LOGINPagi kembali dengan sinar matahari menyusup ke celah tirai kamar besar Vreya. Gadis itu membuka matanya dengan malas, tubuhnya masih lemah setelah hampir kehilangan nyawanya. Ia menoleh sekilas, menemukan secangkir teh hangat di nakas. Aromanya samar, jelas bukan buatan ibunya. Entah Riska yang membuatnya… atau mungkin pengawalnya, Zayn.
Dengan langkah gontai, ia turun ke ruang makan. Rumah besar itu sunyi, terlalu sunyi. Hanya suara burung dari luar jendela yang memecah keheningan. Tak ada tanda-tanda sang ayah, Yuan Aditama, atau Dona. Sejak lama rumah ini hanya miliknya seorang—bangunan megah yang lebih sering terasa seperti penjara. “Pagi.” Suara berat itu datang dari arah pintu. Zayn berdiri rapi dengan setelan hitamnya, seolah insiden semalam tak pernah terjadi. Sorot matanya tenang, nyaris dingin. Vreya melirik sekilas. “Pagi.” sahutnya singkat. Namun, hatinya berkhianat. Bayangan kejadian semalam—saat Zayn nyaris mendobrak pintu lalu terjatuh menimpanya—masih membuat debaran di dadanya belum juga reda. “Hari ini tidak ada jadwal shooting. Anda harus istirahat,” ucap Zayn datar, suaranya tanpa nada emosional. Kalimat itu membuat Vreya menahan napas. Ia ingin membantah, ingin marah, tapi yang keluar hanya helaan panjang. Kenapa dia selalu sesederhana itu? Tatapan dinginnya justru membuat hati Vreya bergetar. Ia benci mengakuinya, tapi Zayn berbeda dari lelaki lain. Tak ada basa-basi, tak ada simpati berlebihan. Dan entah kenapa… justru itu yang membuatnya ingin tahu lebih banyak. “Aku sudah baikan. Aku bisa mulai shooting hari ini,” ujar Vreya akhirnya, dengan nada menantang. Ia berbalik, seolah ingin menyembunyikan perasaan aneh yang menyelinap. “Baik, Vreya.” Jawaban Zayn tetap singkat, datar, seakan semua hanya perintah kerja. Namun di balik ketenangan itu, pikirannya sama sekali bukan tentang Vreya. Semalam, laporan anak buahnya tentang Dona masih terngiang. Perempuan itu bukan sekadar adik tiri artis ini. Dona berbeda—dan Zayn harus menemukan celah untuk lebih dekat dengannya. Tapi di saat yang sama, laporan itu juga menunjukkan sisi lain Dona. Perempuan itu bukan gadis baik-baik seperti yang ia bayangkan. Meski begitu, semakin Zayn menolak, semakin dalam dirinya terjebak. Vreya kembali naik ke lantai atas. Rumah itu masih saja sunyi, hanya derap langkahnya sendiri yang terdengar. Ia membuka lemari, jemarinya menyusuri deretan gaun dan blazer. Hari ini ada shooting iklan—ia harus terlihat sempurna meski tubuhnya belum sepenuhnya pulih. Cermin besar memantulkan sosoknya. Anggun, tapi matanya masih menyimpan letih. Tak ada yang peduli. Tak ada yang bertanya apakah aku baik-baik saja… kecuali orang asing itu. Sebuah helaan napas lolos dari bibirnya sebelum ia akhirnya mengambil setelan putih sederhana yang membuat kulitnya tampak bercahaya. Begitu membuka pintu kamar, langkahnya terhenti. Zayn berdiri memunggunginya di koridor. Saat pintu terbuka, pria itu berbalik tenang. “Mobil sudah siap,” ucapnya datar. “Riska di mana?” tanya Vreya. “Dia tidak datang.” “Hah? Yang benar saja! Lalu pagi tadi siapa yang membuatkan teh untukku?” “Saya.” Vreya mendecak, rahangnya mengeras. “Gila kamu?! Baru kemarin aku katakan jangan sejengkal pun masuk ke kamarku!” Zayn hanya mengangguk, seolah sabar mendengarkan. “Saya hanya membuatkan teh. Setelah itu saya keluar.” Vreya mendengus kesal, tak ingin memperpanjang, lalu melangkah cepat menuruni tangga. ** Lokasi shooting berada di sebuah studio luas di pusat kota. Vreya sibuk dengan pengambilan gambar, sementara Riska mengurus detail kontrak bersama kru. Zayn, seperti biasa, berdiri di sudut ruangan, mengamati tanpa banyak bicara. Selesai satu set pengambilan gambar, Riska menghampiri Vreya dengan membawa sebuah amplop putih bersegel emas. “Vrey, ini baru saja diantar. Dari Tuan Yuan.” Vreya mengerutkan kening. “Apa lagi?” “Undangan makan malam. Malam ini,” ucap Riska hati-hati. “Ayahmu ingin kau hadir. Bukankah… sudah lama sekali kalian tidak bertemu?” Vreya menunduk, berpura-pura sibuk membersihkan sisa makeup di tangannya. “Aku tidak butuh makan malam itu.” “Tapi ini penting, Vrey,” desak Riska, menatapnya penuh arti. Zayn, yang berdiri tak jauh, sempat melirik ke arah amplop di tangan Riska. Sekilas, sudut bibirnya terangkat. Senyum samar yang sulit ditafsirkan. Akhirnya. Kesempatan untuk bertemu Dona—gadis yang diam-diam membuat pikirannya tidak pernah tenang sejak malam pesta itu. Vreya akhirnya menyerah, mendesah pelan. “Baiklah. Aku akan datang. Tapi jangan harap aku menikmatinya.” Zayn menunduk tipis, menyembunyikan kilatan puas di matanya. Baginya, malam ini bukan tentang Vreya. Malam ini adalah langkah yang mendekatkannya pada Dona.Angin malam menghantam wajah Zayn saat motornya melaju cepat menerobos jalanan kota. Cahaya lampu jalan memantul di visor helmnya, sementara pikirannya penuh oleh satu gambar yang terus berputar di kepala. Tangan Zayn menggenggam setang begitu kuat hingga terasa kaku. Ia memaksa napasnya tetap stabil, tapi amarah yang tadi hanya bara, kini menjelma badai yang mengoyak dadanya. Di tengah fokus itu, ponselnya bergetar di saku jaket. Dona. Zayn mendiamkannya. Namun panggilan itu masuk lagi—dan lagi. Akhirnya, di persimpangan lampu merah, ia menghentikan motor dan menggeser helmnya sedikit untuk menjawab. “Kenapa?” suaranya datar dan dingin. Dona terdengar manis di seberang, terlalu manis untuk jam segini. “Zayn… kamu lagi di mana? Bisa lihat video yang aku kirim barusan?” Zayn melirik layarnya. Sebuah video berdurasi tiga menit. “Aku lagi di jalan,” jawabnya pendek. “Nanti saja.” “Tapi… tolong lihat sekarang,” ucap Dona, suaranya lembut tapi mendesak. “Video itu… aku b
Mobil hitam yang membawa Zayn berhenti bukan di depan rumah, melainkan di ujung jalan besar menuju kediaman Vreya. Ia memang menjaga agar kehadirannya tidak mencolok—tak seorang pun boleh tahu siapa dirinya sebenarnya. “Turunkan di sini,” ucap Zayn datar. “Siap, Tuan,” jawab anak buahnya sebelum melajukan mobil menjauh. Zayn berdiri di pinggir jalan, merasakan malam yang lembap menyentuh kulitnya. Ia menarik napas pelan lalu merapikan kembali pakaian pengawal yang ia kenakan—menyembunyikan identitas, menyembunyikan segala hal yang tidak boleh terlihat. Ia lalu berjalan masuk ke gang besar itu. Tanpa ia sadari… sepasang mata mengikutinya dari jauh. Bimo. Ia berdiri di balik motor yang terparkir miring, helm masih menutupi sebagian wajahnya. Mata gelap itu mengikuti langkah Zayn tanpa berkedip. “Dia diantar mobil…?” gumamnya pelan. Bimo mengeluarkan ponselnya, jari-jarinya siap mengabadikan apa pun yang bisa jadi bukti, apa pun yang bisa ia laporkan pada Dona. ** Di depan
Vreya melangkah melewati Zayn tanpa bicara, lalu duduk di ujung sofa—menyisakan jarak. Zayn menatap, mencoba membaca ekspresi yang Vreya sembunyikan. “Iya, saya khawatir.” sahut Zayn akhirnya. Vreya menegakkan bahu. "Apa yang harus kamu khawatirkan? Kamu bukan pengawalku lagi. “Saya masih pengawal kamu." Vreya terkekeh, "Kamu tidak punya malu sama sekali. Masih beranggapan kamu adalah pengawalku? Maaf Zayn, tapi aku tidak mau berbagi dengannya, sekalipun itu pengawal!" Zayn menahan napas. Kalimat itu menusuk lebih dalam daripada yang ingin ia akui. “Berbagi?” ia mengulang pelan. “Saya tidak—” “Tidak apa? Jelas-jelas semalam kamu lebih memilih menjaga dia dibanding saya!" Vreya memotong cepat. Nada itu terdengar dingin. “Vreya, bukan seperti itu—” “Tidak perlu ada penjelasan apapun Zayn, saat ini saya ingin sendiri. Dan kembalilah kesana. Karena dari awal saya tidak pernah butuh pengawalan!" Zayn mengepalkan tangan. Ia ingin menyangkal, tapi kata-katanya terasa terlalu
Pagi menembus jendela kamar Vreya lewat celah tirai. Cahaya tipis menyentuh pipinya yang membengkak, memperjelas garis luka merah yang tertinggal dari pecahan kaca semalam. Ia berdiri di depan cermin, wajahnya tampak lebih pucat dari biasanya. Tanpa riasan, tanpa panggung yang menutupi rapuhnya. Hanya seorang Vreya yang sedang sakit di luar dan di dalam. Acel muncul di ambang pintu tanpa mengetuk. “Gimana? Lo udah enakan?” “Enggak,” jawab Vreya pelan. Acel terdiam. Ia mendekat, mengoleskan salep perlahan. “Untung gue yang anter lo semalam. Padahal Gino udah ngarep banget bisa berduaan sama lo." Vreya tertawa pendek. “Gino langsung balik?" Acel mengangguk. "Yaa, begitu lo nyuruh dia pulang, dia langsung pulang." Vreya mengangguk, tersenyum simpul. Sedangkan Di rumah Dona, Zayn baru saja turun dari kamar tamu. Kepalanya berat, bukan karena minuman, ia tidak minum sama sekali—tapi karena kejadian semalam. Ciuman itu. Ciuman singkat yang dengan tiba-tiba membuat Zayn
Udara malam menyergap dingin ketika Vreya melangkah cepat keluar dari rumah itu. Hak sepatunya beradu dengan lantai marmer hingga menembus halaman yang luas. Ia tak menoleh lagi, hanya ingin segera meninggalkan segala kepalsuan yang menyelimuti meja makan tadi.Namun begitu sampai di area parkir, langkahnya terhenti. Dari belakang, suara sepatu berat terdengar menyusul. Vreya menoleh, dan mendapati Zayn berdiri tak jauh di belakangnya.“Kenapa menyusulku?” suaranya tajam.Zayn menatapnya singkat, wajahnya tetap datar. “Nona Dona memerintah saya untuk mengajak Nona Vreya juga.”Vreya terkekeh hambar, tawanya tipis namun menyayat. “Tidak perlu!”Ia membuka pintu mobil dengan kasar, lalu menatap Zayn dengan sorot penuh amarah. “Kamu tidak perlu balik ke rumahku!”Zayn menahan napas, rahangnya mengeras. Ia tidak langsung menjawab, hanya menatap Vreya yang bergetar menahan emosinya. Pandangan itu seolah ingin mengatakan sesuatu—namun mulutnya terkunci.Tak lama mobil itu melaju dengan kece
Mobil hitam itu berhenti tepat di depan gerbang megah kediaman Yuan Aditama. Vreya menarik napas panjang, menatap rumah yang dulu pernah ia tinggali—tempat yang kini tak lagi menyimpan rasa nyaman baginya. Zayn turun lebih dulu, lalu membukakan pintu untuknya tanpa sepatah kata.Tak ada Riska kali ini. Hanya dia… dan pria asing yang entah mengapa selalu hadir di tiap langkah penting hidupnya.Langkah Vreya memasuki halaman terasa berat. Namun sebelum sempat ia mengetuk, daun pintu sudah terbuka dari dalam. Sosok seorang wanita anggun dengan senyum yang tampak dibuat-buat berdiri di ambang.“Vreya… akhirnya kau datang juga.” nada suara itu terdengar ramah, tapi dingin berbalut kepalsuan. Dialah Citra, istri kedua Yuan Aditama—wanita yang dulu merebut posisinya sebagai ibu rumah tangga sah di rumah ini.Vreya mengangguk datar, tanpa menanggapi basa-basi.“Masuklah, sayang. Ayahmu sudah menunggu di ruang makan.”Tatapan Citra sekilas bergeser pada Zayn yang berdiri tegap di belakang Vrey







