Share

Bab 4

"Mas, kamu dengar apa yang dikatakan Ratih, kan?" tanyaku pada Mas Arif di tengah keheningan.

Mas Arif menatapku tidak percaya. "Selama ini Mas selalu berpikir kalau mereka baik sama kamu, tapi ternyata ...."

Perkataannya menggantung, aku yakin suamiku tidak akan sanggup mengatakannya.

"Tidak apa, Mas. Aku hanya perlu kamu tahu dan selalu mendukung apapun yang aku lakukan, itu sudah cukup," hiburku sambil mendekat ke arahnya dan mengusap punggungnya.

"Maafkan Mas, ya, Mas belum bisa menjadi suami yang sempura," lirihnya dengan suara yang berat. Mendengar suaranya saja aku langsung jatuh hati. Apalagi ketika dia selalu memperlakukan aku seperti ratu. "Katakan saja sama Mas tentang adik-adikku dan orang tuaku kalau mereka membuatmu tidak nyaman," lanjutnya.

Aku benar-benar sudah tidak bisa menahan tangan ini untuk tidak memeluknya. "Pasti, Mas. Aku akan selalu menceritakan apapun agar hatiku bisa tenang."

"Kamu itu bener-bener kelewatan, Ratih. Kalau memang kamu tidak bersalah, Mas mau kamu minta maaf sekarang juga sama Mbak Lily," teriak Dendy dari dalam kamarnya membantuku dan Mas Arif mengurai pelukan.

"Sepertinya Ratih dimarahi habis-habisan, tapi tidak apa-apa. Siapa suruh dia membuat gara-gara sama wanita yang sangat penting di dalam hidup, Mas," imbuhnya membuatku merasa semakin naik ke awan.

"Ya sudah, kita pulang saja, Mas," ajakku takut anak-anak sudah pulang dari pengajian. Karena biasanya mereka pulang enggak tentu, lagipula jaraknya hanya beberapa langkah saja dari rumah. Kami juga berhubungan baik dengan keluarganya Pak Ustaz. Alhamdulillah mereka memang orang-orang yang sangat baik.

"Mas tidak akan pulang sebelum dia minta maaf sama kamu," terangnya membuatku semakin terharu.

"Kalau dia gak mau, Mas?"

"Kita paksa."

"Kalau masih gak mau?"

"Kita nginap saja di sini. Biar dia melayani makan kita dan membersihkan kamar untuk kita tidur. Enak banget dia," tegasnya.

Senyumku semakin lebar. Kata demi kata yang keluar dari suamiku benar-benar membuat istrinya bahagia. Istri mana yang tidak bersyukur ketika mempunyai suami seperti dia?

Mungkin yang otaknya keseleo, baru tidak akan bisa melihat segala ketulusan, dan kebaikannya.

"Mas," tegurku tapi dirinya cuek dan kembali fokus mendengarkan pertengkaran mereka.

"Aku gak bersalah, untuk apa minta maaf?" Suara Ratih masih terdengar angkuh dan itu pasti akan membuat Mas Arif semakin tidak menyukainya.

"Meminta maaf itu bukan masalah benar dan salah, Ranti. Kamu sudah membuat Mbak Lily dan Mas Arif terluka hati dan perasaannya. Jadi sudah sepantasnya kamu melakukan itu!" Dandy kembali berteriak.

"Cukup, Mas! Atas dasar apa kamu lebih membela wanita itu daripada aku?"

"Karena Mas Arif adalah orang yang paling banyak berkorban dalam hidup kamu. Aku ingin membuatmu sadar dan membuka mata, Ratih."

"Iya, aku minta maaf sekarang," teriaknya seperti terpaksa.

Tidak lama, mereka pun keluar dari kamar.

"Maaf," ucapnya angkuh.

"Atas apa?" tanyaku sambil menatapnya lekat.

"Apa, sih!" geram lalu pergi ke dalam kamar dan menguncinya.

"Ya ampun, Ratih." Dandy menepuk keningnya pelan.

"Tidak apa, Mas sudah sangat senang melihat kamu tidak langsung membela istrimu, Dan," imbuh Mas Arif. "Mas harap kamu selalu menjadi suami yang seperti ini. Bukan laki-laki yang akan selalu membela istrinya," lanjutnya.

"Maaf, Mas, aku masih gagal dalam mendidiknya." Dandy menghela napas berat.

"Tidak apa-apa, hari ini sudah selesai," ucapku sambil pamit untuk pulang.

.....

"Paket!" teriak seorang kurir dari luar rumah. Aku pun langsung buru-buru keluar.

"Berapa, Pak?" tanyaku sambil mengeluarkan beberapa lembaran uang.

"Dua enam ratus ribu, Bu," jawabnya dan aku langsung membayar. Setelah urusan selesai, aku langsung buru-buru masuk ke dalam rumah, tapi langkahku terhenti ketika melihat Rara yang sudah ada di terasku.

Kapan dia masuk?

"Belanja online kok sampai enam ratus ribu? Benar-benar gak melihat keadaan. Padahal suaminya sedang berjuang di bengkel demi sesuap nasi," celetuknya membuatku semakin geram.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status