"Apa maksud dari status yang kamu buat ini, Ratih?" tanya Dandy masih dengan cara baik-baik.
"S-status apa, Mas?" Ratih malah balik bertanya dengan suara yang gemetar. Aku sudah menebak hal ini akan terjadi, tapi dia tetap saja percaya diri untuk membuat masalah denganku. "Aku gak buat status apa-apa, kok," elaknya tidak mau mengaku. "Kalau enggak ada, mana mungkin Mbak Lily sama Mas Arif sampai ke sini," sergahnya sambil melemparkan tatapan tajam kepada sang istri. Aku dan Mas Arif memilih duduk manis, yang terpenting bagi kami adalah Ratih mau mengakui kesalahannya, dan mau menasehati Ratih agar tidak melakukan hal memalukan seperti ini di kemudian hari. "Benar, Mas. Aku tidak membuat status apapun," kilahnya kembali berbohong. "Ini kamu lihat sendiri di ponselku, ada tidak?" tanyanya sambil menyerahkan ponsel yang memang miliknya untuk memperlihatkan bukti palsu. Dandy terdiam sambil menatap ke arah ponsel yang diberikan oleh Ratih. Aku sudah menyangka hal ini akan terjadi. Dia pun membuka status istrinya, lalu kembali menatap ke arah kami. "Di sini tidak ada," ucapnya dengan suara yang tertahan. Aku tahu kalau dia sedang menahan rasa malunya karena istrinya berani menghapus statusnya. "Aku bener-bener tidak menyangka dengan sikap kamu, Ratih. Dulu Mas rela tidak melanjutkan kuliah hanya agar kamu bisa sekolah di SMA terfavorit sesuai impian kamu, terus lanjut ke perguruan tinggi terbaik. Tapi apa yang bisa kamu balas?" ujar Mas Arif kembali menceritakan kisahnya di masa lalu. Aku memang sempat mendengar dari orang-orang kalau suamiku itu sebenarnya adalah orang yang berprestasi, tapi dia sengaja tidak melanjutkan kuliah untuk bekerja, dan membiayai adik-adiknya sekolah. Bukan hanya Ratih, tapi juga ada Rina, Rara, dan Andi. Mas Arif anak pertama, Ratih kedua, Rina ketiga, Rara keempat, dan Andi kelima. Seiring modal yang dikumpulkan cukup untuk membuka usaha, Mas Arif langsung membuat bengkel kecil-kecilan yang hanya mempunyai tiga karyawati. Tapi aku sangat bersyukur, karena pekerjaan Mas Arif tidak terikat waktu, dan tidak menjadi pesuruh orang lain. "Kamu!" Dandy ikut marah kepada Ratih dan langsung menarik tangannya hingga ke kamar yang tepat ada di depan kami. "Apa yang sudah kamu lakukan?" tanya Dandy dengan geram. "Sepintar apapun kamu mengelak, aku tahu Mbak Lily gak mungkin berbicara tanpa bukti," tegasnya membuatku bisa bernapas dengan lega. Setidaknya Ratih masih mempunyai suami yang baik dan tidak buta. Jadi dia bisa melihat kebenaran langsung dengan matanya. "Ta-pi Mas, aku hanya mengungkapkan isi hati," cetus Ratih. "Mengungkapkan isi hati kamu bilang? Dengan membuat status mengatai orang lain yang tidak lain adalah kakak iparmu sendiri?" teriak Dandy. "Kamu sama saja makan bangkai saudara sendiri tahu, gak? Sesama saudara itu harusnya saling bantu. Bukan malah saling membicarakan begini." Aku dan Mas Arif benar-benar puas ketika mendengarnya. "Aku bicara jujur, Mas. Dia memang punya hutang sama kita dan belum dibayar," protes Ratih. "Utang? Kapan? Kenapa aku tidak tahu?" Suara Dandy terdengar semakin meninggi. "Kamu lupa kalau rumah ini, rumah yang sekarang kita tempati ada karena kakakmu itu, hah? Dia rela kerja tidak dibayar agar kita bisa punya rumah," jelasnya lagi. "Tapi itu berbeda, Mas!" Ratih tetap ngotot. "Beda gimana? Kalau tidak ada Mas Arif, kamu tidak akan pernah bisa kuliah," bentak Dandy lagi. "Yang bantu aku Mas Arif, bukan benalu yang bernama Lily itu," teriak Ratih yang membuatku dan Mas Arif semakin marah. Apa sebenarnya yang dia inginkan? Dia pikir kalau aku tidak setuju Mas Arif mau membantunya membuat rumah? Mimpi!"Mas, kamu dengar apa yang dikatakan Ratih, kan?" tanyaku pada Mas Arif di tengah keheningan. Mas Arif menatapku tidak percaya. "Selama ini Mas selalu berpikir kalau mereka baik sama kamu, tapi ternyata ...." Perkataannya menggantung, aku yakin suamiku tidak akan sanggup mengatakannya. "Tidak apa, Mas. Aku hanya perlu kamu tahu dan selalu mendukung apapun yang aku lakukan, itu sudah cukup," hiburku sambil mendekat ke arahnya dan mengusap punggungnya. "Maafkan Mas, ya, Mas belum bisa menjadi suami yang sempura," lirihnya dengan suara yang berat. Mendengar suaranya saja aku langsung jatuh hati. Apalagi ketika dia selalu memperlakukan aku seperti ratu. "Katakan saja sama Mas tentang adik-adikku dan orang tuaku kalau mereka membuatmu tidak nyaman," lanjutnya. Aku benar-benar sudah tidak bisa menahan tangan ini untuk tidak memeluknya. "Pasti, Mas. Aku akan selalu menceritakan apapun agar hatiku bisa tenang." "Kamu itu bener-bener kelewatan, Ratih. Kalau memang kamu tidak bersalah,
Rara adalah adalah adik Mas Arif yang kedua. Hanya dia dan Andi yang belum menikah. "Kenapa, cuman enam ratus ribu, kok. Kata Mas Arif, aku sebagai istrinya bebas untuk pakai uang suami," jelasku sambil menyombongkan diri. Dia pikir aku akan diam kalau dia seenaknya bicara begitu karena selalu merasa masih kecil, oh tidak bisa begitu. Bagiku dia sudah sangat dewasa. Tidak sepantasnya bicara seperti itu, terutama kepada kakak iparnya. "Apa? Kapan Mas Arif pernah bilang?" tanyanya tidak percaya dan menatapku penuh kebencian. Aku tidak menjawab dan memilih untuk masuk begitu saja ke dalam rumah dan duduk manis di sofa. Dia pun ikut duduk sambil menatapku membuka paket dengan sangat pelan. "Mau dibuka, gak?" tanyanya tidak sabar ketika aku malah membawa paket itu ke kamar. "Ya, maulah. Tapi aku mau membukanya di kamar. Di sini ada orang yang marah-marah, tapi kepo," sahutku cepat sambil memamerkan paket yang sedang aku timang-timang ini. "Kau? Dasar kakak ipar tidak tahu diri. Akan
Demi tetap menjaga kewarasan, aku langsung menutup grup keluarga itu tanpa membaca pesan ke bawahnya lagi. Aku juga sudah beberapa kali melakukan tancapan layar agar bisa aku tunjukkan kepada Mas Arif dan orang tuanya nanti. Aku melakukan semua ini bukan karena aku jahat, tapi aku ingin mereka sadar bahwa apa yang dilakukannya hanyalah sia-sia, dan menyengsarakan diri mereka sendiri. Bukan hanya itu, aku juga rasanya lelah harus berseteru dengan mereka terus-menerus. Kita saudara, sudah seharusnya akur. Bukan malah mencari kesalahan-kesalahan yang terjadi di antara kita dan menyebarkan keluar. "Mas, sepertinya aku memang tidak pernah dianggap ada oleh keluargamu," ucapku tiba-tiba melow ketika Mas Arif sudah mandi sepulang dari bengkel. "Kenapa bertanya begitu, mereka sepertinya belum bisa menerima saja." Mas Arif duduk di sampingku dan mulai mengelus rambut panjangku dengan lembut. Aku memang terbiasa memakai jilbab, tapi kalau di dalam rumah masih jarang. Meksipun begitu, di d
"Bu, dengar ya, kita ke sini itu punya niat yang baik. Bukan untuk cari masalah ataupun gosip. Coba ibu hitung sendiri, berapa tahun aku dan Lily kenal sampai menikah?" tanya Mas Arif kepada ibu. Ia sama sekali tidak mau mendengarkan omong kosong yang coba ibu jelaskan. Suamiku itu memang orang yang baik, tapi dia juga orangnya logis. Semuanya lebih duka ia tilai memakai logika. Kalau secara perasaan, jangan harap dia mau punya sikap itu. Enggak ada sedikit pun. "Ibu kan sudah minta maaf, Rif. Kenapa kamu malah begini sama ibu? Mau menjadi anak durhaka seperti Malin?" Ibu malah kembali bertanya dengan pertanyaan yang tidak seharusnya. "Bu, aku sedang bertanya A, kenapa ibu malah ke Z. Terlalu jauh." Mas Arif mengambil putri kami dan duduk di sofa yang ukurannya terbesar tanpa memedulikan adik-adiknya itu ataupun anak-anaknya. Beginilah kalau Mas Arif sudah marah, tapi sayang, adik-adiknya itu terus saka menguji kesabarannya. "Ibu gak mau menjelaskan yang sebenarnya? Iya begitu?
Aku menatap ke arah mereka dengan sinis. Perasaanku saat ini kesal bercampur marah. Benar-benar tidak tidak tahu terima kasih. "Oh, jadi gitu kamu Ra. Padahal kamu juga tadi yang awalnya cerita," geram Mbak Ratih sambil mencekal pergelangan tangan Rara dengan kuat. Bapak mertua sedang pergi keluar untuk ronda, katanya malam ini bagian keliling sama tetangga kiri kanan. Sementara matang ibu masih menatap ke arah uang yang ada di hadapan Mas Arif. Sepertinya ibu juga berada dalam dilema yang besar, sama seperti Rara. Dia terus-menerus menatap ke arah tas-tas yang sudah tergeletak tidak berdaya di depan matanya, tapi dia sama sekali tidak ada keberanian untuk mengambilnya. Karena Mas Arif ada di depan matanya. "Kalau Mbak Ratih sama Mbak Rina kasih aku uang gede, aku juga gak usah repot-repot bersikap baik sama Mbak Lily tau," bisik Rata, lalu mendengus kesal. "Emang berapa yang dia kasih ke kamu? Lima puluh ribu?” tanya Ratih menawarkan. Rara semakin merenggut. "Lima puluh ribu bu
Setelah kejadian di rumah ibu waktu itu, aku gak pernah lagi keluar dari rumah. Untuk keperluan sehari-hari, Mas Arif yang belanja ke grosir sepulang dari bengkel. Kata orang-orang, aku adalah istri yang manja. Padahal memang wanita itu tidak diciptakan untuk melakukan semua pekerjaan yang akan membuat kita lelah. Untuk yang mau melakukan silakan, tidak juga tidak apa-apa. Menurutku hal itu bukan sesuatu yang harus diributkan. Setiap wanita akan menjadi istri yang paling bahagia jika bersama dengan laki-laki yang tepat dan dialah Mas Arif, suamiku. Ibu dan anak-anaknya pun tidak pernah membuat gara-gara lagi. Mereka sama sekali tidak menunjukkan batang hidungnya. Hari ini mengaji anakku libur, dia ikut Mas Arif ke bengkel. Katanya mau menemani papanya dari pagi sampai petang. Sementara aku hanya diam di rumah menghabiskan waktu sendiri untuk mempercantik diri. Bagiku tidak ada masalah Salwa ikut ke bengkel, walaupun kata orang enggak pantas anak perempuan ke bengkel karena kotor
Adik Suamiku 10 Kejahatan tidak boleh dilawan dengan kejahatan juga. Lagipula, aku memang bukan orang yang terbiasa membuat status kalau ada saudara atau teman yang sifatnya menyebalkan seperti ini. Aku langsung menunjukkan status itu kepada Mas Arif. "Apa ini?" Mas Arif mengubah posisi tidurnya menjadi duduk. "Ini status Irma." Aku menjawab pelan. Dahi Mas Arif mengkerut, mungkin dia masih belum tahu siapa Irma. "Dia itu Minah, Mas. Istrinya salah satu karyawan kamu. Coba Mas baca apa statusnya dan bagaimana komentar orang-orang termasuk adik-adiknya, Mas." Aku menjelaskan semuanya. Bagiku hanya orang tua yang tidak akan pernah menceritakan apapun yang kita ceritakan kepada mereka, yang kedua suami. Tetapi jika suami kita adalah lelaki yang setia. Kalau tidak, tentu saja kita juga perlu khawatir. Namun selama dia masih menjadi suami kita, tidak usah cemas. Ceritakanlah apa yang kita rasa, karena kita juga dilarang untuk menilai orang dengan pikiran yang buruk. Terutama seora
Adik Suamiku 11 Ketika sampai di gapura, aku tidak menemukan siapapun. Hanya ada beberapa lelaki yang berlalu lalang. Ah, mungkin dia sudah pergi. Aku pun memutuskan untuk pulang dan kembali naik ke atas motor. Namun, aku tidak sengaja mendengar perkataan seorang lelaki. "Pak Arif kok bisa memutuskan pacarnya yang cantik seperti bidadari demi Lily, ya? Aneh banget, deh. Mana baik pula dia." Laki-laki itu melontarkan pujian yang membuatku malah semakin penasaran siapa wanita itu. Dulu, aku dan Mas Arif memang tidak pacaran, tapi kita sudah lama saling mengenal. Setelah dua tahun aku lulus SMA, keluarga Mas Arif datang ke rumah untuk melamar. Dari waktu itu, aku langsung menangkap kesimpulan kalau ibunya Mas Arif memang tidak begitu suka padaku. Hanya saja aku mau mencoba, terutama laki-laki sepertinya itu sangatlah langka. "Lily main pelet kali," sahut seorang lelaki lagi yang tepat berada di belakangku. Sepertinya dia tidak tahu kalau sejak tadi aku di sini. Main pelet katanya?