"Iya, Papa memang beli tanah di samping home stay ini. Hanya memang bukan atas nama papa," kata papa saat kami berkumpul makan malam.
"Kalau kamu mau, kamu bisa bangun tanah itu buat bikin rumah makan. Di sini rumah makan emang banyak. Tapi, pengunjung juga banyak loh, Romi. Apa lagi katanya Vina dulu pernah buka rumah makan di rumah lama kalian yang dijual," kata Tante Siska.
"Iya, Vina suka masak dan buat kue, jadi kami sempat buka rumah makan dan kue-kue online gitu. Sayang belum terlalu laris trus rumahnya keburu dijual," kata Romi melirik ke arah papanya.
Yang dilirik hanya diam seolah tidak terjadi sesuatu. Ya aku bisa memaklumi karena memang papa itu sudah pikun. Usianya sudah 77 tahun . Sudah pikun dan sudah kembali seperti anak kecil.
"Maafkan papa, ya," kata paman Syongky kepada kami.
"Saya nggak masalah kok, yang paling penting dari pihak keluarga papa nggak lagi menyalahkan saya. Atau saya dibilang tidak mau merawat papa," ujarku kepada paman Syongky.
Papa sedang duduk di meja lain bersama Leo karena Leo ingin bermain ayunan yang kebetulan ada di rumah makan yang kami kunjungi. Tentu saja bersama Romi. Karena kalau papa dibiarkan menggendong Leo khawatir Leo akan jatuh karena tenaga papa sudah tidak kuat lagi.
"Papa kalian itu sudah tua dan seperti anak kecil. Jadi, terkadang kalau bicara suka dilebihkan dan yang pasti tidak mau disalahkan. Itu sebabnya dulu saya ke Jambi untuk mencari tahu juga. Karena saya hanya mendengar sepihak, belum mendengar dari kalian masalahnya apa," kata paman Syongky.
Aku menghela napas panjang, aku tahu jika banyak orang meragukan aku. Selama ini profesi sebagai seorang DJ itu kan selalu dipandang sebelah mata dan juga banyak yang mengatakan jika DJ itu murahan.
Padahal untuk menjadi DJ itu diperlukan modal yang tidak sedikit, kami harus sekolah dulu dan sekolah DJ ini harganya cukup mahal. Belum lagi untuk membeli lagu, handfree dan lain-lain. Hanya saja memang ada sebagian DJ yang nakal. Yang tidak hanya menjual skill atau kemampuan yang dimiliki tetapi juga menjual diri.
"Sejak awal saya menikah dengan Romi saya sudah tau konsekuensinya. Romi anak tunggal dan dia memiliki tanggung jawab kepada kedua orang tuanya yang sudah tua. Saya nggak pernah merasa terbebani ketika saya merawat mama. Ketika mama meninggal saya juga tidak pernah keberatan merawat papa.
"Saya marah kepada papa hanya karena saya ingin beliau istirahat, apa itu salah?" ujarku.
Tante Siska dan paman Syongky tampang menganggukkan kepala mereka.
"Iya, Tante paham kok bagaimana perasaan kamu. Di sini pun papa kalian itu sering buang air kencing sembarangan. Itu makanya kami sengaja kasi kamar yang ada kamar mandinya di dalam. Tapi, ada kamar mandi aja tetap buang air kecil pake pispot," lapor tante Siska.
"Nah, itu kan Tante tahu. Jadi, wajar kan saya tegur? Waktu itu saya tegur papa teriak-teriak. Belum lagi sifat papa yang nggak sabaran. Merawat bayi itu kan susah ya. Kadang Leo baru aja tidur, papa ganggu dia. Padahal saya malamnya begadang loh. Wajar kalo saya tegur kan Tante? Tapi, yang papa katakan pada semua orang beda," ujarku mengeluarkan semua uneg-uneg yang aku rasakan.
Bukan aku tidak tau jika selama ini semua keluarga menghujatku karena aku sempat bertengkar dengan papa.
"Iya, wajar. Tante juga kalau di posisi kamu pasti akan kesal."
"Saya memang nggak beres-beres rumah, semua ada Ayuk yang kerjain. Tapi, yang masak saya. Kadang Romi suruh jaga toko. Habis toko tutup jualan makanan sampai malam. Jam dua belas saya baru tidur dan ini saya ada bayi juga. Kalau pagi saya mau papa tu nggak usahlah sibuk. Mau cuci handuklah, toh nanti juga pasti akan dikerjakan. Tapi, sabar." ujarku lagi.
Ya, papa mertuaku itu memang tidak sabaran. segala sesuatu harus mengikuti apa maunya. Tidak masalah selama aku tidak jadi korban fitnahnya. Tapi ini, aku difitnah juga, ujungntya aku dihujat banyak orang.
"Papa punya rencana untuk pulang ke Jambi katanya," ujar tante Siska.
Aku mengerutkan dahi.
"Memang papa nggak betah di sini?" tanyaku.
"Nggak tau, ya namanya juga orang tua kan? Nggak betah di sana mau ke sini. Nggak betah di sini mau ke sana. Tapi, nggak tau kapan ke Jambinya. Mungkin menunggu kamu lahiran," kata Tante Siska.
"Saya sih nggak masalah, Tante. Papa mau tinggal lagi sama kami juga nggak masalah."
"Iya, paling papa bolak balik karena lihat tanahnya di sini," kata paman Syongki.
"Memang papa beli tanah ini berapa kalau boleh tau?" tanyaku penasaran.
"Enam ratus juta. Tapi, kalau misalkan mau dibangun sekarang uangnya belum ada," sahut tante Siska.
Aku mengerutkan dahi.
"Uang papa bukannya masih ada sekitar satu milyard lagi?" tanyaku.
"Paman pinjem buat bangun home stay. Jadi kembalikan setiap bulan dicicil."
Mendengar penjelasan tante Siska dan paman Syongki aku merasa tidak enak. Bukan karena aku gila harta. Tapi, mulai dari pembelian tanah dan lainnya aku merasa ada yang janggal di sini. Umur papa sudah tua, bukan aku mendoakan papa cepat meninggal. Tetapi, jika papa besok lusa dipanggil Tuhan, bagaimana dengan urusan utang piutangnya?
Jujur saja saat, ini aku bingung bagaimana jika tanah yang dibeli oleh papa itu kelak menjadi sengketa.Bukankah tanah itu dibeli bukan atas nama papa atau atas nama suamiku? Alasan utama adik ipar Papa membeli tanah itu karena di pulau seribu katanya tidak boleh ada orang luar yang membeli tanah di sana. Harus orang yang sudah memiliki KTP di pulau Tidung itu yang membeli tanah.Jika pembelinya dari luar, maka tanah itu bisa menjadi sengketa ... kira-kira seperti itulah. Tetapi aku juga tidak mengerti. Apakah hal itu benar atau hanya akal-akalan saja, yang jelas aku pribadi hanya merasa heran kenapa Papa membeli tanah itu jika tidak bisa atas namanya?"Terus, kalau misalkan ... amit-amit ya Papa meninggal. Lalu tanah itu mau diapain? Emang kamu bisa ngomong kalau itu tanah punya kamu?" kataku kepada Romi setelah kami kembali dari pulau Tidung.Romi mengangkat bahunya."Nggak tahu, nanti kita pikirin aja. Toh untuk sekarang kita kan masih punya uang dan masih bisa usaha juga." Aku h
“Yang, aku diterima kerja! Wajahku langsung sumringah saat Romi mengatakan jika ia baru saja diterima bekerja. Aku langsung memeluk suamiku itu dan mencium pipinya.“Wah, selamat ya. Tuh, kan aku juga bilang apa. Harusnya dari kemarin kamu kerja aja, coba kalau waktu itu langsung kerja kita masih punya uang simpanan, loh. Jadi nggak susah-susah amat,” ujarku lirih. Ya, terkadang ada rasa penyesalan kenapa waktu itu aku tidak menyarankan Romi untuk bekerja saja dan uang yang diberikan papa itu didepositokan.“Iya namanya juga hidup kadang di atas kadang di bawah, Sayang. Tapi, nggak apa-apalah kita mulai lagi semuanya dari nol,” kata Romi dengan santai. Inilah sifat Romi yang terkadang tidak aku sukai,dia terlalu santai. Aku hanya menganggukan kepala perlahan sambil tersenyum ... yah segalanya memang harus dimulai dari nol. Terkadang ada sedikit penyesalan yang terbit dalam hatiku, kenapa sih waktu itu aku nggak sabaran. Seharusnya aku mungkin bisa menahan emosi saat mengha
“Ya ampun, Yuk, ini kok banyak banget cucian? Terus ini cucian piring banyak banget, perasaan tadi Leo belum makan. Terus udah gitu kok piringnya numpuk gelas kotor juga numpuk. Terus ini cucian baju siapa aja?” tanyaku kepada Ayukk Neneng.Aku sangat terkejut, saat aku turun ke lantai bawah dan melihat Ayuk yang bekerja di rumahku sedang mencuci banyak sekali pakaian kotor. Dan juga di wastafel tempat cuci piring, menumpuk piring dan gelas.Saat aku membuka kulkas dan hendak mengambil batu es, ternyata batu es nya habis dan cetakan batu esnya sama sekali belum diisi. Begitu juga dengan botol-botol air minum di kulkas semuanya kosong.Sudah sebulan ini selalu saja begitu. Aku jadi merasa lebih lelah dari biasanya. Memang ini hanya masalah kecil. Tetapi, jika dibiarkan pasti akan menjadi kebiasaan.“Itu kerjaannya si Beiby, dari kemarin juga kayak gitu. Kalau habis makan, cucian piringnya ditumpukin di situ. Terus ini juga baju-baju kotor punya dia,” kata Ayukk.Aku menepuk dahiku den
Pada akhirnya, Romi pun terpaksa pulang. Karena perutku yang sering kram ditambah lagi keluhanku mengenai Beiby yang semakin bertindak seenaknya. Bahkan ia pernah dengan sengaja membawa sejumlah ekstasi ke rumah.Hal itu makin membuatku dan Romi kesal. Tetapi, untuk mengusirnya dari rumah selalu tidak ada kesempatan. Dia seperti sengaja pulang malam menjelang dia berangkat kerja sehingga membuat kami tidak sempat bicara kepadanya. Dan pagi itu tepat tanggal 5 november 2016, pagi saat terbangun aku merasakan mules dan keluar flek. Tanpa berpikir panjang, Romi membawaku ke rumah sakit Bhayangkara Jambi. Pada saat diperiksa ternyata masih pembukaan 1. "Nggak bisa pulang dulu, Dokter?" tanyaku kepada dokter Hanif. Dokter yang sudah menanganiku sejak anak pertama dulu. "Sebaiknya jangan. Nanti kalau pulang ke rumah lalu ada apa-apa bagaimana? Lebih baik di rumah sakit saja dulu," kata dokter.Romi tersenyum seolah mengerti keresahanku. "Ada Ayuk yang jagain Koko Leo. Tenang aja," ujar
_4 TAHUN LALU__BANDUNG, 2010_ "Kalo kamu nggak kuat ya udah tinggalin aja, kenapa susah?! Toh, buat kamu aku kan nggak berguna. Banyak perbedaan, selain perbedaan agama. Keluarga kamu kan keluarga terpandang, ngga panteslah punya menantu kaya aku yang hanya seorang vocalis Band, dan seorang DJ yang kerjanya malam!” jerit Vina pada lelaki di hadapannya.PLAK! Vina memegang pipinya yang mulai memanas akibat tamparan Adit, lelaki di hadapannya yang sudah 3 tahun ini menjadi tunangannya."Dasar perempuan ngga tau diri ! Asal kamu tau ya, di luar sana banyak perempuan yang ngejar aku!""Ya sudah kalo begitu, ngapain kamu masih bertahan? Biar bisa morotin hasil kerja aku? Kamu pikir aku ngga tau setiap kali aku longtrip di luar kota kamu kencan dengan banyak perempuan? Kamu porotin uangnya, kamu porotin juga uangku?" Adit menatap Vina emosi, entah dari mana gadis ini bisa tau seluruh sepak terjangnya diluaran, padahal gadis ini hampir tidak pernah ada di dekat
"Malah ngelamun, aku bawa makanan." Vina menoleh ke arah pintu kamar kosnya. Romi kekasihnya ternyata datang sambil membawa bungkusan makanan.Sudah hampir dua bulan Vina berada di Jambi. Beberapa kali managementnya menawarkan job, tapi Vina menolak. Selain itu, Romi juga memang bertanggung jawab untuk kebutuhan Vina. Meski tidak banyak, tapi itu cukup. Selain itu, Vina juga bukan gadis yang boros. Dan ia pun masih memiliki sedikit tabungan untuk kebutuhannya selama beberapa bulan ke depan.Vina sudah lama mengenal Romi karena profesi mereka yang sama. Awalnya, hubungan Vina dan Romi hanya sebatas teman. Ia sering sekali curhat kepada Romi jika ia sedang bertengkar dengan kekasihnya.Berawal dari hubungan persahabatan, kini mereka menjadi sepasang kekasih. Seperti biasa, pagi setelah membereskan pekerjaannya di rumah, Romi selalu membawakan Vina sarapan."Bawa apa, Sayang?" Tanya Vina.“Ini, bawa mie celor," jawab Romi sambil mengambil piring. Namun, baru saja ia menuang
Pagi itu, Vina hanya berbaring di tempat tidurnya sambil menonton televisi. Dia merasa pusing. Morning sickness yang ia alami cukup membuatnya lelah. Romi memang setiap hari datang, tetapi itu tidak banyak membantu juga.Ditambah Vina yang sedikit lebih manja dari biasanya. Membuat Romi juga bingung. Untungnya Mamanya sudah tau dan tidak terlalu menentang. Dengan pertimbangan bayi yang ada di rahim Vina sekarang, adalah cucunya juga. Tiba-tiba saja ponselnya berbunyi, Vina pun segera mengangkatnya."Halo, Yang?" sapa Vina dengan suara parau."Kok suaranya begitu amat? Aku mau antar Mama belanja ke pasar, kamu ikut ya. Sekalian ketemu Mama," kata Romi. Sontak Vina terkejut. Ia langsung memaksakan diri untuk duduk."Aduh, sekarang?" tanyanya."Tahun depan ... ya iyalah sekarang, Sayang. Buruan gih, aku udah mau jalan, nggak usah mandi. Ganti baju aja, tapi jangan yang terlalu terbuka,ya. Celana panjang kamu tempo hari tu boleh, sama kaos biasa aja ya, buruan," kata Romi.
Sore itu, Lie Hwa, Romi dan Vina sudah berada di sebuah tempat prakter Dokter Kandungan. Sengaja Romi memilih Dokter Hanifah, karena tempat prakteknya memiliki alat USG 4 dimensi. Sehingga, bisa memeriksa dengan detail kondisi Vina dan Lie Hwa dengan baik. Pasien yang datang belum terlalu banyak. Mereka mendapat no antrian 3. Vina nampak sedikit tegang, namun rangkulan Romi di pundaknya membuatnya sedikit merasa nyaman."Udah makan belum tadi ?" Tanya Lie Hwa kepada Vina"Belum, Ii. Cium bau nasi tadi agak mual. Daripada muntah- muntah jadi nanti aja makannya." jawab Vina."Kalau mau makanan apa, bilang sama Romi, ya.""Iya, kamsia ya Ii," jawab Vina.Tak lama kemudian, nomor antrian mereka pun dipanggil masuk. Romi dan Vina serempak menggandeng Lie Hwa. Membuat beliau tersenyum melihat keduanya.Dokter Hanifah cukup ramah. Beliau tersenyum saat mereka memasuki ruang praktek."Vina aja dulu yang diperiksa," ujar Lie Hwa pada Romi."Selamat sore. Bapak, Ibu," sapa Dokter Hanifa