LOGINDona berdiri dari kursinya, melihat sekeliling ruangan yang hanya disekat dengan pembatas rendah.
Tapi tak ada satupun orang yang mencurigakan baginya.
Lantas siapa yang menaruh poster ini di mejanya?
“Ada apa, Dona?” tanya Leon yang kebetulan keluar ruangan melihat Dona seperti orang linglung.
“I-ini,” jawab Dona seraya memberitahukan poster yang dia pegang pada sang atasan.
Tubuh Dona masih gemetar. Mengapa ia dicap sebagai pelakor? Padahal Leon, pria yang berpacaran dengannya itu adalah seorang pria single.
“Ini pasti perbuatan orang iseng,” ucap Leon ringan.
“Tapi kenapa harus aku?” tanya Dona sedih.
“Kamu anak baru yang berbakat, sudah jelas ada anak lama yang cemburu pada kinerjamu,” jawab pria itu. “Sudah, jangan terlalu dipikirkan.”
Ucapan Leon membuat hati Dona seketika tenang kembali.
Leon benar, hal seperti ini sudah biasa di tempat kerja. Pasti akan ada anak lama yang tidak ingin tersingkir posisinya oleh anak baru. Apalagi kinerja Dona selama ini sangat baik dan mendapat banyak pujian dari bos.
“Aku harap orang itu tidak jahil lagi padaku,” ucap Dona sembari menghembuskan nafasnya untuk sedikit menghilangkan kegelisahannya.
“Sebagai kepala divisi, aku akan menindak tegas siapapun yang membuat onar di kantor ini,” ujar Leon, membuat Dona tersenyum tipis.
“Terima kasih, Pak.”
“Bekerjalah kembali,” kata Leon, sebelum berlalu tanpa menunggu respon dari Dona.
Dona memperhatikan punggung pria itu yang menghilang di balik pintu. Ia lalu kembali bekerja sesuai dengan perintah Leon.
Sebenarnya dia masih kepikiran. Tapi berkat ucapan Leon, Dona merasa sedikit tenang dan berusaha fokus bekerja sampai sore hari tiba.
Begitu jam kerja berakhir, Dona bergegas pulang. Namun, sepanjang menyusuri lorong, Dona merasa banyak mata menatap ke arahnya.
Wanita itu menjadi tidak nyaman, apalagi saat dia menyadari beberapa orang yang menatapnya sinis sambil berbisik-bisik.
Dona mempercepat langkahnya hingga akhirnya menabrak seseorang.
“Maaf,” ucap Dona sembari sedikit membungkukkan badan. “Aku tidak sengaja menabrak Anda,” lanjutnya.
“Dasar pelakor!” seru wanita cantik yang berseragam bank yang Dona temui.
“A-apa?” tanya Dona dengan mata terbelalak kaget.
“Tidak usah kaget begitu, kamu memang seorang pelakor. Berjalan buru-buru mau ketemuan sama suami orang, kan?” tuding wanita cantik itu dengan tatapan sinisnya.
Dona menelan ludah susah payah. “Sa-saya bukan pelakor,” ucapnya terbata, masih syok dengan tuduhan yang diberikan padanya. Demi Tuhan, dia bahkan tidak kenal wanita ini!
“Halah, pelakor mana mengaku kalau dirinya pelakor?!” sergah wanita cantik itu.
“Atas dasar apa aku dicap pelakor?” ucap Dona, mulai kesal atas tuduhan yang tidak berdasar itu.
Wanita asing itu tertawa mengejek, sembari melihat Dona dari ujung kepala sampai kaki seolah tengah menilai.
Dia akui, penampilan Dona memang menawan, parasnya cantik. Dia juga tidak terlihat seperti orang yang gampang dibodohi.
“Kamu memang pelakor licik tidak tahu malu,” desis wanita itu lagi, menatap Dona dengan tatapan jijik.
“Sudah aku bilang aku bukan pelakor!” tegas Dona dengan suara bergetar.
“Tinggalkan dia atau kamu akan menyesal!”
Dona mengerutkan alisnya, memandang wanita berseragam bank yang baru saja dia temui itu. Mencoba untuk mengingat siapa wanita itu, tapi Dona yakin belum pernah satu kalipun bertemu dengannya.
“Kenapa?” bentak wanita berseragam bank itu sambil berkacak pinggang. “Kamu tidak mau?”
“Saya belum pernah bertemu dengan Anda. Tapi kenapa Anda penuh percaya diri menganggap saya pelakor dan meminta untuk putus dengan pacar saya?” tanya Dona.
“Kamu tidak perlu tahu siapa aku. Yang jelas aku datang untuk memperingatkanmu. Jauhi dia!” jawab wanita itu dengan tegas.
“Kalau aku tidak mau bagaimana?” tanya Dona keras kepala. Wanita ini bisa saja hanya ingin mencari gara-gara dengannya. Bagaimana pun, Dona lebih mengenal Leon.
“Dasar pelakor tidak tahu diri, lihat saja jika kamu masih berhubungan dengan Leon!” sentak wanita itu, lalu pergi meninggalkan Dona sendirian di koridor.
Dona masih berdiri di tempatnya menatap wanita berseragam bank meninggalkannya dengan keadaan marah tersebut.
Wanita itu tahu hubungannya dengan Leon… padahal anak kantor tidak ada yang tahu tentang hubungan mereka.
Pikirannya semakin kalut, apa benar wanita itu ada hubungannya dengan teror yang dia terima tadi siang? Lalu apa hubungannya dengan Leon?
“Kamu belum pulang, Dona?” tanya Leon yang membuyarkan lamunan Dona. Pria itu muncul dari belakangnya.
“Ah, Pak Leon, iya saya baru saja keluar kantor dan bertemu orang aneh,” kata Dona. Wajahnya terlihat pucat.
“Orang aneh?” tanya Leon mengerutkan dahinya.
“Ya, dia berseragam bank swasta terkenal dan mengatai saja pelakor,” jawab Dona.
“Berseragam bank?!” ulang Leon. Nada suaranya naik satu oktaf, ia terlihat kaget.
Leon pikir ada pekerjaan yang dia lewatkan hari ini. Biasanya jika ada pegawai bank datang itu, artinya ada kerja sama dengan perusahaan mengenai payroll. Tapi dia tidak mendengar hal itu.
“Ya, apa Pak Leon mengenalnya?” tanya Dona yang melihat ekspresi Leon seolah kenal wanita itu.
“Ah, tidak,” jawab Leon singkat. Tapi melihat wajah Dona yang seperti tidak percaya, pria itu mendekat dan berbisik dengan lembut, “Banyak wanita yang mengejarku, Dona. Tapi percayalah hatiku sudah berhenti di kamu.”
Leon menghela nafas panjang mengontrol emosinya. Lalu Leon menatap kedua mertuanya juga Monica yang terlihat sedang bergelendot manja di samping orang tuanya.“Aku memilih Dona,” jawab Leon mantap.Sontak saja Monica yang tadinya santai saja karena ada kedua orang tuanya langsung menegakkan kepalanya, matanya juga melotot saking kagetnya.“A-pa?” ucapnya tidak percaya. Monica melihat ke arah Leon lalu bergantian ke arah kedua orang tuanya.“Dasar lelaki brengsek. Aku tidak sudi putriku dimadu!” seru Papa Mertua Leon kesal.“Memangnya siapa yang akan memadu Monica. Bukankah tadi Papa memintaku memilih antara Monica dan Dona?” tanya Leon.“Jadi kamu mau menceraikanku,” jawab Monica yang air matanya langsung tumpah ke pipi.Leon tersenyum serta mengangguk pelan. Pertanda dia mengiyakan apa yang diucapkan oleh Monica barusan. Leon sudah lega bisa mengungkapkan perasaannya saat ini. Dia sudah terlanjur jatuh cinta pada Dona, wanita yang selalu membuatnya jatuh cinta lagi dan lagi.“Tidak b
Leon menarik nafasnya panjang lalu menghembuskannya pelan. Dia sengaja melakukan itu untuk mengatur emosinya. Selanjutnya, dia melangkah santai menuju sofa untuk bergabung dengan istri dan kedua mertuanya.“Ini rumahku, Pa. Kenapa harus takut untuk pulang?” jawab Leon santai, lalu duduk di depan Papa mertuanya.“Setelah kamu sakiti putriku, beraninya kamu begitu?!” hardik Mama mertua Leon sambil mengacungkan jari telunjuknya.“Sudah jelas aku katakan tadi ‘kan, Ma. Ini rumahku,” ucap Leon.Papa Mertua Leon melempar air ke arah Leon, tepat mengenai wajahnya. Leon mengusap air itu dengan telapak tangannya, lalu menatap Papa mertuanya seolah menantangnya.“Ini rumah putriku bukan milikmu!” seru Papa Mertua Leon dengan garang. Dia sangat marah karena putri yang sangat dia cintai harus disakiti oleh suaminya sendiri.“Rumah ini dibangun olehku, bukan sepenuhnya milik putri kalian,” ucap Leon, berusaha tenang.“Tapi sertifikat rumah ini atas nama putriku. Jadi kalau kamu berselingkuh, sila
Pertanyaan Leon membuat perasaan Dona tak karuan. Dia pun bingung ingin mengatakan apa. Dia cemburu karena sudah terlanjur jatuh cinta pada Leon, tapi Dona juga tidak ingin egois dan melanjutkan hubungan yang salah ini.“Apakah pantas aku cemburu pada istri sah?” tanya Dona, matanya kembali berkaca-kaca. “Kamu pantas cemburu karena kita adalah sepasang kekasih,” kata Leon sembari mengusap pipi Dona dengan lembut.“Tidak. Hubungan kita terlarang,” ucap Dona yang hatinya masih sedih ditampar kenyataan.Leon menatap Dona lekat. Ada perasaan bersalah atas cintanya terhadap wanita itu. Tapi baginya, pertemuannya dengan Dona adalah sebuah takdir yang sudah ditentukan.“Maafkan aku, Dona. Tapi bagiku mencintaimu bukanlah sebuah kesalahan,” ucap Leon pelan.“Bukan kesalahan bagaimana? Kamu sudah punya istri tapi dengan sadar mendekatiku!” hardik Dona.Andai saja waktu dapat diputar kembali, mungkin Dona akan mencari tahu lebih jauh mengenai identitas Leon yang sebenarnya. Seorang kepala divi
Leon menatap Dona yang pias, kekecewaan menghiasi wajahnya yang ayu.Pria itu menelan ludah ketika menjawab, “Ada alasan tersendiri kenapa aku membohongimu, Dona,” jawabnya lirih.Dona menggeleng tak percaya. Air mata jatuh membasahi pipinya. “Kembalilah pada istrimu, Leon,” pintanya. Sungguh, ia tidak mau terperosok lebih jauh ke dalam cinta terlarang ini. Jika sejak awal tahu Leon sudah beristri, Dona tidak akan menjalin hubungan dengannya.Namun, Leon justru menggelengkan kepala. “Aku tidak mau berhenti berpacaran denganmu,” ucapnya dengan nada tegas.Tidak hanya Dona, Monica juga tampak terkejut mendengarnya.“Ini tidak benar, Leon! Jika melanjutkan hubungan ini, sama saja aku menyakiti hati sesama wanita,” balas Dona. Ia mundur selangkah, hendak menjauh. Tapi Leon lebih dulu menahan tangannya.“Hubungan ini sudah benar,” ucap Leon keras kepala.Monica yang mendengar suaminya berkata seperti itu langsung menamparnya. Kekecewaan yang dirasakannya kian mendalam. Bahkan hingga deti
Dona sudah agak mengantuk, tapi Leon tampaknya masih enggan beranjak dari restoran itu. Pria itu terus bercerita, dan Dona mendengarkannya sambil tersenyum simpul. Ia suka mendengar suara berat Leon. Pria itu tampak lebih hidup, berbeda saat di kantor yang penuh wibawa dan terkesan dingin. Selain saat mereka bermesraan, tentu saja.Namun, suasana hangat dan menyenangkan itu mendadak buyar….Byur!Guyuran soft drink mendarat tepat di wajah Leon, membuat mereka terkejut dan sontak memisahkan diri.“Apa-apaan ini?!” ucap Leon, langsung berdiri mengelap wajahnya dan menatap siapa yang mengguyur minuman itu.“Dasar tidak tahu malu, bermesraan di tempat umum dengan wanita lain padahal sudah beristri!” seru wanita itu dengan lantang. Tangannya juga berusaha untuk menampar Leon tapi berhasil ditangkis oleh pria itu.“Monica…?” lirih Leon, masih dengan wajah kaget.“Iya, ini aku Monica, istri sahmu!” sahut Monica yang masih dipenuhi rasa amarah di dada.Dona membelalak melihat wanita yang me
Dona menatap wajah Leon yang terlihat serius mengatakan kesungguhan hatinya. Wanita mana yang tidak klepek-klepek mendengar pria yang diperebutkan banyak wanita malah memilih dirinya?“Apa betul seperti itu?” tanya Dona untuk meyakinan diri.“Tentu saja. Di luaran sana banyak wanita yang menyatakan cintanya padaku. Tapi pilihanku jatuh di kamu,” jawab Leon sembari menggenggam kedua tangan Dona dan mengecupnya dengan mesra.“Kalau begitu, wanita tadi hanya salah satu wanita yang mengagumimu?” tanya Dona sekali lagi, masih ada keraguan di wajahnya yang ayu.“Hmm,” balas Leon bergumam. “Sekarang ayo kita makan malam. Kamu pasti sudah lapar,” ajaknya kemudian.“Oke,” sahut Dona disertai anggukan kecil. Dia memang sangat lapar. Memikirkan kejadian hari ini membuat energinya terkuras.Ia lantas mengikuti Leon yang membawanya ke sebuah rumah makan yang menghidangkan makanan favoritnya. Leon langsung memesan makanan untuk makan malam mereka berdua.“Aku harap kamu juga suka gurame asam manis







