Jujur saja saat, ini aku bingung bagaimana jika tanah yang dibeli oleh papa itu kelak menjadi sengketa.
Bukankah tanah itu dibeli bukan atas nama papa atau atas nama suamiku? Alasan utama adik ipar Papa membeli tanah itu karena di pulau seribu katanya tidak boleh ada orang luar yang membeli tanah di sana. Harus orang yang sudah memiliki KTP di pulau Tidung itu yang membeli tanah.Jika pembelinya dari luar, maka tanah itu bisa menjadi sengketa ... kira-kira seperti itulah. Tetapi aku juga tidak mengerti. Apakah hal itu benar atau hanya akal-akalan saja, yang jelas aku pribadi hanya merasa heran kenapa Papa membeli tanah itu jika tidak bisa atas namanya?"Terus, kalau misalkan ... amit-amit ya Papa meninggal. Lalu tanah itu mau diapain? Emang kamu bisa ngomong kalau itu tanah punya kamu?" kataku kepada Romi setelah kami kembali dari pulau Tidung.Romi mengangkat bahunya."Nggak tahu, nanti kita pikirin aja. Toh untuk sekarang kita kan masih punya uang dan masih bisa usaha juga."Aku hanya bisa tersenyum kecil, punya uang katanya? Bagaimana bisa suamiku sesantai itu padahal dalam rekening hanya tinggal 25 juta. Uang sebesar itu hanya cukup untuk 5 bulan saja. Dan lagi pula aku kesel sekali karena akhir-akhir ini Romi mulai kembali kepada kebiasaannya yang lama ketika dia masih menjadi DJ. Romi kembali memakai sabu-sabu. Aku sendiri tidak munafik dulu ketika aku masih menjadi DJ dan penyanyi aku sering menggunakannya.Tetapi, aku tidak pernah membelinya. Bahkan aku hanya tinggal meminta kepada teman-temanku tanpa bayaran apapun. Terkadang, malah mereka yang menawariku.Bahkan, ada beberapa tamu yang datang memberikan dengan cuma-cuma sebagai saweran pengganti uang kepadaku ketika aku sedang perform di atas panggung. Jadi, meski aku sering memakai barang haram itu, memang aku tidak pernah membelinya dengan uang sendiri."Kamu kapan mau berhenti pakai begituan?" kataku kepada Romi. Malam itu ia baru saja membelinya dari langganannya yang bernama Jack."Aku pakai begini kan karena aku lagi stres.""Emang kalau lagi stress harus ya pakai begitu? Persediaan uang kita mulai menipis dan aku nggak mau kamu terjadi sesuatu yang buruk ... digerebek polisi misalkan. Aku nggak mau seperti itu dan lagi kita masih membutuhkan banyak biaya untuk anak-anak. Sebentar lagi anak kedua kita lahir. Leo sendiri mungkin sekarang hanya membutuhkan susu dan pampers. Tapi, nanti ketika dia sekolah biayanya dari mana? Kamu pasti pengen menyekolahkan dia ke sekolah yang bagus, kan?" kataku sambil sedikit kesal.Tapi seperti biasa jawaban Romi hanya 'sabar ya aku juga sedang berpikir,'katanya.Aku sebenarnya sangat mengerti kenapa Romi seperti itu.Dia adalah anak tunggal yang biasa dimanja oleh mamanya.Dan saat mamanya pergi mungkin jiwanya sangat tergoncang, karena aku sendiri melihat kedekatan mereka.Romi memang lebih dekat dengan mamanya dibandingkan dengan papanya. Aku tahu betul itu. Bahkan setelah Mama meninggal pun Romi sempat bertengkar hebat dengan papanya.Siapa yang tidak akan kesal jika selama istrinya sakit Papa tidak pernah menanyakan bagaimana kondisi Mama atau menanyakan apakah masih ada uang untuk berobat, sama sekali tidak.Tapi, ketika Mama meninggal beliau bahkan duduk di dekat kotak untuk menerima uang sumbangan ... hanya untuk menanyakan berapa sisa uang sumbangan yang diberikan.Aku mengerti Papa memang sudah tua, sudah 77 tahun dan sikapnya sudah kembali seperti anak kecil tapi tidak seperti itu juga bukan?"Rom, aku ingat kalau kamu pernah bilang jika ada teman SMA kamu yang merupakan keponakan bos di pabrik sawit. Nah, kenapa kamu nggak coba ngelamar kerja di sana lumayan kan?" kataku.Romi menghela napas panjang kemudian menghembuskannya perlahan."Aku bisa kerja di sana, tapi mungkin gajinya kecil.""Kenapa kamu harus takut dengan gaji kecil? Ya nggak masalah, yang namanya kerja di tempat seperti itu kan ada jenjang karirnya. Siapa tahu setelah dua atau tiga tahun gaji kamu naik. Kenapa nggak dicoba saja dulu?" kataku mencoba memberikan pengertian.Bukan apa-apa aku menyarankan hal seperti itu. Semua karena keuangan kami juga sudah menipis dan tidak mungkin jika kami tidak bekerja.Aku sendiri sedang hamil besar, tidak mungkin aku bekerja di luar kota atau menjadi DJ lagi seperti dulu. Sekarang ada Leo yang harus aku pikirkan. Jika aku keluar kota siapa yang akan menjaga anak?"Baiklah kalau begitu. Aku akan mencoba mengajukan surat lamaran kepada temanku semoga saja aku bisa diterima," kata Romi."Iya memang harus dicoba, kalau kita nggak coba kita nggak akan tahu bagaimana hasilnya," ujarku.Aku memang sangat berharap Romi bekerja saja dengan orang. Buktinya dia sudah membuang ratusan juta untuk membuka usaha furniture yang akhirnya zonk.Aku tidak terlalu menyalahkan. Dia tidak punya pengalaman di bidang usaha seperti itu. Jadi wajar saja kalau malah bangkrut dan membuang uang percuma.Pada akhirnya, semua peralatan yang pernah digunakan Romi untuk membuka toko furniture itu harus dilelang dengan harga yang murah. Mulai dari gergaji dan alat-alat yang lainnya semuanya aku lelang melalui F******k milikku. Dan untungnya ada yang mau membeli dengan harga lumayan ... yah bisa untuk menambah uang simpanan kami“Yang, aku diterima kerja! Wajahku langsung sumringah saat Romi mengatakan jika ia baru saja diterima bekerja. Aku langsung memeluk suamiku itu dan mencium pipinya.“Wah, selamat ya. Tuh, kan aku juga bilang apa. Harusnya dari kemarin kamu kerja aja, coba kalau waktu itu langsung kerja kita masih punya uang simpanan, loh. Jadi nggak susah-susah amat,” ujarku lirih. Ya, terkadang ada rasa penyesalan kenapa waktu itu aku tidak menyarankan Romi untuk bekerja saja dan uang yang diberikan papa itu didepositokan.“Iya namanya juga hidup kadang di atas kadang di bawah, Sayang. Tapi, nggak apa-apalah kita mulai lagi semuanya dari nol,” kata Romi dengan santai. Inilah sifat Romi yang terkadang tidak aku sukai,dia terlalu santai. Aku hanya menganggukan kepala perlahan sambil tersenyum ... yah segalanya memang harus dimulai dari nol. Terkadang ada sedikit penyesalan yang terbit dalam hatiku, kenapa sih waktu itu aku nggak sabaran. Seharusnya aku mungkin bisa menahan emosi saat mengha
“Ya ampun, Yuk, ini kok banyak banget cucian? Terus ini cucian piring banyak banget, perasaan tadi Leo belum makan. Terus udah gitu kok piringnya numpuk gelas kotor juga numpuk. Terus ini cucian baju siapa aja?” tanyaku kepada Ayukk Neneng.Aku sangat terkejut, saat aku turun ke lantai bawah dan melihat Ayuk yang bekerja di rumahku sedang mencuci banyak sekali pakaian kotor. Dan juga di wastafel tempat cuci piring, menumpuk piring dan gelas.Saat aku membuka kulkas dan hendak mengambil batu es, ternyata batu es nya habis dan cetakan batu esnya sama sekali belum diisi. Begitu juga dengan botol-botol air minum di kulkas semuanya kosong.Sudah sebulan ini selalu saja begitu. Aku jadi merasa lebih lelah dari biasanya. Memang ini hanya masalah kecil. Tetapi, jika dibiarkan pasti akan menjadi kebiasaan.“Itu kerjaannya si Beiby, dari kemarin juga kayak gitu. Kalau habis makan, cucian piringnya ditumpukin di situ. Terus ini juga baju-baju kotor punya dia,” kata Ayukk.Aku menepuk dahiku den
Pada akhirnya, Romi pun terpaksa pulang. Karena perutku yang sering kram ditambah lagi keluhanku mengenai Beiby yang semakin bertindak seenaknya. Bahkan ia pernah dengan sengaja membawa sejumlah ekstasi ke rumah.Hal itu makin membuatku dan Romi kesal. Tetapi, untuk mengusirnya dari rumah selalu tidak ada kesempatan. Dia seperti sengaja pulang malam menjelang dia berangkat kerja sehingga membuat kami tidak sempat bicara kepadanya. Dan pagi itu tepat tanggal 5 november 2016, pagi saat terbangun aku merasakan mules dan keluar flek. Tanpa berpikir panjang, Romi membawaku ke rumah sakit Bhayangkara Jambi. Pada saat diperiksa ternyata masih pembukaan 1. "Nggak bisa pulang dulu, Dokter?" tanyaku kepada dokter Hanif. Dokter yang sudah menanganiku sejak anak pertama dulu. "Sebaiknya jangan. Nanti kalau pulang ke rumah lalu ada apa-apa bagaimana? Lebih baik di rumah sakit saja dulu," kata dokter.Romi tersenyum seolah mengerti keresahanku. "Ada Ayuk yang jagain Koko Leo. Tenang aja," ujar
_4 TAHUN LALU__BANDUNG, 2010_ "Kalo kamu nggak kuat ya udah tinggalin aja, kenapa susah?! Toh, buat kamu aku kan nggak berguna. Banyak perbedaan, selain perbedaan agama. Keluarga kamu kan keluarga terpandang, ngga panteslah punya menantu kaya aku yang hanya seorang vocalis Band, dan seorang DJ yang kerjanya malam!” jerit Vina pada lelaki di hadapannya.PLAK! Vina memegang pipinya yang mulai memanas akibat tamparan Adit, lelaki di hadapannya yang sudah 3 tahun ini menjadi tunangannya."Dasar perempuan ngga tau diri ! Asal kamu tau ya, di luar sana banyak perempuan yang ngejar aku!""Ya sudah kalo begitu, ngapain kamu masih bertahan? Biar bisa morotin hasil kerja aku? Kamu pikir aku ngga tau setiap kali aku longtrip di luar kota kamu kencan dengan banyak perempuan? Kamu porotin uangnya, kamu porotin juga uangku?" Adit menatap Vina emosi, entah dari mana gadis ini bisa tau seluruh sepak terjangnya diluaran, padahal gadis ini hampir tidak pernah ada di dekat
"Malah ngelamun, aku bawa makanan." Vina menoleh ke arah pintu kamar kosnya. Romi kekasihnya ternyata datang sambil membawa bungkusan makanan.Sudah hampir dua bulan Vina berada di Jambi. Beberapa kali managementnya menawarkan job, tapi Vina menolak. Selain itu, Romi juga memang bertanggung jawab untuk kebutuhan Vina. Meski tidak banyak, tapi itu cukup. Selain itu, Vina juga bukan gadis yang boros. Dan ia pun masih memiliki sedikit tabungan untuk kebutuhannya selama beberapa bulan ke depan.Vina sudah lama mengenal Romi karena profesi mereka yang sama. Awalnya, hubungan Vina dan Romi hanya sebatas teman. Ia sering sekali curhat kepada Romi jika ia sedang bertengkar dengan kekasihnya.Berawal dari hubungan persahabatan, kini mereka menjadi sepasang kekasih. Seperti biasa, pagi setelah membereskan pekerjaannya di rumah, Romi selalu membawakan Vina sarapan."Bawa apa, Sayang?" Tanya Vina.“Ini, bawa mie celor," jawab Romi sambil mengambil piring. Namun, baru saja ia menuang
Pagi itu, Vina hanya berbaring di tempat tidurnya sambil menonton televisi. Dia merasa pusing. Morning sickness yang ia alami cukup membuatnya lelah. Romi memang setiap hari datang, tetapi itu tidak banyak membantu juga.Ditambah Vina yang sedikit lebih manja dari biasanya. Membuat Romi juga bingung. Untungnya Mamanya sudah tau dan tidak terlalu menentang. Dengan pertimbangan bayi yang ada di rahim Vina sekarang, adalah cucunya juga. Tiba-tiba saja ponselnya berbunyi, Vina pun segera mengangkatnya."Halo, Yang?" sapa Vina dengan suara parau."Kok suaranya begitu amat? Aku mau antar Mama belanja ke pasar, kamu ikut ya. Sekalian ketemu Mama," kata Romi. Sontak Vina terkejut. Ia langsung memaksakan diri untuk duduk."Aduh, sekarang?" tanyanya."Tahun depan ... ya iyalah sekarang, Sayang. Buruan gih, aku udah mau jalan, nggak usah mandi. Ganti baju aja, tapi jangan yang terlalu terbuka,ya. Celana panjang kamu tempo hari tu boleh, sama kaos biasa aja ya, buruan," kata Romi.
Sore itu, Lie Hwa, Romi dan Vina sudah berada di sebuah tempat prakter Dokter Kandungan. Sengaja Romi memilih Dokter Hanifah, karena tempat prakteknya memiliki alat USG 4 dimensi. Sehingga, bisa memeriksa dengan detail kondisi Vina dan Lie Hwa dengan baik. Pasien yang datang belum terlalu banyak. Mereka mendapat no antrian 3. Vina nampak sedikit tegang, namun rangkulan Romi di pundaknya membuatnya sedikit merasa nyaman."Udah makan belum tadi ?" Tanya Lie Hwa kepada Vina"Belum, Ii. Cium bau nasi tadi agak mual. Daripada muntah- muntah jadi nanti aja makannya." jawab Vina."Kalau mau makanan apa, bilang sama Romi, ya.""Iya, kamsia ya Ii," jawab Vina.Tak lama kemudian, nomor antrian mereka pun dipanggil masuk. Romi dan Vina serempak menggandeng Lie Hwa. Membuat beliau tersenyum melihat keduanya.Dokter Hanifah cukup ramah. Beliau tersenyum saat mereka memasuki ruang praktek."Vina aja dulu yang diperiksa," ujar Lie Hwa pada Romi."Selamat sore. Bapak, Ibu," sapa Dokter Hanifa
Vina menatap Romi yang sedang berusaha keras menahan tangisnya. Mereka sudah tiba kembali di kos an sejak sejam yang lalu. Namun, Romi masih terlihat seperti orang linglung.“Aku pikir, setelah operasi kemarin mama udah sehat. Ternyata malah kankernya udah menyebar ke mana-mana,” kata Romi. Vina menghela napas panjang, ia menepuk bahu Romi perlahan.“Kapan mama mau ke rumah sakit lagi?” tanyanya kepada Romi.“Besok malam kan harus rujuk ke rumah sakit Anisa untuk pemeriksaan lanjut. Kamu mau ikut?” Vina langsung menganggukkan kepalanya.“Mau.”“Ya udah besok kamu aku jemput ya.”Vina menarik napas panjang, dan memeluk Romi. Ia ingin sedikit mentransferkan rasa nyaman kepada kekasihnya itu."Nanti, kita punya anak jangan satu ya. Aku mau dua atau tiga gitu," sahut Romi."Loh, kok jadi ngomongin soal anak sih?Ini kan tadi lagi bahas mama. Kenapa jadi soal anak?" protes Vina. Romi menghela napas panjang dan mengembuskannya perlahan lalu menatap wajah kekas