Malam merangkak semakin naik, jika dulu aku melewati malam dengan semarak musik kini dunianya sudah berubah. Malam-malamnya kini dilewati dengan celoteh si kecil, obrolan menjelang tidur dengan suamiku juga mimpi-mimpi indah meskipun sering diinterupsi oleh tangisan si kecil yang haus atau mengganti popoknya.
“Kita mau pindah ke mana? Papa sudah fix jual rumah ini, kan?” tanyaku pada suamiku. Romi menganggukkan kepalanya.
Sebenarnya kami masih ada satu ruko lagi. Dan ruko itu atas nama almarhum mama Romi dan memang sudah diberikan kepada Romi. Tetapi, posisinya ruko itu belum disemen dan juga tidak ada kamar apa lagi kamar mandi. Di cat saja belum. Baru berbentuk bangunan setengah jadi.
"Rumah ini harus sudah dikosongkan dalam waktu dua minggu oleh pemiliknya yang baru," kata Romi.
“Trus?”
“Ya mau nggak mau kita pindah ke ruko yang di tanjung pinang. Besok aku cari tukang bangunan yang bisa borongan deh buat semen dan cat rumah itu. Lantai satunya aja dulu yang penting bisa buat kita tinggal. Nanti sedikit- sedikit baru renovasi sisanya.”
“Emang kamu ada uang?” tanyaku sambil menepuk putra kecilku yang sedikit gelisah dalam tidurnya.
“Jual motor atau mobil,” jawab Romi.
“Ya aku sih terserah kamu aja, ke mana kamu pergi ya aku ikut,” kataku.
"Papa benar-benar mau tinggal di Jakarta?" tanya Vina.
"Iya, dia udah ga betah di Jambi, mungkin. Ini yang dari dulu ditakutkan almarhum mama. Selama ini adik-adik papa itu selalu merongrong. Jadi waktu mama nggak ada ya mereka menghasut papa. Kamu yang sabar, ya."
“Aku kira cerita kayak gini hanya ada di film-film. Ternyata kisah nyata ada ya?” kataku setengah bercanda.
Suamiku hanya tertawa. Kami memang tidak pernah bertengkar. Dulu, dia adalah sahabat dekatku. Tempat aku mengadu jika aku bertengkar dengan kekasihku.
Tapi, lama kelamaan perasaan sebagai sahabat itu berubah menjadi cinta.
Hubunganku dengan almarhum mama Romi juga tidak langsung dekat. Beliau pada awalnya tidak merestui hubunganku dengan anak tunggalnya itu.
Tapi, Romi berusaha mendekatkan kami. Lalu, saat mama penyakitnya kambuh, akulah yang merawat beliau.
Bahkan ketika aku hamil 7 bulan, aku masih bisa mengantar mama berobat ke Jakarta. Mama memang dirujuk dari Jambi ke RSCM untuk berobat.
Dan bisa dibayangkan ya, aku dengan perutku yang besar membawa mama yang sedang sakit.
Kondisi mama dulu sudah parah juga. Kankernya sudah menyebar, kakinya bengkak mengeluarkan air, perutnya pun membesar seperti orang hamil.
Sejak saat itulah mama mulai menyayangi aku sebagai menantu. Apa lagi saat tahu jika anak yang ada dalam kandunganku lelaki.
“Tadi pagi, papa bilang mau kasi empat ratus juta buat kita renovasi rumah.”
“Emang rumah ini laku berapa?” tanyaku.
“Satu koma delapan milyard. Sisa uang papa mau didepositokan trus papa mau tinggal di Jakarta sama adiknya,” kata Romi.
“Adiknya yang mana?”
Romi hanya mengendikkan bahunya perlahan. Ayah Romi adalah anak tertua. Adik-adiknya memang tidak ada yang tinggal di kota Jambi.
“Kalau papa mau kasi kita empat ratus juta, kamu nggak usahlah jual kendaraan,” kataku.
“Iya, tapi kan uangnya nanti. Sementara ini kita mesti mulai renovasi.Jadi, motor aku jual dulu lah buat beli semen dan yang lain.”
Aku hanya menganggukkan kepalaku. Yang aku takutkan hanya satu sekarang ini. Pekerjaan Romi. Selama ini, Romi mengandalkan uang dari toko pangkas rambut. Dia belum pernah bekerja. DJ? Duh, DJ lelaki itu tidak selaris DJ wanita.
Apa lagi di kota Jambi ini piring nasi tidak untuk berbagi. DJ lokal di kota ini selalu memusuhi DJ lain yang ingin bekerja. Termasuk suamiku. Beberapa kali dia disikut oleh temannya sendiri.
Lagi pula, aku nggak mau jika suamiku tetap menjadi DJ. Dunia malam itu godaannya banyak bagi lelaki. Wanita, minuman dan narkoba.
*
Dua minggu berlalu, ternyata pembeli ruko kami memberikan toleransi sampai ruko selesai direnovasi.
Entah mengapa tiba-tiba saja papa mengatakan jika nanti dia akan tinggal saja bersama kami. Sehingga, Romi pun merenovasi ruko itu semua.
Tetapi, setelah selesai semua, papa kembali berubah pikiran. Sehari sebelum kami pindah dia malah meminta adiknya yang bernama Syongky datang ke Jambi untuk menjemputnya.
Padahal aku sudah berusaha untuk berdamai dengan mertuaku itu dan juga menyiapkan mental untuk mengurusnya.
Papa itu sudah tua dan maaf, beliau jorok sekali. Pernah suatu ketika saat cucian piring sedang penuh dengan enaknya beliau membuang air kencing dari pispot ke tempat cuci piring.
Bayangkan saja jika ada di posisiku? Aku yang baru memiliki bayi 9 bulan yang sedang lasak dan menghadapi mertua yang kelakuannya lebih dari bayi.
Aku tegur malah beliau mengadu ke mana-mana dengan bumbu yang ditambahkan sehingga aku yang salah di mata semua keluarga.
“Jadi, papa nggak jadi ikut kita?” tanyaku kepada suamiku. Romi hanya menggelengkan kepada.
“Nggak jelas, plin plan. Tau begitu uang kemarin nggak aku pakai buat renovasi rumah semua. Ini sisa lima puluh juta aja. Tapi, papa bilang mau kasi seratus lagi buat modal usaha,” kata Romi.
"Trus kamu mau buka usaha apa? Furniture seperti yang waktu itu kamu bilang?" tanyaku.
Entah kenapa perasaanku menjadi sedikit tidak enak. Romi memang mengatakan kepadaku untuk membuka usaha furniture. Tetapi, aku sedikit ragu karena dia belum memiliki pengalaman di bidang itu.
Sebanyak apa pun uang yang dimiliki jika tidak dimanage dengan baik pasti akhirnya akan habis. Apa lagi kemarin kami sudah habis-habisan merenovasi rumah dan juga membeli furniture baru seperti tempat tidur, lemari dan yang lainnya.
Bukan mau boros, tapi di rumah lama kami memang tidak punya tempat tidur, kasur ada tapi tidak akan cukup untuk kami tidur. Jadi, kami memang hanya membeli barang-barang secukupnya saja.
Papa memang menepati perkataannya dengan memberikan kami modal usaha. Romi membuka usaha furniture. Ada satu tukang yang bekerja dengan kami. Tapi, jujur saja, aku masih ragu karena yang pertama ruko kami masuk ke dalam lorong bukan pinggir jalan. Yang kedua suamiku belum berbakat di bidang ini. Jadi aku sedikit cemas. Awalnya memang ada yang membeli lemari buatan suamiku, apa lagi memang suamiku membuat lemarinya dari bahan yang bagus. Tetapi, lemari dan furniture itu perputaran uangnya lama, tidak setiap hari orang membeli lemari sementara kebutuhan kami setiap hari. Apa lagi Leo sedang dalam masa pertumbuhan. Bayi berusia 10 bulan itu kan memerlukan gizi. Dia hanya mau minum ASI sampai usia 7 bulan saja. Aku sendiri tidak tau kenapa padahal ASI ku lumayan banyak. Dan ternyata tepat saat Leo berusia 11 bulan aku hamil kembali. “Leo kan masih kecil banget ya, padahal aku pikir lepas KB nggak langsung jadi lagi,” kataku saat melihat tespack
Jika wanita setengah baya di hadapanku ini bukanlah tante dari suamiku mungkin aku sudah mencabik-cabik wanita ini. Bagaimana mungkin dia bisa mengatakan aku penjilat. Jika aku ini penjilat mungkin sudah sejak lama aku tidak mau mengurus mama dan juga Papa. Tapi buktinya apa aku selalu merawat mereka dengan baik, bukan? Dulu pun ketika aku sedang hamil besar aku mengantarkan almarhum Mama berobat ke Jakarta. Jika aku memang penjilat tidak mungkin itu aku lakukan. Atau ketika aku mengantar beliau ke Jakarta aku tukar saja obatnya dengan obat yang lain supaya beliau bertambah sakit tapi ini kan tidak. Bahkan aku rela berjalan jauh hanya untuk mengambil sampel darah mama ke laboratorium di RSCM.Untuk yang hapal denah di RSCM pasti tau jika dari loket BPJS ke lab itu cukup jauh. Dan waktu itu aku sedang hamil 7 bulan. Apa seperti itu bisa dilakukan oleh seorang penjilat?Memang lidah Tidak bertulang dan wanita di hadapanku ini ucapannya tidak bisa dikontrol sama sekali
"Iya, Papa memang beli tanah di samping home stay ini. Hanya memang bukan atas nama papa," kata papa saat kami berkumpul makan malam."Kalau kamu mau, kamu bisa bangun tanah itu buat bikin rumah makan. Di sini rumah makan emang banyak. Tapi, pengunjung juga banyak loh, Romi. Apa lagi katanya Vina dulu pernah buka rumah makan di rumah lama kalian yang dijual," kata Tante Siska. "Iya, Vina suka masak dan buat kue, jadi kami sempat buka rumah makan dan kue-kue online gitu. Sayang belum terlalu laris trus rumahnya keburu dijual," kata Romi melirik ke arah papanya. Yang dilirik hanya diam seolah tidak terjadi sesuatu. Ya aku bisa memaklumi karena memang papa itu sudah pikun. Usianya sudah 77 tahun . Sudah pikun dan sudah kembali seperti anak kecil."Maafkan papa, ya," kata paman Syongky kepada kami. "Saya nggak masalah kok, yang paling penting dari pihak keluarga papa nggak lagi menyalahkan saya. Atau saya dibilang tidak mau merawat papa," ujarku kepada paman Syongky.
Jujur saja saat, ini aku bingung bagaimana jika tanah yang dibeli oleh papa itu kelak menjadi sengketa.Bukankah tanah itu dibeli bukan atas nama papa atau atas nama suamiku? Alasan utama adik ipar Papa membeli tanah itu karena di pulau seribu katanya tidak boleh ada orang luar yang membeli tanah di sana. Harus orang yang sudah memiliki KTP di pulau Tidung itu yang membeli tanah.Jika pembelinya dari luar, maka tanah itu bisa menjadi sengketa ... kira-kira seperti itulah. Tetapi aku juga tidak mengerti. Apakah hal itu benar atau hanya akal-akalan saja, yang jelas aku pribadi hanya merasa heran kenapa Papa membeli tanah itu jika tidak bisa atas namanya?"Terus, kalau misalkan ... amit-amit ya Papa meninggal. Lalu tanah itu mau diapain? Emang kamu bisa ngomong kalau itu tanah punya kamu?" kataku kepada Romi setelah kami kembali dari pulau Tidung.Romi mengangkat bahunya."Nggak tahu, nanti kita pikirin aja. Toh untuk sekarang kita kan masih punya uang dan masih bisa usaha juga." Aku h
“Yang, aku diterima kerja! Wajahku langsung sumringah saat Romi mengatakan jika ia baru saja diterima bekerja. Aku langsung memeluk suamiku itu dan mencium pipinya.“Wah, selamat ya. Tuh, kan aku juga bilang apa. Harusnya dari kemarin kamu kerja aja, coba kalau waktu itu langsung kerja kita masih punya uang simpanan, loh. Jadi nggak susah-susah amat,” ujarku lirih. Ya, terkadang ada rasa penyesalan kenapa waktu itu aku tidak menyarankan Romi untuk bekerja saja dan uang yang diberikan papa itu didepositokan.“Iya namanya juga hidup kadang di atas kadang di bawah, Sayang. Tapi, nggak apa-apalah kita mulai lagi semuanya dari nol,” kata Romi dengan santai. Inilah sifat Romi yang terkadang tidak aku sukai,dia terlalu santai. Aku hanya menganggukan kepala perlahan sambil tersenyum ... yah segalanya memang harus dimulai dari nol. Terkadang ada sedikit penyesalan yang terbit dalam hatiku, kenapa sih waktu itu aku nggak sabaran. Seharusnya aku mungkin bisa menahan emosi saat mengha
“Ya ampun, Yuk, ini kok banyak banget cucian? Terus ini cucian piring banyak banget, perasaan tadi Leo belum makan. Terus udah gitu kok piringnya numpuk gelas kotor juga numpuk. Terus ini cucian baju siapa aja?” tanyaku kepada Ayukk Neneng.Aku sangat terkejut, saat aku turun ke lantai bawah dan melihat Ayuk yang bekerja di rumahku sedang mencuci banyak sekali pakaian kotor. Dan juga di wastafel tempat cuci piring, menumpuk piring dan gelas.Saat aku membuka kulkas dan hendak mengambil batu es, ternyata batu es nya habis dan cetakan batu esnya sama sekali belum diisi. Begitu juga dengan botol-botol air minum di kulkas semuanya kosong.Sudah sebulan ini selalu saja begitu. Aku jadi merasa lebih lelah dari biasanya. Memang ini hanya masalah kecil. Tetapi, jika dibiarkan pasti akan menjadi kebiasaan.“Itu kerjaannya si Beiby, dari kemarin juga kayak gitu. Kalau habis makan, cucian piringnya ditumpukin di situ. Terus ini juga baju-baju kotor punya dia,” kata Ayukk.Aku menepuk dahiku den
Pada akhirnya, Romi pun terpaksa pulang. Karena perutku yang sering kram ditambah lagi keluhanku mengenai Beiby yang semakin bertindak seenaknya. Bahkan ia pernah dengan sengaja membawa sejumlah ekstasi ke rumah.Hal itu makin membuatku dan Romi kesal. Tetapi, untuk mengusirnya dari rumah selalu tidak ada kesempatan. Dia seperti sengaja pulang malam menjelang dia berangkat kerja sehingga membuat kami tidak sempat bicara kepadanya. Dan pagi itu tepat tanggal 5 november 2016, pagi saat terbangun aku merasakan mules dan keluar flek. Tanpa berpikir panjang, Romi membawaku ke rumah sakit Bhayangkara Jambi. Pada saat diperiksa ternyata masih pembukaan 1. "Nggak bisa pulang dulu, Dokter?" tanyaku kepada dokter Hanif. Dokter yang sudah menanganiku sejak anak pertama dulu. "Sebaiknya jangan. Nanti kalau pulang ke rumah lalu ada apa-apa bagaimana? Lebih baik di rumah sakit saja dulu," kata dokter.Romi tersenyum seolah mengerti keresahanku. "Ada Ayuk yang jagain Koko Leo. Tenang aja," ujar
_4 TAHUN LALU__BANDUNG, 2010_ "Kalo kamu nggak kuat ya udah tinggalin aja, kenapa susah?! Toh, buat kamu aku kan nggak berguna. Banyak perbedaan, selain perbedaan agama. Keluarga kamu kan keluarga terpandang, ngga panteslah punya menantu kaya aku yang hanya seorang vocalis Band, dan seorang DJ yang kerjanya malam!” jerit Vina pada lelaki di hadapannya.PLAK! Vina memegang pipinya yang mulai memanas akibat tamparan Adit, lelaki di hadapannya yang sudah 3 tahun ini menjadi tunangannya."Dasar perempuan ngga tau diri ! Asal kamu tau ya, di luar sana banyak perempuan yang ngejar aku!""Ya sudah kalo begitu, ngapain kamu masih bertahan? Biar bisa morotin hasil kerja aku? Kamu pikir aku ngga tau setiap kali aku longtrip di luar kota kamu kencan dengan banyak perempuan? Kamu porotin uangnya, kamu porotin juga uangku?" Adit menatap Vina emosi, entah dari mana gadis ini bisa tau seluruh sepak terjangnya diluaran, padahal gadis ini hampir tidak pernah ada di dekat