Bab 119 "Hapus!" Ku tunjuk jariku ke arahnya. Intan tampak marah. Suaranya meninggi hingga telinga ini sakit. Wanita itu tak main-main apalagi menyangkut hukum. Aku tahu Intan mantan agen mata-mata. Mantan istriku pintar dan cerdas. Ia juga bisa bela diri. Cukup membanggakan prestasinya. "Gak mau. Biarkan saja dia. Liat banyak like dan komentarnya." Rita menunjukkan ponselnya. Like sudah mencapai ribuan dalam beberapa menit saja. Kekuatan netizen luar biasa. Komentar sudah mulai membahas masalah luka di wajah dan tubuh Lisa. Beberapa komentar sudah dibalas Rita. Istriku pintar berkata hingga aku takut kalau ada yang tersinggung dengannya. "Hapus!" Aku semakin geram tingkah Rita. Ku rebut paksa ponsel pintar yang layarnya mulai retak. Sudah beberapa kali Rita menjatuhkan ponselnya. Aku tarik dan meninggikan ponsel itu agar tak bisa diraih lagi. "Jangan Mas! Jangan!" Rita hendak merebut kembali ponselnya. Aku tak membiarkan dirinya melakukan hal bodoh lagi. Sudah cukup dan tak bol
Bab 120 "Mba, aku butuh sesuatu. Tolong Mba belikan." "Belikan apa?" Lisa terdiam sesaat, ia tak menjawab pertanyaan Rita. Aku yakin pasti telah terjadi sesuatu. "Ehm, aku butuh makan. Iya. Aku ingin makan. Perutku lapar. Mba, beli mie ayam, ya. Aku mau." "Ini mie ayamnya. Kamu ambil mangkuk sana." "Mba, aku abis pingsan kenapa gak Mba aja." Rita menatapku sudah pasti aku harus mengambil mangkuk di dapur. Dua wanita malas hanya bisa menyuruh orang saja. Apa tak bisa mengambil sendiri. Adik kakak selalu begitu. Menyebalkan sekali mereka. "Ini mangkuknya." Lisa membuka plastik mie ayam. Ia menatap isi mie yang sudah melar dan pedas. "Kenapa, kok gak di makan?" "Ini mie apa, Mba?" "Mie ayam. Emangnya mie apa lagi?" "Kok aneh, ya?" "Karena sudah dingin jadi begitu. Cepat makan!" Lisa mendekati garpu berisi mie ayam ke mulutnya. Tetapi wanita itu menahan di udara. Uek! Lisa menahan mulutnya. Memberikan mie ayam itu kepadaku. Ia berlari masuk ke kamar mandi dan memuntahkan
Bab 121 Seseorang muncul di balik pintu. Aku mengenalinya. Ia adalah pria yang sering bersama Lisa. Kenapa aku tak menegur adik iparku. Sudah sering dan Lisa lebih galak lagi. Kalau sudah begini aku yang kena imbasnya. Aku yang repot sediri apalagi hanya aku pria yang ada. "Itu pacarmu!" kutunjuk ke arah pintu. "Iya betul." Wajah Lisa menatap dari kejauhan. Kami melangkah lebih cepat sebelum pria itu pergi. Pasangan suami istri itu tampak mesra hanya saja suasana sepi. Kami melangkah mendekati pagar. Berjalan kaki sejauh komplek ini cukup lelah. Naik angkutan umum lalu menyambung lagi ke angkutan berikutnya. Seandainya saja mobil masSatpam berdiri menghampiri kami. Lisa mendekati pagar dan berteriak memanggil nama kekasihnya. "Mas Bro. Mas Bro!" panggil Lisa lantang. Pagar belum dibuka karena kami belum dipersilahkan untuk masuk. Pria dan wanita yang berdiri di dekat pintu rumah menoleh ke arah kami. Tatapan mereka terkejut melihat kehadiran kami di depan rumahnya.Mereka terli
Bab 122 Tangan wanita itu terus memukul tubuh sang suami tanpa ampun hingga sudut bibir mengeluarkan cairan merah. Melihat hal itu hatiku mengiba. "Ampun Ma! Jangan pukul Papa!" Pria itu tak melawan. Ia bangki menghindari semuanya. "Katakan sekali lagi, Pa! Katakan!" Wanita itu terus saaa"Papa akan bertanggung jawab, Ma. Kita ingin punya anak dan Lisa memberikannya. Tolong Papa, Ma." Suaranya mengiba, aku saja kasihan kepadanya. Tangan wanita itu berhenti. Ternyata mereka belum memiliki anak. Mungkin saja itu alasan Bromo berselingkuh. "Katakan kepada Mama. Berapa kali Papa selingkuh?" "Hanya dengan Lisa. Papa selingkuh. Papa ingin punya anak Ma." Wanita itu masuk ke dalam kamar dengan mata basah dan Pak Bromo masih duduk di hadapan kami. "Saya akan bertanggung jawab. Jadi tolong jaga rahasia ini. Nama baik kami bisa tercoreng. Tolong bantu saya untuk merawat bayi Lisa." "Aku akan menikahi Lisa walau hanya siri saja. Bagaimana?" Aku menoleh ke arah Lisa tampak wanita itu
Bab 123 Aku menatap rumah besar di depan mata. Ada perasaan senang di dalam hati. Aku tak ingin tinggal di kontrakan mas Ilham. Kontrakan sempit dan kotor. Tinggal di tempat itu sudah menjadi kebiasaan sehari-hari. Aku melangkah tanpa beban. Kulihat kekasih hatiku berada di teras rumah. Mereka sedang bertengkar. Aku hanya menatap dari kejauhan. Kupanggil mas Bro dengan lantang agar ia tahu aku datang. Awal pertemuan kami melalui media sosial. Kami sering berchat dan memutuskan untuk bertemu. Aku sadar pria bagaimana yang aku temui. Tentu saja pria tua berumur lima puluh tahun. Aku yakin pria itu kaya raya. Terlihat dari postingannya. Ia memamerkan makanan mewah dan barang barang limited edition. Aku harus mendekatinya. Ku cari info tentangnya agar aku tak salah target. Aku tak ingin menikahi atau berpacaran dengan pria miskin. Ia harus kaya raya.Akhirnya aku dan mas Bro bertemu. Aku dandan begitu cantik dan memesona. Kupilih baju paling bagus dan menarik. Baju sexy dengan bahu
Bab 124 Kuusap kedua netra, tampak seseorang berdiri dihadapanku. Aku terkejut tatapan mata penuh dosa, dendam dan benci. "Bangun!" teriaknya lantang hingga tubuh ini terkejut. Suara memeking telinga, segera menutup telinga agar suara jelek wanita itu tak masuk lebih dalam. "Bangun! Gua bukan setan! Bangun!" Nita, istri pertama mas Bro menarik paksa selimut yang menutup tubuhku. "Ada apa Tante. Ini masih malam." Kuusap kedua mata perlahan dan merenggang otot tangan ke atas bahu. Tidurku sangat nikmat dan enak.."Tante! tante! Gua kaga kawin sama Om elu! Elu pikir ini malam? Ini udah pagi tahu. Elu tidur kayak kebo!" Bahasa mulutnya kasar sekali tak berkelas dan tak perasaan. Aku ini sedang hamil. Anakku ini kelak akan menjadi anaknya juga. Apakah ia lupa dengan kandunganku. "Aduh, pantesan perut aku lapar. Aku lapar Tante, eh Mba." Suara keroncong terdengar berkali-kali pantas saja aku langsung lapar. Canggung sekali, masa iya aku panggil wanita itu Mba. Risih sekali jadiny
Bab 125 "Mba, dasternya sobek apa tak ada yang bagus lagi. Ini juga lusuh," ucapku ketika kaki ini sudah sampai di lantai bawah. Wanita itu duduk di sofa menikmati aneka kue basah, kering dan teh. Pantas saja tubuhnya gemuk, ngemil makanan manis seperti ini. "Itu cocok untukmu dan pas di tubuhmu." Ia tak menoleh ke arahku. "Tapi, Mba. Baju ini sudah kucel dan robek." Kuperlihatkan bagian ketiak dan pinggang. "Hei, kau gak dengar barusan. Kamu cocok dan pas. Lagian sesuai dengan kelasmu rendah." Ia menghinaku, aku tak terima ucapannya. Kalimatnya sungguh menyakitkan. Kalau saja ia tahu kalau aku orang kaya. Aku pastikan ia kejang-kejang. "Aku gak seperti itu. Mba gak kenal aku!""Gak perlu kenal. Aku juga sudah tahu dan paham. Kamu itu tipe wanita rendah yang rela mengangkang hingga hamil. Padahal umur suamiku sudah mencapai lima puluh tahun." "Aku dan Mas Bro saling mencintai." "Cinta. Bulsit. Ia juga bilang cinta mati kepadaku sampai akhir hayat. Sekarang malah mengkhianati c
Bab 126 Kuletakkan dua es jeruk dan beberapa makanan ringan di atas meja. Mereka masih asik dengan obrolannya. Kudengar Nita memperlihatkan koleksi cincin berliannya. "Lisa. Kamu Lisa anak Vivi?" sapa wanita itu menghentikan pergerakan. Kenapa ia harus melihatku. Aku malas meladeni. Dunia sempit masih bertemu dengannya di sini. "Anak Vivi?" Nita tampak terkejut. Apa jangan-jangan ia kenal dengan mama. Ya ampun bagaimana kalau ia kenal. Bisa tambah kacau hubungan ini. "Kamu anak Vivi?" tanya Nita menarik bahuku kasar. "Iya, Mba." ku tak ingin menutupi lagi. "Astaga, ternyata dunia ini sempit. Aku tak menduga. Pantas saja sifat kamu dan ibumu sama-sama pelakor. Oh, tunggu. Aku juga ingat kakakmu juga pelakor. Kalian keluarga pelakor. Luar biasa sekali." Nita tertawa terbahak-bahak sedangkan wanita di samping tubuh Nita masih belum menyadari. "Nit, maksud kamu apa?" "Dia wanita yang aku ceritakan itu." "Astaga, sudah diduga. Mereka keluarga gak bener. Kamu tahu tidak mamamu