatan ibunya. Entah Riska yang membuatnya… atau mungkin pengawalnya, Zayn. Dengan langkah gontai, ia turun ke ruang makan. Rumah besar itu sunyi, terlalu sunyi. Hanya suara burung dari luar jendela yang memecah keheningan. Tak ada tanda-tanda sang ayah, Yuan Aditama, atau Dona. Sejak lama rumah ini hanya miliknya seorang—bangunan megah yang lebih sering terasa seperti penjara. “Pagi.” Suara berat itu datang dari arah pintu. Zayn berdiri rapi dengan setelan hitamnya, seolah insiden semalam tak pernah terjadi. Sorot matanya tenang, nyaris dingin. Vreya melirik sekilas. “Pagi.” sahutnya singkat. Namun, hatinya berkhianat. Bayangan kejadian semalam—saat Zayn nyaris mendobrak pintu lalu terjatuh menimpanya—masih membuat

  • HASRAT TAK BERNAMA   Bab 3 Perempuan di Balik Nada

    Pukul dua dini hari. Rumah sakit elit di pusat kota masih menyisakan aktivitas di lorong-lorongnya, meski suasana sudah jauh lebih senyap dari sebelumnya. Vreya telah sadar. Ia kini terbaring di kamar VVIP, dengan tirai tipis mengelilingi tempat tidurnya. Alat-alat medis masih terpasang di tubuhnya, menandakan betapa tipis batas yang tadi dilewatinya—antara hidup dan kematian. Di dalam ruangan, sang ibu duduk di sisi ranjang. Matanya sembab dan wajahnya pucat, tapi genggaman tangannya tetap erat menggenggam tangan putrinya. Seolah rasa bersalahnya tidak akan pernah bisa ditebus hanya dengan kata maaf. "Maafin Mama, sayang..." ucapnya pelan. Suaranya pecah, Vreya belum bisa menjawab. Hanya kelipan pelan dari matanya yang menjadi isyarat bahwa ia mendengar. Di luar ruangan, Zayn berdiri tegak. Diam. Tatapannya tertuju lurus, sorot matanya dingin, penuh kalkulasi. Beberapa menit kemudian, pintu kamar terbuka. Bella melangkah keluar, menyeka air mata dengan tisu. Ia sempat mena

  • HASRAT TAK BERNAMA   Bab 2 Di Balik Gaun dan Racun

    Lokasi shooting sore itu masih ramai. Kru lalu-lalang di antara kabel, lampu, dan properti medis palsu. Hawa lembap dari gedung tua itu bercampur dengan aroma makanan cepat saji yang dibawa para kru. Di sudut ruang istirahat, Vreya duduk diam. Pandangannya kosong menatap naskah di pangkuan. Riska, sang manajer, datang membawa sebuah kotak makan berhiaskan pita merah. “Ini makanan untuk kamu, Vre. Dari fans,” katanya sambil tersenyum kecil. Di kotak itu, tertempel kartu kecil bertuliskan "Untuk Vreya, semangat ya shootingnya! Dari pengagummu." “Letakkan saja di situ. Aku sedang tidak nafsu makan,” ucap Vreya tanpa menoleh. Riska menghela napas, menaruh kotak itu di meja kecil. “Tapi... kamu harus makan. Makanan yang sudah disediakan kamu juga nggak sentuh dari tadi siang. Sekarang udah sore, Vre. Kamu masih ada scene lagi nanti.” Diam. “Fans kamu bakal sedih, lho, kalau tahu kamu nggak makan kiriman mereka.” Kalimat itu berhasil membuat Vreya menoleh, walau lelah tampak j

  • HASRAT TAK BERNAMA   Bab 1 Misi yang Tersembunyi

    Pagi itu Jakarta cerah seperti biasa. Tapi yang tidak biasa adalah kehadiran lelaki asing di ruang tamu. “Siapa dia?” tanya Vreya tanpa menoleh, masih memutar notasi lagu di iPad-nya. Manajernya menelan ludah gugup. “Pengawal pribadi baru. Tuan Yuan yang menugaskan.” “Sejak kapan aku perlu dijaga?” “Sejak paparazzi hampir menjatuhkan Anda di bandara kemarin, dan Nona Dona nyaris dibuntuti pria asing saat acara amal.” Vreya mengangkat kepala. Matanya menyipit menatap pria tinggi berjas hitam itu. rambut tersisir rapi, wajah dingin seperti salju di kutub. Tidak tersenyum. Tidak menyapa. Hanya berdiri diam, seperti patung mahal. “Namamu?” tanyanya pelan. “Zayn,” jawab pria itu, datar. “Hm.” Vreya berdiri. “Kau akan mengawalku mulai sekarang?” “Ya.” “Baik. Kalau begitu, dengar aturanku.” Ia melangkah perlahan, menyentuh sisi sofa berjalan mendekati Zayn. “Jangan ganggu waktuku bermain musik. Jangan ikut ke ruang makeup. Jangan ikut ke studio saat aku sedang rekaman

  • HASRAT TAK BERNAMA   PROLOG

    30 tahun lalu Hujan turun rintik-rintik, membasahi halaman belakang rumah sakit bersalin tempat dua sahabat duduk berdampingan. Di pangkuan mereka, dua bayi mungil yang baru saja membuka mata pada dunia. “Aku ingin... kelak saat mereka dewasa, kita jodohkan mereka,” ucap Caitlin pelan, mengusap pipi bayinya dengan penuh kasih. Bella tersenyum, menggenggam tangan sahabatnya. “Kalau begitu, janji. Kita jodohkan mereka.” Dua tangan terikat. Dua hati sepakat. Namun takdir jarang berjalan lurus. Sepuluh bulan kemudian, Caitlin pergi ke Amerika mengikuti suaminya. Janji itu tertinggal dalam hening. Terkubur waktu dan jarak. Kini Lagu klasik mengalun dari jari jemari seorang wanita berselendang merah darah. Panggung megah dipenuhi hadirin kelas atas, tapi hanya satu pria yang terpaku. Zayn. Mata elangnya tak beranjak dari punggung sang pianis. Ia tak tahu siapa wanita itu—wajahnya tersembunyi. Tapi cara dia menyentuh tuts piano… membuat hatinya bergetar untuk pe

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status