Share

Bab 2

Jam sudah menunjukkan pukul lima sore, tapi Mas Arif belum juga pulang. Aku kembali mengirimkan pesan.

"Mas, kok masih belum sampai rumah?" tanyaku tidak sabar.

"Satu jam yang lalu ada mobil ban depannya pecah semua, jadi kita ganti dulu," balasnya cepat. Inilah suamiku, dia selalu bisa menemukan cara untuk membuat istrinya bahagia. Termasuk membalas pesan dengan cepat.

"Sekarang kamu di mana, Mas?" Aku kembali bertanya.

"Mas sudah di jalan, kok. Tenang aja. Mas lagi beli sate sama martabak kesukaan ibu sama bapak, juga bakso langganan kita," balasnya lagi yang membuat senyumku semakin mengembang.

"Sip, kamu suami terbaik," balasku lagi, lalu mengirimkan stiker hati yang banyak.

"Demi kamu, apapun akan Mas lakukan," ucapnya lewat pesan suara.

Untuk yang terkahir, aku tidak bisa membalas lagi. Sepertinya aku hanya bisa membalas secara langsung ketika dia sudah pulang nanti. Aku langsung bersiap sambil menunggu kedatangannya.

"Assalamu'alaikum."

Suara Mas Arif mulai terdengar.

"Wa'alaikumussalam, Mas." Aku langsung keluar untuk menyambut kedatangannya. "Alhamdulillah, akhirnya kamu sudah pulang."

"Itu kronologinya gimana? Selama ini bukankah dia baik sama kamu? Kok sekarang tiba-tiba begini?" cecarnya langsung menanyakan perihal status yang dibuat adiknya.

"Aku juga gak tahu, Mas. Ketika aku tanya, katanya bukan untukku. Loh, kan kakak ipar dia cuman aku," jelasku tanpa dibuat-buat.

"Ayo kita pergi ke rumah Ratih sekarang. Tapi sebelum itu, kita ke rumah Bapak dan Ibu dulu, agar mereka diam ketika kita datang ke rumah Ratih," terangnya.

Mempunyai suami yang begitu perhatian tentu saja impian untuk semua orang. Terlebih Mas Arif tahu banyak tentang cara membuat orang tuanya agar tidak ikut campur dalam masalah kami.

"Siap, Mas." Aku langsung ikut di belakangnya. Berhubung kami masih tidak membutuhkan mobil, jadi kami belum membelinya.

Anak kami pun baru satu, dia berumur empat tahun. Dari jam empat sore, dia sudah pergi mengaji bareng anak-anak tetangga di seorang ustaz. Dia akan pulang setelah ngaji malam, sekitar jam sembilan.

"Wah, tumben kamu ke sini menjelang malam, Rif?" Bapak dan Ibu langsung mendekat ke arah Mas Arif, tapi ibu langsung menghindar ketika aku mendekat ke arahnya.

"Ini adalah sate sama martabak dari Lily," ucap Mas Arif sambil menyerahkan dua bungkus yang dibawanya.

"Lily memang yang terbaik," sahut Bapak memuji, tapi tidak dengan Ibu. Dia malah menatap sate dan martabak yang di tangannya dengan tatapan tidak suka.

"Bu, Lily adalah istriku. Kalau Ibu tidak suka sama dia, sama saja ibu tidak suka padaku,' ucap Mas Arif sambil kembali pamit untuk pergi. Aku pun ikut pamit dan kembali naik ke atas motor.

Kami langsung menuju ke rumah Ratih. Semoga suaminya itu ada di rumah, biar tahu bagaimana kelakuan suaminya.

Beberapa kali kami menekan bel dan mengucapkan salam, tidak ada satu pun yang keluar dari rumahnya.

"Dia sepertinya sadar sudah melakukan kesalahan, Mas. Makanya dia gak berani keluar," ucapku mengompori. Suruh siapa dia cari gara-gara, aku jadi tidak punya batasan yang harus dijaga lagi.

"Mas Arif!"

Aku tersenyum bahagia ketika melihat Dandy datang dengan mobilnya dan langsung menyambut kami.

"Kamu kok ada tamu malah dibiarkan diam lama di luar. Udah mau magrib loh ini," ucap Dandy memarahi Ratih.

"Maaf, Mas. Aku gak dengar. Ketiduran," elaknya.

"Tidur? Kamu kan sudah sering Mas kasih tahu, jangan tidur setelah ashar," bentak Dandy.

Melihat Ranti dimarahi oleh suaminya sendiri aku langsung tersenyum lebar dan ada kepuasan sendiri yang hadir di dalam jiwaku.

Tanpa basa-basi, Mas Arif langsung menunjukkan status yang dibuat Ratih. "Lihat apa yang sudah dilakukan istrimu, aku ke sini ingin mendapatkan keadilan untuk istriku," ucapnya sangat berani.

Wajah Dandy langsung berubah merah, rahangnya mengeras, aku yakin dia akan dimarahi habis-habisan oleh suaminya sendiri. Ditambah Mas Ari pun pasti ikut-ikutan.

Siapa suruh dia buat masalah sama aku, membangunkan singa yang tidur saja.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status