Share

Bab 3

"Apa maksud dari status yang kamu buat ini, Ratih?" tanya Dandy masih dengan cara baik-baik.

"S-status apa, Mas?" Ratih malah balik bertanya dengan suara yang gemetar. Aku sudah menebak hal ini akan terjadi, tapi dia tetap saja percaya diri untuk membuat masalah denganku. "Aku gak buat status apa-apa, kok," elaknya tidak mau mengaku.

"Kalau enggak ada, mana mungkin Mbak Lily sama Mas Arif sampai ke sini," sergahnya sambil melemparkan tatapan tajam kepada sang istri.

Aku dan Mas Arif memilih duduk manis, yang terpenting bagi kami adalah Ratih mau mengakui kesalahannya, dan mau menasehati Ratih agar tidak melakukan hal memalukan seperti ini di kemudian hari.

"Benar, Mas. Aku tidak membuat status apapun," kilahnya kembali berbohong. "Ini kamu lihat sendiri di ponselku, ada tidak?" tanyanya sambil menyerahkan ponsel yang memang miliknya untuk memperlihatkan bukti palsu.

Dandy terdiam sambil menatap ke arah ponsel yang diberikan oleh Ratih. Aku sudah menyangka hal ini akan terjadi. Dia pun membuka status istrinya, lalu kembali menatap ke arah kami.

"Di sini tidak ada," ucapnya dengan suara yang tertahan. Aku tahu kalau dia sedang menahan rasa malunya karena istrinya berani menghapus statusnya.

"Aku bener-bener tidak menyangka dengan sikap kamu, Ratih. Dulu Mas rela tidak melanjutkan kuliah hanya agar kamu bisa sekolah di SMA terfavorit sesuai impian kamu, terus lanjut ke perguruan tinggi terbaik. Tapi apa yang bisa kamu balas?" ujar Mas Arif kembali menceritakan kisahnya di masa lalu.

Aku memang sempat mendengar dari orang-orang kalau suamiku itu sebenarnya adalah orang yang berprestasi, tapi dia sengaja tidak melanjutkan kuliah untuk bekerja, dan membiayai adik-adiknya sekolah.

Bukan hanya Ratih, tapi juga ada Rina, Rara, dan Andi. Mas Arif anak pertama, Ratih kedua, Rina ketiga, Rara keempat, dan Andi kelima. Seiring modal yang dikumpulkan cukup untuk membuka usaha, Mas Arif langsung membuat bengkel kecil-kecilan yang hanya mempunyai tiga karyawati. Tapi aku sangat bersyukur, karena pekerjaan Mas Arif tidak terikat waktu, dan tidak menjadi pesuruh orang lain.

"Kamu!" Dandy ikut marah kepada Ratih dan langsung menarik tangannya hingga ke kamar yang tepat ada di depan kami.

"Apa yang sudah kamu lakukan?" tanya Dandy dengan geram. "Sepintar apapun kamu mengelak, aku tahu Mbak Lily gak mungkin berbicara tanpa bukti," tegasnya membuatku bisa bernapas dengan lega.

Setidaknya Ratih masih mempunyai suami yang baik dan tidak buta. Jadi dia bisa melihat kebenaran langsung dengan matanya.

"Ta-pi Mas, aku hanya mengungkapkan isi hati," cetus Ratih.

"Mengungkapkan isi hati kamu bilang? Dengan membuat status mengatai orang lain yang tidak lain adalah kakak iparmu sendiri?" teriak Dandy. "Kamu sama saja makan bangkai saudara sendiri tahu, gak? Sesama saudara itu harusnya saling bantu. Bukan malah saling membicarakan begini."

Aku dan Mas Arif benar-benar puas ketika mendengarnya.

"Aku bicara jujur, Mas. Dia memang punya hutang sama kita dan belum dibayar," protes Ratih.

"Utang? Kapan? Kenapa aku tidak tahu?" Suara Dandy terdengar semakin meninggi. "Kamu lupa kalau rumah ini, rumah yang sekarang kita tempati ada karena kakakmu itu, hah? Dia rela kerja tidak dibayar agar kita bisa punya rumah," jelasnya lagi.

"Tapi itu berbeda, Mas!" Ratih tetap ngotot.

"Beda gimana? Kalau tidak ada Mas Arif, kamu tidak akan pernah bisa kuliah," bentak Dandy lagi.

"Yang bantu aku Mas Arif, bukan benalu yang bernama Lily itu," teriak Ratih yang membuatku dan Mas Arif semakin marah.

Apa sebenarnya yang dia inginkan? Dia pikir kalau aku tidak setuju Mas Arif mau membantunya membuat rumah? Mimpi!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status