Home / Romansa / HASRAT TAK BERNAMA / Bab 2 Di Balik Gaun dan Racun

Share

Bab 2 Di Balik Gaun dan Racun

Author: Yurami
last update Last Updated: 2025-07-07 18:03:40

Lokasi shooting sore itu masih ramai. Kru lalu-lalang di antara kabel, lampu, dan properti medis palsu. Hawa lembap dari gedung tua itu bercampur dengan aroma makanan cepat saji yang dibawa para kru.

Di sudut ruang istirahat, Vreya duduk diam. Pandangannya kosong menatap naskah di pangkuan. Riska, sang manajer, datang membawa sebuah kotak makan berhiaskan pita merah.

“Ini makanan untuk kamu, Vre. Dari fans,” katanya sambil tersenyum kecil. Di kotak itu, tertempel kartu kecil bertuliskan "Untuk Vreya, semangat ya shootingnya! Dari pengagummu."

“Letakkan saja di situ. Aku sedang tidak nafsu makan,” ucap Vreya tanpa menoleh.

Riska menghela napas, menaruh kotak itu di meja kecil. “Tapi... kamu harus makan. Makanan yang sudah disediakan kamu juga nggak sentuh dari tadi siang. Sekarang udah sore, Vre. Kamu masih ada scene lagi nanti.”

Diam.

“Fans kamu bakal sedih, lho, kalau tahu kamu nggak makan kiriman mereka.”

Kalimat itu berhasil membuat Vreya menoleh, walau lelah tampak jelas di wajahnya. “Baiklah. Aku makan, tapi cuma dua suapan.”

Riska tersenyum lega dan segera membuka kotak makan itu. Makanan ala restoran Jepang tertata cantik di dalamnya. Sushi, salad, dan ayam karage mini yang menggoda. Tak tampak ada yang aneh.

Vreya mengambil sumpit. Suapan pertama terasa hambar. Suapan kedua... perutnya langsung terasa mual.

Detik berikutnya, tubuh Vreya limbung. Sumpit jatuh dari tangan. Napasnya tercekat. Matanya membelalak, dan tiba-tiba—blugh!—ia terjatuh ke lantai.

“Vreya!” Riska berteriak panik, membungkuk cepat.

Beberapa kru yang mendengar teriakan itu langsung berlari ke arah mereka. Mulut Vreya mulai berbusa. Tubuhnya menggigil ringan.

“Ada apa?!”

“Cepat panggil bantuan!”

Namun saat seorang kru mengeluarkan ponsel dan bersiap menelepon ambulans, Riska buru-buru menghalangi. “Jangan hubungi ambulans!”

“Kenapa?! Dia butuh pertolongan cepat!” seru salah satu kru laki-laki.

Riska menahan air mata. “Maaf saya tidak bisa beri alasan...”

Kru itu kebingungan.

Tangan Riska gemetar saat ia mengambil ponselnya. Ia menekan satu kontak—Zayn.

“Angkat... angkat, tolong...” ucapnya panik.

Begitu tersambung, suaranya langsung meledak, “Zayn! Cepat ke ruang istirahat! Vreya... dia—dia keracunan atau semacamnya! Tapi tolong, jangan pakai ambulans... kamu ngerti, kan?!”

Tak butuh waktu lama, Zayn muncul di ambang pintu ruang istirahat. Matanya menyapu cepat ke arah Vreya yang sudah terkulai lemah di lantai. Tanpa banyak bicara, ia segera berjongkok dan memeriksa denyut nadi di pergelangan tangan Vreya.

"Mulutnya berbusa. Dia baru makan makanan kiriman fans," suara Riska tercekat, hampir menangis.

Zayn mengangguk cepat. "Bantu buka jalan!" serunya pada para kru yang mulai panik di sekitar.

Dalam satu gerakan cekatan, Zayn mengangkat tubuh Vreya ke dalam gendongan. Riska buru-buru mengambil tas dan ponsel, lalu mengikuti dari belakang.

Hanya butuh hitungan menit, mobil Zayn melaju keluar dari area parkir dengan kecepatan tinggi. Riska duduk di bangku belakang, memegangi kepala Vreya yang bersandar lemah di pangkuannya.

“Ke RSA sekarang!” seru Riska panik.

Zayn menggertakkan gigi. “Jarak ke RSA cukup jauh. Kita harus cari alternatif!”

“RSA satu-satunya tempat aman. Kita gak bisa bawa dia ke rumah sakit umum. Bisa bahaya kalau media tahu dia anaknya Pak Yuan!”

Mobil mengebut menembus kemacetan senja. Klakson bersahutan, tapi Zayn tak peduli. Wajahnya tegang, matanya fokus.

"Percepat mobilnya!!" Riska berteriak histeris saat tubuh Vreya mulai kejang ringan.

Zayn membelok tajam di tikungan, lalu menyalakan sirine darurat yang tersembunyi di dasbor. Tak ada waktu untuk ragu. Tidak untuk putri Aditama.

“Bertahanlah, Vreya…” gumamnya pelan.

Dua puluh menit berlalu seperti berkejaran dengan malaikat maut.

Begitu mobil Zayn berhenti di area belakang RSA (Rumah Sakit Aditama) rumah sakit milik keluarga Aditama. beberapa petugas medis berseragam abu segera menyambut dengan tandu. Tanpa prosedur pendaftaran, tanpa pertanyaan.

Zayn mengangkat Vreya dari jok belakang dan membaringkannya di tandu “Dia keracunan. Dua puluh menit lalu. Tanda-tanda: kejang ringan, mulut berbusa, tekanan jantung melemah!”

Dokter wanita paruh baya yang menyambut—dr. Nadiya, kepala medis pribadi keluarga Aditama mengerutkan alis saat memeriksa denyut nadi Vreya. “Saturasinya turun drastis. Kenapa baru dibawa sekarang?! Sedikit lagi dia bisa mati!”

Riska tercekat. “Kami nggak bisa bawa dia ke RS umum lain dok!"

“Saya butuh tahu apa yang dia makan! Jenis apa, takaran berapa?!” seru dr. Nadiya.

Riska buru-buru membuka ponselnya, memperlihatkan foto makanan yang sempat ia potret. “Ini! Ini dari fans-nya. Dia baru makan dua suapan.”

Tim medis segera bergerak cepat. Vreya didorong masuk ke ruang isolasi racun. Pintu otomatis tertutup di belakang mereka.

Riska jatuh terduduk di kursi ruang tunggu. Napasnya tersengal. Lalu ia mengeluarkan ponsel dan menekan satu nama: Bunda Bella.

“Nak Vreya kenapa, Riska?!” suara Bella panik setelah mengangkat. Suaranya serak.

“Bu... Vreya keracunan.. Sekarang di RSA. Kondisinya kritis. Cepat ke sini…”

Sambungan putus. Riska lanjut menelepon nomor lain: Tuan Yuan Aditama.

Nada tunggu. Tak ada jawaban.

Riska menahan tangis. Tangan gemetar. Jantungnya serasa di tenggorokan.

Tanpa pikir panjang, ia tekan satu nama terakhir: Dona.

“Hallo?”

“Nona Dona… cepat ke RSA. Ini soal Vreya. Dia kritis!”

Sambungan putus. Dona langsung mengambil kemeja untuk double pakaiannya, dan mengenakan celana panjang lebar. ia segera memesan taksi online.

Di lorong ruang gawat darurat RSA, Zayn berdiri bersandar di dinding, kedua tangannya bersilang di dada. Matanya tajam menatap pintu ruang isolasi, wajahnya tetap dingin, tapi sorotnya menyimpan badai.

Langkah tergesa terdengar dari ujung lorong.

Dona.

Helaan napasnya berat. Keringat dingin membasahi pelipis meski AC rumah sakit menyala kencang. Matanya menyapu seisi lorong… lalu berhenti tepat pada satu sosok pria tinggi berseragam hitam, dengan tatapan tajam dan rahang mengeras.

Zayn.

Dan saat mata mereka bertemu waktu seolah berhenti.

Untuk sepersekian detik… dunia mereka menyempit. Tak ada suara. Hanya dua pasang mata yang saling menatap dengan rasa tak terdefinisikan.

Dona menelan ludah. Jantungnya berdentum pelan.

Sementara Zayn, dia mematung menatap mata Dona, wanita yang membuatnya jatuh cinta.

"Siapa?" tanya Dona pada Zayn.

"Zayn, pengawal pribadi Nona Vreya," jawabnya singkat. Tatapannya lurus tak berkedip memandangi Dona.

Dona mengangguk pelan. "Bagaimana keadaan Kak Vreya sekarang?"

Langkah cepat terdengar menghampiri. Riska datang dengan wajah pucat dan mata sembab. "Masih dalam penanganan dokter," ucapnya pelan, penuh rasa bersalah.

"Kenapa dia bisa sampai keracunan?" tanya Dona, namun di wajahnya tidak terlihat secuil pun kepanikan. Tatapannya tetap datar, dingin.

Riska menunduk dalam. "Ada seseorang yang mengirimkan makanan, mengatasnamakan fans. Saya... saya yang membujuk Nona Vreya untuk mencicipinya. Dia belum makan sejak siang tadi, dan saya pikir itu aman..." Ia menarik napas. "Saya menyesal. Ini semua salah saya."

Dona menatap Riska lama, lalu menarik napas panjang. "Semoga Kak Vreya lekas pulih," ucapnya datar. Tatapannya kemudian berpindah ke Zayn, kali ini dengan sorot berbeda. "saya nggak bisa lama di sini. Ada keperluan mendesak. Kamu bisa antar saya?"

Zayn melirik Riska sejenak, meminta konfirmasi tanpa kata. Riska hanya mengangguk pelan.

"Baik," jawab Zayn akhirnya.

**

Di dalam mobil, Dona duduk tenang. Jemarinya sibuk mengetik di layar ponsel. Senyum tipis mengulas bibirnya, seperti tak ada yang baru saja terjadi.

Zayn meliriknya lewat kaca spion tengah. Matanya sempat memicing. Bagaimana bisa seseorang begitu tenang, setelah melihat saudaranya tergeletak karena keracunan?

Menangkap tatapan itu, Dona menegakkan duduknya. Tatapannya beradu dengan mata Zayn di kaca spion.

"Apa liat-liat?" tanyanya santai. "Fokus ke jalan. Nggak lucu kalau kamu yang nyusul masuk UGD."

Zayn langsung mengalihkan pandangan. Rahangnya mengeras. Ada sesuatu tentang Dona yang mengganggu pikirannya… dan itu membuatnya tidak nyaman.

"Kita ke arah mana?" tanyanya kemudian.

"Hotel," sahut Dona mantap.

Dona mulai membuka kancing atas kemejanya.

"Lihat ke depan. Jangan sampai kamu ngintip saya. Saya mau ganti pakaian."

Zayn menelan ludah, matanya langsung kembali ke jalan. Tangannya mencengkeram setir lebih kuat dari sebelumnya.

Sesampainya di hotel, Zayn segera turun, membukakan pintu untuknya.

Dona melangkah keluar. Kali ini ia sudah berganti pakaian. sebuah dress elegan, namun potongannya terbuka di bagian dada. Cukup untuk membuat Zayn memalingkan wajah secara refleks.

"Tak perlu ikut. Kamu bisa balik ke rumah sakit. Toh kamu pengawalnya Vreya, bukan aku," ucap Dona ringan.

Zayn tetap berdiri di tempatnya. "Nona Vreya dan Nona Dona adalah tanggung jawab saya."

Dona tersenyum. Tapi bukan senyum biasa, ada sesuatu yang licin di balik lengkung bibirnya. Ia mendekat, begitu dekat hingga napasnya menyapu kulit Zayn.

"Kamu..." suaranya sedikit menggoda. "mau menonton saya dengan lelaki lain malam ini?"

Zayn tetap diam. Tak bergerak. Tapi matanya sekilas menunjukkan pergolakan yang dalam. ia tak menyangka Dona akan bertindak seperti ini.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • HASRAT TAK BERNAMA   Bab 4 Dua Langkah Menuju yang Salah

    Pagi kembali dengan sinar matahari menyusup ke celah tirai kamar besar Vreya. Gadis itu membuka matanya dengan malas, tubuhnya masih lemah setelah hampir kehilangan nyawanya. Ia menoleh sekilas, menemukan secangkir teh hangat di nakas. Aromanya samar, jelas bukan buatan ibunya. Entah Riska yang membuatnya… atau mungkin pengawalnya, Zayn. Dengan langkah gontai, ia turun ke ruang makan. Rumah besar itu sunyi, terlalu sunyi. Hanya suara burung dari luar jendela yang memecah keheningan. Tak ada tanda-tanda sang ayah, Yuan Aditama, atau Dona. Sejak lama rumah ini hanya miliknya seorang—bangunan megah yang lebih sering terasa seperti penjara. “Pagi.” Suara berat itu datang dari arah pintu. Zayn berdiri rapi dengan setelan hitamnya, seolah insiden semalam tak pernah terjadi. Sorot matanya tenang, nyaris dingin. Vreya melirik sekilas. “Pagi.” sahutnya singkat. Namun, hatinya berkhianat. Bayangan kejadian semalam—saat Zayn nyaris mendobrak pintu lalu terjatuh menimpanya—masih membuat

  • HASRAT TAK BERNAMA   Bab 3 Perempuan di Balik Nada

    Pukul dua dini hari. Rumah sakit elit di pusat kota masih menyisakan aktivitas di lorong-lorongnya, meski suasana sudah jauh lebih senyap dari sebelumnya. Vreya telah sadar. Ia kini terbaring di kamar VVIP, dengan tirai tipis mengelilingi tempat tidurnya. Alat-alat medis masih terpasang di tubuhnya, menandakan betapa tipis batas yang tadi dilewatinya—antara hidup dan kematian. Di dalam ruangan, sang ibu duduk di sisi ranjang. Matanya sembab dan wajahnya pucat, tapi genggaman tangannya tetap erat menggenggam tangan putrinya. Seolah rasa bersalahnya tidak akan pernah bisa ditebus hanya dengan kata maaf. "Maafin Mama, sayang..." ucapnya pelan. Suaranya pecah, Vreya belum bisa menjawab. Hanya kelipan pelan dari matanya yang menjadi isyarat bahwa ia mendengar. Di luar ruangan, Zayn berdiri tegak. Diam. Tatapannya tertuju lurus, sorot matanya dingin, penuh kalkulasi. Beberapa menit kemudian, pintu kamar terbuka. Bella melangkah keluar, menyeka air mata dengan tisu. Ia sempat mena

  • HASRAT TAK BERNAMA   Bab 2 Di Balik Gaun dan Racun

    Lokasi shooting sore itu masih ramai. Kru lalu-lalang di antara kabel, lampu, dan properti medis palsu. Hawa lembap dari gedung tua itu bercampur dengan aroma makanan cepat saji yang dibawa para kru. Di sudut ruang istirahat, Vreya duduk diam. Pandangannya kosong menatap naskah di pangkuan. Riska, sang manajer, datang membawa sebuah kotak makan berhiaskan pita merah. “Ini makanan untuk kamu, Vre. Dari fans,” katanya sambil tersenyum kecil. Di kotak itu, tertempel kartu kecil bertuliskan "Untuk Vreya, semangat ya shootingnya! Dari pengagummu." “Letakkan saja di situ. Aku sedang tidak nafsu makan,” ucap Vreya tanpa menoleh. Riska menghela napas, menaruh kotak itu di meja kecil. “Tapi... kamu harus makan. Makanan yang sudah disediakan kamu juga nggak sentuh dari tadi siang. Sekarang udah sore, Vre. Kamu masih ada scene lagi nanti.” Diam. “Fans kamu bakal sedih, lho, kalau tahu kamu nggak makan kiriman mereka.” Kalimat itu berhasil membuat Vreya menoleh, walau lelah tampak j

  • HASRAT TAK BERNAMA   Bab 1 Misi yang Tersembunyi

    Pagi itu Jakarta cerah seperti biasa. Tapi yang tidak biasa adalah kehadiran lelaki asing di ruang tamu. “Siapa dia?” tanya Vreya tanpa menoleh, masih memutar notasi lagu di iPad-nya. Manajernya menelan ludah gugup. “Pengawal pribadi baru. Tuan Yuan yang menugaskan.” “Sejak kapan aku perlu dijaga?” “Sejak paparazzi hampir menjatuhkan Anda di bandara kemarin, dan Nona Dona nyaris dibuntuti pria asing saat acara amal.” Vreya mengangkat kepala. Matanya menyipit menatap pria tinggi berjas hitam itu. rambut tersisir rapi, wajah dingin seperti salju di kutub. Tidak tersenyum. Tidak menyapa. Hanya berdiri diam, seperti patung mahal. “Namamu?” tanyanya pelan. “Zayn,” jawab pria itu, datar. “Hm.” Vreya berdiri. “Kau akan mengawalku mulai sekarang?” “Ya.” “Baik. Kalau begitu, dengar aturanku.” Ia melangkah perlahan, menyentuh sisi sofa berjalan mendekati Zayn. “Jangan ganggu waktuku bermain musik. Jangan ikut ke ruang makeup. Jangan ikut ke studio saat aku sedang rekaman

  • HASRAT TAK BERNAMA   PROLOG

    30 tahun lalu Hujan turun rintik-rintik, membasahi halaman belakang rumah sakit bersalin tempat dua sahabat duduk berdampingan. Di pangkuan mereka, dua bayi mungil yang baru saja membuka mata pada dunia. “Aku ingin... kelak saat mereka dewasa, kita jodohkan mereka,” ucap Caitlin pelan, mengusap pipi bayinya dengan penuh kasih. Bella tersenyum, menggenggam tangan sahabatnya. “Kalau begitu, janji. Kita jodohkan mereka.” Dua tangan terikat. Dua hati sepakat. Namun takdir jarang berjalan lurus. Sepuluh bulan kemudian, Caitlin pergi ke Amerika mengikuti suaminya. Janji itu tertinggal dalam hening. Terkubur waktu dan jarak. Kini Lagu klasik mengalun dari jari jemari seorang wanita berselendang merah darah. Panggung megah dipenuhi hadirin kelas atas, tapi hanya satu pria yang terpaku. Zayn. Mata elangnya tak beranjak dari punggung sang pianis. Ia tak tahu siapa wanita itu—wajahnya tersembunyi. Tapi cara dia menyentuh tuts piano… membuat hatinya bergetar untuk pe

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status