Beranda / Romansa / HASRAT TAK BERNAMA / Bab 3 Perempuan di Balik Nada

Share

Bab 3 Perempuan di Balik Nada

Penulis: Yurami
last update Terakhir Diperbarui: 2025-07-08 01:44:42

Pukul dua dini hari. Rumah sakit elit di pusat kota masih menyisakan aktivitas di lorong-lorongnya, meski suasana sudah jauh lebih senyap dari sebelumnya.

Vreya telah sadar.

Ia kini terbaring di kamar VVIP, dengan tirai tipis mengelilingi tempat tidurnya. Alat-alat medis masih terpasang di tubuhnya, menandakan betapa tipis batas yang tadi dilewatinya—antara hidup dan kematian.

Di dalam ruangan, sang ibu duduk di sisi ranjang. Matanya sembab dan wajahnya pucat, tapi genggaman tangannya tetap erat menggenggam tangan putrinya. Seolah rasa bersalahnya tidak akan pernah bisa ditebus hanya dengan kata maaf.

"Maafin Mama, sayang..." ucapnya pelan. Suaranya pecah, Vreya belum bisa menjawab. Hanya kelipan pelan dari matanya yang menjadi isyarat bahwa ia mendengar.

Di luar ruangan, Zayn berdiri tegak. Diam. Tatapannya tertuju lurus, sorot matanya dingin, penuh kalkulasi.

Beberapa menit kemudian, pintu kamar terbuka. Bella melangkah keluar, menyeka air mata dengan tisu. Ia sempat menatap Zayn dari belakang, ragu sejenak sebelum mendekat.

Sebelum Bella sempat bicara, seorang pria berpakaian formal melintas di lorong. Ia sempat melirik Zayn dan menunduk dalam hormat. Zayn membalasnya dengan anggukan kecil, cukup untuk memberi perintah tanpa suara. Gerakan itu disadari oleh seorang staf rumah sakit yang melintas, tapi tidak ada yang berani bertanya.

Zayn mengeluarkan ponselnya. Jarinya bergerak cepat.

"Vreya sadar. Waktu saya tidak banyak. Cari siapa yang melakukan ini. Dan cari tahu dengan siapa Dona menginap di hotel malam ini."

Pesan terkirim. Pikirannya melayang, ada nama yang menghantui pikirannya malam ini. Namanya menancap dalam benaknya seperti serpihan logam panas. Wanita misterius dengan jemari yang menari di atas tuts piano malam itu... bukan hanya membuatnya terobsesi. Dona adalah misinya. Tapi lebih dari itu.. ia ingin memilikinya.

Cepat atau lambat.

"Permisi..." Suara Bella memecah lamunannya.

Zayn langsung menunduk, memasukkan kembali ponsel ke saku, lalu menatap Bella dengan sopan.

"Ada yang bisa saya bantu?" tanyanya tenang.

Bella tersenyum ramah, meski lelah masih tergambar jelas di wajahnya.

"Kamu... baru? Maksud saya, kamu baru menjadi pengawal Vreya?"

Zayn mengangguk. "Iya. Baru hari ini."

Bella menarik napas panjang, lalu menatap Zayn dalam-dalam.

"Saya titip Vreya, ya..."

Ucapan itu terdengar lembut, namun mengandung beban yang tak kasatmata. Dan Zayn hanya bisa mengangguk, padahal dalam hatinya, ia bukan sedang menjaga. Ia sedang memanipulasi.

**

Pagi menjelang, sementara lampu-lampu lorong rumah sakit masih menyala temaram. Aroma rumah sakit samar menguar dari ventilasi. Suasana sunyi, hanya sesekali terdengar roda troli perawat di lantai bawah.

Vreya terbangun, Kali ini lebih tenang. Pandangannya masih kabur, tapi ia tahu di ruangan itu tak ada siapa-siapa. tidak ada Mama, tidak ada Riska, manajernya. Hanya satu sosok yang berdiri bersandar di dinding, menatap ke arah tempat tidurnya.

Zayn.

Ia langsung merapikan posisi duduknya pelan. Infus masih terpasang di tangan, dan rambutnya kusut, sebagian menutupi mata.

Zayn mendekat. Langkahnya tenang, tidak tergesa.

“Sudah lebih baik?” tanyanya pelan.

Vreya hanya mengangguk kecil. Tenggorokannya masih sangat kering.

Zayn menoleh ke meja kecil di samping ranjang. Tangannya mengambil segelas air mineral dan menyodorkannya padanya. Saat Vreya mencoba meraihnya, tangan mereka hampir bersentuhan.

Dan saat itu juga, jantung Vreya berdetak sedikit lebih cepat.

Ia berusaha mengabaikannya. Tapi dirinya tahu, tubuhnya tidak bisa berbohong.

Zayn memperhatikan rambut Vreya yang jatuh menutupi pipi. Tanpa berkata apa-apa, ia mengambil karet rambut dari meja. Lalu, dengan gerakan tenang, ia mengangkat sebagian rambut Vreya dan mulai mengikatnya perlahan.

Sentuhan itu ringan, bahkan tak terasa. Tapi cukup membuat napas Vreya tertahan.

Tak ada kata yang terucap. Hanya diam. Tapi diam itu berbicara, lebih keras dari kalimat manapun. Ada sesuatu yang bergerak dalam diam, dan Vreya merasakannya.

Setelah selesai, Zayn melangkah mundur dan berkata singkat, “Kamu tidak suka rambutmu berantakan, kan?”

Vreya menatapnya sejenak. Ada pertanyaan yang menggantung di matanya, tapi bibirnya tetap terkunci. Ia menunduk… menyembunyikan pipinya yang mulai bersemu.

Lalu dengan nada dingin, ia berkata,

"Lain kali tidak perlu melakukan hal seperti itu."

Zayn tidak menjawab. Ia hanya menoleh ke arah jendela dan berdiri di sana, seolah tidak terjadi apa-apa.

Beberapa menit berlalu. Riska belum kembali. Dan satu orang lagi yang seharusnya datang namun tak pernah muncul.

Yuan Aditama. Ayahnya.

Vreya bahkan tidak merasa heran. Ia tahu… ia tidak perlu berharap.

Dan entah mengapa, perhatian kecil dari pria asing yang baru ia kenal, terasa lebih nyata… dari sosok yang selama ini hanya menyumbang nama di akta lahirnya.

"Aku ingin pulang," gumam Vreya pelan. Tangannya saling bertautan, menyiratkan gelisah yang tertahan.

Zayn menoleh cepat. “Belum boleh.”

“Aku ada latihan hari ini.”

“Latihan apa? Biar saya atur jadwalnya.”

Vreya menatapnya sebentar. “Tidak perlu, itu urusan manajerku. Aku cuma... tidak betah di tempat seperti ini.”

Zayn menatapnya sebentar. Diam.

Lalu dengan suara rendah dan tegas, ia menjawab, “Akan saya usahakan.”

**

Zayn berhasil meyakinkan dokter jaga untuk memberikan keringanan. Status Vreya memang sudah membaik, dan fakta bahwa rumah sakit itu milik keluarga Aditama membuat prosesnya lebih mudah. Dengan catatan, Vreya tetap dalam pengawasan dokter pribadi dan tidak boleh kelelahan.

Menjelang siang, mereka pun kembali ke rumah. Bukan ke rumah besar keluarga Aditama, tapi ke rumah pribadi milik Vreya. sebuah rumah bergaya minimalis dua lantai yang tenang, tersembunyi di antara pepohonan rindang. Sunyi. Seolah menolak hiruk pikuk dunia luar.

Vreya memang sengaja tinggal di sana. Rumah itu ia beli dengan uangnya sendiri, hasil kerja kerasnya sebagai Pianis dan Aktris. bukan dari Yuan Aditama. Dan bukan bagian dari kehidupan glamor keluarga besarnya, yang lebih sering terasa asing daripada akrab.

Ia memilih berbeda tempat tinggal. Berbeda hidup. Terpisah dari ayahnya, ibunya, dan adik tirinya—Dona.

Begitu masuk, Vreya langsung duduk di sofa ruang tengah. Ia melepas jaket tipisnya, lalu menyandarkan punggung. Wajahnya terlihat lelah, tapi juga lega. Rumah ini satu-satunya tempat yang membuatnya merasa tenang dan nyaman. tak lama Vreya bangkit kembali dan menuju lantai atas.

Zayn, yang sejak tadi membantunya masuk, membuka pintu kamar Vreya perlahan untuk memastikan semuanya aman.

Vreya menoleh, suaranya pelan, “Kamu nginap, atau pulang?”

Zayn menatapnya sebentar. Lalu menjawab mantap, “Saya akan tetap di sini.”

Vreya tidak langsung menimpali. Ia hanya mengangguk kecil, lalu menunjuk ke arah lorong samping. “Kamar pojok sana. Itu kamar kamu. Kalau saya butuh apa pun… kamu bisa langsung ke sini.”

Zayn mengangguk. “Baik.”

Suara di antara mereka hanya itu. Tapi ada sesuatu yang terasa… berubah. Vreya merasa nyaman di dekat Zayn.

Zayn berjalan menuju kamarnya. Vreya hanya menatap punggungnya sesaat sebelum akhirnya menyandarkan kepala ke sisi ranjang.

ia sadar… rumah itu memang sunyi.

Tapi kehadiran Zayn meski tak banyak bicara membuatnya sedikit... lebih hidup.

**

Malam merambat pelan. Langit gelap bergantung di luar jendela kamar Vreya, dan seluruh rumah larut dalam keheningan. Tapi Vreya, yang belum bisa tidur, merasa bosan terjebak di dalam ranjang.

Tubuhnya memang belum pulih seratus persen, tapi kerinduan akan dunia musik memanggilnya lebih keras dari rasa lelah.

Ia bangkit perlahan, membuka panel tersembunyi di sisi lemari. Sebuah pintu kecil terbuka, mengarah ke ruang rahasia di balik kamar—ruang pribadinya, tempat ia biasa menumpahkan semua emosi lewat tuts piano.

Lampu temaram menyala otomatis saat ia masuk. Di sana, sebuah grand piano hitam berdiri megah, menyambut seperti sahabat lama. Vreya duduk, menarik napas dalam, dan mulai menyentuh tuts-tuts itu dengan jemarinya yang dingin.

Nada demi nada meluncur. Kadang pelan, kadang meledak. Ia seperti bicara dengan dirinya sendiri, tanpa kata, hanya denting.

Sementara itu, Zayn masih terjaga di lantai bawah.

Suara bel terdengar. Ia berjalan ke arah pintu, lalu membuka sedikit celah untuk mengintip. Seorang pria berdiri di sana—berpakaian rapi, mengenakan jas mahal, dan tampak seperti baru keluar dari mobil eksekutif.

Tatapannya tajam. Senyumnya angkuh.

“Siapa Anda?” tanya Zayn, nada suaranya tetap tenang meski tubuhnya langsung siaga. “Apa yang Anda lakukan malam-malam begini di rumah ini?”

Pria itu mengangkat alis, seolah tersinggung. “Saya ingin bertemu Vreya. Saya—” ia tersenyum miring, “Calon suaminya.”

Zayn tidak menjawab. Pandangannya tajam, tetap tidak terpengaruh.

“Oh, Anda pasti pengawal barunya Vreya,” ujar pria itu sambil terkekeh kecil, meremehkan. “Sampaikan saja, saya ingin bertemu. Vreya mengenal saya dengan baik.”

“Saya tidak bisa mengizinkan siapa pun masuk tanpa izin langsung dari Nona Vreya,” jawab Zayn dingin. Ia menutup pintu perlahan, lalu menguncinya kembali.

Pria itu tak berhenti menatap dari luar, tapi Zayn tak peduli. Yang penting baginya adalah keamanan Vreya.

Ia bergegas naik. Saat sampai di depan kamar Vreya, ia mengetuk. Sekali. Dua kali. Tak ada jawaban.

Zayn mulai merasa khawatir. Ia mengetuk lebih keras.

“Nona Vreya?” panggilnya. “Nona Vreya, kamu di dalam?”

Masih tidak ada jawaban. Detik-detik berikutnya terasa lebih lambat. Hatinya mulai gelisah.

Zayn mundur beberapa langkah, bersiap mendobrak pintu. Tapi belum sempat tubuhnya melesat maju.. pintu tiba-tiba terbuka dari dalam.

Dan semuanya terjadi begitu cepat.

Zayn kehilangan kendali, tubuhnya terdorong ke depan dan— bruk! Ia menubruk Vreya yang berdiri tepat di balik pintu.

Mereka jatuh.

Vreya terkejut. Tubuhnya tersungkur ke lantai, terlentang, dan tanpa sadar, kepalanya bersandar di lengan Zayn. Napasnya terhenti sejenak. Zayn di atas tubuhnya, posisi mereka terlalu dekat.

Jantung Vreya berdetak cepat. Degupnya bersaing dengan napas yang tersengal.

Zayn juga membeku di tempatnya. Napasnya berat, tapi ia cepat menarik diri, wajahnya berubah tegang.

“S-saya minta maaf. Saya kira terjadi sesuatu,” ucapnya buru-buru, menarik diri dan berdiri.

Vreya tetap terdiam. Pipi pucatnya mulai bersemu merah, tapi ia menunduk, menyembunyikan semuanya dalam diam.

Zayn berdiri di ambang kebingungan dan tanggung jawab.

“Ada pria mencarimu, mengaku calon suamimu,” katanya kemudian, suaranya kembali dingin.

Vreya mendongak perlahan, tatapannya berubah.

“Calon suami?" ulangnya. kemudian ia menatap Zayn. "Aku belum punya calon suami. Usir saja dia” katanya mantap.

Zayn kini berdiri tenang di ambang pintu. Wajahnya datar, tak terganggu oleh sikap arogan pria di hadapannya.

“Saya mohon maaf,” ucap Zayn sopan. “Tapi saat ini Nona Vreya belum bisa menerima tamu. Kalau Anda berkenan, silakan tinggalkan pesan. Saya akan sampaikan.”

Bimo mengerutkan kening, tidak terima. “Lo pikir, Lo itu siapa?? Ngelarang gue ketemu calon istri gue!"

Zayn masih menjaga sikap. Dan mengulum senyum kecil. “Tugas saya hanya memastikan ketenangan dan keamanan Nona Vreya. Dan ini sudah larut malam. Tolong, jangan membuat keributan. Dan.. Nona Vreya bilang, dia tidak memiliki calon suami."

Namun bukannya mundur, Bimo malah menyeringai meremehkan. “Sialan!" Bimo mendorong tubuh tegap Zayn.

Zayn hanya membalas dengan sorot mata dingin. Tapi sebelum sempat ia membalas kembali, suara langkah turun tangga terdengar.

“Sudah cukup, Bimo.” suara itu tegas.

Vreya muncul dari tangga, tubuhnya dibalut piyama satin.

Bimo langsung menoleh, memasang wajah sok perhatian. “Vree… akhirnya kamu keluar juga. Aku dengar dari Dona kamu sempat dirawat. Aku khawatir banget, makanya aku datang.”

Vreya mengangkat alisnya. “Dona? Untuk apa dia kasih tahu kamu?”

“Ya… dia adikmu. Wajar kalau dia—”

BRAK.

Vreya menghentakkan kakinya ke lantai. Suaranya menggema di lorong.

“Dia bukan adikku, Bimo!”

Bimo terdiam.

“Sekali lagi kamu sebut dia adikku, aku potong lidah kamu!” lanjut Vreya tajam. “Kamu pikir siapa kamu, datang malam-malam, sok peduli, dan dorong-dorong orang seenaknya?”

“Aku cuma khawatir, Vree... aku peduli, aku—”

“Peduli? Kamu?” Vreya tertawa pendek. “Kamu itu sama saja dengan Dona. Kalian itu serasi. Harusnya kalian berjodoh!"

“Saya rasa Nona Vreya sudah cukup jelas menyampaikan sikapnya. Untuk kebaikan semua pihak, saya mohon Anda pergi malam ini. Kami menghargai jika Anda bisa meninggalkan tempat ini dengan tenang.”

Bimo mendesis pelan, menahan amarahnya. Ia menatap Vreya satu kali lagi—tajam, menyimpan sesuatu.

“Kamu akan menyesal.”

Lalu ia membalikkan badan dan pergi menuju mobilnya.

Begitu suara mesin menjauh dan suasana kembali tenang, Vreya menyandarkan tubuh ke dinding, napasnya berat. Wajahnya kembali pucat, tapi matanya tak kehilangan ketegasannya.

Zayn menoleh cepat. “Kamu baik-baik saja?”

Vreya mengangguk pelan. “Iya... tapi mulai sekarang, jangan izinkan siapa pun masuk... terutama dia.”

Zayn menunduk hormat. “Baik, Non”

“Jangan pernah panggil aku dengan sebutan ‘Non’, ‘Nona’, atau semacamnya. Cukup panggil aku... Vreya.” ucapnya lurus menatap Zayn.

Zayn menatapnya sejenak, lalu mengangguk. “Baik, Vreya.”

Diam sejenak. Lalu Vreya kembali bicara, kali ini dengan suara lebih pelan. “Zayn…”

Zayn menoleh cepat. “Ya?”

“Apa... tadi Ayahku datang ke rumah sakit?”

Zayn menggeleng pelan. “Tidak.”

“Dona?”

“Iya. Dia datang.”

“Riska yang menelponnya, ya?” Vreya menghela napas, wajahnya tampak lelah. “Baiklah. Kamu boleh istirahat.”

Zayn kembali menunduk hormat. “Selamat malam.”

Ia berbalik dan berjalan menuju kamarnya di ujung lorong lantai dua. Langkah-langkahnya tenang namun berat, seolah menyimpan beban yang belum sempat dibuka.

Di dalam kamar, Zayn melepas jas dan kemejanya satu per satu. Dada bidangnya terekspos, tampak jelas guratan kelelahan setelah hari yang panjang. Ia meletakkan jam tangan di atas meja, lalu duduk di sisi ranjang, mengusap wajahnya yang letih.

Ponselnya pun bergetar.

Satu pesan masuk dari anak buah kepercayaannya.

“Lapor, Tuan. Kami sudah mendapatkan identitas pemberi racun. Seorang pria, staf dari perusahaan Arta Medika Nusantara.”

Zayn mendesah pelan. Tapi pesan berikutnya membuat rahangnya mengeras.

“Dan mengenai Nona Dona... kami mendapati dirinya menginap di salah satu hotel bintang lima malam ini. Bersama seorang pejabat yang terdaftar sebagai klien tetap.”

Zayn memijat pelipisnya. Sakit kepala yang sempat reda kini kembali menggedor.

Ia mengira wanita bernama Dona, gadis yang ia dengar memainkan piano malam itu berbeda. Tapi kini... semua lebih jelas. Harta tak pernah cukup bagi orang-orang seperti itu. Bahkan harga diri pun dijual tanpa pikir panjang.

Zayn bersandar di sandaran ranjang, mata menatap langit-langit kamar. Tapi wajah Dona dan permainan piano itu memutar di kepalanya. Dia tetap jatuh cinta dengan wanita itu.

"Sial!" umpatnya, dia benci wanita seperti itu. tapi kenapa dia tetap jatuh cinta?!

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • HASRAT TAK BERNAMA   Bab 4 Dua Langkah Menuju yang Salah

    Pagi kembali dengan sinar matahari menyusup ke celah tirai kamar besar Vreya. Gadis itu membuka matanya dengan malas, tubuhnya masih lemah setelah hampir kehilangan nyawanya. Ia menoleh sekilas, menemukan secangkir teh hangat di nakas. Aromanya samar, jelas bukan buatan ibunya. Entah Riska yang membuatnya… atau mungkin pengawalnya, Zayn. Dengan langkah gontai, ia turun ke ruang makan. Rumah besar itu sunyi, terlalu sunyi. Hanya suara burung dari luar jendela yang memecah keheningan. Tak ada tanda-tanda sang ayah, Yuan Aditama, atau Dona. Sejak lama rumah ini hanya miliknya seorang—bangunan megah yang lebih sering terasa seperti penjara. “Pagi.” Suara berat itu datang dari arah pintu. Zayn berdiri rapi dengan setelan hitamnya, seolah insiden semalam tak pernah terjadi. Sorot matanya tenang, nyaris dingin. Vreya melirik sekilas. “Pagi.” sahutnya singkat. Namun, hatinya berkhianat. Bayangan kejadian semalam—saat Zayn nyaris mendobrak pintu lalu terjatuh menimpanya—masih membuat

  • HASRAT TAK BERNAMA   Bab 3 Perempuan di Balik Nada

    Pukul dua dini hari. Rumah sakit elit di pusat kota masih menyisakan aktivitas di lorong-lorongnya, meski suasana sudah jauh lebih senyap dari sebelumnya. Vreya telah sadar. Ia kini terbaring di kamar VVIP, dengan tirai tipis mengelilingi tempat tidurnya. Alat-alat medis masih terpasang di tubuhnya, menandakan betapa tipis batas yang tadi dilewatinya—antara hidup dan kematian. Di dalam ruangan, sang ibu duduk di sisi ranjang. Matanya sembab dan wajahnya pucat, tapi genggaman tangannya tetap erat menggenggam tangan putrinya. Seolah rasa bersalahnya tidak akan pernah bisa ditebus hanya dengan kata maaf. "Maafin Mama, sayang..." ucapnya pelan. Suaranya pecah, Vreya belum bisa menjawab. Hanya kelipan pelan dari matanya yang menjadi isyarat bahwa ia mendengar. Di luar ruangan, Zayn berdiri tegak. Diam. Tatapannya tertuju lurus, sorot matanya dingin, penuh kalkulasi. Beberapa menit kemudian, pintu kamar terbuka. Bella melangkah keluar, menyeka air mata dengan tisu. Ia sempat mena

  • HASRAT TAK BERNAMA   Bab 2 Di Balik Gaun dan Racun

    Lokasi shooting sore itu masih ramai. Kru lalu-lalang di antara kabel, lampu, dan properti medis palsu. Hawa lembap dari gedung tua itu bercampur dengan aroma makanan cepat saji yang dibawa para kru. Di sudut ruang istirahat, Vreya duduk diam. Pandangannya kosong menatap naskah di pangkuan. Riska, sang manajer, datang membawa sebuah kotak makan berhiaskan pita merah. “Ini makanan untuk kamu, Vre. Dari fans,” katanya sambil tersenyum kecil. Di kotak itu, tertempel kartu kecil bertuliskan "Untuk Vreya, semangat ya shootingnya! Dari pengagummu." “Letakkan saja di situ. Aku sedang tidak nafsu makan,” ucap Vreya tanpa menoleh. Riska menghela napas, menaruh kotak itu di meja kecil. “Tapi... kamu harus makan. Makanan yang sudah disediakan kamu juga nggak sentuh dari tadi siang. Sekarang udah sore, Vre. Kamu masih ada scene lagi nanti.” Diam. “Fans kamu bakal sedih, lho, kalau tahu kamu nggak makan kiriman mereka.” Kalimat itu berhasil membuat Vreya menoleh, walau lelah tampak j

  • HASRAT TAK BERNAMA   Bab 1 Misi yang Tersembunyi

    Pagi itu Jakarta cerah seperti biasa. Tapi yang tidak biasa adalah kehadiran lelaki asing di ruang tamu. “Siapa dia?” tanya Vreya tanpa menoleh, masih memutar notasi lagu di iPad-nya. Manajernya menelan ludah gugup. “Pengawal pribadi baru. Tuan Yuan yang menugaskan.” “Sejak kapan aku perlu dijaga?” “Sejak paparazzi hampir menjatuhkan Anda di bandara kemarin, dan Nona Dona nyaris dibuntuti pria asing saat acara amal.” Vreya mengangkat kepala. Matanya menyipit menatap pria tinggi berjas hitam itu. rambut tersisir rapi, wajah dingin seperti salju di kutub. Tidak tersenyum. Tidak menyapa. Hanya berdiri diam, seperti patung mahal. “Namamu?” tanyanya pelan. “Zayn,” jawab pria itu, datar. “Hm.” Vreya berdiri. “Kau akan mengawalku mulai sekarang?” “Ya.” “Baik. Kalau begitu, dengar aturanku.” Ia melangkah perlahan, menyentuh sisi sofa berjalan mendekati Zayn. “Jangan ganggu waktuku bermain musik. Jangan ikut ke ruang makeup. Jangan ikut ke studio saat aku sedang rekaman

  • HASRAT TAK BERNAMA   PROLOG

    30 tahun lalu Hujan turun rintik-rintik, membasahi halaman belakang rumah sakit bersalin tempat dua sahabat duduk berdampingan. Di pangkuan mereka, dua bayi mungil yang baru saja membuka mata pada dunia. “Aku ingin... kelak saat mereka dewasa, kita jodohkan mereka,” ucap Caitlin pelan, mengusap pipi bayinya dengan penuh kasih. Bella tersenyum, menggenggam tangan sahabatnya. “Kalau begitu, janji. Kita jodohkan mereka.” Dua tangan terikat. Dua hati sepakat. Namun takdir jarang berjalan lurus. Sepuluh bulan kemudian, Caitlin pergi ke Amerika mengikuti suaminya. Janji itu tertinggal dalam hening. Terkubur waktu dan jarak. Kini Lagu klasik mengalun dari jari jemari seorang wanita berselendang merah darah. Panggung megah dipenuhi hadirin kelas atas, tapi hanya satu pria yang terpaku. Zayn. Mata elangnya tak beranjak dari punggung sang pianis. Ia tak tahu siapa wanita itu—wajahnya tersembunyi. Tapi cara dia menyentuh tuts piano… membuat hatinya bergetar untuk pe

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status