"Maaf sebelumnya Bu, sebenarnya istri saya sedang dan sekarang dirawat di rumah sakit, sehingga saya tidak merasa tenang Bu. Tapi sebagai sopir saya harus mengantarkan Ibu." "Siapa yang menjaga istri Mamang di rumah sakit?" "Tidak ada siapa-siapa Bu, saat ini istri saya sendiri," jawab Mang Jajang sedih. "Ya sudah kalau begitu Mamang pulang saja izin berangkat sendiri, ini uang untuk biaya rumah sakit, semoga setelah saya kembali istri Mamang sudah sembuh." Ucap Maura sambil memberikan sejumlah uang kertas berwarna merah beberapa lembar pada driver yang sudah setia Anda. "Terimakasih Bu! Ibu hati-hati dijalan, jangan ngebut-ngebut ya Bu." "Saya berangkat kalian jaga rumah dengan baik," Maura mengingatkan para pembantunya yang sudah berdiri mengantarnya di depan pintu pagar. "Baik Bu, ibu hati-hati di jalan," jawab para pembantu yang berkumpul tiga orang sedang tersenyum penuh kemenangan seolah bebas dari penjara. Bagaimana tidak senang karena sebagai majikan Maura begitu mengeka
"Dokter kenapa diam? Katakan yang sebenarnya dok?""Istri Anda saat ini belum sadar kan diri, kepalanya sedikit kena benturan tapi kakinya patah dan untuk saat ini ia belum bisa berjalan," jelas sang dokter yang bernama Pasha."Apa dok! Istri saya lumpuh," lirih Arka sambil mengusap air matanya."Saya belum bisa memastikan, kita lihat hasil pemeriksaannya besok, permisi."Mendengar berita itu membuat Arka terduduk lemas, Arsila hanya mampu menenangkannya meski sebenarnya ia bingung harus berbuat apa. Ada rasa cemburu dalam diri Arsila melihat suaminya begitu panik dan bersedih, apakah Arka akan berbuat hal yang sama jika ia sakit."Mas! Kamu yang tenang ya, Mbak Maura pasti akan baik-baik saja," tukas Arsila sambil mengelus-elus punggung Arka dengan lembut.Arsila bisa melihat dari manik mata Arka yang begitu merasa bersalah atas kecelakaan yang menimpa Maura. "Iya, Sayang! Makasih kamu sudah mau menemani Mas buat jagain Maura, Mas hanya takut terjadi apa-apa pada Maura, bagaimanapu
"Arsila!" "Kamu siapa? Kamu mengenalku?" Tanya Arsila yang meringis kesakitan. Karena kepala mereka terbentur satu sama lain. "Kamu lupa denganku?"Arsila berusaha mengingat seseorang yang ada di hadapannya, pikirannya jauh ke beberapa tahun silam. "Nadia! Kamu Nadia kan?" "Sekarang kamu sudah jadi dokter? Nad! Wah keren banget kamu," Arsila baru mengingat sosok wanita yang tak sengaja ia tabrak."Arsila kamu ngapain disini? Siapa yang sakit? Ibu kamu atau Ayahmu yang sakit?" Tanya Nadia dengan memegang pundak Arsila. Arsila tersenyum lalu menggelengkan kepalanya " bukan Nad! Istri Mas Arka yang sakit," Jelas Arsila. "Istri Arka mantan kamu itu? Yang sudah jelas-jelas ninggalin kamu demi perempuan kaya," ucap Nadia penuh emosi. Bagaimana tak emosi, Nadia tahu betul perjalanan cinta Arsila dan Arka hingga mereka terpaksa berpisah karena Arka harus menikahi wanita kaya pilihan orang tuanya. "Iya Nad, Maaf.""Kamu gak salah Sil! Ngapain kamu liat Istri laki-laki yang benar-benar
"Hai, kamu Arsila bukan?" Tanya lelaki bertubuh kekar dan tampan itu padaku saat aku sedang memilih buku di sebuah toko di pusat perbelanjaan. "Hem … kamu siapa? Tanyaku balik karena sama sekali aku tak mengenali lelaki itu. Dia hanya tersenyum manis padaku saat aku balik bertanya padanya, membuat aku jadi salah tingkah. "Kenapa senyum gitu? Emang ada yang lucu," ucapku sambil merapikan pashmina yang kukenakan. "Kamu makin cantik saja sekarang?" "Maaf ya Mas! Jika tidak ada kepentingan sebaiknya jangan ganggu saya, permisi." Aku berlalu meninggalkan lelaki yang masih berdiri di hadapanku, aneh sekali tiba-tiba ada lelaki yang menyebut namaku tanpa menyebutkan namanya. Aku masih sibuk mencari buku bacaan yang akan kubaca di akhir pekan, seperti biasa jika libur kerja aku selalu menghabiskan waktu di dalam kamar seharian itu sudah menjadi kebiasaanku. Sejak Mas Arka meninggalkanku dan menikahi perempuan bernama Maura wanita pilihan orang tuanya sepuluh tahun yang lalu sejak itula
Ting! [Lagi ngapain Cil? Atau kamu sudah tidur?] Pesan dari Mas Arka Aku bingung harus membalasnya atau tidak, Aku memang masih mencintainya bahkan sangat mencintainya meski kini ia sudah beristri. Entah perasaan apa ini tapi aku tak mampu membohonginya itulah kenapa hingga saat ini aku masih sendiri sejak Mas Arka menikah. Ting! Pesan kedua dari Mas Arka. [Kok di read aja, aku ganggu kamu yach, selamat malam cantik] Pesan yang dikirimkan Mas Arka sungguh membuatku berbunga-bunga, hidupku seakan kembali seperti dulu, aku hanya senyum-senyum sendiri, sebaiknya aku abaikan saja pesan darinya karena aku harus menjaga jarak padanya. Mas Arka kembali mengirim pesan [Cila aku merindukanmu, sangat merindukanmu] Pesan ketiga yang dikirimkan Mas Arka sungguh membuat bulu kuduk merinding, kenapa Mas Arka mengirimkan pesan seperti itu. [Maaf Mas, sepertinya kamu salah kirim pesan, tak pantas jika kamu bilang rindu padaku yang bukan siapa-siapamu lagi Mas] Pesan terkirim Conteng dua
"Tapi Mas?" "Tapi kenapa! Bukannya kita saling mencintai, apa yang salah jika kita saling mencintai?" Tanya Mas Arka. Mas Arka terus memaksa jika kami akan memulai semuanya dari awal seperti dulu saat kami pertama kali saling jatuh cinta. "Mas, Aku memang mencintaimu bahkan sangat mencintaimu tapi Aku takut akan ada yang tersakiti Mas," lirihku pada Mas Arka yang masih erat menggenggam tanganku. Kami benar-benar dimabuk asmara, hingga malam tiba kami masih duduk berdua di cafe, Mas Arka menceritakan segala yang pernah kami lalui dahulu, mengingatkan kembali masa-masa indah kami pacaran dulu. Membuatku larut dalam dekapannya dan menerimanya kembali menjadi kekasihku meski statusku adalah simpanannya saat ini, demi Mas Arka aku rela. Mas Arka berjanji akan segera menikahiku meski statusku menjadi istri keduanya. Karena ia tidak mungkin menceraikan Maura, semua yang ia miliki saat ini adalah milik Maura. Cintaku pada Mas Arka telah membutakan mataku, Aku terlalu nyaman berada di da
Getaran ponselku membuyarkan lamunanku akan suasana rumah baruku bersama Mas Arka. Saat kulihat ternyata Zahra teman satu kantor yang menelponku. [ Hallo Cil, kamu lagi sibuk gak?] [Halo juga, Aku baik kok, ada perlu apa Zahra malam-malam begini telepon, emang ada yang penting sampai kamu telpon Aku.] [ Cuma mau bilang kalau besok kita ada meeting bulanan, kamu jangan sampai gak masuk kerja] [Ouh iya, makasih ya udah ingetin Aku] [Iya, Sama-sama] Panggilan pun terputus, aku kira tadi ada hal yang lebih penting makanya Zahra menelponku, ternyata urusan kantor, tapi aku senang sih karena dia mau ingetin aku soal meeting besok kalau tidak pasti besok aku izin lagi. Terpaksa deh, besok lihat rumah barunya sorean karena aku harus ngantor. **** Pagi-pagi kulihat Ibu sudah membuat sarapan untuk kami semua, seperti biasa Ibu lah yang selalu menyiapkan sarapan jika tidak ada ibu kami pasti kewalahan. "Cil, panggil Bapak buat sarapan tadi ibu lihat kalau bapak masih sibuk membersihkan
Wing … Wing Suara ambulan terdengar keras tepat di depan rumahku membuat Aku kaget bukan kepalang. "Arsila …!" Seseorang meneriaki ku dari luar rumah sontak membuatku kaget dan berlari keluar rumah. "Cepat-cepat siapkan semuanya," titah Bi Marni padaku yang membuat aku bingung kenapa tiba-tiba datang dan menyuruhku untuk cepat-cepat. "Maksud bibi apa bi?" Tanyaku Pada Bi Marni dengan terheran. "Kamu belum tahu Cil kalau kemarin Bapakmu kena serangan jantung dan meninggal dunia saat di rumah sakit, kamu yang sabar ya." "Maksud Bibi apa? Cila gak ngerti Bi?" "Sebaiknya kita tunggu saja Jenazah Bapakmu turun dari ambulan." Benar saja ambulan yang tadi kudengar suaranya berhenti tepat di depan halaman rumah kami. Semua tetangga berdatangan untuk membantu menggotong jenazah Bapak, Aku yang masih bingung tak tahu harus berkata apa. "Nak, Bapakmu sudah tidak ada lagi," ucap Ibu menghampiriku dengan suara serak, tampak wajah ibu sembab karena menangis. "Maksud Ibu! Bapak sudah tiada