Share

FITNAH LAGI

       Jika wanita setengah baya di hadapanku ini bukanlah tante dari suamiku mungkin aku sudah mencabik-cabik wanita ini.

    Bagaimana mungkin dia bisa mengatakan aku penjilat. Jika aku ini penjilat mungkin sudah sejak lama aku tidak mau mengurus mama dan juga Papa. Tapi buktinya apa aku selalu merawat mereka dengan baik, bukan?

    Dulu pun ketika aku sedang hamil besar aku mengantarkan almarhum Mama berobat ke Jakarta. Jika aku memang penjilat tidak mungkin itu aku lakukan.

    Atau ketika aku mengantar beliau ke Jakarta aku tukar saja obatnya dengan obat yang lain supaya beliau bertambah sakit tapi ini kan tidak. Bahkan aku rela berjalan jauh hanya untuk mengambil sampel darah mama ke laboratorium di RSCM.

Untuk yang hapal denah di RSCM pasti tau jika dari loket BPJS ke lab itu cukup jauh. Dan waktu itu aku sedang hamil 7 bulan. Apa seperti itu bisa dilakukan oleh seorang penjilat?

Memang lidah Tidak bertulang dan wanita di hadapanku ini ucapannya tidak bisa dikontrol sama sekali tidak mencerminkan sikapnya yang rajin ibadah.

"Maaf, Tante. Selama ini saya nggak pernah berusaha menjadi penjilat kepada siapapun. Termasuk kepada almarhum mama. Beliau juga bisa membedakan mana yang tulus mana yang tidak."

"Ya bisa aja kamu pake pelet atau sejenisnya supaya mamanya Romi jadi baik sama kamu!"

Aku tertawa kecil, "Saya orang Bandung. Di Jambi ini saya nggak pernah ke mana- mana. Tahu jalan pun nggak. Kalau mau pergi pasti diantar sama Romi. Bagaimana caranya saya pergi ke orang pintar?"

Tante A Eng terdiam. Ya, meski aku sudah beberapa kali ke Jambi aku memang tidak tahu jalan. Kalau diantar ojek pun aku pasti meminta ojek itu untuk menunggu karena aku tidak tau alamat dan jalan pulang.

Romi sendiri memang tidak pernah mengizinkan aku untuk pergi sendiri. Jika butuh sesuatu aku selalu meminta kepada Romi.

"Yang jelas kami ngga bisa bantu. Kalian udah besar, tanggung jawab aja sendiri. Kan sudah dibilang sejak dulu jangan sampai rumah dijual. Kalian aja yang nggak sabaran," kata A Eng lagi.

Memang susah berdebat dengan orang yang tidak menyukai kita. Aku pun langsung menyikut lengan suamiku dan memberi isyarat untuk pulang.

Namun ketika hendak berjalan keluar pintu, Paman Raju menepuk pipi Leo dan tanpa terlihat oleh sang istri ia menyelipkan uang ke dalam gendongan Leo. Kemudian beliau juga memberi isyarat supaya aku diam saja.

Yang aku pikirkan ternyata benar. Selama ini paman Raju itu takut kepada istrinya. Jadi, di depan sang istri ia bersikap keras. Suami- suami takut istri juga ternyata.

"Sejak kapan kamu berani ngomong kayak tadi, Yang?" tanya Romi saat kami sudah di jalan pulang.

Aku hanya tersenyum kecil sambil mengeluarkan uang selipan yang diberikan oleh paman Raju tadi.

"Aku hanya Nggak suka aja dengan ucapan tante tadi. Orangnya udah meninggal kok diomongin jelek. Kalau pun memang dulu mama suka menyuruh dia menurutku wajarlah kakak ipar nyuruh adik iparnya," ujarku.

Romi menghela napas panjang, "Mama emang cerewet. Tapi, hatinya baik. Kamu liat sendiri kan sebelum meninggal mama masih sempat pisah-pisahin bajunya yang bagus-bagus untuk adik iparnya. "

Aku menganggukkan kepalaku.

"Ini ... tadi, waktu kita mau pulang, paman Raju menyelipkan uang. Ada lima ratus ribu," kataku sambil memperlihatkan lima lembar uang berwarna merah kepada suamiku.

"Paman Raju itu banyak berutang budi sama mama. Jadi, memang setiap kali mama susah pasti mau bantu. Tapi, sekarang mama sudah meninggal istrinya mana maulah bantu kayak dulu," kata Romi.

"Udah keliatan kok. Lagian kamu pake mau gadai mobil sama mereka. Nggak bilang dulu lagi tujuan ke sana tadi mau ngapain."

Romi hanya tertawa, "Ya kan siapa tau. Aku tadinya pengen bikin usaha. Tapi, ya udahlah belum rezeki."

"Kalo kita buka usaha, kan kamu kerja gimana sih?"

"Ya kan aku kerja nggak sampai malam. Aku pengen buka toko gitu yang jual Vape sama reffilnya. Kan nanti bisa cari anak buah. Buka tokonya dekat rumah. Kita sewa tempat dekat rumah, jadi kamu bisa sambil ngawasi," kata Romi.

"Ya kalau belum ada uangnya nggak usah maksain. Yang penting sekarang itu kamu kerja aja dulu. Biar nggak jadi omongan," ujarku.

Romi pun menganggukkan kepalanya.

*

       Ternyata kehamilanku yang kedua ini cukup meresahkan. Aku sering merasakan kram di perut dan kontraksi palsu. Padahal baru memasuki trimester kedua. 

        Romi jadinya sering bolak balik dari tempat kerjanya yang cukup jauh itu ke rumah. Karena khawatir kepadaku, maka dia mengajukan untuk bisa tetap bekerja di kota Jambi saja. Untungnya bos Romi memberikan izin karena memang kami tidak punya siapa-siapa di sini.

Karena Romi tidak jadi ditugaskan di luar kota, aku menjadi sedikit tenang.

Dan saat kandunganku menginjak 5 bulan, Romi mendapatkan libur dan papa tiba-tiba menyuruh kami untuk datang ke Jakarta.

Tanpa banyak membantah kami pun berangkat. Dan ternyata papa tinggal di pulau Tidung kepulauan seribu.

"Kenapa Papa jadinya tinggal sama Tante Siska dan Paman Syongky?" tanyaku pada Tante Siska.

Tante Siska ini adalah adik ipar papa mertuaku. Sementara Paman Syongky adalah adiknya yang paling kecil.

"Kemarin sempat tinggal sama Yongki di Bekasi. Tapi, berantem."

Aku dan Romi saling pandang.

"Berantem gara-gara apa?"

"Papa kalian buang air kencing di wastafel. Sudah diingatkan berkali-kali tapi masih diulangi. Jadi akhirnya ya bertengkar. Tinggal di Cengkareng juga sama. Jadi, akhirnya minta di sini."

Tampak Romi menghela napas panjang."Waktu itu nggak ada yang percaya kan waktu Vina cerita soal ini. Semua menuduh Vina yang memfitnah papa karena nggak mau merawat papa. Nah, sekarang sudah jelas kan?" kata Romi.

Tante Siska menganggukkan kepalanya.

"Ya, maklum saja waktu itu kan papa kalian bilangnya Vina marah-marah."

"Iya, Tante. Tapi, nggak ada yang tanya sama saya kenapa saya marah sama Papa. Tepatnya bukan marah. Waktu itu saya tegur baik- baik. Tapi, papa yang langsung teriak- teriak.

"Lalu saya juga difitnah meminta mama membelikan saya perhiasan. Padahal demi Tuhan, malam itu Mama sendiri yang memberikan seperangkat perhiasan kepada saya. Bukan saya yang meminta.

"Begitu juga dengan uang. Mama selalu memberikan uang kepada saya tapi, saya tidak pernah minta. Hanya Tuhan yang tahu tentang hal ini," ujarku panjang lebar.

Tante Siska hanya menganggukkan kepalanya.

"Iya, tante percaya sama kalian."

"Mama pun awalnya dulu pernah tidak percaya sama Vina. Tapi, kenyataannya justru Vina kan yang merawat mama sampai mama mengembuskan napas terakhir?" ujar Romi.

Inilah yang aku sukai dari suamiku. Dia selalu membelaku di depan keluarga besarnya. Dia mau memperjuangkan aku.

"Papa kalian baru saja membeli tanah di sini. Rencananya mau dibuat rumah makan," kata Tante Siska.

Entah mengapa perasaanku mendadak tidak enak dengan semua ini.

"Surat tanah yang dibeli papa atas nama siapa, Tante?" tanya Romi.

"Atas nama Tante. Soalnya orang di luar pulau nggak boleh beli tanah di sini, Romi. Kalau KTP Tante sama paman kamu kan KTP nya sudah KTP sini," kata Tante Siska.

Romi terlihat menghela napas panjang. Ia menatapku dalam-dalam. Dan dari sorot matanya aku tahu apa yang ada di dalam pikiran suamiku.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status