Jika wanita setengah baya di hadapanku ini bukanlah tante dari suamiku mungkin aku sudah mencabik-cabik wanita ini. Bagaimana mungkin dia bisa mengatakan aku penjilat. Jika aku ini penjilat mungkin sudah sejak lama aku tidak mau mengurus mama dan juga Papa. Tapi buktinya apa aku selalu merawat mereka dengan baik, bukan? Dulu pun ketika aku sedang hamil besar aku mengantarkan almarhum Mama berobat ke Jakarta. Jika aku memang penjilat tidak mungkin itu aku lakukan. Atau ketika aku mengantar beliau ke Jakarta aku tukar saja obatnya dengan obat yang lain supaya beliau bertambah sakit tapi ini kan tidak. Bahkan aku rela berjalan jauh hanya untuk mengambil sampel darah mama ke laboratorium di RSCM.Untuk yang hapal denah di RSCM pasti tau jika dari loket BPJS ke lab itu cukup jauh. Dan waktu itu aku sedang hamil 7 bulan. Apa seperti itu bisa dilakukan oleh seorang penjilat?Memang lidah Tidak bertulang dan wanita di hadapanku ini ucapannya tidak bisa dikontrol sama sekali
"Iya, Papa memang beli tanah di samping home stay ini. Hanya memang bukan atas nama papa," kata papa saat kami berkumpul makan malam."Kalau kamu mau, kamu bisa bangun tanah itu buat bikin rumah makan. Di sini rumah makan emang banyak. Tapi, pengunjung juga banyak loh, Romi. Apa lagi katanya Vina dulu pernah buka rumah makan di rumah lama kalian yang dijual," kata Tante Siska. "Iya, Vina suka masak dan buat kue, jadi kami sempat buka rumah makan dan kue-kue online gitu. Sayang belum terlalu laris trus rumahnya keburu dijual," kata Romi melirik ke arah papanya. Yang dilirik hanya diam seolah tidak terjadi sesuatu. Ya aku bisa memaklumi karena memang papa itu sudah pikun. Usianya sudah 77 tahun . Sudah pikun dan sudah kembali seperti anak kecil."Maafkan papa, ya," kata paman Syongky kepada kami. "Saya nggak masalah kok, yang paling penting dari pihak keluarga papa nggak lagi menyalahkan saya. Atau saya dibilang tidak mau merawat papa," ujarku kepada paman Syongky.
Jujur saja saat, ini aku bingung bagaimana jika tanah yang dibeli oleh papa itu kelak menjadi sengketa.Bukankah tanah itu dibeli bukan atas nama papa atau atas nama suamiku? Alasan utama adik ipar Papa membeli tanah itu karena di pulau seribu katanya tidak boleh ada orang luar yang membeli tanah di sana. Harus orang yang sudah memiliki KTP di pulau Tidung itu yang membeli tanah.Jika pembelinya dari luar, maka tanah itu bisa menjadi sengketa ... kira-kira seperti itulah. Tetapi aku juga tidak mengerti. Apakah hal itu benar atau hanya akal-akalan saja, yang jelas aku pribadi hanya merasa heran kenapa Papa membeli tanah itu jika tidak bisa atas namanya?"Terus, kalau misalkan ... amit-amit ya Papa meninggal. Lalu tanah itu mau diapain? Emang kamu bisa ngomong kalau itu tanah punya kamu?" kataku kepada Romi setelah kami kembali dari pulau Tidung.Romi mengangkat bahunya."Nggak tahu, nanti kita pikirin aja. Toh untuk sekarang kita kan masih punya uang dan masih bisa usaha juga." Aku h
“Yang, aku diterima kerja! Wajahku langsung sumringah saat Romi mengatakan jika ia baru saja diterima bekerja. Aku langsung memeluk suamiku itu dan mencium pipinya.“Wah, selamat ya. Tuh, kan aku juga bilang apa. Harusnya dari kemarin kamu kerja aja, coba kalau waktu itu langsung kerja kita masih punya uang simpanan, loh. Jadi nggak susah-susah amat,” ujarku lirih. Ya, terkadang ada rasa penyesalan kenapa waktu itu aku tidak menyarankan Romi untuk bekerja saja dan uang yang diberikan papa itu didepositokan.“Iya namanya juga hidup kadang di atas kadang di bawah, Sayang. Tapi, nggak apa-apalah kita mulai lagi semuanya dari nol,” kata Romi dengan santai. Inilah sifat Romi yang terkadang tidak aku sukai,dia terlalu santai. Aku hanya menganggukan kepala perlahan sambil tersenyum ... yah segalanya memang harus dimulai dari nol. Terkadang ada sedikit penyesalan yang terbit dalam hatiku, kenapa sih waktu itu aku nggak sabaran. Seharusnya aku mungkin bisa menahan emosi saat mengha
“Ya ampun, Yuk, ini kok banyak banget cucian? Terus ini cucian piring banyak banget, perasaan tadi Leo belum makan. Terus udah gitu kok piringnya numpuk gelas kotor juga numpuk. Terus ini cucian baju siapa aja?” tanyaku kepada Ayukk Neneng.Aku sangat terkejut, saat aku turun ke lantai bawah dan melihat Ayuk yang bekerja di rumahku sedang mencuci banyak sekali pakaian kotor. Dan juga di wastafel tempat cuci piring, menumpuk piring dan gelas.Saat aku membuka kulkas dan hendak mengambil batu es, ternyata batu es nya habis dan cetakan batu esnya sama sekali belum diisi. Begitu juga dengan botol-botol air minum di kulkas semuanya kosong.Sudah sebulan ini selalu saja begitu. Aku jadi merasa lebih lelah dari biasanya. Memang ini hanya masalah kecil. Tetapi, jika dibiarkan pasti akan menjadi kebiasaan.“Itu kerjaannya si Beiby, dari kemarin juga kayak gitu. Kalau habis makan, cucian piringnya ditumpukin di situ. Terus ini juga baju-baju kotor punya dia,” kata Ayukk.Aku menepuk dahiku den
Pada akhirnya, Romi pun terpaksa pulang. Karena perutku yang sering kram ditambah lagi keluhanku mengenai Beiby yang semakin bertindak seenaknya. Bahkan ia pernah dengan sengaja membawa sejumlah ekstasi ke rumah.Hal itu makin membuatku dan Romi kesal. Tetapi, untuk mengusirnya dari rumah selalu tidak ada kesempatan. Dia seperti sengaja pulang malam menjelang dia berangkat kerja sehingga membuat kami tidak sempat bicara kepadanya. Dan pagi itu tepat tanggal 5 november 2016, pagi saat terbangun aku merasakan mules dan keluar flek. Tanpa berpikir panjang, Romi membawaku ke rumah sakit Bhayangkara Jambi. Pada saat diperiksa ternyata masih pembukaan 1. "Nggak bisa pulang dulu, Dokter?" tanyaku kepada dokter Hanif. Dokter yang sudah menanganiku sejak anak pertama dulu. "Sebaiknya jangan. Nanti kalau pulang ke rumah lalu ada apa-apa bagaimana? Lebih baik di rumah sakit saja dulu," kata dokter.Romi tersenyum seolah mengerti keresahanku. "Ada Ayuk yang jagain Koko Leo. Tenang aja," ujar
_4 TAHUN LALU__BANDUNG, 2010_ "Kalo kamu nggak kuat ya udah tinggalin aja, kenapa susah?! Toh, buat kamu aku kan nggak berguna. Banyak perbedaan, selain perbedaan agama. Keluarga kamu kan keluarga terpandang, ngga panteslah punya menantu kaya aku yang hanya seorang vocalis Band, dan seorang DJ yang kerjanya malam!” jerit Vina pada lelaki di hadapannya.PLAK! Vina memegang pipinya yang mulai memanas akibat tamparan Adit, lelaki di hadapannya yang sudah 3 tahun ini menjadi tunangannya."Dasar perempuan ngga tau diri ! Asal kamu tau ya, di luar sana banyak perempuan yang ngejar aku!""Ya sudah kalo begitu, ngapain kamu masih bertahan? Biar bisa morotin hasil kerja aku? Kamu pikir aku ngga tau setiap kali aku longtrip di luar kota kamu kencan dengan banyak perempuan? Kamu porotin uangnya, kamu porotin juga uangku?" Adit menatap Vina emosi, entah dari mana gadis ini bisa tau seluruh sepak terjangnya diluaran, padahal gadis ini hampir tidak pernah ada di dekat
"Malah ngelamun, aku bawa makanan." Vina menoleh ke arah pintu kamar kosnya. Romi kekasihnya ternyata datang sambil membawa bungkusan makanan.Sudah hampir dua bulan Vina berada di Jambi. Beberapa kali managementnya menawarkan job, tapi Vina menolak. Selain itu, Romi juga memang bertanggung jawab untuk kebutuhan Vina. Meski tidak banyak, tapi itu cukup. Selain itu, Vina juga bukan gadis yang boros. Dan ia pun masih memiliki sedikit tabungan untuk kebutuhannya selama beberapa bulan ke depan.Vina sudah lama mengenal Romi karena profesi mereka yang sama. Awalnya, hubungan Vina dan Romi hanya sebatas teman. Ia sering sekali curhat kepada Romi jika ia sedang bertengkar dengan kekasihnya.Berawal dari hubungan persahabatan, kini mereka menjadi sepasang kekasih. Seperti biasa, pagi setelah membereskan pekerjaannya di rumah, Romi selalu membawakan Vina sarapan."Bawa apa, Sayang?" Tanya Vina.“Ini, bawa mie celor," jawab Romi sambil mengambil piring. Namun, baru saja ia menuang