LOGINLokasi shooting sore itu masih ramai. Kru lalu-lalang di antara kabel, lampu, dan properti medis palsu. Hawa lembap dari gedung tua itu bercampur dengan aroma makanan cepat saji yang dibawa para kru.
Di sudut ruang istirahat, Vreya duduk diam. Pandangannya kosong menatap naskah di pangkuan. Riska, sang manajer, datang membawa sebuah kotak makan berhiaskan pita merah. “Ini makanan untuk kamu, Vre. Dari fans,” katanya sambil tersenyum kecil. Di kotak itu, tertempel kartu kecil bertuliskan "Untuk Vreya, semangat ya shootingnya! Dari pengagummu." “Letakkan saja di situ. Aku sedang tidak nafsu makan,” ucap Vreya tanpa menoleh. Riska menghela napas, menaruh kotak itu di meja kecil. “Tapi... kamu harus makan. Makanan yang sudah disediakan kamu juga nggak sentuh dari tadi siang. Sekarang udah sore, Vre. Kamu masih ada scene lagi nanti.” Diam. “Fans kamu bakal sedih, lho, kalau tahu kamu nggak makan kiriman mereka.” Kalimat itu berhasil membuat Vreya menoleh, walau lelah tampak jelas di wajahnya. “Baiklah. Aku makan, tapi cuma dua suapan.” Riska tersenyum lega dan segera membuka kotak makan itu. Makanan ala restoran Jepang tertata cantik di dalamnya. Sushi, salad, dan ayam karage mini yang menggoda. Tak tampak ada yang aneh. Vreya mengambil sumpit. Suapan pertama terasa hambar. Suapan kedua... perutnya langsung terasa mual. Detik berikutnya, tubuh Vreya limbung. Sumpit jatuh dari tangan. Napasnya tercekat. Matanya membelalak, dan tiba-tiba—blugh!—ia terjatuh ke lantai. “Vreya!” Riska berteriak panik, membungkuk cepat. Beberapa kru yang mendengar teriakan itu langsung berlari ke arah mereka. Mulut Vreya mulai berbusa. Tubuhnya menggigil ringan. “Ada apa?!” “Cepat panggil bantuan!” Namun saat seorang kru mengeluarkan ponsel dan bersiap menelepon ambulans, Riska buru-buru menghalangi. “Jangan hubungi ambulans!” “Kenapa?! Dia butuh pertolongan cepat!” seru salah satu kru laki-laki. Riska menahan air mata. “Maaf saya tidak bisa beri alasan...” Kru itu kebingungan. Tangan Riska gemetar saat ia mengambil ponselnya. Ia menekan satu kontak—Zayn. “Angkat... angkat, tolong...” ucapnya panik. Begitu tersambung, suaranya langsung meledak, “Zayn! Cepat ke ruang istirahat! Vreya... dia—dia keracunan atau semacamnya! Tapi tolong, jangan pakai ambulans... kamu ngerti, kan?!” Tak butuh waktu lama, Zayn muncul di ambang pintu ruang istirahat. Matanya menyapu cepat ke arah Vreya yang sudah terkulai lemah di lantai. Tanpa banyak bicara, ia segera berjongkok dan memeriksa denyut nadi di pergelangan tangan Vreya. "Mulutnya berbusa. Dia baru makan makanan kiriman fans," suara Riska tercekat, hampir menangis. Zayn mengangguk cepat. "Bantu buka jalan!" serunya pada para kru yang mulai panik di sekitar. Dalam satu gerakan cekatan, Zayn mengangkat tubuh Vreya ke dalam gendongan. Riska buru-buru mengambil tas dan ponsel, lalu mengikuti dari belakang. Hanya butuh hitungan menit, mobil Zayn melaju keluar dari area parkir dengan kecepatan tinggi. Riska duduk di bangku belakang, memegangi kepala Vreya yang bersandar lemah di pangkuannya. “Ke RSA sekarang!” seru Riska panik. Zayn menggertakkan gigi. “Jarak ke RSA cukup jauh. Kita harus cari alternatif!” “RSA satu-satunya tempat aman. Kita gak bisa bawa dia ke rumah sakit umum. Bisa bahaya kalau media tahu dia anaknya Pak Yuan!” Mobil mengebut menembus kemacetan senja. Klakson bersahutan, tapi Zayn tak peduli. Wajahnya tegang, matanya fokus. "Percepat mobilnya!!" Riska berteriak histeris saat tubuh Vreya mulai kejang ringan. Zayn membelok tajam di tikungan, lalu menyalakan sirine darurat yang tersembunyi di dasbor. Tak ada waktu untuk ragu. Tidak untuk putri Aditama. “Bertahanlah, Vreya…” gumamnya pelan. Dua puluh menit berlalu seperti berkejaran dengan malaikat maut. Begitu mobil Zayn berhenti di area belakang RSA (Rumah Sakit Aditama) rumah sakit milik keluarga Aditama. beberapa petugas medis berseragam abu segera menyambut dengan tandu. Tanpa prosedur pendaftaran, tanpa pertanyaan. Zayn mengangkat Vreya dari jok belakang dan membaringkannya di tandu “Dia keracunan. Dua puluh menit lalu. Tanda-tanda: kejang ringan, mulut berbusa, tekanan jantung melemah!” Dokter wanita paruh baya yang menyambut—dr. Nadiya, kepala medis pribadi keluarga Aditama mengerutkan alis saat memeriksa denyut nadi Vreya. “Saturasinya turun drastis. Kenapa baru dibawa sekarang?! Sedikit lagi dia bisa mati!” Riska tercekat. “Kami nggak bisa bawa dia ke RS umum lain dok!" “Saya butuh tahu apa yang dia makan! Jenis apa, takaran berapa?!” seru dr. Nadiya. Riska buru-buru membuka ponselnya, memperlihatkan foto makanan yang sempat ia potret. “Ini! Ini dari fans-nya. Dia baru makan dua suapan.” Tim medis segera bergerak cepat. Vreya didorong masuk ke ruang isolasi racun. Pintu otomatis tertutup di belakang mereka. Riska jatuh terduduk di kursi ruang tunggu. Napasnya tersengal. Lalu ia mengeluarkan ponsel dan menekan satu nama: Bunda Bella. “Nak Vreya kenapa, Riska?!” suara Bella panik setelah mengangkat. Suaranya serak. “Bu... Vreya keracunan.. Sekarang di RSA. Kondisinya kritis. Cepat ke sini…” Sambungan putus. Riska lanjut menelepon nomor lain: Tuan Yuan Aditama. Nada tunggu. Tak ada jawaban. Riska menahan tangis. Tangan gemetar. Jantungnya serasa di tenggorokan. Tanpa pikir panjang, ia tekan satu nama terakhir: Dona. “Hallo?” “Nona Dona… cepat ke RSA. Ini soal Vreya. Dia kritis!” Sambungan putus. Dona langsung mengambil kemeja untuk double pakaiannya, dan mengenakan celana panjang lebar. ia segera memesan taksi online. Di lorong ruang gawat darurat RSA, Zayn berdiri bersandar di dinding, kedua tangannya bersilang di dada. Matanya tajam menatap pintu ruang isolasi, wajahnya tetap dingin, tapi sorotnya menyimpan badai. Langkah tergesa terdengar dari ujung lorong. Dona. Helaan napasnya berat. Keringat dingin membasahi pelipis meski AC rumah sakit menyala kencang. Matanya menyapu seisi lorong… lalu berhenti tepat pada satu sosok pria tinggi berseragam hitam, dengan tatapan tajam dan rahang mengeras. Zayn. Dan saat mata mereka bertemu waktu seolah berhenti. Untuk sepersekian detik… dunia mereka menyempit. Tak ada suara. Hanya dua pasang mata yang saling menatap dengan rasa tak terdefinisikan. Dona menelan ludah. Jantungnya berdentum pelan. Sementara Zayn, dia mematung menatap mata Dona, wanita yang membuatnya jatuh cinta. "Siapa?" tanya Dona pada Zayn. "Zayn, pengawal pribadi Nona Vreya," jawabnya singkat. Tatapannya lurus tak berkedip memandangi Dona. Dona mengangguk pelan. "Bagaimana keadaan Kak Vreya sekarang?" Langkah cepat terdengar menghampiri. Riska datang dengan wajah pucat dan mata sembab. "Masih dalam penanganan dokter," ucapnya pelan, penuh rasa bersalah. "Kenapa dia bisa sampai keracunan?" tanya Dona, namun di wajahnya tidak terlihat secuil pun kepanikan. Tatapannya tetap datar, dingin. Riska menunduk dalam. "Ada seseorang yang mengirimkan makanan, mengatasnamakan fans. Saya... saya yang membujuk Nona Vreya untuk mencicipinya. Dia belum makan sejak siang tadi, dan saya pikir itu aman..." Ia menarik napas. "Saya menyesal. Ini semua salah saya." Dona menatap Riska lama, lalu menarik napas panjang. "Semoga Kak Vreya lekas pulih," ucapnya datar. Tatapannya kemudian berpindah ke Zayn, kali ini dengan sorot berbeda. "saya nggak bisa lama di sini. Ada keperluan mendesak. Kamu bisa antar saya?" Zayn melirik Riska sejenak, meminta konfirmasi tanpa kata. Riska hanya mengangguk pelan. "Baik," jawab Zayn akhirnya. ** Di dalam mobil, Dona duduk tenang. Jemarinya sibuk mengetik di layar ponsel. Senyum tipis mengulas bibirnya, seperti tak ada yang baru saja terjadi. Zayn meliriknya lewat kaca spion tengah. Matanya sempat memicing. Bagaimana bisa seseorang begitu tenang, setelah melihat saudaranya tergeletak karena keracunan? Menangkap tatapan itu, Dona menegakkan duduknya. Tatapannya beradu dengan mata Zayn di kaca spion. "Apa liat-liat?" tanyanya santai. "Fokus ke jalan. Nggak lucu kalau kamu yang nyusul masuk UGD." Zayn langsung mengalihkan pandangan. Rahangnya mengeras. Ada sesuatu tentang Dona yang mengganggu pikirannya… dan itu membuatnya tidak nyaman. "Kita ke arah mana?" tanyanya kemudian. "Hotel," sahut Dona mantap. Dona mulai membuka kancing atas kemejanya. "Lihat ke depan. Jangan sampai kamu ngintip saya. Saya mau ganti pakaian." Zayn menelan ludah, matanya langsung kembali ke jalan. Tangannya mencengkeram setir lebih kuat dari sebelumnya. Sesampainya di hotel, Zayn segera turun, membukakan pintu untuknya. Dona melangkah keluar. Kali ini ia sudah berganti pakaian. sebuah dress elegan, namun potongannya terbuka di bagian dada. Cukup untuk membuat Zayn memalingkan wajah secara refleks. "Tak perlu ikut. Kamu bisa balik ke rumah sakit. Toh kamu pengawalnya Vreya, bukan aku," ucap Dona ringan. Zayn tetap berdiri di tempatnya. "Nona Vreya dan Nona Dona adalah tanggung jawab saya." Dona tersenyum. Tapi bukan senyum biasa, ada sesuatu yang licin di balik lengkung bibirnya. Ia mendekat, begitu dekat hingga napasnya menyapu kulit Zayn. "Kamu..." suaranya sedikit menggoda. "mau menonton saya dengan lelaki lain malam ini?" Zayn tetap diam. Tak bergerak. Tapi matanya sekilas menunjukkan pergolakan yang dalam. ia tak menyangka Dona akan bertindak seperti ini.Angin malam menghantam wajah Zayn saat motornya melaju cepat menerobos jalanan kota. Cahaya lampu jalan memantul di visor helmnya, sementara pikirannya penuh oleh satu gambar yang terus berputar di kepala. Tangan Zayn menggenggam setang begitu kuat hingga terasa kaku. Ia memaksa napasnya tetap stabil, tapi amarah yang tadi hanya bara, kini menjelma badai yang mengoyak dadanya. Di tengah fokus itu, ponselnya bergetar di saku jaket. Dona. Zayn mendiamkannya. Namun panggilan itu masuk lagi—dan lagi. Akhirnya, di persimpangan lampu merah, ia menghentikan motor dan menggeser helmnya sedikit untuk menjawab. “Kenapa?” suaranya datar dan dingin. Dona terdengar manis di seberang, terlalu manis untuk jam segini. “Zayn… kamu lagi di mana? Bisa lihat video yang aku kirim barusan?” Zayn melirik layarnya. Sebuah video berdurasi tiga menit. “Aku lagi di jalan,” jawabnya pendek. “Nanti saja.” “Tapi… tolong lihat sekarang,” ucap Dona, suaranya lembut tapi mendesak. “Video itu… aku b
Mobil hitam yang membawa Zayn berhenti bukan di depan rumah, melainkan di ujung jalan besar menuju kediaman Vreya. Ia memang menjaga agar kehadirannya tidak mencolok—tak seorang pun boleh tahu siapa dirinya sebenarnya. “Turunkan di sini,” ucap Zayn datar. “Siap, Tuan,” jawab anak buahnya sebelum melajukan mobil menjauh. Zayn berdiri di pinggir jalan, merasakan malam yang lembap menyentuh kulitnya. Ia menarik napas pelan lalu merapikan kembali pakaian pengawal yang ia kenakan—menyembunyikan identitas, menyembunyikan segala hal yang tidak boleh terlihat. Ia lalu berjalan masuk ke gang besar itu. Tanpa ia sadari… sepasang mata mengikutinya dari jauh. Bimo. Ia berdiri di balik motor yang terparkir miring, helm masih menutupi sebagian wajahnya. Mata gelap itu mengikuti langkah Zayn tanpa berkedip. “Dia diantar mobil…?” gumamnya pelan. Bimo mengeluarkan ponselnya, jari-jarinya siap mengabadikan apa pun yang bisa jadi bukti, apa pun yang bisa ia laporkan pada Dona. ** Di depan
Vreya melangkah melewati Zayn tanpa bicara, lalu duduk di ujung sofa—menyisakan jarak. Zayn menatap, mencoba membaca ekspresi yang Vreya sembunyikan. “Iya, saya khawatir.” sahut Zayn akhirnya. Vreya menegakkan bahu. "Apa yang harus kamu khawatirkan? Kamu bukan pengawalku lagi. “Saya masih pengawal kamu." Vreya terkekeh, "Kamu tidak punya malu sama sekali. Masih beranggapan kamu adalah pengawalku? Maaf Zayn, tapi aku tidak mau berbagi dengannya, sekalipun itu pengawal!" Zayn menahan napas. Kalimat itu menusuk lebih dalam daripada yang ingin ia akui. “Berbagi?” ia mengulang pelan. “Saya tidak—” “Tidak apa? Jelas-jelas semalam kamu lebih memilih menjaga dia dibanding saya!" Vreya memotong cepat. Nada itu terdengar dingin. “Vreya, bukan seperti itu—” “Tidak perlu ada penjelasan apapun Zayn, saat ini saya ingin sendiri. Dan kembalilah kesana. Karena dari awal saya tidak pernah butuh pengawalan!" Zayn mengepalkan tangan. Ia ingin menyangkal, tapi kata-katanya terasa terlalu
Pagi menembus jendela kamar Vreya lewat celah tirai. Cahaya tipis menyentuh pipinya yang membengkak, memperjelas garis luka merah yang tertinggal dari pecahan kaca semalam. Ia berdiri di depan cermin, wajahnya tampak lebih pucat dari biasanya. Tanpa riasan, tanpa panggung yang menutupi rapuhnya. Hanya seorang Vreya yang sedang sakit di luar dan di dalam. Acel muncul di ambang pintu tanpa mengetuk. “Gimana? Lo udah enakan?” “Enggak,” jawab Vreya pelan. Acel terdiam. Ia mendekat, mengoleskan salep perlahan. “Untung gue yang anter lo semalam. Padahal Gino udah ngarep banget bisa berduaan sama lo." Vreya tertawa pendek. “Gino langsung balik?" Acel mengangguk. "Yaa, begitu lo nyuruh dia pulang, dia langsung pulang." Vreya mengangguk, tersenyum simpul. Sedangkan Di rumah Dona, Zayn baru saja turun dari kamar tamu. Kepalanya berat, bukan karena minuman, ia tidak minum sama sekali—tapi karena kejadian semalam. Ciuman itu. Ciuman singkat yang dengan tiba-tiba membuat Zayn
Udara malam menyergap dingin ketika Vreya melangkah cepat keluar dari rumah itu. Hak sepatunya beradu dengan lantai marmer hingga menembus halaman yang luas. Ia tak menoleh lagi, hanya ingin segera meninggalkan segala kepalsuan yang menyelimuti meja makan tadi.Namun begitu sampai di area parkir, langkahnya terhenti. Dari belakang, suara sepatu berat terdengar menyusul. Vreya menoleh, dan mendapati Zayn berdiri tak jauh di belakangnya.“Kenapa menyusulku?” suaranya tajam.Zayn menatapnya singkat, wajahnya tetap datar. “Nona Dona memerintah saya untuk mengajak Nona Vreya juga.”Vreya terkekeh hambar, tawanya tipis namun menyayat. “Tidak perlu!”Ia membuka pintu mobil dengan kasar, lalu menatap Zayn dengan sorot penuh amarah. “Kamu tidak perlu balik ke rumahku!”Zayn menahan napas, rahangnya mengeras. Ia tidak langsung menjawab, hanya menatap Vreya yang bergetar menahan emosinya. Pandangan itu seolah ingin mengatakan sesuatu—namun mulutnya terkunci.Tak lama mobil itu melaju dengan kece
Mobil hitam itu berhenti tepat di depan gerbang megah kediaman Yuan Aditama. Vreya menarik napas panjang, menatap rumah yang dulu pernah ia tinggali—tempat yang kini tak lagi menyimpan rasa nyaman baginya. Zayn turun lebih dulu, lalu membukakan pintu untuknya tanpa sepatah kata.Tak ada Riska kali ini. Hanya dia… dan pria asing yang entah mengapa selalu hadir di tiap langkah penting hidupnya.Langkah Vreya memasuki halaman terasa berat. Namun sebelum sempat ia mengetuk, daun pintu sudah terbuka dari dalam. Sosok seorang wanita anggun dengan senyum yang tampak dibuat-buat berdiri di ambang.“Vreya… akhirnya kau datang juga.” nada suara itu terdengar ramah, tapi dingin berbalut kepalsuan. Dialah Citra, istri kedua Yuan Aditama—wanita yang dulu merebut posisinya sebagai ibu rumah tangga sah di rumah ini.Vreya mengangguk datar, tanpa menanggapi basa-basi.“Masuklah, sayang. Ayahmu sudah menunggu di ruang makan.”Tatapan Citra sekilas bergeser pada Zayn yang berdiri tegap di belakang Vrey







