LOGINPagi itu Jakarta cerah seperti biasa. Tapi yang tidak biasa adalah kehadiran lelaki asing di ruang tamu.
“Siapa dia?” tanya Vreya tanpa menoleh, masih memutar notasi lagu di iPad-nya. Manajernya menelan ludah gugup. “Pengawal pribadi baru. Tuan Yuan yang menugaskan.” “Sejak kapan aku perlu dijaga?” “Sejak paparazzi hampir menjatuhkan Anda di bandara kemarin, dan Nona Dona nyaris dibuntuti pria asing saat acara amal.” Vreya mengangkat kepala. Matanya menyipit menatap pria tinggi berjas hitam itu. rambut tersisir rapi, wajah dingin seperti salju di kutub. Tidak tersenyum. Tidak menyapa. Hanya berdiri diam, seperti patung mahal. “Namamu?” tanyanya pelan. “Zayn,” jawab pria itu, datar. “Hm.” Vreya berdiri. “Kau akan mengawalku mulai sekarang?” “Ya.” “Baik. Kalau begitu, dengar aturanku.” Ia melangkah perlahan, menyentuh sisi sofa berjalan mendekati Zayn. “Jangan ganggu waktuku bermain musik. Jangan ikut ke ruang makeup. Jangan ikut ke studio saat aku sedang rekaman. Jangan ikut ke lokasi saat aku shooting. Dan jangan pernah menginjak kamarku.” Zayn mengangguk. Vreya menyipitkan mata. “Tak banyak bicara, ya?” “Tidak perlu bicara jika tidak penting.” Dia tersenyum miring. “Bagus. Setidaknya kau tidak terlalu sok akrab seperti pengawal sebelumnya.” Vreya melangkah pergi, menyisakan aroma parfum bunga yang sangat samar. Zayn menoleh perlahan, matanya menangkap selendang merah tergantung di sisi sofa. Mirip... sangat mirip dengan yang dikenakan wanita itu malam itu. Tapi tak mungkin. Wanita itu adalah Dona. Itu yang dikatakan orang-orang. Dan sekarang, dia akan lebih dekat dengan Dona... lewat kakaknya. Dia tidak tertarik pada Vreya. Dia di sini hanya untuk misi mendekati Dona. Itu yang ia yakini. Namun saat Vreya kembali menoleh dengan tatapan tenang, ada sesuatu dalam dirinya yang goyah—walau hanya sedetik. Tapi Zayn terlalu sombong untuk mengakuinya. Dan Vreya terlalu terbiasa dengan kepergian, untuk peduli. ** “Hari ini aku akan shooting serial drama. Kau tak perlu ikut sampai dalam lokasi. Cukup tunggu di mobil, jika kau memang ingin ikut,” ucap Vreya, menyampirkan tas di bahu dengan gerakan santai namun angkuh. Zayn menatapnya datar. “Baik. Saya akan mengantar.” Vreya menoleh. Alisnya terangkat ringan, menantang. “Kau bisa nyetir?” “Dengan sangat baik,” jawab Zayn, singkat dan tenang. Tanpa bicara lebih, Zayn membuka pintu belakang mobil hitam legam milik keluarga Aditama dan mempersilakannya masuk. Gerakannya cekatan, rapi, dan hening. Tak seperti para sopir sebelumnya yang selalu mencoba mencuri perhatian atau melontarkan basa-basi murah. Vreya duduk di kursi penumpang belakang. Menyilangkan kaki, meletakkan tas di samping, lalu menarik napas panjang. Mobil melaju mulus, membelah pagi Jakarta yang penuh kebisingan dan ketergesaan. Langit abu-abu. Klakson bersahut-sahutan. Asap kendaraan mengendap di udara. Tapi di dalam mobil itu—hening total. Hanya suara mesin dan desau lembut AC. Vreya melirik pria di balik kemudi lewat kaca tengah. Wajah itu seperti pahatan marmer—dingin, tanpa emosi. Tatapannya fokus ke jalan. Tak sekalipun ia menoleh. “Tidak tertarik menanyakan aku shooting apa hari ini?” sindir Vreya pelan. Zayn tetap tak menoleh. “Itu bukan bagianku.” Vreya tersenyum tipis. “Bagus. Setidaknya kau tahu batasan.” Ia menyandarkan kepala ke sandaran, menatap keluar jendela. Kota bergulir cepat, tapi pikirannya melambat. Entah kenapa, ada sesuatu dalam diam ini yang membuatnya... tak biasa. Seperti rasa aman yang berbalut ancaman. Lampu merah menyala. Mobil melambat. Dari sudut matanya, Zayn menangkap gerak tangan Vreya menunduk melalui spion tengah. ia memainkan jemarinya seolah sedang menyusun irama dalam kepala. Ingatannya menyelinap. Malam itu. Tuts piano. Jemari lembut. Aroma mawar samar. Selendang merah tersampir. Tapi itu Dona. Bukan dia. Itu yang dikatakan semua orang. Itu yang harus ia yakini. “Nona Vreya,” ucap Zayn akhirnya, tenang. Vreya menoleh, sedikit terkejut. Pria itu akhirnya bicara. “Ada mobil yang menguntit kita. Sejak dua tikungan lalu,” katanya, datar. Vreya menyipit. “Siapa?” Zayn tak menjawab. Ia membelokkan mobil ke jalur alternatif. Kecepatannya meningkat. Dengan satu sentuhan tombol, kaca belakang menggelap otomatis. “Kita aman sekarang,” ucapnya kemudian. Ia menatap Vreya lewat kaca tengah. Matanya tajam, ada waspada dan... rasa ingin tahu yang tersembunyi. “Kau punya musuh?” tanyanya. Vreya menghela napas, menatap lurus ke depan. “Tidak. Aku tidak punya musuh.” “Lalu siapa orang-orang itu?” “Itu bukan urusanku.” Nada suaranya mulai meninggi. “Kau pengawalku, bukan? Harusnya kau yang cari tahu!” Zayn menoleh sekilas, matanya menusuk. “Aku akan cari tahu. Tapi kalau kau ingin tetap hidup, berhenti berjalan sendirian tanpa pengawasan.” Vreya menyipit. “Dan kalau aku tidak mau?” Zayn kembali fokus ke jalan. “Maka tugasku jadi lebih sulit. Dan kau bisa terbunuh.” Vreya mendengus. “Menarik. Ancaman pertama hari ini datang dari pengawalku sendiri.” “Bukan ancaman.” Suara Zayn rendah dan dingin. “Itu fakta.” Keduanya diam. Mobil melaju tanpa suara, tapi atmosfernya seperti langit mendung yang menunggu petir pertama. Dan ini... baru permulaan. ** Mereka tiba di lokasi shooting, sebuah gedung tua yang telah dirombak menjadi set indoor bertema rumah sakit. Puluhan kru berlalu-lalang dengan tergesa, suara perintah saling bersahutan. Di luar pagar pembatas, beberapa fans tampak berkerumun, berharap bisa mengintip idolanya walau sekejap. Zayn memarkirkan mobil di sisi kanan gedung. Matanya menyapu cepat area sekitar, gerakannya tenang tapi penuh kewaspadaan. Ia lalu menoleh ke arah bangunan itu dan mendengus pelan. Sudut bibirnya terangkat membentuk senyum tipis nyaris seperti meremehkan. Ia masih belum mengerti apa hebatnya gadis itu. Vreya Armonia. Nama yang katanya terkenal. Tapi terdengar asing di telinganya. Tak meninggalkan jejak apa pun dalam memorinya. Atau mungkin... memang dia yang terlalu jauh dari dunia semacam ini. Dunia glamor. Sorotan kamera. Skenario drama yang penuh kepalsuan. Vreya menangkap tatapan pria itu, lalu membuka pintu mobil dengan cepat. "Kau tunggu di sini," ucapnya, singkat, tanpa melihat ke arahnya. Zayn menyandarkan tubuh ke sandaran kursi. “Tapi... kalau ada apa-apa di dalam, bagaimana?” Langkah Vreya terhenti sejenak. Ia menoleh dari balik pintu yang belum tertutup sempurna. “Nggak akan ada apa-apa,” jawabnya ringan. “Aku nggak mau orang-orang menatapku aneh karena membawa pengawal. Aku bukan presiden.” Zayn menatapnya lekat-lekat. Datar. “Kau bukan orang biasa juga.” “Aku cuma aktris,” balasnya pelan. “Dan hari ini... aku hanya butuh ruang. Bukan penjaga.” Zayn tak membalas. Hanya mengangguk singkat. Vreya pun melangkah pergi. Rambutnya berkibar tertiup angin dari koridor masuk. Langkahnya cepat, melewati kru dan staf produksi yang menyapanya dengan anggukan hormat. Tapi mata Zayn menangkap sesuatu yang lain—Vreya sedikit menunduk. Bukan karena lelah. Tapi seperti sedang menyembunyikan sesuatu. Mungkin... dirinya sendiri. Zayn kembali menatap ke arah gedung. Wajahnya tak lagi menyimpan senyum remeh. Sorot matanya tajam. Waspada. Dan firasatnya—tak enak.Angin malam menghantam wajah Zayn saat motornya melaju cepat menerobos jalanan kota. Cahaya lampu jalan memantul di visor helmnya, sementara pikirannya penuh oleh satu gambar yang terus berputar di kepala. Tangan Zayn menggenggam setang begitu kuat hingga terasa kaku. Ia memaksa napasnya tetap stabil, tapi amarah yang tadi hanya bara, kini menjelma badai yang mengoyak dadanya. Di tengah fokus itu, ponselnya bergetar di saku jaket. Dona. Zayn mendiamkannya. Namun panggilan itu masuk lagi—dan lagi. Akhirnya, di persimpangan lampu merah, ia menghentikan motor dan menggeser helmnya sedikit untuk menjawab. “Kenapa?” suaranya datar dan dingin. Dona terdengar manis di seberang, terlalu manis untuk jam segini. “Zayn… kamu lagi di mana? Bisa lihat video yang aku kirim barusan?” Zayn melirik layarnya. Sebuah video berdurasi tiga menit. “Aku lagi di jalan,” jawabnya pendek. “Nanti saja.” “Tapi… tolong lihat sekarang,” ucap Dona, suaranya lembut tapi mendesak. “Video itu… aku b
Mobil hitam yang membawa Zayn berhenti bukan di depan rumah, melainkan di ujung jalan besar menuju kediaman Vreya. Ia memang menjaga agar kehadirannya tidak mencolok—tak seorang pun boleh tahu siapa dirinya sebenarnya. “Turunkan di sini,” ucap Zayn datar. “Siap, Tuan,” jawab anak buahnya sebelum melajukan mobil menjauh. Zayn berdiri di pinggir jalan, merasakan malam yang lembap menyentuh kulitnya. Ia menarik napas pelan lalu merapikan kembali pakaian pengawal yang ia kenakan—menyembunyikan identitas, menyembunyikan segala hal yang tidak boleh terlihat. Ia lalu berjalan masuk ke gang besar itu. Tanpa ia sadari… sepasang mata mengikutinya dari jauh. Bimo. Ia berdiri di balik motor yang terparkir miring, helm masih menutupi sebagian wajahnya. Mata gelap itu mengikuti langkah Zayn tanpa berkedip. “Dia diantar mobil…?” gumamnya pelan. Bimo mengeluarkan ponselnya, jari-jarinya siap mengabadikan apa pun yang bisa jadi bukti, apa pun yang bisa ia laporkan pada Dona. ** Di depan
Vreya melangkah melewati Zayn tanpa bicara, lalu duduk di ujung sofa—menyisakan jarak. Zayn menatap, mencoba membaca ekspresi yang Vreya sembunyikan. “Iya, saya khawatir.” sahut Zayn akhirnya. Vreya menegakkan bahu. "Apa yang harus kamu khawatirkan? Kamu bukan pengawalku lagi. “Saya masih pengawal kamu." Vreya terkekeh, "Kamu tidak punya malu sama sekali. Masih beranggapan kamu adalah pengawalku? Maaf Zayn, tapi aku tidak mau berbagi dengannya, sekalipun itu pengawal!" Zayn menahan napas. Kalimat itu menusuk lebih dalam daripada yang ingin ia akui. “Berbagi?” ia mengulang pelan. “Saya tidak—” “Tidak apa? Jelas-jelas semalam kamu lebih memilih menjaga dia dibanding saya!" Vreya memotong cepat. Nada itu terdengar dingin. “Vreya, bukan seperti itu—” “Tidak perlu ada penjelasan apapun Zayn, saat ini saya ingin sendiri. Dan kembalilah kesana. Karena dari awal saya tidak pernah butuh pengawalan!" Zayn mengepalkan tangan. Ia ingin menyangkal, tapi kata-katanya terasa terlalu
Pagi menembus jendela kamar Vreya lewat celah tirai. Cahaya tipis menyentuh pipinya yang membengkak, memperjelas garis luka merah yang tertinggal dari pecahan kaca semalam. Ia berdiri di depan cermin, wajahnya tampak lebih pucat dari biasanya. Tanpa riasan, tanpa panggung yang menutupi rapuhnya. Hanya seorang Vreya yang sedang sakit di luar dan di dalam. Acel muncul di ambang pintu tanpa mengetuk. “Gimana? Lo udah enakan?” “Enggak,” jawab Vreya pelan. Acel terdiam. Ia mendekat, mengoleskan salep perlahan. “Untung gue yang anter lo semalam. Padahal Gino udah ngarep banget bisa berduaan sama lo." Vreya tertawa pendek. “Gino langsung balik?" Acel mengangguk. "Yaa, begitu lo nyuruh dia pulang, dia langsung pulang." Vreya mengangguk, tersenyum simpul. Sedangkan Di rumah Dona, Zayn baru saja turun dari kamar tamu. Kepalanya berat, bukan karena minuman, ia tidak minum sama sekali—tapi karena kejadian semalam. Ciuman itu. Ciuman singkat yang dengan tiba-tiba membuat Zayn
Udara malam menyergap dingin ketika Vreya melangkah cepat keluar dari rumah itu. Hak sepatunya beradu dengan lantai marmer hingga menembus halaman yang luas. Ia tak menoleh lagi, hanya ingin segera meninggalkan segala kepalsuan yang menyelimuti meja makan tadi.Namun begitu sampai di area parkir, langkahnya terhenti. Dari belakang, suara sepatu berat terdengar menyusul. Vreya menoleh, dan mendapati Zayn berdiri tak jauh di belakangnya.“Kenapa menyusulku?” suaranya tajam.Zayn menatapnya singkat, wajahnya tetap datar. “Nona Dona memerintah saya untuk mengajak Nona Vreya juga.”Vreya terkekeh hambar, tawanya tipis namun menyayat. “Tidak perlu!”Ia membuka pintu mobil dengan kasar, lalu menatap Zayn dengan sorot penuh amarah. “Kamu tidak perlu balik ke rumahku!”Zayn menahan napas, rahangnya mengeras. Ia tidak langsung menjawab, hanya menatap Vreya yang bergetar menahan emosinya. Pandangan itu seolah ingin mengatakan sesuatu—namun mulutnya terkunci.Tak lama mobil itu melaju dengan kece
Mobil hitam itu berhenti tepat di depan gerbang megah kediaman Yuan Aditama. Vreya menarik napas panjang, menatap rumah yang dulu pernah ia tinggali—tempat yang kini tak lagi menyimpan rasa nyaman baginya. Zayn turun lebih dulu, lalu membukakan pintu untuknya tanpa sepatah kata.Tak ada Riska kali ini. Hanya dia… dan pria asing yang entah mengapa selalu hadir di tiap langkah penting hidupnya.Langkah Vreya memasuki halaman terasa berat. Namun sebelum sempat ia mengetuk, daun pintu sudah terbuka dari dalam. Sosok seorang wanita anggun dengan senyum yang tampak dibuat-buat berdiri di ambang.“Vreya… akhirnya kau datang juga.” nada suara itu terdengar ramah, tapi dingin berbalut kepalsuan. Dialah Citra, istri kedua Yuan Aditama—wanita yang dulu merebut posisinya sebagai ibu rumah tangga sah di rumah ini.Vreya mengangguk datar, tanpa menanggapi basa-basi.“Masuklah, sayang. Ayahmu sudah menunggu di ruang makan.”Tatapan Citra sekilas bergeser pada Zayn yang berdiri tegap di belakang Vrey







