POV Ilham Kulajukan kuda besi dengan tekad bulat dan berharap Intan mau memaafkan Rita. Namun, sesuatu di depan mata membuat diriku terdiam. Rita nekad menghadangku dengan cepat. "Mas Ilham, jangan pergi." Kedua netra sayu, wajah memelas dan bibir bergetar. Aku terdiam ketika ia memanggilku dengan sebutan mas. Beberapa bulan ini ia selalu memanggilku dengan nama saja tanpa ada embel-embel mas. Sikapnya juga tak seperti seorang istri. "Kita bicarakan baik-baik di dalam," ucap istriku dengan suara lembut hingga hati ini luluh seketika. Wajah yang pertama kali bertemu muncul kembali. Tak seperti biasanya seperti nenek lampir. Apakah istriku sudah berubah hingga ia berkata seperti itu. Semoga saja ia berubah menjadi Rita yang lebih baik. "Ini sudah malam. Perjalanan juga jauh kita berbicara di dalam," rayuannya mengoda. Tutur katanya halus sekali. Kumundurkan motorku ke tempat semula, mengikuti langkah istriku masuk ke dalam. Rita mengambil gelas dan mengisi dengan kopi sachet se
"Surprise!" Seorang gadis berdiri depanku dengan merentangkan tangan ke atas. Wajah yang familiar bagi kami semua. Tentu saja karena ia salah satu saudara istriku. "Lisa!" "Hai, Mas Ilham. Apa kabar?" "Lisa!" Rita berdiri di belakangku menyingkirkan tubuh yang menghalangi pintu masuk. Seandainya tak ada Rita sudah aku usir dari rumah ini. Tak ada Tante Vivi kini duplikatnya malah kembali. Mereka berpelukan seakan saling merindu. Entah apa rindu benaran atau hanya bohongan. Akting Lisa begitu bagus maka aku tak boleh terkecoh. Mereka semua sama-sama licik dan bermuka dua. Lisa mengibaskan tangan ke udara telihat tetesan air jatuh di pelipis hingga membasahi kemejanya. "Gila, panas banget sih! Apa gak ada AC atau kipas angin. Panas banget." "Iya panas kalau malam apalagi," timpal Rita melirik aku yang sibuk dengan ponsel padahal aku berpura-pura tak dengar. "Lagian rumah kecil banget apa gak ada yang lain. Lebih besar dan adem. Ini cuma sekamar doang." Kedua mata Lisa nampak
"Papa!" Wajahku menoleh ketika melihat seorang pria mengendarai motor berhenti tepat di halaman rumahku. Bayu sedang bermain di teras menoleh ke arah papanya. Putraku berlari kencang dan memeluk Mas Ilham. "Anak Papa!" Mengangkat tubuh putranya dan mencium kedua pipi. Begitu juga Bayu mencium kedua pipi Mas ilham. Bayu tertawa bahagia melihat sang papa datang menjenguknya. Memang jadwal Mas Ilham seminggu sekali. Kadang ia datang lebih dari dua kali dan aku memakluminya. "Mama, Papa datang!" teriaknya menujuk ke arahku. "Mas, sendirian lagi?" tanyaku basa basi. Sudah pasti pria itu tak akan membawa Rita, bisa bikin ulah wanita itu. "Iya. Enakkan sendirian." Menurunkan Bayu dari gendongannya. Aku hanya berO saja tanpa mau memberikan pertanyaan lain. Kulangkahkan kaki masuk ke dalam rumah untuk membuatkan kopi untuk pria itu. "Ada siapa?" tanya Mama melihat aku membuatkan kopi di dapur menunggu air mendidih. Kopi lebih nikmat jika diseduh dengan air panas. "Mas Ilham." "Mama b
Hari ini aku dan Rey pergi ke butik untuk memilih gaun pengantin. Tangan kami saling mengenggam satu sama lain. Tak ada lagi ejekan atau cacian kepadaku dari semua orang. Masalahku hilang sekejap di telan bumi dan digantikan dengan berita yang lebih heboh. Begitulah dunia terutama dunia Maya yang menjadi tempat para netizen. "Sepertinya ini bagus," ucap Rey menunjukkan satu gaun pengantin berwarna putih dengan belahan yang tak terlalu rendah. Beberapa kali mata ini mengerjap. Seperti Dejavu ketika aku dan mas Ilham menikah. Pria yang telah menjadi mantanku menunjukkan gaun yang sama. Mungkin saja ada perbedaan sedikit tapi butik ini berbeda dengan tempat aku dulu. "Intan, Sayang kamu kenapa?" tanya Rey membuyarkan lamunanku. "Aku tak suka. Aku ingin yang lain saja asal jangan yang ini." Rey hanya mengulum senyum, ia mengerti dan paham. Tak banyak bertanya yang aneh-aneh. Aku tahu mau pria itu cemburu seperti kemarin pagi melihat mantan suamiku berada di rumah. "Ini bagus dan l
Seandainya ada teman-temanku membantu menyelesaikan masalah ini pasti semua sudah terbongkar. Cheri telah pindah ke Australia, ia akan melanjutkan studi di sana. Negara yang sangat jauh sekali. Adel dan ibunya melakukan pengobatan di Singapura dengan waktu yang lama. Adel juga menjalankan bisnis baru di dunia kosmetik. Sedangkan Sherly masih berada di perusahaan milikku yang dulu sempat di pimpin mas Ilham.Tak ada mereka semuanya serba kacau. Aku harus mencari tahu apa yang disembunyikan mama dariku. Mobil yang berada di seberang rumahku adalah mobil calon mertuaku. Apakah mungkin Mama dan Om Leo memiliki hubungan spesial atau mobil itu hanya mirip saja. Satu-satunya teman yang bisa dihubungi hanya Sherly, semoga saja ia bisa membantuku. "Halo, Sher. Kamu sibuk?" "Tidak Bu Bos. Ada apa?" "Aku butuh teman." "Datanglah ke kontrakanku. Kamu sudah lama tak menginap di sini." "Baiklah aku akan ke kontrakanmu." Kuakhiri panggilan dan bersiap untuk ke kontrakkan Sherly. Semoga ia bi
"Katakan padaku, apa kamu mengenalnya?" "Aku tidak tahu tapi ini sungguh tak mungkin. Aku juga ragu.""Katakan saja Sherly!" Aku sudah tak tahan. Sepertinya sahabatku ini bermain rahasia. "Bukannya aku merahasiakan tentang ini. Tapi aku ragu untuk berkata. Apakah dia orangnya karena kalau sekilas mirip kamu tapi aku tak bisa memastikan apakah ia Aura Kasih yang kamu cari. Kecuali kita langsung ke tempatnya." "Wah, ide yang bagus. Malam ini juga kita ke tempat itu." "Apa kamu yakin ingin ke sana?" Tatapan Sherly terlihat ragu. "Tentu saja. Sebelum akad nikah berlangsung aku harus tahu semuanya." "Tapi, tempat itu tempat hiburan malam." "Hiburan malam? Maksudnya?" Aku masih bingung perkataan Sherly apa jangan jangan Aura Kasih berada di tempat yang tak semestinya. "Dia itu kupu-kupu malam." "Apa?" Sherly menbekap mulutku dengan cepat. Mungkin, suaraku terdengar keras sekali maklumlah kontrakkan berjejer tiga pintu. "Kalau kamu gak percaya. Ayo kita buktikan!" Kami bersiap-s
"Sherly, mengapa wajahnya mirip denganku. Apakah dia yang dikatakan Om Leo atau bukan, ya?" "Di dunia ini ada tujuh orang yang berwajah sama. Jangan kamu pikirkan. Lebih baik kita pulang atau mau makan ke nasi goreng tempat favorit kita?" Sebenarnya, aku ingin berbicara dengan wanita itu. Tetapi, Sherly menarik tanganku agar menjauh. Kami tak ingin ketahuan dengan pakaian layaknya laki-laki. "Kenapa masih bengong?" tanya Sherly fokus mengendarai mobil. "Entahlah." Aku mengidikkan bahu. "Hanya karena berwajah sama kamu jadi melamun?" Sherly melirikku sekilas dan kedua mata kembali menatap ke depan kaca mobil. "Tidak bukan itu. Aku merasa ada sesuatu yang mengganjal. Tapi, tak tahu itu apa?" "Mana jiwa dektetifmu apa kamu lupa kalau dulu kamu siapa?" Wajah Sherly tampak menyeringai. Apa yang dikatakan sahabatku itu benar. Aku harus mencari tahu kebenarannya. Mama adalah tersangka pertama yang harus aku tanyakan. Kami akhirnya makan nasi goreng pinggir jalan, tempat favorit se
Mobil mama berhenti di sebuah bank yang tak jauh dari rumah. Mama pasti akan mengambil uang yang telah aku transfer ke rekeningnya karena jumlah yang banyak ia memilih bank sebagai transaksi tarik tunai. Aku masih menunggu di dalam mobil agar Mama tak melihatku. Kuberikan permintaan kepada supir taksi online yang aku janjikan uang dua kali lipat dari tarif dan akan memberikan tips asal ia mau mengikuti permintaan. Ia pun menyetujuinya. Setengah jam lebih Mama baru keluar dari gedung Bank itu. Ia tampak memeluk amplop coklat di dadanya. Sudah pasti isinya uang dan bukan bom. Kami mengikuti kembali mobil Mama. Nampak mobil itu melanjutkan ke arah kota. Tepatnya, Jakarta Utara. "Mama mau ke mana, ya?" Tak lama kemudian Mama masuk ke kawasan Ancol. Ia mengendarai mobil perlahan seperti mencari seseorang. Hingga Mama menemukan mobil seseorang terparkir di pinggir pantai dengan pintu sedikit terbuka. Tak lama kemudian pemilik mobil itu keluar melepaskan kacamata hitam yang sejak tadi