Share

Kenapa Harus Aku?

Author: Syamwiek
last update Last Updated: 2025-10-30 11:00:06

Afirmasi untuk hari ini—Binar, kamu cantik, kamu pintar, kamu baik, dan kamu gak salah. Semua orang akan menyukaimu. Tapi kalau pun ada yang tidak suka, jangan dihiraukan—mungkin mereka termasuk orang yang hatinya sedang sakit.

Aku mengucapkan kalimat itu berulang kali sebelum turun dari mobil, dan Pak Yoto pun selalu ikut mengangguk setiap kali aku mengatakannya.

Meskipun gosip tentangku belum juga mereda, aku tetap harus pergi ke kampus. Kalau aku bersembunyi, justru akan membuat orang semakin yakin bahwa aku memang bersalah.

Lagi pula, bukan kali ini saja aku dikaitkan dengan kandasnya hubungan seseorang. Bedanya, kali ini yang terlibat adalah Dokter Naufal dan Alya—pasangan most wanted kampus. Jadi, ketika rencana pernikahan mereka batal, kegemparannya seketika menyebar ke seluruh kampus, dan aku pun ikut terkena getahnya.

“Bee!” panggil Safa begitu aku baru turun dari mobil. Dia berlari ke arahku, meninggalkan pacarnya yang masih sibuk memark
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter
Comments (10)
goodnovel comment avatar
Ovy Azza
hmmm dasar dr. naufal. knpa sh ga mau klarifikasi? dan kenapa harus binar yg jd kambing hitamnya? ini Luna nyebelin apa gmnansh, sengaja mancing" esmosi binar ya
goodnovel comment avatar
eny123pgc
wah gk nyangka srkali alya lemparr batu sembunyi tangan, dia yg berbuat dia yg mencari kesalahan orang lain
goodnovel comment avatar
Tya Abdulloh
Eheh.. klo buwungnya dipotong jdnya bkn Om Kais dong Bee tp Tante Kias.....
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Hai Om, Aku Calon Istrimu!   Stalking Mantan

    “Tinggi banget sih, tapi kerempeng. Terus datar dan tepos, kurang menarik,” komentar Safa sambil menatap layar tablet dengan ekspresi menilai.Aku melirik sekilas ke arah layar, lalu menahan napas. Foto yang sedang kami lihat adalah akun media sosial milik mantan tunangan Om Kais—Rhea Adler. Perempuan blasteran Jerman-Indonesia yang dulu sempat jadi model majalah terkenal.“Kurang menarik apanya, Sa,” sahutku. “Dia cantik banget, kulitnya bening, matanya abu-abu. Model internasional, loh.”Safa mendengkus. “Iya, tapi kok vibe-nya dingin banget, ya? Lihat nih caption-nya—‘Elegance is when you make silence loud.’ Apaan sih? Kayak ngomong sama cermin.”Aku terkekeh pelan, tapi pandanganku masih terpaku pada foto-fotonya. Rhea terlihat sempurna di setiap jepretan—entah sedang di Paris, menghadiri pameran seni, atau sekadar duduk di cafe mahal dengan ekspresi datar tapi elegan.Safa mencondongkan tubuhnya. “Bee, kamu yakin nggak salah bersaing, nih? Mantan calon istrinya aja udah kayak has

  • Hai Om, Aku Calon Istrimu!   Terhalang Masa Lalu

    Begitu mobil Om Kais keluar dari halaman, suasana rumah terasa sedikit lengang. Aku masih sempat melambaikan tangan sebelum akhirnya menutup pintu dan berbalik. Saat aku menoleh, Mas Pandu sudah berdiri di ruang tamu, menungguku untuk makan malam. Mas Pandu menepuk ringan bahuku. “Ayo, cepat ke ruang makan. Sebelum nasinya keburu dingin.” Aku mengangguk dan mengikutinya. Begitu duduk, aroma masakan langsung menyeruak. “Wah, wanginya bikin perut semakin keroncongan.” “Kamu tuh, kalau sudah urusan makan, semua masalah langsung beres aja, ya?” celetuk Mas Pandu sambil menuangkan jus melon ke dalam gelas. “Ya jelas,” jawabku santai sambil mengambil sendok. “Orang lapar nggak bisa mikir jernih, Mas.” “Dek—” panggilnya pelan. “Kamu tahu nggak, Mas Kais dulu sempat mau nikah?” Aku menoleh, sendok masih di tangan. “Serius? Baru tahu aku.” Mas Pandu mengangguk pelan. “Itu kejadian udah lama banget, mungkin hampir sepuluh tahun lalu. Waktu itu dia sudah tunangan, tinggal nunggu hari per

  • Hai Om, Aku Calon Istrimu!   Status Baru

    “Binar—”Baru saja aku hendak naik ke dalam bus, suara Om Kais terdengar dari belakang. Nada suaranya yang cukup tinggi membuat langkahku langsung terhenti di anak tangga pertama.Aku menoleh, dan di sana dia berdiri—dengan kedua tangan terlipat di dada, sorot matanya tajam.Aku turun lagi dan menghampirinya. “Ada apa, Om?”“Masuk mobil,” ujarnya singkat.“Lho, kenapa?”“Safa mana?” bukannya menjawab, Om Kais malah balik bertanya.“Tu, udah duduk manis di dalam bus,” jawabku sambil menunjuk ke arah sahabatku yang sedang mengintip dari jendela.Begitu sadar kami sedang membicarakannya, Safa langsung melambaikan tangan penuh semangat.“Suruh Safa turun. Kalian pulang bareng aku,” titah Om Kais.Selesai bicara, dia berbalik dan masuk ke dalam mobil lebih dulu. Bodyguard-nya segera bergerak, memasukkan carrier-ku ke bagasi mobil dengan sigap.Aku menatap punggungnya sejenak—sebelum akhirnya berlari kecil ke arah bus.“Safaaa!” panggilku sambil menepuk jendela bus. “Turun, cepat. Kita pula

  • Hai Om, Aku Calon Istrimu!   Perkara Panggilan

    Aku benar-benar tidak menyangka kalau Om Kais memutuskan ikut turun gunung dengan berjalan kaki. Soalnya, seingatku, dia belum pernah sekalipun mendaki—apalagi menuruni jalur seterjal ini. Jujur saja, aku sempat khawatir sesuatu bakal terjadi padanya.Bagaimanapun juga, Om Kais bukan orang sembarangan. Dia itu pemimpin besar—punya perusahaan, sekaligus direktur utama rumah sakit ternama. Bayangkan kalau sampai kakinya keseleo sedikit saja, bisa heboh satu kantor, bahkan satu kota!Aku memilih jalan di dekatnya, siap siaga setiap kali dia melangkah di medan berbatu.“Pelan-pelan, Om,” ucapku khawatir.Dia hanya menoleh sekilas dan tersenyum tipis. “Tenang aja, aku masih kuat.”“Iya, tapi kan Om mahal,” kataku cepat, membuatnya terkekeh pelan.“Mahalan kamu,” balasnya santai, menatapku sekilas dengan tatapan geli.Aku mencibir. “Ih, serius ini. Kalau Om kenapa-kenapa, aku bisa dimarahi seluruh tim medis rumah sakit.”“Tenang, Binar. Aku turun gunung bukan buat jatuh… tapi buat jaga kamu

  • Hai Om, Aku Calon Istrimu!   Romantis Ala Om Kais

    Bukannya menjawab, Om Kais malah menarik kedua pipiku dengan ekspresi gemas—seolah-olah wajahku ini bakpao isi ayam kesukaannya.“Cium—cium!” seruku sambil berusaha mendekat.“Astaga, Binar…” gumam Om Kais, lalu dia menekan kedua pipiku makin kencang sampai bibirku mengerucut seperti bebek.“Aku sayang Om Kais, loh. Suer tekewer-kewer,” kataku dengan mulut masih mengerucut.“Kamu ini perempuan, Binar,” balas Om Kais sambil menggeleng pelan. “Seharusnya aku yang menyatakan cinta, bukan kamu. Dan coba deh, hitung—udah berapa kali kamu melamarku, ha? Sampai di atas gunung pun masih kepikiran buat melamar.”Aku cuma nyengir. Jujur, aku memang gak ingat sudah berapa kali melamar Om Kais. Soalnya, setiap ada momen bagus, aku gak mau melewatkannya begitu saja. Pokoknya langsung lamar—urusan diterima atau enggak, belakangan.“Gak ingat, dan gak akan aku hitung,” jawabku santai.Lantas, Om Kais menarikku ke dalam pelukannya dan mendekapku erat. Dagunya bertengger di atas kepalaku, sementara ak

  • Hai Om, Aku Calon Istrimu!   Om Nikah, Yuk!

    Aku dan Safa duduk di atas batu besar, berselimut jaket tebal dan sarung tangan wol. Di depan kami, pemandangan langit yang mulai terang perlahan seperti lukisan hidup.“Cantik banget, ya,” gumam Safa sambil menyeruput minuman hangat dari tumbler. “Gak nyesel bangun jam empat pagi.”Aku tersenyum samar. “Iya, worth it banget.”Tapi entah kenapa, senyumku terasa menggantung. Pikiranku masih sibuk mengulang kejadian semalam—antara geli, malu, dan… deg-degan.Safa melirikku sekilas. “Kenapa? Dari tadi senyum-senyum sendiri. Jangan bilang kamu mimpi Om Kais lagi?”“Bukan mimpi. Tapi semalam aku emang ketemu hal yang lebih aneh dari mimpi.”“Apaan?” Tanya Safa sembari menaikkan alis.Aku menatapnya lekat, lalu mencondongkan tubuh sedikit, berbisik, “Aku ketemu Om Kais.”“Hah?! Di gunung?”“Iya. Aku juga gak nyangka,” jawabku.“Yang bener, Bee. Jangan bilang kamu halu gara-gara kedinginan,” ucapnya sambil mencubit lenganku.“Aduh! Beneran, Fa.” Aku menghela napas panjang. “Dia muncul waktu

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status