Share

Perkara Handuk

Author: Syamwiek
last update Last Updated: 2025-12-23 17:33:04

Aku duduk di tepi ranjang, selimut menutupi seluruh tubuh hingga ke kepala. Wajahku cemberut, perasaan kesal menumpuk, dan aku sama sekali tak berniat beranjak dari posisi ini.

"Adek, ayolah mandi. Bentar lagi suamimu sampai loh!" Mama berdiri di depan pintu kamar dengan nada memohon.

"Nggak mau!" teriakku dari balik selimut. "Handukku hilang! Aku nggak mau mandi pakai handuk lain!"

"Adek, Sayang, besok Mama beliin handuk unicorn lagi ya. Yang lebih besar, lebih bagus. Tapi sekarang mandi dulu. Kamu harus siap-siap. Kita harus segera berangkat ke Klaten." Mama mencoba merayu dengan suara lembut.

"NGGAK MAU! Aku maunya handuk unicorn-ku yang itu! Yang dikasih Eyang Uti!" Aku semakin keras berteriak.

Mama menghela napas panjang. "Dek, Mama udah cari kemana-mana. Nggak ketemu. Mungkin keselip di antara baju-baju. Nanti Mama cari lagi. Tapi sekarang kamu harus mandi dulu."

"NGGAK MAU!"

Mama keluar dari kamar dengan wajah frustasi. Aku mendengar suaranya berbicara dengan Papa di luar.

"Gim
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter
Comments (2)
goodnovel comment avatar
~•°Putri Nurril°•~
gak bisa ngebayangin kalau binar nanti hamil. gimana mood swing ya
goodnovel comment avatar
Kania Putri
ampun deh handuk kesayangan hilang binar ngamuk ini wkwkw untung ada pawangnya kais
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Hai Om, Aku Calon Istrimu!   Empuk, Kok...

    Aku tahu Om Kais menyadari ada yang aneh denganku. Sejak pulang dari rumah Safa tadi sore, aku jadi pendiam. Saat diajak ngobrol, aku cuma jawab seadanya tanpa menatap matanya. Saat dia peluk, aku menghindar dengan alasan mau ambil minum. Saat dia cium pipiku, aku diam saja—tidak membalas seperti biasanya."Sayang, kamu yakin nggak apa-apa?" Om Kais bertanya untuk kesekian kalinya sambil duduk di tepi ranjang, menatapku yang sedang lipat-lipat baju di lemari."Iya, Bunny. Aku baik-baik aja kok." Aku menjawab tanpa menoleh."Tapi kamu aneh dari tadi—""Enggak kok. Aku cuma capek aja. Habis dari perpus terus ke rumah Safa. Jadi agak lelah." Aku mencoba tersenyum, tapi tetap tidak menatapnya.Om Kais terdiam. Aku tahu dia tidak percaya. Tapi dia tidak memaksa."Oke. Kalau kamu mau cerita, aku siap mendengarkan." Om Kais akhirnya berkata lembut."Iya, Bunny. Makasih." Aku masih sibuk dengan baju-baju yang sebenarnya sudah rapi.Setelah selesai dengan baju, aku mengambil handuk. "Aku mandi

  • Hai Om, Aku Calon Istrimu!   Jerawat Bikin Insecure

    Aku menutup laptop dengan lega. Skripsi hampir selesai. Tinggal revisi typo di beberapa halaman, setelah itu bisa ACC dan mendaftar sidang. Akhirnya!Tapi... ada yang mengganjal.Aku menatap refleksi wajahku di layar laptop yang hitam. Pipi terlihat lebih tembem. Dagu mulai dobel. Dan yang paling menyebalkan—ada dua jerawat merah di dahi."Aduh—" Aku menyentuh pipi dengan tangan. Terasa lebih berisi.Saking seringnya ngemil selama mengerjakan skripsi—keripik, cokelat, kue, gorengan, semua masuk tanpa filter—tubuhku terasa lebih berat. Beberapa orang bahkan berkomentar, "Binar, kamu makin bulat ya?" atau "Wah, pipimu makin tembem, lucu!"Lucu kepalamu.Aku kesal sendiri. Apalagi kalau jalan bareng Om Kais. Dia selalu tampil ganteng—jas rapi, rambut klimis, wangi parfum mahal, senyum menawan. Sementara aku? Makin bulat kayak bakpao."Harus diet nih!" Aku bergumam sambil membereskan laptop dan buku-buku ke dalam tas.~~~Setelah dari perpus, aku memutuskan mampir ke rumah Safa. Sudah lam

  • Hai Om, Aku Calon Istrimu!   Nyonya Nyinyir

    Acara pertunangan Mas Pandu dan Mbak Nindi berjalan lancar. Senyum tak pernah lepas dari wajah keduanya sejak awal prosesi hingga akhir acara, seolah kebahagiaan itu mengalir begitu saja tanpa dibuat-buat. Tatapan Mas Pandu yang penuh keyakinan dan sorot mata Mbak Nindi yang lembut menjadi saksi betapa mantap langkah mereka menuju tahap berikutnya.Di tengah acara, suasana yang semula hangat dan riuh perlahan mereda ketika Om Frans berdiri. Suasana mendadak sunyi. Dengan tubuh sedikit membungkuk dan tangan yang saling bertaut, beliau menarik napas panjang sebelum berbicara. Suaranya bergetar, jelas menahan emosi, saat menyampaikan titipan terakhirnya sebagai seorang ayah.“Nak Pandu,” ucapnya, “Saya titipkan anak perempuan saya. Dia mungkin tidak sempurna, tapi dia anak yang baik.”Kalimatnya sederhana, tanpa kata-kata berlebihan, namun justru itulah yang membuat dada terasa sesak. Om Frans lalu menoleh pada Mbak Nindi, matanya berkaca-kaca, seolah tengah mengulang kembali seluruh per

  • Hai Om, Aku Calon Istrimu!   Perkara Handuk

    Aku duduk di tepi ranjang, selimut menutupi seluruh tubuh hingga ke kepala. Wajahku cemberut, perasaan kesal menumpuk, dan aku sama sekali tak berniat beranjak dari posisi ini."Adek, ayolah mandi. Bentar lagi suamimu sampai loh!" Mama berdiri di depan pintu kamar dengan nada memohon."Nggak mau!" teriakku dari balik selimut. "Handukku hilang! Aku nggak mau mandi pakai handuk lain!""Adek, Sayang, besok Mama beliin handuk unicorn lagi ya. Yang lebih besar, lebih bagus. Tapi sekarang mandi dulu. Kamu harus siap-siap. Kita harus segera berangkat ke Klaten." Mama mencoba merayu dengan suara lembut."NGGAK MAU! Aku maunya handuk unicorn-ku yang itu! Yang dikasih Eyang Uti!" Aku semakin keras berteriak.Mama menghela napas panjang. "Dek, Mama udah cari kemana-mana. Nggak ketemu. Mungkin keselip di antara baju-baju. Nanti Mama cari lagi. Tapi sekarang kamu harus mandi dulu.""NGGAK MAU!"Mama keluar dari kamar dengan wajah frustasi. Aku mendengar suaranya berbicara dengan Papa di luar."Gim

  • Hai Om, Aku Calon Istrimu!   Gosip di Kantor

    Aku memasuki gedung kantor KTech Innovation sambil membawa dua kantong besar berisi kotak-kotak makanan. Berat banget. Untung satpam di pintu masuk membantuku membawanya sampai ke lobby."Makasih ya, Pak." Aku tersenyum ke satpam yang baik hati itu."Sama-sama, Mbak Binar.”Di meja resepsionis, ada Mbak Ahza—sepertinya resepsionis baru. Dia sedang mengetik sesuatu di komputer."Mbak Ahza, ada Mbak Binar. Mau ketemu Pak Kais tapi beliau masih meeting." Pak satpam menjelaskan."Oh! Selamat sore, Mbak Binar!" Mbak Ahza langsung berdiri, menyapaku dengan ramah. "Saya Ahza. Salam kenal!""Salam kenal juga, Mbak Ahza,” jawabku. "Aku tunggu di sini aja ya. Nggak mau ganggu meeting-nya Om Kais."“Gak nunggu di ruang kerjanya Pak Kais saja, Mbak? Disana lebih nyaman,” ujar Mbak Ahza yang terlihat sungkan padaku.“Bosan kalau sendirian. Aku mau disini saja,” balasku."Kalau begitu silahkan duduk, Mbak." Mbak Ahza menarik kursi tunggu di sebelah meja resepsionis. "Mau minum apa? Kopi? Teh?""Ngg

  • Hai Om, Aku Calon Istrimu!   Babysitting Dadakan

    Cabang cafe milik Mama memang baru terasa cozy—meskipun bangunannya tak sebesar cafe dekat kampus. Aroma kopi dan kue-kue segar memenuhi ruangan, sementara musik jazz instrumental mengalun pelan dari speaker.Aku dan Safa duduk di meja pojok—tempat favorit kami. Laptop terbuka, berkas-berkas revisi BAB 5 berserakan di meja, dua gelas kopi latte dan sepiring brownies di tengah."Jadi, bagian analisis data kamu udah sesuai sama masukannya Pak Edwin belum?" Safa bertanya sambil mengetik di laptopnya."Udah. Kemarin aku revisi semua. Tabel-tabelnya juga udah diperbaiki. Tinggal kesimpulan aja yang masih harus ditambahin referensi." Aku mengambil brownies, menggigitnya. "Kamu gimana? Udah selesai?""Hampir. Tinggal diskusi sama daftar pustaka." Safa menghela napas. "Dokter Edwin killer banget sih. Detailnya minta ampun.""Iya, tapi setidaknya beliau konsisten. Nggak kayak dosen lain yang maunya berubah-ubah." Aku menyeruput kopi."Bener juga sih."Kami fokus mengerjakan revisi masing-masin

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status