Share

Hakikat Cinta (Kamu Berhak Bahagia)
Hakikat Cinta (Kamu Berhak Bahagia)
Penulis: El Nurien

1. Apa Hakku Melarangmu?

“Menurutmu Ummi bagaimana mengenai poligami?” 

Deg. Salwa merasakan debaran hebat di dadanya. Lebih dari itu, ia pun merasakan tubuhnya juga mulai bergetar. Ia tahu, bukan tanpa alasan suaminya bertanya demikian. Ia menenggelamkan kepalanya di dada bidang suaminya. Berharap gejolak dalam dirinya sedikit bisa tenang. 

“Tergantung niatnya. Jika untuk memuaskan nafsu, ini sangat tercela. Poligami bukan sekadar urusan perut. Lapar makan, lalu dibuang. Kalau hanya untuk urusan begini, apa bedanya kita dengan hewan?  Niat untuk agama pun, tentu harus dipikirkan matang-matang. Jika tidak mempunyai pondasi yang kuat, alih-laih memberi hidayah, malah kita yang tenggelam,” ucap Salwa panjang lebar. Bagai bendungan air yang baru saja dibukanya setelah sekian lama ia tutup. 

Terdengar napas berat Salman. Ia mengeratkan pelukannya di bahu Salwa. Sesaat ia mencium ubun-ubun istrinya. 

“Bagaimana menurutmu dengan Jamilah?”

***

Di dalam kamar mandi Salwa menumpahkan segala sesak yang terpendam seharian penuh. Air matanya langsung pecah begitu putri kecilnya terlelap. Ia berlari ke kamar mandi karena tidak ingin tangisannya didengar oleh putrinya. Ia menghidupkan shower guna menenggelamkan tangisannya sendiri. Di bawah shower dia meringkuk dengan terisak-isak. 

Hati wanita mana yang siap suaminya menikah lagi? Apalagi setelah perjuangan yang cukup panjang ia lakukan demi keutuhan rumah tangganya. Namun, apa kuasanya untuk menolak takdir? Apa haknya untuk melarang suaminya melakukan yang dibolehkan dalam agama? Terlebih jika memang suaminya melakukannya untuk agama.

“Aku hanya berharap bisa membantu Jamilah mendidik anak-anaknya. Alhamdulillah, jika keduanya bisa masuk pondok, menjadi generasi yang menghidupkan syariat Islam di muka bumi.”

Ia teringat ucapan Salmam malam itu. Indah nian cita-cita suaminya, tetapi mengapa sangat menyakitkan baginya. Ia seperti dihadapkan dua pilihan yang sulit. Andai ia melarang niat suaminya, bagaimana dengan Jamilah dan anak-anaknya? Egois sekali, jika ia memperturutkan perasaannya, lalu membiarkan orang lain hidup papa agama. Andai ada yang bisa disalahkan, dirinya  yang harus disalahkan karena selalu tidak bisa menolak kebaikan. 

“Terima kasih, Mi. Ummi memang bidadari surga” ucap Salman, waktu itu lalu menghadiahi sebuah kecupan di ubun-ubun.

Seringai senyum luka terbit di bibirnya. Air matanya terus mengalir bersamaan dengan guyuran air shower. 

Sesakit inikah untuk menjadi bidadari surga? Kenapa harus dihadapkan dengan pilihan surga? Jika mengabaikan, apakah itu artinya terjauh dari surga? 

Mengingat surga, ia teringat satu upayanya tiba-tiba berantakan. Satu fragmen kembali muncul, mengabaikan tubuhnya yang menggigil. 

Saat itu Salwa sedang murajaah sambil menemani anaknya yang sedang bermain bongkar pasang rumahan. Ia langsung menutup mushafnya begitu melihat suaminya keluar dari kamar mandi. 

“Teruskan saja, tidak apa,” ucap Salman sambil mengusap rambutnya dengan handuk kecil. 

“Nanti bisa dilanjutkan lagi,” sahutnya sambil mengambil alih handuk di tangan Salman. Dengan isyarat ia menyuruh Salman duduk di ujung ranjang. Ia langsung mengusap rambut hitam itu dengan pelan, seakan khawatir akan membuat rambut suaminya rontok. 

“Kalau sampai menghentikan bacaan Qur’anmu demi ini, kan tidak bagus juga. Seharusnya aku memberimu banyak ruang untuk  menjaga hafalanmu.”

“Tak apa. Semoga Allah menjaga hafalanku, berkat baktiku padamu.” 

“Aamiin.” Setelah dirasa kering, ia duduk di samping Salman. “Oh iya, Bi. Sekitar  dua bulan lagi akan ada tes hafalan 30 juz. Ummi terpikir untuk ikut. Gimana menurut Abi?”

“Ya, bagus. Aku mendukungmu.”

“Tapi ….”

Salman bertanya dengan mengangkat sebelah alis. 

“Mungkin banyak yang dikorbankan. Makanan untuk sementara kita beli masak saja. Rumah mungkin akan berantakan, juga pelayanan lainnya mungkin ….”

Salman merengkuh bahu istrinya. “Tidak apa. Maafkan Abi. Karena selama waktu Umi habis mengurus Abi dan Salsabila.”

“Tidak apa. Umi tidak menyesalkan itu. Tiba-tiba saja ingin mencoba ikutan tes. Semoga Allah, mudahkan."

“Amiin.

Salwa menggigit bibirnya, mencegah jeritan hatinya mengeluar melalui kedua bibirnya. Berapa besar perhatian Salman kepada perempuan itu, sehingga lupa istrinya yang sedang berjuang ikut seleksi tes hafalan 30 juz? Sekarang semuanya berantakan. Hari seleksi masih ada beberapa hari lagi, tapi tidak mungkin ia melanjutkan perjuangannya di tengah hati yang hancur berkeping.

Andai dalam ajaran Islam boleh tidak memaafkan, inilah yang tidak bisa dimaafkannya pada diri Salman. Mengumpulkan ayat demi ayat sebagai ibu rumah tangga bukanlah yang mudah. Butuh waktu delapan tahun ia baru bisa menyelesaikan setoran terakhirnya. Mengabaikan segala lelah di sela pengabdiannya sebagai seorang istri, ibu bahkan menantu.

Ia ingat jelas, bagaimana ia merawat ibu Salman yang sakit. Sebelah tangannya memijat kaki mertuanya, sedang sebelah lainnya memegang mushaf. Saat itu ia sedang berjuang tes 21 juz. Setelah menaiki tangga demi tangga, sekarang berantakan hanya karena keinginan suaminya. Andai boleh meminta keburukan, ia hanya  ingin tidak memaafkan suaminya. 

Kini pecahlah isakan yang terpendam. Ia biarkan jeritannya mengeluar. Memenuhi ruang kamar mandinya. Biarlah air dan kamar mandi yang menjadi saksi bisu jeritannya di malam ini. 

***

Di luar rumah seorang gadis berusia 16 tahun mondar mandir di depan pagar rumah Salwa. Hujan deras membuatnya tubuhnya semakin menggigil. Berkali-kali ia menggoncang gagang kunci pagar, tetapi tuan rumah tak kunjung keluar. Kembali ia menghidupkan layar ponsel dengan bernaungkan kain hoodienya yang telah basah. 

“Aku mohon, Tante. Bukalah!” air matanya kini luruh. Gadis yang suka membangkang ibunya itu kini putus asa. Ia tidak mungkin pulang ke rumah dengan kondisi basah kuyup. 

Sebelah bibirnya tersungging. Untuk apa pulang? Ia yakin, ibunya telah melupakannya malam ini. Mungkin untuk selamanya. 

“Hallo!” 

Mata gadis itu membelalak, melihat panggilannya yang terjawab. Secercah cahaya hadir dalam semangat hidupnya. “Tante, aku ..  di luar,” ucapnya dengan menggigil. 

“Hah? Apa kau bilang?” terdengar keterkejutan dari sang pemilik rumah. 

“Aku di luar, Tante! Buka pagarnya.”

“Tunggu-tunggu!” 

Panggilan tertutup. Lega menyusupi relung hati hati gadis itu. Anehnya, air matanya semakin mengalir deras. Sayangnya tidak ada yang tahu, perasaannya malam ini. Tertutup oleh derasnya hujan. 

Gadis itu tersenyum lebar, melihat seorang wanita tergopoh-gopoh membuka pintu. 

“Tante, pakai payung!” teriaknya. Wanita itu mengabaikan seruannya, dan terus saja berlari, lalu membuka pagar. “Kenapa tidak pakai payung, Tante? Tante jadi kehujanan."

“Apa yang terjadi denganmu? Kenapa kamu hujan-hujanan begini?” Kepanikan membuat membuat wanita itu kesulitan memasukkan kunci. 

Air mata gadis terus saja mengalir. Terharu oleh kebaikan wanita yang dikenalnya hanya beberapa hari yang lalu. Padahal mungkin saja, ibunya kandung telah lupa melupakannya di malam ini. Bagaimana mungkin ibunya ingat padanya, di saat sedang asik mengecapnya manisnya madu asmara. 

Gadis itu langsung menubruk dan memeluk erat tubuh Salwa begitu pagar terbuka. 

“Aku takut sekali, Tante! Bagaimana jika Tante tidak membukakan pintu untukku?!” Tangis gadis itu semakin nyaring, tetapi tertelan suara guntur yang menggelegar. Sekilas cahaya putih memperlihatkan duka mereka pada semesta. 

“Haira, kita masuk dulu!” 

***

🌸🌸🌸

Terima kasih telah menemukan cerita ini.

Jangan lupa follow, subscribe, like, share dan berikan komentar terbaikmu supaya author semakin bersemangat menulis.

Terima kasih ♥️

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Prapti
sangat menarik untuk di baca
goodnovel comment avatar
Wahyudi
menarik untuk di baca
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status