Rara adalah adalah adik Mas Arif yang kedua. Hanya dia dan Andi yang belum menikah.
"Kenapa, cuman enam ratus ribu, kok. Kata Mas Arif, aku sebagai istrinya bebas untuk pakai uang suami," jelasku sambil menyombongkan diri. Dia pikir aku akan diam kalau dia seenaknya bicara begitu karena selalu merasa masih kecil, oh tidak bisa begitu. Bagiku dia sudah sangat dewasa. Tidak sepantasnya bicara seperti itu, terutama kepada kakak iparnya. "Apa? Kapan Mas Arif pernah bilang?" tanyanya tidak percaya dan menatapku penuh kebencian. Aku tidak menjawab dan memilih untuk masuk begitu saja ke dalam rumah dan duduk manis di sofa. Dia pun ikut duduk sambil menatapku membuka paket dengan sangat pelan. "Mau dibuka, gak?" tanyanya tidak sabar ketika aku malah membawa paket itu ke kamar. "Ya, maulah. Tapi aku mau membukanya di kamar. Di sini ada orang yang marah-marah, tapi kepo," sahutku cepat sambil memamerkan paket yang sedang aku timang-timang ini. "Kau? Dasar kakak ipar tidak tahu diri. Akan aku adukan sama ibu dan bapak," teriaknya tidak terima. Lalu, ia berjalan cepat keluar. "Silakan ngadu. Dasar anak kecil yang bisanya hanya mengadu saja. Sekalian bawa warga satu kelurahan. Nanggung kalau cuman bapak sama ibu saja!" teriakku dari pintu agar dia dengar. Awalnya dia sedikit penurut, mungkin sikapnya ini hasil kumpulan keluarga yang diadakan lusa di rumah mertuaku. Memang hanya aku dan Mas Arif yang tidak bisa datang karena di bengkel sedang banyak pekerjaan yang tidak bisa ditunda. Setelah membuka paketnya, aku langsung memeriksa semua pakaiannya, dan aku pastikan tidak ada cacat sedikit pun. Namun, ketika aku sedang asyik cek, notifikasi dari aplikasi hijau terus saja berbunyi sampai aku dibuat penasaran siapa yang sudah mengirimkan pesan. Ketika buka ponsel, aku sangat terkejut karena pesan itu bukan dari orang luar. Melainkan dari grup keluarga mertua. Sudah hampir seratus pesan. Ya ampun, pantas saja bunyinya tidak berhenti dari tadi. Ternyata ini. Setelah pakaiannya dilipat lagi, aku langsung memasukkan ke dalam tas kertas (paper bag) untuk dibagikan kepada mertua. Ini pun atas persetujuan Mas Arif. Katanya ibu dan bapak sudah lama tidak dibelikan baju. Setelah semuanya selesai, aku langsung membuka pesan dari grup keluarga mertua itu. Namun aku sangat terkejut, teryata yang membuka percakapan itu adalah Rara. "Benalu itu tadi nerima paket. Kalian tahu jumlahnya berapa?" tulis Rata membuat semua anggota keluarga yang aktif penasaran. Aku tidak habis pikir kalau dia juga akan mengirimkan info ini di grup. Dasar kekanak-kanakan. "Berapa jumlahnya, Ra? Seratus paling, ya?" tebak Ratih. Enggak kapok rupanya dia. Apa nunggu aku berubah dulu jadi Hulk, baru dia akan takut? "Bukan, Mbak. Banyak banget ini, bisa buat beli mas dua puluh empat karat," tulisnya lagi membuat Rina ikut heboh. "Yang benar kamu, Ra? Masa sih dia berani, kan Mas Arif cuman kerja bengkel." Rina masih tidak percaya. Kok, mereka lebay banget, ya. Gimana kalau mereka tahu aku dan Mas Arif sedang merencanakan untuk ganti semua peralatan rumah? Langsung pada pingsan kali, ya. "Makanya aku sudah bilang kalau istrinya Mas Arif itu bukan wanita biasa. Dia itu seperti seekor rubah. Penuh siasat," terang Rara lagi. Rubah, ya? Apa ada Rumah yang membelikannya baju? Lihat saja, akan aku tunjukkan bagaimana sikap rubah yang sebenarnya.Demi tetap menjaga kewarasan, aku langsung menutup grup keluarga itu tanpa membaca pesan ke bawahnya lagi. Aku juga sudah beberapa kali melakukan tancapan layar agar bisa aku tunjukkan kepada Mas Arif dan orang tuanya nanti. Aku melakukan semua ini bukan karena aku jahat, tapi aku ingin mereka sadar bahwa apa yang dilakukannya hanyalah sia-sia, dan menyengsarakan diri mereka sendiri. Bukan hanya itu, aku juga rasanya lelah harus berseteru dengan mereka terus-menerus. Kita saudara, sudah seharusnya akur. Bukan malah mencari kesalahan-kesalahan yang terjadi di antara kita dan menyebarkan keluar. "Mas, sepertinya aku memang tidak pernah dianggap ada oleh keluargamu," ucapku tiba-tiba melow ketika Mas Arif sudah mandi sepulang dari bengkel. "Kenapa bertanya begitu, mereka sepertinya belum bisa menerima saja." Mas Arif duduk di sampingku dan mulai mengelus rambut panjangku dengan lembut. Aku memang terbiasa memakai jilbab, tapi kalau di dalam rumah masih jarang. Meksipun begitu, di d
"Bu, dengar ya, kita ke sini itu punya niat yang baik. Bukan untuk cari masalah ataupun gosip. Coba ibu hitung sendiri, berapa tahun aku dan Lily kenal sampai menikah?" tanya Mas Arif kepada ibu. Ia sama sekali tidak mau mendengarkan omong kosong yang coba ibu jelaskan. Suamiku itu memang orang yang baik, tapi dia juga orangnya logis. Semuanya lebih duka ia tilai memakai logika. Kalau secara perasaan, jangan harap dia mau punya sikap itu. Enggak ada sedikit pun. "Ibu kan sudah minta maaf, Rif. Kenapa kamu malah begini sama ibu? Mau menjadi anak durhaka seperti Malin?" Ibu malah kembali bertanya dengan pertanyaan yang tidak seharusnya. "Bu, aku sedang bertanya A, kenapa ibu malah ke Z. Terlalu jauh." Mas Arif mengambil putri kami dan duduk di sofa yang ukurannya terbesar tanpa memedulikan adik-adiknya itu ataupun anak-anaknya. Beginilah kalau Mas Arif sudah marah, tapi sayang, adik-adiknya itu terus saka menguji kesabarannya. "Ibu gak mau menjelaskan yang sebenarnya? Iya begitu?
Aku menatap ke arah mereka dengan sinis. Perasaanku saat ini kesal bercampur marah. Benar-benar tidak tidak tahu terima kasih. "Oh, jadi gitu kamu Ra. Padahal kamu juga tadi yang awalnya cerita," geram Mbak Ratih sambil mencekal pergelangan tangan Rara dengan kuat. Bapak mertua sedang pergi keluar untuk ronda, katanya malam ini bagian keliling sama tetangga kiri kanan. Sementara matang ibu masih menatap ke arah uang yang ada di hadapan Mas Arif. Sepertinya ibu juga berada dalam dilema yang besar, sama seperti Rara. Dia terus-menerus menatap ke arah tas-tas yang sudah tergeletak tidak berdaya di depan matanya, tapi dia sama sekali tidak ada keberanian untuk mengambilnya. Karena Mas Arif ada di depan matanya. "Kalau Mbak Ratih sama Mbak Rina kasih aku uang gede, aku juga gak usah repot-repot bersikap baik sama Mbak Lily tau," bisik Rata, lalu mendengus kesal. "Emang berapa yang dia kasih ke kamu? Lima puluh ribu?” tanya Ratih menawarkan. Rara semakin merenggut. "Lima puluh ribu bu
Setelah kejadian di rumah ibu waktu itu, aku gak pernah lagi keluar dari rumah. Untuk keperluan sehari-hari, Mas Arif yang belanja ke grosir sepulang dari bengkel. Kata orang-orang, aku adalah istri yang manja. Padahal memang wanita itu tidak diciptakan untuk melakukan semua pekerjaan yang akan membuat kita lelah. Untuk yang mau melakukan silakan, tidak juga tidak apa-apa. Menurutku hal itu bukan sesuatu yang harus diributkan. Setiap wanita akan menjadi istri yang paling bahagia jika bersama dengan laki-laki yang tepat dan dialah Mas Arif, suamiku. Ibu dan anak-anaknya pun tidak pernah membuat gara-gara lagi. Mereka sama sekali tidak menunjukkan batang hidungnya. Hari ini mengaji anakku libur, dia ikut Mas Arif ke bengkel. Katanya mau menemani papanya dari pagi sampai petang. Sementara aku hanya diam di rumah menghabiskan waktu sendiri untuk mempercantik diri. Bagiku tidak ada masalah Salwa ikut ke bengkel, walaupun kata orang enggak pantas anak perempuan ke bengkel karena kotor
Adik Suamiku 10 Kejahatan tidak boleh dilawan dengan kejahatan juga. Lagipula, aku memang bukan orang yang terbiasa membuat status kalau ada saudara atau teman yang sifatnya menyebalkan seperti ini. Aku langsung menunjukkan status itu kepada Mas Arif. "Apa ini?" Mas Arif mengubah posisi tidurnya menjadi duduk. "Ini status Irma." Aku menjawab pelan. Dahi Mas Arif mengkerut, mungkin dia masih belum tahu siapa Irma. "Dia itu Minah, Mas. Istrinya salah satu karyawan kamu. Coba Mas baca apa statusnya dan bagaimana komentar orang-orang termasuk adik-adiknya, Mas." Aku menjelaskan semuanya. Bagiku hanya orang tua yang tidak akan pernah menceritakan apapun yang kita ceritakan kepada mereka, yang kedua suami. Tetapi jika suami kita adalah lelaki yang setia. Kalau tidak, tentu saja kita juga perlu khawatir. Namun selama dia masih menjadi suami kita, tidak usah cemas. Ceritakanlah apa yang kita rasa, karena kita juga dilarang untuk menilai orang dengan pikiran yang buruk. Terutama seora
Adik Suamiku 11 Ketika sampai di gapura, aku tidak menemukan siapapun. Hanya ada beberapa lelaki yang berlalu lalang. Ah, mungkin dia sudah pergi. Aku pun memutuskan untuk pulang dan kembali naik ke atas motor. Namun, aku tidak sengaja mendengar perkataan seorang lelaki. "Pak Arif kok bisa memutuskan pacarnya yang cantik seperti bidadari demi Lily, ya? Aneh banget, deh. Mana baik pula dia." Laki-laki itu melontarkan pujian yang membuatku malah semakin penasaran siapa wanita itu. Dulu, aku dan Mas Arif memang tidak pacaran, tapi kita sudah lama saling mengenal. Setelah dua tahun aku lulus SMA, keluarga Mas Arif datang ke rumah untuk melamar. Dari waktu itu, aku langsung menangkap kesimpulan kalau ibunya Mas Arif memang tidak begitu suka padaku. Hanya saja aku mau mencoba, terutama laki-laki sepertinya itu sangatlah langka. "Lily main pelet kali," sahut seorang lelaki lagi yang tepat berada di belakangku. Sepertinya dia tidak tahu kalau sejak tadi aku di sini. Main pelet katanya?
Adik Suamiku 12 Mas Arif yang awalnya menatap kami sambil tersenyum, kini wajahnya ditekuk, dan menatap ke arah Rara dengan tatapan tajam. Kalau bukan di tempat umum, sudah bisa kupastikan Mas Arif akan menarik tubuhnya secara kasar. "Tenang, Mas. Setelah makan bakso, kita langsung samperin dia aja, dan ajak pulang," ucapku menyarankan. Mas Arif tidak bicara, dia hanya menghembuskan napas panjang. Aku yakin saat ini dia sedang berusaha mengatur emosinya agar tidak meledak. Dari perkataan Rara yang tadi, bisa kuambil kesimpulan kalau dirinyalah yang sudah menyebarkan gosip kalau aku pakai pelet. Padahal jelas-jelas dia sendiri tahu dulu Mas Arif yang mengajakku menikah lebih dulu. Sementara aku sangat jaga jarak dengan yang namanya lelaki. Apalagi pacaran atau pake pelet. Jauh. Ketika pesanan kami datang, Mas Arif langsung masuk ke meja kami, dan makan dengan lahap. "Mas mau mengajak Rara pulang lebih dulu. Kamu gapapa, kan kalau Mas pesankan mobil online?" tanyanya dengan wajah
Adik Suamiku 13 Berita Mas Arif memarahi Rara pun viral. Setiap orang yang melihatnya langsung terdiam, bahkan ada beberapa orang yang langsung masuk ke dalam rumahnya seolah Mas Arif adalah penjahat. Melihat sikap orang-orang terhadapnya, apalagi karyawannya pun terlihat canggung ketika bertemu, Mas Arif langsung melarangku agar tidak sembarangan keluar. Mas Arif tidak mau aku mendapatkan perlakuan yang sama. "Itu Si Rara beberapa hari lalu dimarahi Si Arif hanya karena Lily." Suara ibu-ibu dekat rumah yang selalu bergosip pun mulai terdengar. Aku berusaha untuk berpura-pura tidak mendengar. Percuma, mendengarnya hanya akan membuat kita sakit. "Iya, kayaknya benar kalau dia itu pengguna ilmu hitam." Ibu yang lain langsung mengambil kesimpulan. Aku membuka gorden sedikit untuk melihat siapa saja yang ada di luar itu. Setelah mengetahui wajah-wajah mereka, aku langsung menuliskan namanya di secarik kertas. Jika nanti kami berbagi di akhir bulan, mereka tidak akan aku masukan ke