Home / Romansa / HASRAT TAK BERNAMA / Bab 3 Perempuan di Balik Nada

Share

Bab 3 Perempuan di Balik Nada

Author: Yurami
last update Last Updated: 2025-07-08 01:44:42

Pukul dua dini hari. Rumah sakit elit di pusat kota masih menyisakan aktivitas di lorong-lorongnya, meski suasana sudah jauh lebih senyap dari sebelumnya.

Vreya telah sadar.

Ia kini terbaring di kamar VVIP, dengan tirai tipis mengelilingi tempat tidurnya. Alat-alat medis masih terpasang di tubuhnya, menandakan betapa tipis batas yang tadi dilewatinya—antara hidup dan kematian.

Di dalam ruangan, sang ibu duduk di sisi ranjang. Matanya sembab dan wajahnya pucat, tapi genggaman tangannya tetap erat menggenggam tangan putrinya. Seolah rasa bersalahnya tidak akan pernah bisa ditebus hanya dengan kata maaf.

"Maafin Mama, sayang..." ucapnya pelan. Suaranya pecah, Vreya belum bisa menjawab. Hanya kelipan pelan dari matanya yang menjadi isyarat bahwa ia mendengar.

Di luar ruangan, Zayn berdiri tegak. Diam. Tatapannya tertuju lurus, sorot matanya dingin, penuh kalkulasi.

Beberapa menit kemudian, pintu kamar terbuka. Bella melangkah keluar, menyeka air mata dengan tisu. Ia sempat menatap Zayn dari belakang, ragu sejenak sebelum mendekat.

Sebelum Bella sempat bicara, seorang pria berpakaian formal melintas di lorong. Ia sempat melirik Zayn dan menunduk dalam hormat. Zayn membalasnya dengan anggukan kecil, cukup untuk memberi perintah tanpa suara. Gerakan itu disadari oleh seorang staf rumah sakit yang melintas, tapi tidak ada yang berani bertanya.

Zayn mengeluarkan ponselnya. Jarinya bergerak cepat.

"Vreya sadar. Waktu saya tidak banyak. Cari siapa yang melakukan ini. Dan cari tahu dengan siapa Dona menginap di hotel malam ini."

Pesan terkirim. Pikirannya melayang, ada nama yang menghantui pikirannya malam ini. Namanya menancap dalam benaknya seperti serpihan logam panas. Wanita misterius dengan jemari yang menari di atas tuts piano malam itu... bukan hanya membuatnya terobsesi. Dona adalah misinya. Tapi lebih dari itu.. ia ingin memilikinya.

Cepat atau lambat.

"Permisi..." Suara Bella memecah lamunannya.

Zayn langsung menunduk, memasukkan kembali ponsel ke saku, lalu menatap Bella dengan sopan.

"Ada yang bisa saya bantu?" tanyanya tenang.

Bella tersenyum ramah, meski lelah masih tergambar jelas di wajahnya.

"Kamu... baru? Maksud saya, kamu baru menjadi pengawal Vreya?"

Zayn mengangguk. "Iya. Baru hari ini."

Bella menarik napas panjang, lalu menatap Zayn dalam-dalam.

"Saya titip Vreya, ya..."

Ucapan itu terdengar lembut, namun mengandung beban yang tak kasatmata. Dan Zayn hanya bisa mengangguk, padahal dalam hatinya, ia bukan sedang menjaga. Ia sedang memanipulasi.

**

Pagi menjelang, sementara lampu-lampu lorong rumah sakit masih menyala temaram. Aroma rumah sakit samar menguar dari ventilasi. Suasana sunyi, hanya sesekali terdengar roda troli perawat di lantai bawah.

Vreya terbangun, Kali ini lebih tenang. Pandangannya masih kabur, tapi ia tahu di ruangan itu tak ada siapa-siapa. tidak ada Mama, tidak ada Riska, manajernya. Hanya satu sosok yang berdiri bersandar di dinding, menatap ke arah tempat tidurnya.

Zayn.

Ia langsung merapikan posisi duduknya pelan. Infus masih terpasang di tangan, dan rambutnya kusut, sebagian menutupi mata.

Zayn mendekat. Langkahnya tenang, tidak tergesa.

“Sudah lebih baik?” tanyanya pelan.

Vreya hanya mengangguk kecil. Tenggorokannya masih sangat kering.

Zayn menoleh ke meja kecil di samping ranjang. Tangannya mengambil segelas air mineral dan menyodorkannya padanya. Saat Vreya mencoba meraihnya, tangan mereka hampir bersentuhan.

Dan saat itu juga, jantung Vreya berdetak sedikit lebih cepat.

Ia berusaha mengabaikannya. Tapi dirinya tahu, tubuhnya tidak bisa berbohong.

Zayn memperhatikan rambut Vreya yang jatuh menutupi pipi. Tanpa berkata apa-apa, ia mengambil karet rambut dari meja. Lalu, dengan gerakan tenang, ia mengangkat sebagian rambut Vreya dan mulai mengikatnya perlahan.

Sentuhan itu ringan, bahkan tak terasa. Tapi cukup membuat napas Vreya tertahan.

Tak ada kata yang terucap. Hanya diam. Tapi diam itu berbicara, lebih keras dari kalimat manapun. Ada sesuatu yang bergerak dalam diam, dan Vreya merasakannya.

Setelah selesai, Zayn melangkah mundur dan berkata singkat, “Kamu tidak suka rambutmu berantakan, kan?”

Vreya menatapnya sejenak. Ada pertanyaan yang menggantung di matanya, tapi bibirnya tetap terkunci. Ia menunduk… menyembunyikan pipinya yang mulai bersemu.

Lalu dengan nada dingin, ia berkata,

"Lain kali tidak perlu melakukan hal seperti itu."

Zayn tidak menjawab. Ia hanya menoleh ke arah jendela dan berdiri di sana, seolah tidak terjadi apa-apa.

Beberapa menit berlalu. Riska belum kembali. Dan satu orang lagi yang seharusnya datang namun tak pernah muncul.

Yuan Aditama. Ayahnya.

Vreya bahkan tidak merasa heran. Ia tahu… ia tidak perlu berharap.

Dan entah mengapa, perhatian kecil dari pria asing yang baru ia kenal, terasa lebih nyata… dari sosok yang selama ini hanya menyumbang nama di akta lahirnya.

"Aku ingin pulang," gumam Vreya pelan. Tangannya saling bertautan, menyiratkan gelisah yang tertahan.

Zayn menoleh cepat. “Belum boleh.”

“Aku ada latihan hari ini.”

“Latihan apa? Biar saya atur jadwalnya.”

Vreya menatapnya sebentar. “Tidak perlu, itu urusan manajerku. Aku cuma... tidak betah di tempat seperti ini.”

Zayn menatapnya sebentar. Diam.

Lalu dengan suara rendah dan tegas, ia menjawab, “Akan saya usahakan.”

**

Zayn berhasil meyakinkan dokter jaga untuk memberikan keringanan. Status Vreya memang sudah membaik, dan fakta bahwa rumah sakit itu milik keluarga Aditama membuat prosesnya lebih mudah. Dengan catatan, Vreya tetap dalam pengawasan dokter pribadi dan tidak boleh kelelahan.

Menjelang siang, mereka pun kembali ke rumah. Bukan ke rumah besar keluarga Aditama, tapi ke rumah pribadi milik Vreya. sebuah rumah bergaya minimalis dua lantai yang tenang, tersembunyi di antara pepohonan rindang. Sunyi. Seolah menolak hiruk pikuk dunia luar.

Vreya memang sengaja tinggal di sana. Rumah itu ia beli dengan uangnya sendiri, hasil kerja kerasnya sebagai Pianis dan Aktris. bukan dari Yuan Aditama. Dan bukan bagian dari kehidupan glamor keluarga besarnya, yang lebih sering terasa asing daripada akrab.

Ia memilih berbeda tempat tinggal. Berbeda hidup. Terpisah dari ayahnya, ibunya, dan adik tirinya—Dona.

Begitu masuk, Vreya langsung duduk di sofa ruang tengah. Ia melepas jaket tipisnya, lalu menyandarkan punggung. Wajahnya terlihat lelah, tapi juga lega. Rumah ini satu-satunya tempat yang membuatnya merasa tenang dan nyaman. tak lama Vreya bangkit kembali dan menuju lantai atas.

Zayn, yang sejak tadi membantunya masuk, membuka pintu kamar Vreya perlahan untuk memastikan semuanya aman.

Vreya menoleh, suaranya pelan, “Kamu nginap, atau pulang?”

Zayn menatapnya sebentar. Lalu menjawab mantap, “Saya akan tetap di sini.”

Vreya tidak langsung menimpali. Ia hanya mengangguk kecil, lalu menunjuk ke arah lorong samping. “Kamar pojok sana. Itu kamar kamu. Kalau saya butuh apa pun… kamu bisa langsung ke sini.”

Zayn mengangguk. “Baik.”

Suara di antara mereka hanya itu. Tapi ada sesuatu yang terasa… berubah. Vreya merasa nyaman di dekat Zayn.

Zayn berjalan menuju kamarnya. Vreya hanya menatap punggungnya sesaat sebelum akhirnya menyandarkan kepala ke sisi ranjang.

ia sadar… rumah itu memang sunyi.

Tapi kehadiran Zayn meski tak banyak bicara membuatnya sedikit... lebih hidup.

**

Malam merambat pelan. Langit gelap bergantung di luar jendela kamar Vreya, dan seluruh rumah larut dalam keheningan. Tapi Vreya, yang belum bisa tidur, merasa bosan terjebak di dalam ranjang.

Tubuhnya memang belum pulih seratus persen, tapi kerinduan akan dunia musik memanggilnya lebih keras dari rasa lelah.

Ia bangkit perlahan, membuka panel tersembunyi di sisi lemari. Sebuah pintu kecil terbuka, mengarah ke ruang rahasia di balik kamar—ruang pribadinya, tempat ia biasa menumpahkan semua emosi lewat tuts piano.

Lampu temaram menyala otomatis saat ia masuk. Di sana, sebuah grand piano hitam berdiri megah, menyambut seperti sahabat lama. Vreya duduk, menarik napas dalam, dan mulai menyentuh tuts-tuts itu dengan jemarinya yang dingin.

Nada demi nada meluncur. Kadang pelan, kadang meledak. Ia seperti bicara dengan dirinya sendiri, tanpa kata, hanya denting.

Sementara itu, Zayn masih terjaga di lantai bawah.

Suara bel terdengar. Ia berjalan ke arah pintu, lalu membuka sedikit celah untuk mengintip. Seorang pria berdiri di sana—berpakaian rapi, mengenakan jas mahal, dan tampak seperti baru keluar dari mobil eksekutif.

Tatapannya tajam. Senyumnya angkuh.

“Siapa Anda?” tanya Zayn, nada suaranya tetap tenang meski tubuhnya langsung siaga. “Apa yang Anda lakukan malam-malam begini di rumah ini?”

Pria itu mengangkat alis, seolah tersinggung. “Saya ingin bertemu Vreya. Saya—” ia tersenyum miring, “Calon suaminya.”

Zayn tidak menjawab. Pandangannya tajam, tetap tidak terpengaruh.

“Oh, Anda pasti pengawal barunya Vreya,” ujar pria itu sambil terkekeh kecil, meremehkan. “Sampaikan saja, saya ingin bertemu. Vreya mengenal saya dengan baik.”

“Saya tidak bisa mengizinkan siapa pun masuk tanpa izin langsung dari Nona Vreya,” jawab Zayn dingin. Ia menutup pintu perlahan, lalu menguncinya kembali.

Pria itu tak berhenti menatap dari luar, tapi Zayn tak peduli. Yang penting baginya adalah keamanan Vreya.

Ia bergegas naik. Saat sampai di depan kamar Vreya, ia mengetuk. Sekali. Dua kali. Tak ada jawaban.

Zayn mulai merasa khawatir. Ia mengetuk lebih keras.

“Nona Vreya?” panggilnya. “Nona Vreya, kamu di dalam?”

Masih tidak ada jawaban. Detik-detik berikutnya terasa lebih lambat. Hatinya mulai gelisah.

Zayn mundur beberapa langkah, bersiap mendobrak pintu. Tapi belum sempat tubuhnya melesat maju.. pintu tiba-tiba terbuka dari dalam.

Dan semuanya terjadi begitu cepat.

Zayn kehilangan kendali, tubuhnya terdorong ke depan dan— bruk! Ia menubruk Vreya yang berdiri tepat di balik pintu.

Mereka jatuh.

Vreya terkejut. Tubuhnya tersungkur ke lantai, terlentang, dan tanpa sadar, kepalanya bersandar di lengan Zayn. Napasnya terhenti sejenak. Zayn di atas tubuhnya, posisi mereka terlalu dekat.

Jantung Vreya berdetak cepat. Degupnya bersaing dengan napas yang tersengal.

Zayn juga membeku di tempatnya. Napasnya berat, tapi ia cepat menarik diri, wajahnya berubah tegang.

“S-saya minta maaf. Saya kira terjadi sesuatu,” ucapnya buru-buru, menarik diri dan berdiri.

Vreya tetap terdiam. Pipi pucatnya mulai bersemu merah, tapi ia menunduk, menyembunyikan semuanya dalam diam.

Zayn berdiri di ambang kebingungan dan tanggung jawab.

“Ada pria mencarimu, mengaku calon suamimu,” katanya kemudian, suaranya kembali dingin.

Vreya mendongak perlahan, tatapannya berubah.

“Calon suami?" ulangnya. kemudian ia menatap Zayn. "Aku belum punya calon suami. Usir saja dia” katanya mantap.

Zayn kini berdiri tenang di ambang pintu. Wajahnya datar, tak terganggu oleh sikap arogan pria di hadapannya.

“Saya mohon maaf,” ucap Zayn sopan. “Tapi saat ini Nona Vreya belum bisa menerima tamu. Kalau Anda berkenan, silakan tinggalkan pesan. Saya akan sampaikan.”

Bimo mengerutkan kening, tidak terima. “Lo pikir, Lo itu siapa?? Ngelarang gue ketemu calon istri gue!"

Zayn masih menjaga sikap. Dan mengulum senyum kecil. “Tugas saya hanya memastikan ketenangan dan keamanan Nona Vreya. Dan ini sudah larut malam. Tolong, jangan membuat keributan. Dan.. Nona Vreya bilang, dia tidak memiliki calon suami."

Namun bukannya mundur, Bimo malah menyeringai meremehkan. “Sialan!" Bimo mendorong tubuh tegap Zayn.

Zayn hanya membalas dengan sorot mata dingin. Tapi sebelum sempat ia membalas kembali, suara langkah turun tangga terdengar.

“Sudah cukup, Bimo.” suara itu tegas.

Vreya muncul dari tangga, tubuhnya dibalut piyama satin.

Bimo langsung menoleh, memasang wajah sok perhatian. “Vree… akhirnya kamu keluar juga. Aku dengar dari Dona kamu sempat dirawat. Aku khawatir banget, makanya aku datang.”

Vreya mengangkat alisnya. “Dona? Untuk apa dia kasih tahu kamu?”

“Ya… dia adikmu. Wajar kalau dia—”

BRAK.

Vreya menghentakkan kakinya ke lantai. Suaranya menggema di lorong.

“Dia bukan adikku, Bimo!”

Bimo terdiam.

“Sekali lagi kamu sebut dia adikku, aku potong lidah kamu!” lanjut Vreya tajam. “Kamu pikir siapa kamu, datang malam-malam, sok peduli, dan dorong-dorong orang seenaknya?”

“Aku cuma khawatir, Vree... aku peduli, aku—”

“Peduli? Kamu?” Vreya tertawa pendek. “Kamu itu sama saja dengan Dona. Kalian itu serasi. Harusnya kalian berjodoh!"

“Saya rasa Nona Vreya sudah cukup jelas menyampaikan sikapnya. Untuk kebaikan semua pihak, saya mohon Anda pergi malam ini. Kami menghargai jika Anda bisa meninggalkan tempat ini dengan tenang.”

Bimo mendesis pelan, menahan amarahnya. Ia menatap Vreya satu kali lagi—tajam, menyimpan sesuatu.

“Kamu akan menyesal.”

Lalu ia membalikkan badan dan pergi menuju mobilnya.

Begitu suara mesin menjauh dan suasana kembali tenang, Vreya menyandarkan tubuh ke dinding, napasnya berat. Wajahnya kembali pucat, tapi matanya tak kehilangan ketegasannya.

Zayn menoleh cepat. “Kamu baik-baik saja?”

Vreya mengangguk pelan. “Iya... tapi mulai sekarang, jangan izinkan siapa pun masuk... terutama dia.”

Zayn menunduk hormat. “Baik, Non”

“Jangan pernah panggil aku dengan sebutan ‘Non’, ‘Nona’, atau semacamnya. Cukup panggil aku... Vreya.” ucapnya lurus menatap Zayn.

Zayn menatapnya sejenak, lalu mengangguk. “Baik, Vreya.”

Diam sejenak. Lalu Vreya kembali bicara, kali ini dengan suara lebih pelan. “Zayn…”

Zayn menoleh cepat. “Ya?”

“Apa... tadi Ayahku datang ke rumah sakit?”

Zayn menggeleng pelan. “Tidak.”

“Dona?”

“Iya. Dia datang.”

“Riska yang menelponnya, ya?” Vreya menghela napas, wajahnya tampak lelah. “Baiklah. Kamu boleh istirahat.”

Zayn kembali menunduk hormat. “Selamat malam.”

Ia berbalik dan berjalan menuju kamarnya di ujung lorong lantai dua. Langkah-langkahnya tenang namun berat, seolah menyimpan beban yang belum sempat dibuka.

Di dalam kamar, Zayn melepas jas dan kemejanya satu per satu. Dada bidangnya terekspos, tampak jelas guratan kelelahan setelah hari yang panjang. Ia meletakkan jam tangan di atas meja, lalu duduk di sisi ranjang, mengusap wajahnya yang letih.

Ponselnya pun bergetar.

Satu pesan masuk dari anak buah kepercayaannya.

“Lapor, Tuan. Kami sudah mendapatkan identitas pemberi racun. Seorang pria, staf dari perusahaan Arta Medika Nusantara.”

Zayn mendesah pelan. Tapi pesan berikutnya membuat rahangnya mengeras.

“Dan mengenai Nona Dona... kami mendapati dirinya menginap di salah satu hotel bintang lima malam ini. Bersama seorang pejabat yang terdaftar sebagai klien tetap.”

Zayn memijat pelipisnya. Sakit kepala yang sempat reda kini kembali menggedor.

Ia mengira wanita bernama Dona, gadis yang ia dengar memainkan piano malam itu berbeda. Tapi kini... semua lebih jelas. Harta tak pernah cukup bagi orang-orang seperti itu. Bahkan harga diri pun dijual tanpa pikir panjang.

Zayn bersandar di sandaran ranjang, mata menatap langit-langit kamar. Tapi wajah Dona dan permainan piano itu memutar di kepalanya. Dia tetap jatuh cinta dengan wanita itu.

"Sial!" umpatnya, dia benci wanita seperti itu. tapi kenapa dia tetap jatuh cinta?!

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • HASRAT TAK BERNAMA   Bab 10 Saat Kau Masuk Terlalu Dekat

    Angin malam menghantam wajah Zayn saat motornya melaju cepat menerobos jalanan kota. Cahaya lampu jalan memantul di visor helmnya, sementara pikirannya penuh oleh satu gambar yang terus berputar di kepala. Tangan Zayn menggenggam setang begitu kuat hingga terasa kaku. Ia memaksa napasnya tetap stabil, tapi amarah yang tadi hanya bara, kini menjelma badai yang mengoyak dadanya. Di tengah fokus itu, ponselnya bergetar di saku jaket. Dona. Zayn mendiamkannya. Namun panggilan itu masuk lagi—dan lagi. Akhirnya, di persimpangan lampu merah, ia menghentikan motor dan menggeser helmnya sedikit untuk menjawab. “Kenapa?” suaranya datar dan dingin. Dona terdengar manis di seberang, terlalu manis untuk jam segini. “Zayn… kamu lagi di mana? Bisa lihat video yang aku kirim barusan?” Zayn melirik layarnya. Sebuah video berdurasi tiga menit. “Aku lagi di jalan,” jawabnya pendek. “Nanti saja.” “Tapi… tolong lihat sekarang,” ucap Dona, suaranya lembut tapi mendesak. “Video itu… aku b

  • HASRAT TAK BERNAMA   Bab 9 Reaksi Tersembunyi

    Mobil hitam yang membawa Zayn berhenti bukan di depan rumah, melainkan di ujung jalan besar menuju kediaman Vreya. Ia memang menjaga agar kehadirannya tidak mencolok—tak seorang pun boleh tahu siapa dirinya sebenarnya. “Turunkan di sini,” ucap Zayn datar. “Siap, Tuan,” jawab anak buahnya sebelum melajukan mobil menjauh. Zayn berdiri di pinggir jalan, merasakan malam yang lembap menyentuh kulitnya. Ia menarik napas pelan lalu merapikan kembali pakaian pengawal yang ia kenakan—menyembunyikan identitas, menyembunyikan segala hal yang tidak boleh terlihat. Ia lalu berjalan masuk ke gang besar itu. Tanpa ia sadari… sepasang mata mengikutinya dari jauh. Bimo. Ia berdiri di balik motor yang terparkir miring, helm masih menutupi sebagian wajahnya. Mata gelap itu mengikuti langkah Zayn tanpa berkedip. “Dia diantar mobil…?” gumamnya pelan. Bimo mengeluarkan ponselnya, jari-jarinya siap mengabadikan apa pun yang bisa jadi bukti, apa pun yang bisa ia laporkan pada Dona. ** Di depan

  • HASRAT TAK BERNAMA   Bab 8 Yang Tak Pernah Terucap

    Vreya melangkah melewati Zayn tanpa bicara, lalu duduk di ujung sofa—menyisakan jarak. Zayn menatap, mencoba membaca ekspresi yang Vreya sembunyikan. “Iya, saya khawatir.” sahut Zayn akhirnya. Vreya menegakkan bahu. "Apa yang harus kamu khawatirkan? Kamu bukan pengawalku lagi. “Saya masih pengawal kamu." Vreya terkekeh, "Kamu tidak punya malu sama sekali. Masih beranggapan kamu adalah pengawalku? Maaf Zayn, tapi aku tidak mau berbagi dengannya, sekalipun itu pengawal!" Zayn menahan napas. Kalimat itu menusuk lebih dalam daripada yang ingin ia akui. “Berbagi?” ia mengulang pelan. “Saya tidak—” “Tidak apa? Jelas-jelas semalam kamu lebih memilih menjaga dia dibanding saya!" Vreya memotong cepat. Nada itu terdengar dingin. “Vreya, bukan seperti itu—” “Tidak perlu ada penjelasan apapun Zayn, saat ini saya ingin sendiri. Dan kembalilah kesana. Karena dari awal saya tidak pernah butuh pengawalan!" Zayn mengepalkan tangan. Ia ingin menyangkal, tapi kata-katanya terasa terlalu

  • HASRAT TAK BERNAMA   Bab 7 Dalam Dekat yang Salah

    Pagi menembus jendela kamar Vreya lewat celah tirai. Cahaya tipis menyentuh pipinya yang membengkak, memperjelas garis luka merah yang tertinggal dari pecahan kaca semalam. Ia berdiri di depan cermin, wajahnya tampak lebih pucat dari biasanya. Tanpa riasan, tanpa panggung yang menutupi rapuhnya. Hanya seorang Vreya yang sedang sakit di luar dan di dalam. Acel muncul di ambang pintu tanpa mengetuk. “Gimana? Lo udah enakan?” “Enggak,” jawab Vreya pelan. Acel terdiam. Ia mendekat, mengoleskan salep perlahan. “Untung gue yang anter lo semalam. Padahal Gino udah ngarep banget bisa berduaan sama lo." Vreya tertawa pendek. “Gino langsung balik?" Acel mengangguk. "Yaa, begitu lo nyuruh dia pulang, dia langsung pulang." Vreya mengangguk, tersenyum simpul. Sedangkan Di rumah Dona, Zayn baru saja turun dari kamar tamu. Kepalanya berat, bukan karena minuman, ia tidak minum sama sekali—tapi karena kejadian semalam. Ciuman itu. Ciuman singkat yang dengan tiba-tiba membuat Zayn

  • HASRAT TAK BERNAMA   Bab 6 Malam Yang Salah

    Udara malam menyergap dingin ketika Vreya melangkah cepat keluar dari rumah itu. Hak sepatunya beradu dengan lantai marmer hingga menembus halaman yang luas. Ia tak menoleh lagi, hanya ingin segera meninggalkan segala kepalsuan yang menyelimuti meja makan tadi.Namun begitu sampai di area parkir, langkahnya terhenti. Dari belakang, suara sepatu berat terdengar menyusul. Vreya menoleh, dan mendapati Zayn berdiri tak jauh di belakangnya.“Kenapa menyusulku?” suaranya tajam.Zayn menatapnya singkat, wajahnya tetap datar. “Nona Dona memerintah saya untuk mengajak Nona Vreya juga.”Vreya terkekeh hambar, tawanya tipis namun menyayat. “Tidak perlu!”Ia membuka pintu mobil dengan kasar, lalu menatap Zayn dengan sorot penuh amarah. “Kamu tidak perlu balik ke rumahku!”Zayn menahan napas, rahangnya mengeras. Ia tidak langsung menjawab, hanya menatap Vreya yang bergetar menahan emosinya. Pandangan itu seolah ingin mengatakan sesuatu—namun mulutnya terkunci.Tak lama mobil itu melaju dengan kece

  • HASRAT TAK BERNAMA   Bab 5 Pertemuan yang Tak Pernah Diinginkan

    Mobil hitam itu berhenti tepat di depan gerbang megah kediaman Yuan Aditama. Vreya menarik napas panjang, menatap rumah yang dulu pernah ia tinggali—tempat yang kini tak lagi menyimpan rasa nyaman baginya. Zayn turun lebih dulu, lalu membukakan pintu untuknya tanpa sepatah kata.Tak ada Riska kali ini. Hanya dia… dan pria asing yang entah mengapa selalu hadir di tiap langkah penting hidupnya.Langkah Vreya memasuki halaman terasa berat. Namun sebelum sempat ia mengetuk, daun pintu sudah terbuka dari dalam. Sosok seorang wanita anggun dengan senyum yang tampak dibuat-buat berdiri di ambang.“Vreya… akhirnya kau datang juga.” nada suara itu terdengar ramah, tapi dingin berbalut kepalsuan. Dialah Citra, istri kedua Yuan Aditama—wanita yang dulu merebut posisinya sebagai ibu rumah tangga sah di rumah ini.Vreya mengangguk datar, tanpa menanggapi basa-basi.“Masuklah, sayang. Ayahmu sudah menunggu di ruang makan.”Tatapan Citra sekilas bergeser pada Zayn yang berdiri tegap di belakang Vrey

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status