Share

HINAAN KELUARGA SUAMI AWAL KEBERHASILANKU
HINAAN KELUARGA SUAMI AWAL KEBERHASILANKU
Penulis: Alya Snitzky

PERTENGKARAN

    "Perempuan kayak kamu ini memang cuma bisa bawa sial. Belum sebulan kakak ipar saya meninggal,tapi Papa Romi sudah menjual rumah ini. Kamu emang hanya mau enaknya aja. Mentang-mentang papanya Romi udah pikun dan tua, kamu nggak mau ngurusin lagi?!"

    "Saya nggak pernah berpikir seperti itu, Tante. Kalau memang saya-"

"Halah, nggak usah jawab kamu! Emang susah sih kalau mantan cewek malam. Maunya ya cuma senang-senang!"

        Aku hanya bisa menghela napas panjang sambil menatap wanita separuh baya di hadapanku. Namanya Tante A Eng. Dia adalah tante dari suamiku Romi. Saat ini om dan tante suamiku memang sedang berada di rumah kami. Rumah mertuaku tepatnya.

        Mama mertuaku baru saja meninggal dunia sebulan yang lalu karena kanker serviks yang dideritanya. Selama ini kami- tinggal di ruko yang dijadikan rumah sekaligus tempat usaha. Papa mertuaku yang memang sudah berusia 77 tahun memang sudah pikun dan gampang terhasut. 

        Tanpa setauku dan Romi suamiku, papa mertuaku ternyata sudah menjual ruko yang saat ini kami tempati. Semuai itu karena hasutan adik-adik papa mertuaku. Dulu ketika mama masih ada, adik-adik papa tidak ada yang berani. Setelah mama meninggal, yang mereka incar adalah harta papa mertuaku.

        Romi suamiku adalah anak tunggal, dan yang aku tangkap adik-adik papa mertuaku ini ingin menguasai uang papa. Mereka mengatakan jika aku tidak mungkin mau merawat papa yang sudah pikun. Sehingga dengan alasan ingin dirawat oleh adik-adiknya papa menjual ruko.

“Tante, Vina nggak pernah kok minta ini itu sama aku. Jadi, nggak ada alasan kalau tante menuduh Vina matre dan hanya mau harta aja. Buktinya kemarin waktu mama sakit, Vina kan yang urusin. Sampai ganti pampers mama pun dia yang kerjain,” kata Romi.

“Kamu aja yang buta, kalau dia mau urus papa kamu mana mungkin kemarin kalian bertengkar?!” Kali ini suami A Eng yang bersuara.

Aku hanya menghela napas panjang. Ya, sebelum papa menjual rumah ini aku dan papa memang sempat adu mulut.

        Tapi, aku mempunyai alasan. Aku meminta papa untuk diam saja, jangan bolak balik mencuci handuk pelanggan. Hari itu pelanggan toko pangkas rambut kami cukup ramai. Biasanya memang aku yang mencuci handuk kecil bekas mereka mencuci muka.

        Tetapi, putra kecilku yang baru berusia 9 bulan rewel sehingga aku harus menenangkannya terlebih dahulu. Tetapi, rupanya papa tidak sabaran. Lalu aku menegurnya karena aku tidak mau orang menilai aku dan suamiku anak dan mantu tidak berbakti. Tetapi, beliau tidak terima dan terjadilah pertengkaran itu.

        Hal itu rupanya sampai ke telinga adik-adik almarhum mama. Sehingga mereka tiba-tiba saja datang dan marah.

"Om, Papa sama sekali nggak bilang kalau rumah ini dijual. Jadi, ini bukan salahnya kami," kata Romi menjelaskan.

“Dasar perempuan tak tahu diri! Pintar kamu yaa jerat keponakanku, memang kamu perempuan malam, perempuan rendah! Romi, buka mata kamu, papa kamu sampai jual rumah ini dan mau ikut adiknya di Jakarta pasti karena nggak diurus sama perempuan ini. Istri kamu ini cuma mau morotin kamu aja,” maki perempuan yang sudah sedari tadi ingin memuntahkan seluruh emosinya kepadaku.

        Ingin rasanya aku balas memaki, tapi demi menghargai suamiku aku memilih diam. Percuma saja bicara kepada orang yang memang tidak menyukai kita bukan?

        Hanya saja, adik-adik kandung almarhum papa Romi ingin menguasai harta. Sehingga mereka memanas-manasi papa Romi untuk menjual rumah dengan alasan menantunya pasti tidak mau mengurusnya. 

      Papa Romi yang memang sudah pikun menuruti saja ucapan adik-adiknya. Dan hal ini membuat adik-adik almarhum istrinya murka. Dan mereka pun menyalahkan Aku. Mereka pikir Aku yang berbuat kurang ajar dan tidak mau mengurus papa mertuanya.

        “Tante, tolong jangan kasar begitu sama Vina, dia pilihan hidupku, tidak ada hubungannya dengan pekerjaannya dan juga dia tidak serendah itu. Kalau perlu diingatkan lagi, siapa yang  mengurus mama sejak mama kambuh penyakitnya? Vina, kan?” ucap Romi dengan suara rendah. Aku yakin saat ini suamiku juga sedang menahan emosinya.

 “Lihat kamu yaa! Lihat, keponakan saya menjadi pembangkang gara-gara kamu! Pasti kamu sudah mengguna-gunai keponakan saya sampai dia tidak bisa lagi cari perempuan yang lebih baik!” kata tante A Eng. 

      "Tante, selama ini saya yang merawat almarhum mama dengan baik sebelum beliau meninggal. Jika saya memakai guna-guna untuk apa saya merawat almarhum dulu?" jawabku pada akhirnya. 

“Gara-gara kamu papanya Romi

jadi jual rumah! Dasar perempuan sial!” Om Romi pun ikut memaki.

        Aku hanya  bisa menghela napas panjang. Dulu, almarhum mama Romi juga tidak terlalu setuju dengan hubunganku dan Romi. Tapi, pada akhirnya beliau bisa menerimaku dengan tangan terbuka karena beliau bisa melihat bagaimana ketulusanku merawat beliau.

        Adik-adik beliau yang lain pun akhirnya bisa menerimaku. Hanya pasangan suami istri yang satu ini memang sedikit berbeda. Raju, om nya Romi sebenarnya sangat baik, hanya saja beliau ini termasuk suami-suami takut istri. Jadilah segala sesuatu dikendalikan sang istri.

        Dulu sebelum menikah aku adalah seorang DJ dan bisa dibayangkan tanggapan banyak orang tentang wanita malam seperti apa, bukan?

        Padahal, Romi sendiri adalah DJ juga, dan dia tahu betul bagaimana karakterku. Aku hanya bekerja sebagai DJ, tidak lebih. Memang benar ada DJ yang juga menjual diri, tetapi bukan aku orangnya.

“Ini ‘kan yang kamu mau, Vin? Setelah rumah dan toko ini dijual, Romi mau kerja apa? Selama ini Romi nggak kerja. Sekolah aja tamat SMA, kalau toko dan rumah ini dijual mau kerja apa? Kalian mau tinggal di mana? Uang hasil penjualan rumah ini pun kalau dikasi kalian pasti akan habis. Apa lagi perempuan macam kamu!"

      Kembali Aku menarik napas panjang, dunia sering tidak adil kepadaku. Hanya karena pekerjaanku sebagai DJ dulu keluarga suamiku terkadang memandang sebelah mata.

 “Buka lebar-lebar mata kamu, Romi! Kamu itu cuma diperdaya perempuan ini, dia cuma mau menghabiskan harta mendiang mama kamu, buktinya papa kamu menjual rumah dan toko usahanya. Pikir Romi, pikir!” kata tante Romi sambil menunjuk-nunjuk dahinya. 

“Papa jual rumah ini kami nggak tau. Tau-tau saya dipanggil ke notaris.  Nggak ada hubungannya sama Vina. Istriku sama sekali tidak pernah meminta apa-apa, bahkan dari mama sakit keras sampai mama meninggal Aku tidak pernah menuntut apa-apa!” Nada suara Romi mulai meninggi, matanya memerah basah.

 “Oooh … Buta memang kau yaa? Perempuan ini memang sudah membutakan kau, Romi! Siapa yang paling diuntungkan dari penjualan rumah itu selain perempuan ini, hah? Dia yang akan mengangkangi harta orang tuamu, sadar kamu!” timpal Raju dengan nada suara yang tak kalah tingginya.

“Kalau saya mau menguasai harta Romi, saya tidak akan mau bersusah payah mengurus mama ketika sakit. Siapa yang merawat papa selama ini? Membuang bekas air kencingnya, memasak makanan? Kalian? Tidak kan? Hanya karena satu kesalahan saya yang bertengkar dengan beliau lalu saya dicap tidak mau merawat? Justru saya bertengkar dengan papa karena saya mau papa istirahat. Tolong kalau mendengar sesuatu itu jangan setengah-setengah,” ujarku mulai kesal.

 “Sudah … Sudah, hentikan perdebatan ini, saya memutuskan menjual rumah ini karena memang mau saya. Saya mau tinggal di Jakarta dan ngga mau tinggal satu rumah sama Romi. Biar bagaimana pun dia sudah menikah, berkeluarga, punya anak pula, biarkan dia hidup mandiri dan menjadi kepala keluarga yang baik,” sahut Hengky ayah Romi. Akhirnya lelaki tua itu membuka mulutnya.

Paman dan Tante Romi memandang kesal kepada lelaki yang sudah memasuki usia senja itu. Mereka sebenarnya tahu jika dalang penghasut itu adalah adik-adik dari papa mertuaku sendiri. Namun, kekesalan dan kemarahannya justru dilampiaskan kepadaku. Memang menyebalkan sekali.

        “Dengar sendiri kan, Om, Tante? Kami sama sekali tidak tau menau dengan rencana papa menjual rumah ini,” kata Romi sementara Hengky hanya diam dan memilih masuk ke dalam kamarnya.

        Untung saja saat ini anakku sudah tidur lelap, jadi tidak terganggu dengan pertengkaran yang saat ini terjadi.

“Terserah kalianlah. Memang susah kalau anak tidak mau berbakti sama orang tua,” kata A Eng lagi.

        Tanpa berpamitan lagi mereka pun langsung pulang. Aku dan  Romi saling berpandangan.

“Maaf ya, adik mama yang satu itu memang begitu,” kata Romi.

“Ya, aku bingung aja kenapa aku yang jadi disalahkan. Aku nggak pernah tau kalau papa mau jual rumah kalau kamu nggak kasi tau. Kenapa aku yang dibilang hasut papa buat jual rumah ini?” ujarku sambil mengempaskan tubuhku di sofa.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status