Ha ha ha ha..
Tawa keduanya yang terkapar di atas ranjang mengema di dalam ruangan dengan kedua tubuh mereka tergeletak di atas ranjang ukuran besar.
“Aku benci warna hitam, aku ingin kau mengubah warna kamar ini!" protes Romeo yang melihat ke arah Raven yang berwajah memar.
“Kenapa? Menurutku menarik dengan warna ini?” balas Raven yang melihat ke arah Romeo yang berwajah memar. Yang sama-sama tidak kalah dengannya.
“Jika kamarmu seperti ini, bagaimana kau bisa menyelesaikan tugas kali ini. yang ada kau semakin menundahnya dan ia semakin akan lama di sini. dengan begitu, kita berdua akan semakin berubah dengan kehadirannya,” jelas Romeo yang membuat Raven tercengang. Ia melupakan hal itu dari rencana awal mereka berdua.
“Aku lupa,” ucap Raven dengan menepuk jidatnya.
“Tuhkan, kau saja bisa ceroboh. Apa lagi aku,” balas Romeo yang berdiri dari atas ranjang, kemudian berjalan ke arah pintu kamar.
“Kau mau kemana?” tanya Rav
Sekian lama, Raven yang menatapi tubuh Ruster. ia mulai kembali tersenyum lebih jahat. “Kau sangat cantik, Honey!” puji Raven dengan nafsu di matanya yang biru laut. Matanya kemudian jatuh turun di dada Ruster yang terlihat menggoda. yang meminta untuk di jamah. Tanpa basa basi, Raven mulai merasang dada Ruster. Ia mengulum dan menciumi puncaknya dengan kuat. Sementara dada Ruster yang lain, ikut di remas kuat oleh tangan Raven. “Ahhhh... janganghhhhh...” desah Ruster di sela-sela tidurnya yang masih terjaga. Rangsangan Raven kini semakin meluas. Sembari membuka kedua paha Ruster. Tangan Raven mulai bergerak aktif menuju ke bibir inti Ruster. Raven mengelus dan bermain semakin liar dengan dua jari tangan menerobos rapat inti Ruster. “Ahhh...” Ruster bereaksi dalam setiap sentuhan Raven. Tubuhnya menggeliat dengan desahan kecil yang lolos dari bibir seksinya. “Aku tahu, bahwa kau telah menikmatinya, Honey,” ucap Raven de
Raven mulai meneliti tempat dirinya berada saat ini dan,ia baru sadar. Kalau ini bukan kamarnya, karena ia tidak mungkin memiliki kamar dengan nuasa putih semua. Warna kamarnya saja belum ia ganti sama sekali. Setelah berpikir cukup lama, Raven merasa tidak menemukan jawabannya. Karena kepalanya cukup sakit hari ini. ia pun malas untuk melanjutkan untuk berpikir lagi. Kemudian kedua matanya melirik tubuhnya. Raven melihat tubuhnya yang tidak memakai sehelai benangpun untuk menutupi tubuhnya dan kemungkinan barusan itu bukan mimpi. Senyuman jahatnya semakin lebar, ia melangkahkan kakinya untuk turun dari atas ranjang. Berharap menemukan pakaian yang bisa di kenakan olehnya dan kembali melecehkan Ruster untuk kesekian kalinya. Tetiba suara pintu terbuka dan mengalihkan perhatiannya. Hingga langkah kaki Raven terhenti dan segera menoleh ke arah sumber suara. Raven melihat Ruster yang keluar dari kamar mandi dengan penampilan kacau. “Kau..
Raven kembali membuka kedua kaki Ruster, lalu menganjal bokong Ruster agar cairan yang ia tembakan barusan tidak keluar semuanya. Setelah selesai, Raven mengocok wine beralkohol tinggi dan meminumnya sedikit. Lalu segera menuangkan wine tersebut di dalam liang inti Ruster. Tentu dengan jarinya yang ikutan masuk ke dalam untuk membuka akses masuk cairan wine itu. Ruster terkejut, karena rasa dingin di liangnya. Tapi ia tidak bisa melakukan apa-apa lagi. Kedua kakinya di paksa kuat dengan di cengkram oleh Raven. Agar tetap terbuka sempurna di tambah dengan tubuhnya yang begitu lelah untuk melawan Raven yang semakin gila. “Hentikan..” rintih Ruster memohon. “Akan ku hentikan, asal kau mengaku siapa yang menyuruhmu dan di bayar berapa?” tanya Raven dengan suara seraknya. “Tidak tau apa maksudmu,”balas Ruster jujur. “Keras kepala sekali, wanita ini!” batin Raven “Baiklah, jika itu maumu. Maka silahkan menikmati ke indahan ini dan in
Raven kembali memasukkan kembali rudalnya yang masih kokoh dengan urat kemarahan yang menghiasi badan rudalnya. yang seperti emosinya kali ini yang menguasai tubuhnya. Ruster memejamkan kedua matanya, ia mendesah berkali-kali karena ulah Raven yang terus menyiksanya tiada henti dengan gerakkan memancing gairahnya yang semakin naik. “Ahh... Ven...” desah Ruster lirih Raven seperti biasa, ia menulikan telinganya. Dengan mengubah posisi tubuh Ruster yang semula bertumpu pada kepala ranjang. Kini menarik pinggang Ruster semakin mendekatinya dan membiarkan Ruster menunging di tengah ranjang. Yang merupakan pemandangan yang indah bagi Raven. Raven kembali menghentakkan rudalnya ke inti Ruster untuk memulai ronde selanjutnya untuk mengejar kenikmatan yang sebentar lagi akan datang. Hingga akhirnya, Raven semakin mempercepat gerakan pinggangnya dengan mencengkeram pinggul Ruster semakin erat untuk tetap dalam posisi tersebut. Hentakan demi hentakkan c
*** Di ruang makan, Raven sedang makan dengan lahap untuk mengisi perutnya yang kosong dan memutuskan untuk segera pergi ke perusahan. Mengingat pekerjaan pasti sudah menumpuk tinggi, karena ia tidak menyelesaikannya selama dua hari, katena menyiksa Ruster untuk mengakui siapa yang menyuruhnya mendekati Romeo. “Fuck,” maki Raven yang segera menyambar tas kerjanya dengan berlari terbirit-birit ke arah pakiran mobilnya. Di jendela, Ruster melihat mobil Ferrary biru elektrik keluar dari halaman rumah. Hati Ruster seketika lega, karena ia tidak perlu di paksa melayani iparnya lagi. “Apa yang sedang kamu lihat?” tanya Romeo yang memeluk pinggang Ruster dari belakang dengan mengecup leher Ruster. Takut akan tanda dari Raven ketahuan, Ruster segera membalikkan tubuhnya dan menatapi Romeo dengan tatapan serba salah. “Ayo mandi sana, aku akan meminta pelayan menyiapkan sarapan untuk kita berdua!” perintah Romeo yang di turutin oleh Ruster
Dengan kaki panjang di balut celana mahal, Raven melangkah keluar dari dalam kantornya di ikutin seketaris pribadinya dan sekaligus asistennya yang bernama Jack. Raven anti dengan seketaris wanita, sehingga ia memaksa Jack untuk merangkap menjadi seketaris pribadinya. Jack membukakan pintu dan mempersilahkan Raven untuk masuk kedalam mobil di bagian kursi penumpang. Raven duduk dengan laptop di atas kedua pahanya, kedua matanya terus menatapi layar laptop dengan serius tanpa berkedip sedikitpun di dalam perjalanan menuju ke tempat pertemuan para CEO yang menurut Raven hanya akan merusak matanya yang indah itu. karena jijik dengan tampang para CEO yang berwajah menjijikan di benak Raven. “Tuan, kita akan sampai!” ucap Jack yang memberitau Raven yang tengah sibuk dengan dunianya. Raven melirik ke arah jendela dan melihat salah satu kawasan restoran mewah yang merupakan tempat pertemuan antara klien yang di adakan di salah satu tempat restoran mewah yang
“Jika enak, kenapa menundukkan kepala?” tanya Romeo yang masih dengan nada perhatiannya. “Aku malu, kamu terus menatapku sedari tadi. Sehingga aku tidak konsetrasi untuk makan,” alasan Ruster, padahal pikirannya sedang tempat lain. “Oh, kalau begitu. Ayo makan yang banyak. Biar sehat,” balas Romeo dengan senyuman palsunya. Ruster kembali menyantap makanan di depannya dengan gugup. Walaupun pria di depannya saat ini adalah suaminya. Tapi entah kenapa ia merasa aneh dan tidak nyaman. Seolah-olah pria di depannya adalah Raven yang sedang mengawasinya dan bukan suaminya yang bernama Romeo Van Diora. “Apa mungkin karena ia mirip dengan Raven,” batin Ruster yang masih mengingat apa yang di lakukan oleh Raven padannya selama dua hari berturut-turut. Seketika, Ruster semakin merasa bersalah pada suaminya dan ia tidak tahu mau menjelaskan bagaimana soal kejadian tersebut kepada Romeo. Selesai makan, Romeo bergegas naik ke lantai atas untuk menghu
“Mendekatlah,” Romeo menarik punggung Ruster agar merapat ke tubuhnya. Ruster semakin di buat salah tingkah, dalam seketika waktu. Ruster menahan nafas seolah lupa bagaimana caranya untuk menghirup oksigen karena sempat mengira Romeo adalah Raven. “Bernafaslah, jangan gugup seperti itu. aku tahu, kamu belum pandai mengikat dasi?” ucap Romeo yang sangat paham dengan keandaan istrinya yang sangat gugup di hadapannya. Butiran demi butiran keringat menetes turun melewati pipi. Wajah Ruster yang yang di selimuti rona merah yang menggoda, menjadikan Ruster tampak begitu cantik dan mengemaskan di mata Romeo. “Kau kelihatan begitu sulit memakaikan dasi untukku, Sayang!” ucap Romeo beralih menggenggam tangan Ruster. Merasakan tangan dingin Ruster yang tegang. “Ma-maaf…. Aku belum pandai melakukannya.” Di antara rasa gugup, Ruster menikmati sikap lembut Romeo kepadanya. “Sini ku ajarin,” ucap Romeo memberikan instruksinya kepada Ru