VOTE YA
"Katakan padaku apa yang harus kulakukan agar kau mau bicara lagi denganku?" tanya Lily tiba-tiba.Sebenarnya Brandon juga terkejut Lily mau langsung bicara seperti itu karena tidak sesuai dengan gaya seorang Loghan yang biasa angkuh dan keras kepala."Duduki aku!"Brandon Lington masih menatap dingin pada wanitanya dengan kedua lengan kakunya yang terulur di masing-masing tepi jacuzzi. Nampak mengerikan untuk didekati tapi Lily sedang tidak punya pilihan dan juga tidak sanggup jika terus diperlakukan seperti ini. Harus ada yang lebih dulu nekat untuk mengakhiri perang dingin di antara dua orang yang sedang sama keras kepala.Perang dingin adalah masalah yang bisa menimpa pasangan manapun dan paling sering terjadi berulang-ulang karena pada dasarnya manusia tetap individu yang memiliki ego untuk dituruti meski kadang sudah tahu salahnya di mana.Lily berjalan mendekat, masih dengan pakaian tidurnya yang berbahan ringan dan setengah agak transparan."Lepas!" perintah Brandon begitu Lily
George membawa Anelies keluar melalui tangga darurat kemudian berlari melalui gang sempit yang agak licin karena sedang turun hujan. Hujan di akhir musim gugur membuat tubuh Anelies yang cuma memakai sweater tipis mulai menggigil. Begitu sampai di tepi boulevard George segera menghentikan taksi yang sedang melintas. Mobil kuning yang dikendarai seorang pria Meksiko itu segera berhenti, George buru-buru membawa Anelies masuk."Bandara!" perintah George.Taksi mereka mulai berjalan dan George segera mengaktifkan kamera tersembunyi yang tadi sengaja dia tinggalkan di kamar hotel untuk mengetahui siapa yang sedang memburunya. George melihat Jared dan seorang pemuda yang sama sekali tidak dia kenal masuk melalui pintu balkon."Siapa mereka, kenapa mereka ingin menyakitimu?" tanya Anelies saat ikut menyaksikan rekaman video yang terkoneksi dengan ponsel George."Terlalu banyak orang jahat di dunia ini, karena itu kita harus selalu hati-hati dan jangan pernah percaya dengan siapapun dari mere
Lily kembali terbangun dengan rasa lemas yang belum mau terlepas dari sum-sum tulangnya. Tubuhnya masih telanjang terlilit gumpalan selimut yang sudah ikut kusut. Lily beringsut menggesekkan pinggulnya sendiri yang tidak nyaman di dalam selimut karena masih agak lembab dan berdenyut agak perih. Nampaknya Brandon sudah membuatnya sedikit lecet. Lily segera berguling untuk berbaring telentang, mendekap dada dan memperhatikan langit-langit kamarnya yang tidak terlalu tinggi. Dia sendirian, entah apa Brandon kembali meninggalkannya. Lily menoleh ke luar. Cuaca sangat cerah meski seharusnya sudah hampir sore.Lily turun dari tempat tidurnya dengan menyeret selimut yang membungkus tubuh polosnya. Lily melihat Brandon sedang duduk di tepi kolam sambil menelpon seseorang. Lily masih ingat jelas bagaimana tadi mereka telah bercinta dan malah membuat Brandon marah.Brandon Lington benar-benar bukan pria yang mudah menemukan seseorang untuk dapat dia percaya, dan sudah berulang kali dia justru d
Lily memiliki phobia terhadap darah dalam kondisi syok, seperti melihat sayatan yang berdarah atau dalam kondisi yang tidak semestinya."Brandon!" teriak Lily dengan nyaring.Brandon langsung berlari ke dalam kamar, melihat Lily yang masih memperhatikan tangannya."Darah ..." gumam mulutnya yang melemah sebelum tiba-tiba memucat dan pingsan. "Lily!" Brandon seketika panik apa lagi ketika menyibak selimut Lily dan melihat darah segar yang merembas sudah merembas ke seprai. "Oh, Tuhan ...!"Brandon segera mengangkat tubuh Lily dan menghubungi anak buah kapal. Brandon membawa Lily ke rumah sakit terdekat mengunakan helikopter untuk segera mendapat pertolongan karena Lily juga masih lemas pingsan di sepanjang perjalanan sama sekali tidak sadar.Lily sudah kehabisan banyak darah dan semakin pucat. Brandon merasa benar-benar bisa ikut mati jika sampai terjadi sesuatu pada Lily.*****Hampir satu jam berlalu, Brandon terus menunggu dalam kerisauan. Lily masih ditangani tim medis dan belum a
Begitu keluar dari bilik toilet, Brandon langsung terduduk di sofa sambil meremas wajahnya sediri dengan telapak tangan. Geby, Jeremy, dan Lily juga langsung memperhatikan meski Brandon tidak bicara apa-apa."Kenapa denganmu?" Geby yang bertanya.Tengkuk Brandon masih berkeringat dingin dengan kontraksi mual di perutnya yang sangat tidak enak. Brandon juga masih belum menjawab apa-apa sampai Geby berjalan mendekatinya."Kau sakit?" Geby keheranan melihat dahi Brandon yang makin berkeringat dingin. "Kami akan panggilkan perawat?" Geby menawarkan."Tidak perlu!" tolak Brandon yang baru mau bicara. "Aku hanya mual."Geby langsung menoleh Lily dan Jeremy bergantian."Minumlah sesuatu!" perintah Lily tapi Brandon terlihat menggeleng. Tiba-tiba Brandon kembali beranjak berdiri untuk buru-buru masuk ke bilik toilet dan menutup pintu. Brandon benar-benar muntah seperti pria payah dan mulai khawatir jika dirinya akan kembali mengalami penyakit aneh. Brandon memang masih sama sekali tidak sadar
"Kemari lah," panggil Lily agar Brandon ikut naik ke atas ranjangnya.Brandon yang dari tadi duduk di sofa bangkit berdiri dengan langkah lesu mengikuti permintaan Lily. Brandon naik pelan-pelan dan ikut menyelipkan sebagian tubuhnya ke dalam selimut. Ranjang rumah sakit memang tidak terlalu besar tapi cukup untuk menampung mereka berdua jika saling merapat. Geby sudah kembali ke hotel, mereka hanya tinggal berdua. Berdua, untuk saling menjaga."Apa yang kau rasakan?" tanya Lily."Sudah jauh lebih baik."Lily yang mendekat lebih dulu untuk mencium Brandon. Sebenarnya Lily ingin melakukanya dari tadi. Lily benar-benar tidak tega melihat Brandon lemas karena muntah. "Maaf, aku sedang tidak bisa banyak membantu.""Seharusnya aku yang menjagamu bukan malah jadi payah seperti ini."Seharian tadi Geby yang mengurus Brandon, membujuknya makan dan terus memberi semangat dari rasa mual yang memang bisa sangat menguras energi."Apa rasanya selalu seperti itu?" Lily jadi ingin tahu dengan apa ya
Sindrom kehamilan membuat Brandon Lington seperti kalah oleh ulahnya sendiri. Karena saat tidak ada seorang pun yang berani menentangnya, ternyata ia justru dikacaukan oleh penyakit tidak terduga macam ini.Brandon menggenggam kaleng coca-cola yang kembali dia minum sedikit-sedikit untuk meredakan rasa mual. Dia sudah lemas karena kurang asupan makanan sejak beberapa hari terakhir ini. Brandon hanya menelan beberapa potong buah setelah dipaksa oleh Geby."Kau tidak bisa terus mengisi perutmu dengan minuman soda sementara tidak menelan makana yang lain." Geby kembali memaksa Brandon untuk makan beberapa potong pisang yang sudah dia letakkan dalam mangkok. Geby juga menusukkan beberapa potongan ke ujung garpu agar Brandon mudah mengambilnya."Ayo tetap telan asal tidak mencekik lehermu."Geby benar-benar paling pantang menyerah untuk membujuk Brandon, jikapun Brandon mau menelan makanan, itu karena dia tidak mau dianggap pengecut yang takut muntah. Padahal setelah di telan Brandon juga a
James Loghan mengetahui perihal ayahnya yang ternyata masih hidup dan sedang merencanakan sebuah kejahatan besar. James mengetahui semua itu dari Mr. Papkins. Sebagai penerus keluarga Loghan, James merasa memiliki tanggung jawab untuk menjaga keluarganya dan bertekad menggagalkan semua rencana ayahnya sendiri. Mr.Papkins sudah mengingatkan tuan mudanya untuk tetap berhati-hati karena berhadapan dengan orang-orang berbahaya.James Loghan bukan cuma pria rupawan dari keluarga kaya raya, dia juga sangat cerdas dan bijak. James tidak akan membongkar kejahatan ayahnya karena hal itu akan ikut menghancurkan reputasi keluarga Loghan. James mulai berpikir jika keluarga Loghan harus bisa bekerja sama dengan keluarga Lington untuk mengalahkan George Loghan.Begitu James mengetahui istrinya mengandung bayi perempuan, James segera mengatur kontrak perjodohan putrinya dengan putra keluarga Lington. Keluarga Lington memiliki anak laki-laki yang sudah berumur dua tahun. Sebenarnya David Lington mem